Minggu, 07 Desember 2025

Iwel-iwel



Karya: Gutamining Saida

Hari Minggu selalu saya tunggu. Ada jeda, ada ruang untuk memanjakan diri, ada kesempatan untuk kembali merasakan hal-hal sederhana yang kadang terlupakan di tengah rutinitas. Sejak bangun pagi, saya merasa ingin menikmati sesuatu yang istimewa. Bukan makanan mahal, bukan juga jajanan modern yang sedang viral di media sosial, tetapi sesuatu yang punya jejak kenangan, aroma masa kecil, dan cerita budaya yang melekat erat dalam ingatan yaitu iwel-iwel.

Entah mengapa, makanan ini tiba-tiba muncul di benak saya. Mungkin karena sudah sangat lama tidak bertemu dengannya. Iwel-iwel bukanlah makanan yang tersedia setiap hari di pasar. Ia muncul pada momen-momen tertentu saja, khususnya ketika seseorang mengadakan syukuran bayi baik sepasar atau selapan. Seolah-olah makanan ini punya jadwalnya sendiri untuk hadir, membawa berkah, doa, dan rasa syukur dalam setiap bungkusnya.

Saya masih ingat, ketika ada tetangga yang mengadakan sepasar,selapan bayi, anak-anak kecil di sekitar rumah pasti menunggu bungkusan iwel-iwel. Meskipun acara itu sakral dan penuh makna, selalu saja ada keceriaan tersendiri saat bungkusan daun pisang itu diberikan kepada warga saat syukuran atau bancaan. Iwel-iwel termasuk salah satu makanan yang paling disenangi. Aromanya saja sudah membuat hati bahagia.

Minggu pagi, saya memutuskan untuk berkeliling mencari apakah ada pedagang yang menjual makanan tradisional tersebut. Pasar Minggu banyak penjual dadakan yang membawa makanan khas desa yaitu  arem-arem, nagasari, bothok, ketan serundeng, dan kadang kalau beruntung ada yang menjajakan iwel-iwel. Saya berangkat dengan sedikit harapan dan rasa penasaran.

Begitu tiba di pasar, suasananya riuh namun menyenangkan. Aroma daun pisang yang dipanaskan, bau jajanan pasar, dan suara tawar-menawar menambah warna pagi itu. Saya berjalan berkeliling, mata saya fokus mencari bentuk contongan daun pisang yang khas. Tidak semua orang menjualnya, jadi saya harus sabar.

Hampir putus asa, tiba-tiba saya melihat seorang ibu tua duduk di pojok, dikelilingi beberapa tampah berisi jajanan tradisional. Ada gethuk, sawut, klepon, dan iwel-iwel! Di sudut tampah paling kanan terlihat bungkusan daun pisang yang rapi, hijau kecokelatan, disemat lidi. Saya langsung tersenyum. Itulah yang saya cari.

“Bu, ini iwel-iwel ya?” tanya saya sambil menunjuk.

Ibu itu mengangguk. “Iya, Nak. Baru matang tadi masih panas.”

Saya langsung membeli beberapa bungkus. Rasanya seperti menemukan harta karun kecil yang membawa kembali potongan sejarah masa kecil saya. Di perjalanan pulang, saya sampai tergoda membuka salah satu bungkusnya, tapi saya tahan. Saya ingin menikmatinya dengan tenang di rumah, sambil duduk santai dan mengenang cerita lama.

Sesampainya di rumah, saya menyiapkan minuman. Kombinasi air putih dan jajanan tradisional selalu menjadi pasangan ideal, terutama di hari Minggu yang malas dan sunyi. Saya duduk, membuka salah satu bungkusan iwel-iwel itu dengan hati-hati. Aroma harumnya langsung menyebar campuran wangi daun pisang, ketan, dan kelapa yang masih segar.

