Selasa, 23 Desember 2025

Rumah Impian Hamzah

Karya : Gutamining Saida 

Si cowok ganteng bernama Hamzah duduk bersila di lantai ruang tamu. Di hadapannya berserakan stik es krim. Sejak pagi, Hamzah sudah tampak sibuk dengan dunianya sendiri. Tangannya cekatan menyusun satu per satu stik es krim, sementara matanya berbinar penuh imajinasi. Rumah yang ia buat bukan rumah biasa.

Menurut Hamzah, ini adalah rumah impiannya, rumah lantai dua, lengkap dengan pemiliknya.
Sebelum memulai, Hamzah sempat berhenti sejenak. Ia menengadah, lalu mengucapkan basmalah dengan suara lirih. Kebiasaan kecil yang selalu ia lakukan setiap kali hendak memulai sesuatu. Ia pernah diajari bahwa setiap pekerjaan yang diawali dengan menyebut nama Allah akan membawa keberkahan. Meski masih kecil, Hamzah berusaha mengamalkan apa yang ia dengar dari orang-orang dewasa di sekitarnya.

Stik demi stik disusun membentuk rumah. Sesekali Hamzah mengernyitkan dahi ketika satu bagian tidak sesuai dengan bayangannya. Namun ia tidak menyerah. “Pelan-pelan, yang penting sabar,” gumamnya, seolah sedang menasihati diri sendiri. Dalam hatinya, ia teringat bahwa Allah Subhanahu Wata'alla menyukai hamba-Nya yang bersabar dan bersungguh-sungguh dalam berusaha.

Menurut Hamzah, rumah itu harus bertingkat dua. Lantai bawah digunakan untuk berkumpul bersama keluarga, tempat makan, tempat salat berjamaah, dan tempat bercengkerama. Sementara lantai dua adalah tempat istirahat dan ruang khusus untuk berdoa. Ia pernah mendengar bahwa sebaik-baik rumah adalah rumah yang di dalamnya sering disebut nama Allah. Maka dalam imajinasinya, rumah kecil dari stik es krim itu harus menjadi rumah yang penuh doa.

Setelah dinding lantai pertama selesai, Hamzah mulai membuat tangga kecil dari potongan stik yang lebih pendek. Tangga itu menurutnya penting. “Kalau mau naik ke atas, harus lewat tangga, nggak bisa loncat,” katanya polos. Ucapannya sederhana, tetapi sarat makna. Dalam kehidupan pun demikian. Untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi, manusia harus melalui proses, tahap demi tahap, tidak bisa instan.

Hamzah kemudian membuat lantai dua dengan penuh kehati-hatian. Tangannya sedikit gemetar, tetapi ia terus mencoba. Namun setiap kali merasa kesal, ia menarik napas dan kembali mengingat pesan yang sering ia dengar, bahwa Allah Maha Melihat usaha hamba-Nya, sekecil apa pun itu. Maka Hamzah kembali tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.

Rumah itu tidak hanya berdiri kosong. Hamzah merasa perlu melengkapinya dengan pemilik rumah. Ia mengambil potongan kertas kecil dan menggambar sosok manusia sederhana. Menurut Hamzah, pemilik rumah itu adalah keluarga yang rukun, saling menyayangi, dan taat kepada Allah. Ada ayah, ibu, dan anak-anak yang hidup bersama dalam damai. Mereka saling mengingatkan untuk salat, saling berbagi, dan saling mendoakan.

“Kalau rumahnya bagus tapi orangnya nggak baik, rumahnya jadi sedih,” ujar Hamzah dengan nada yakin. Kalimat itu membuat siapa pun yang mendengarnya tersenyum sekaligus merenung. Betapa sering manusia sibuk membangun rumah yang megah, tetapi lupa membangun akhlak penghuninya. Padahal rumah sejati bukan hanya soal bangunan, melainkan suasana iman di dalamnya.

Setelah rumah dua lantai itu berdiri, Hamzah menambahkan atap sederhana. Menurutnya, atap adalah pelindung. Ia pernah mendengar bahwa