Teksturnya lembut namun padat. Iwel-iwel dibuat dari tepung ketan dan parutan kelapa, diberi sedikit garam agar rasanya seimbang. Di tengahnya diletakkan potongan gula merah yang akan meleleh saat dikukus. Gula ini yang sering membuat kejadian lucu: kalau menggigit terlalu semangat, gulanya bisa “mencotot” (keluar muncrat)  istilah orang Jawa. Saya pernah mengalaminya waktu kecil, dan ibu saya hanya tertawa melihat saya sibuk mengelap wajah dan baju.

Iwel-iwel sendiri memiliki dua jenis bungkus. Pertama, dibungkus daun pisang biasa yang dilipat memanjang lalu disemat dengan lidi. Kedua, bentuknya dicontong, seperti kerucut kecil. Keduanya sama-sama cantik dan punya daya tarik tersendiri. Iwel-iwel yang saya beli pagi itu campuran bentuk keduanya, dan melihatnya membuat saya semakin senang.

Saya mengambil satu potong. Saat digigit pelan, rasa gurih kelapa bercampur lembutnya ketan langsung menyebar di mulut. Manisnya gula merah perlahan meleleh, memberikan sensasi hangat dan legit. Rasanya sederhana, namun justru di situlah letak keistimewaannya. Makanan tradisional seperti ini tidak perlu hiasan berlebihan atau rasa yang rumit. Kesederhanaannya justru membangkitkan rasa hangat di dada, seolah membawa pulang masa-masa yang telah lewat.

Sambil menikmati setiap suap, saya teringat betapa makanan bisa menjadi bagian dari perjalanan hidup seseorang. Iwel-iwel tidak hanya soal rasa, tetapi tentang tradisi, kebersamaan, doa, dan rasa syukur. Ia muncul pada peristiwa bahagia lahirnya seorang bayi dan menjadi simbol harapan bagi kehidupan baru. Ketika memakannya, seolah ada kehangatan tersendiri yang ikut menyelinap ke dalam hati.

Hari Minggu itu berubah menjadi lebih bermakna hanya karena sebungkus makanan tradisional. Saya menyadari bahwa memanjakan diri tidak harus dengan sesuatu yang besar atau mahal. Kadang, cukup dengan mencari kembali jejak rasa yang pernah membuat kita bahagia. Seperti iwel-iwel pagi itu, yang pelan-pelan mengantarkan kenangan masa kecil, kebahagiaan desa, dan aroma syukuran yang sederhana namun penuh cinta.

Pada akhirnya saya tahu satu hal yaitu sebuah makanan bukan hanya tentang mengenyangkan perut, tetapi juga tentang menghidupkan kembali bagian-bagian kecil dalam diri kita yang mungkin sempat tertidur. Iwel-iwel berhasil melakukan itu hari ini. Sebuah kebahagiaan sederhana yang menghangatkan Minggu saya sepenuhnya.

Cepu, 8 Desember 2025

Jumat, 05 Desember 2025

Es Bumi Hangus


Karya : Gutamining Saida 
Siang itu cukup panas. Matahari terasa begitu dekat, seperti menempel di atas kepala. Udara kering, langit tanpa awan, dan jalanan berdebu. Saya baru saja pulang dari kegiatan yang cukup melelahkan, dan tubuh rasanya butuh disegarkan. Anak saya mengajak memberi es. Berjalan menyusuri Kota Cepu.  Sesekali mengibas wajahnya dengan tangan.

“Mi, es yang seger enaknya apa ya?” tanyanya. Siang panas begini memang cocok cari yang dingin-dingin. Kami memutuskan untuk berkeliling, mencari minuman segar yang sesuai dengan situasi. Bukan sekadar melepas dahaga, tapi ingin mencari sesuatu yang bisa meredakan penat yang menumpuk di dada.

Tidak jauh dari jalan besar, kami menemukan sebuah warung es kecil sederhana. Kami pun masuk. Di sana terpampang daftar menu dengan nama-nama unik yang membuat saya dan anak saya saling melirik.

Satu nama langsung mencuri perhatian anak saya yaitu Es Bumi Hangus. Saya membaca ulang pelan-pelan. Nama itu terdengar asing, ekstrem, bahkan sedikit lucu. Saya jarang membeli minuman dengan nama yang aneh-aneh takut tidak cocok di lidah, takut rasanya terlalu kuat atau terlalu manis.

Es itu berwarna coklat tua, pekat seperti sisa hangus setelah bara padam. Dari tampilannya, saya mengerti mengapa dinamakan “Bumi Hangus”. Warnanya gelap, sedikit garang. Saya  tidak terlalu menyukai coklat. Rasanya sering membuat saya menggeleng pelan.

“Dik, itu kok warnanya kayak gosong,” kata saya sambil tertawa kecil.
Saya tersenyum. “Ini kayaknya  seleramu.”

Potongan roti tawar putih, serutan jeli bening seperti kelapa muda, mutiara kecil berwarna pink, dan taburan biji selasih di atasnya. Tampak sederhana, tampak bersih, dan entah kenapa terasa dekat dengan hati anak-anak.  Sementara anak saya penasaran dan memilih Es Bumi Hangus.

Ketika pesanan es  datang, saya memandanginya sejenak. Rasanya seperti melihat secuil ketenangan setelah hari yang riuh. Dia menyendok pertama masuk ke mulut, dia terdiam. Ada kelembutan yang sulit dijelaskan. Roti yang basah oleh sirup, jeli yang kenyal, mutiara pink yang memberikan sensasi kecil yang lucu, dan aroma manis yang tidak berlebihan.

Setiap suapan seperti membelai batin yang lelah. Dia tidak bicara banyak, hanya menikmati rasa yang dingin menyentuh tenggorokan, seperti hujan yang turun perlahan ke tanah yang retak. Anak saya terlihat puas. “Enak, Mi! Coklatnya pekat tapi nggak kemanisan,” katanya. Saya tersenyum. Ternyata Tuhan memberi setiap orang cara berbeda untuk menemukan kesegarannya masing-masing.

Di tengah kesibukan hidup, kadang kita lupa mencari ruang kecil untuk menenangkan diri. Siang yang panas itu, sambil duduk di warung kecil, saya dan dia merasa sedang diberi jeda. Jeda yang sederhana tak lebih dari semangkuk es namun cukup untuk menenangkan hati.

Di tengah panas yang melelahkan, di tengah urusan yang tak ada habisnya, Allah masih memberi saya kesempatan untuk merasakan hal-hal kecil yang lembut. Perjalanan pulang terasa lebih ringan. Anak saya sambil bercerita tentang rasa es coklatnya. Saya menatap jalanan yang berkilat karena terik, tetapi hati saya sudah tidak sepanas tadi.

Saya tersadar, sering kali yang kita butuhkan bukan sesuatu yang besar. Kadang hanya semangkuk es yang sederhana. Kadang hanya duduk bersama anak. Kadang hanya berhenti sebentar dari hiruk-pikuk dunia.
Cepu, 5 Desember 2025

Kamis, 04 Desember 2025

Sapaan Singkat Penyejuk Hati


Karya : Gutamining Saida 
Saya bersiap menjalankan amanah sebagai seorang pendidik. Hari ini kegiatan PSAS Gasal hari ke lima. Udara masih sejuk, cahaya matahari baru menyelinap lewat tirai jendela. Rutinitas pagi berjalan sebagaimana mestinya memastikan tas sudah lengkap, dan menyiapkan hati untuk menjalankan tugas untuk bangsa. Tidak ada hal yang saya duga akan mengubah suasana Jum'at pagi hari ini. 

Di tengah kesibukan, ponsel saya berbunyi pelan. Sebuah notifikasi WhatsApp muncul di layar. Biasanya pesan-pesan pagi berisi informasi sekolah, grup orang tua, atau hal-hal administratif. Pagi itu berbeda. Ketika saya membuka layar, saya melihat satu nama yang sangat saya kenal. Nama anak cowok saya.

Pesan itu hanya berisi satu kata:

“Mii”

Hanya begitu. Singkat. Tidak panjang. Tidak disertai emoji atau penjelasan apa pun. Tetapi betapa terkejutnya hati saya menerima sapaan itu di pagi hari. Anak saya biasanya tidak mengirim pesan saat saya hendak berangkat bekerja. Apalagi di pagi yang masih sunyi, saat ia biasanya sudah sibuk dengan aktivitasnya sendiri.

Pagi ini, Allah Subhanahu Wata'alla punya cara lain untuk membuat saya tersenyum. Ketika membaca pesan itu, hati terasa “nyeeees” sejuk, seperti ada angin lembut yang menyentuh dari dalam. Getaran kecil yang merambat dan membuat saya berhenti sejenak. Sapaan yang begitu sederhana, tetapi justru terasa sangat dalam.

Sebagai seorang ibu, saya langsung tahu bahwa sapaan ini bukan sapaan biasa. Jika seorang anak menyempatkan diri mengirim pesan sesingkat itu di pagi hari, pasti ada sesuatu yang membuat hatinya tergerak. Mungkin ia hanya ingin memastikan bahwa ibunya baik-baik saja. Mungkin ia rindu. Mungkin ia hanya ingin menyapa sebelum saya pergi. Atau mungkin Allah Subhanahu Wata'alla sedang menanamkan rasa sayang yang ingin ia sampaikan tanpa ia sadari.

Apa pun alasannya, sapaan itu sudah cukup untuk menghangatkan hati seorang ibu seharian penuh. Saya memandangi layar ponsel itu cukup lama. Bukan karena bingung harus membalas apa, tetapi karena sedang merenungi betapa besarnya dampak satu kata itu. Betapa Allah Subhanahu Wata'alla bisa menurunkan ketenangan hanya melalui pesan yang dikirim lewat layar kecil.

Tidak ada yang kebetulan. Dalam setiap detik hidup seorang ibu, Allah Subhanahu Wata'alla selalu mengatur cara agar hatinya tetap terjaga dalam kasih sayang dan ketabahan. Dan pagi ini, Allah Subhanahu Wata'alla memilih cara yang sangat lembut yaitu  sebuah sapaan lewat WhatsApp.

Sambil memikirkan pesan itu, saya kembali teringat bahwa tidak semua kebahagiaan harus datang dalam bentuk besar atau mewah. Ada kebahagiaan yang justru datang dari pintu yang paling sederhana. Dari hal-hal kecil yang sering kali luput dari perhatian kita.

Padahal, sesungguhnya, hal kecil itulah yang menjadi penguat langkah. Anak saya mungkin hanya membutuhkan waktu beberapa detik untuk mengetik pesan itu. Tetapi bagi saya, seorang ibu yang setiap hari berjuang menyeimbangkan tugas rumah, pekerjaan, dan doa untuk anak-anak, pesan itu terasa seperti hadiah istimewa.

Di perjalanan menuju sekolah, hati saya tidak berhenti mengucap syukur. Saya merasa seperti membawa hadiah spiritual yang baru Allah Subhanahu Wata'alla titipkan. Ada rasa bahagia yang tidak bisa dijelaskan. Bahagia yang tidak bergantung pada materi, jabatan, atau pencapaian apa pun.

Bahagia itu datang dari satu kata sederhana yang dikirim melalui gawai… tetapi maknanya mengalir sampai jauh. Saya tahu betul bahwa panggilan itu adalah bentuk cinta. Cinta yang lahir dari anak kepada ibunya adalah salah satu nikmat terbesar yang Allah Subhanahu Wata'alla anugerahkan kepada seorang wanita yang diberi amanah menjadi ibu.

Di dalam hati, saya berdoa pelan:
 “Ya Allah, terima kasih atas cara-Mu yang lembut dalam membahagiakan hamba-Mu. Terima kasih telah menitipkan anak yang hatinya Engkau lembutkan. Jagalah ia dalam setiap langkahnya, jadikan ia anak yang shalih, yang selalu Engkau bimbing. Aamiin.”

Pesan WhatsApp itu mungkin tampak tidak penting bagi orang lain. Tetapi bagi saya, itu bukan sekadar chat. Itu adalah doa. Itu adalah perhatian. Itu adalah bukti bahwa Allah Subhanahu Wata'alla selalu tahu kapan seorang ibu membutuhkan penyemangat.

Saya menyadari sesuatu bahwa anak saya telah mengorbankan waktunya. Ia berhenti sejenak dari aktivitasnya pagi itu hanya untuk mengetik satu kata bagi saya. Itu bentuk cinta yang murni. Bentuk perhatian yang tidak dibuat-buat. Hal kecil seperti inilah yang menjadi alasan mengapa kasih ibu tidak akan pernah bisa dipisahkan dari doa-doa panjang setiap malam.

Jum’at penuh berkah ini, saya belajar bahwa kebahagiaan seorang ibu bisa datang dari mana saja. Termasuk dari getaran kecil WhatsApp yang berbunyi di pagi hari. Saya bersyukur, karena melalui pesan sederhana itu, Allah Subhanahu Wata'alla mengingatkan saya bahwa cinta keluarga adalah karunia yang tidak bisa digantikan oleh apa pun di dunia.

Semoga Jum’at ini menjadi Jum’at berkah, kebahagiaan, sehat dan Jum'at Syukur atas nikmat-Nya. Semoga kebahagiaan sederhana selalu kita syukuri. Semoga sapaan dari anak tercinta selalu menjadi jalan Allah untuk menurunkan rahmat-Nya ke dalam hati kita. Aamiin.
Cepu, 5 Desember 2025 

Niat Baik Hanya Untuk-Nya

Karya : Gutamining Saida 
Embun belum sepenuhnya hilang dari dedaunan, udara masih membawa kesejukan khas pagi Jum’at yang penuh berkah. Di tengah kesibukan bersiap menuju kegiatan rutin, tiba-tiba muncul dorongan halus dalam hati: “Aku ingin berbagi hari ini.” Bukan karena ada agenda tertentu, bukan pula karena ingin dipuji siapa pun. Hanya sebuah getaran kecil yang muncul begitu saja, seolah Allah Subhanahu Wata'alla sedang berbisik lembut lewat hati.

Sejak beberapa waktu terakhir saya memang belajar satu hal  bahwa hidup ini menjadi lebih lapang ketika kita belajar berbagi. Berbagi bukan melulu soal harta. Terkadang tenaga yang kita curahkan untuk membantu orang lain sudah menjadi sedekah. Terkadang senyuman yang membuat hati seseorang tenang juga menjadi sedekah. Bahkan cerita kecil yang mampu menguatkan seseorang di titik terendah hidupnya adalah sedekah juga.

Ketika dorongan untuk berbagi muncul, saya terdiam sejenak. Bukan memikirkan apa yang harus dibagikan, tetapi merenungkan bagaimana Allah Subhanahu Wata'alla selalu memberi ruang yang begitu luas kepada hamba-Nya untuk melakukan kebaikan. Tidak ada batas. Tidak ada syarat. Tidak ada istilah “harus banyak dulu baru dianggap bernilai.” Setiap kebaikan, sekecil apa pun, dihitung oleh-Nya. Bahkan lebih dari itu akan dibalas berkali lipat dengan cara yang tidak disangka-sangka.

Saya teringat banyak hal yang telah terjadi dalam hidup. Ada saat-saat ketika saya merasa apa yang saya lakukan tampak tidak berarti. Ada masa ketika saya melakukan kebaikan kecil untuk memberi waktu, tenaga, atau sekadar mendengarkan seseorang bercerita namun tak seorang pun mengetahuinya. Kadang pernah terlintas perasaan ingin dianggap, ingin dipuji, ingin orang melihat bahwa kita sudah berbuat sesuatu. Tapi semakin lama berjalan, semakin saya menyadari bahwa ketika suatu kebaikan dilakukan dengan harapan kepada manusia, justru di situlah kita akan banyak mengecap rasa kecewa.

Manusia lupa. Manusia berubah. Manusia punya standar penilaian yang sering kali tidak sejalan dengan usaha kita.Tetapi ... Allah  Subhanahu Wata'alla tidak pernah lupa. Satu kebaikan yang kita lakukan dalam diam, satu senyum yang kita berikan tanpa pamrih, satu doa yang kita panjatkan diam-diam untuk orang lain semuanya tersimpan rapi di sisi-Nya. Tidak ada yang sia-sia.

Itu sebabnya saya ingin berbagi kisah ini. Bukan karena ingin dianggap baik oleh siapa pun, tetapi karena semoga ada setitik manfaat untuk mereka yang membaca, setitik motivasi agar tidak lelah berbuat baik, setitik keteguhan agar tetap melangkah meski tak seorang pun melihat.

Perjalanan hidup ini, saya belajar bahwa berbagi tidak hanya menyejukkan hati orang lain, tetapi justru lebih dulu menyembuhkan hati kita sendiri. Ada kesenangan yang sulit dijelaskan ketika melihat orang lain tersenyum karena uluran kecil dari kita. Ada ketenangan yang muncul ketika kita mengikhlaskan sesuatu yang mungkin sebenarnya juga kita butuhkan, tapi kita dahulukan orang lain. Ada rasa lapang yang Allah Subhanahu Wata'alla tanamkan ketika kita tidak mengharapkan apa pun selain ridha-Nya.

Begitu juga ketika berbagi cerita. Kadang, orang lain tak butuh uang atau barang. Mereka hanya butuh mendengar bahwa ada orang lain yang pernah mengalami hal serupa, pernah terjatuh sekuat itu, pernah bingung sedalam itu, atau pernah merasa tidak mampu seperti yang mereka rasakan. Cerita itu bukan sekadar kata-kata. Ia adalah jembatan hati. Ia adalah motivasi yang kadang mampu menghidupkan kembali semangat seseorang yang hampir padam.

Saya ingin, melalui tulisan ini, ada satu saja hati yang kembali kuat. Satu saja jiwa yang kembali bertahan. Satu saja langkah yang kembali tegak karena tahu bahwa kebaikan sekecil apa pun tidak akan pernah hilang. Bahwa Allah Subhanahu Wata'alla selalu melihat. Selalu mendengar. Selalu membalas.

Maka di pagi Jum’at yang penuh berkah ini, saya hanya ingin mengingatkan diri sendiri dan siapa pun yang membaca tulisan ini jangan pernah takut berbuat baik. Jangan kecilkan diri sendiri hanya karena kebaikan kita tampak sederhana. Jangan ragu menyebar manfaat meski tidak ada sorotan. Karena pahala yang besar sering kali bersembunyi di balik amal-amal kecil yang dilakukan dengan tulus.

Jika suatu hari ada godaan untuk berhenti karena merasa tidak dihargai, ingatlah satu hal bahwa, "Kita tidak sedang bekerja untuk manusia. Kita sedang bekerja untuk Allah Subhanahu Wata'alla." Maka biarlah manusia berkata apa pun. Biarlah dunia menganggap itu kecil. Yang penting Allah Subhanahu Wata'alla ridha. Yang penting hati kita tetap lembut. Yang penting niat kita tetap lurus. Setiap niat baik, sekecil apa pun, akan kembali kepada kita meski lewat jalan yang tidak pernah kita bayangkan.

Semoga tulisan sederhana ini menjadi bagian dari Jum’at berbagi hari ini. Semoga Allah Subhanahu Wata'alla menjadikannya amal jariyah yang mengalir tanpa henti.  Semoga kita semua diberi kemampuan untuk terus menjadi insan yang bermanfaat, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. Aamiin. SALAM BERBAGI UNTUK KITA SEMUA. 
Cepu, 5 Desember 2025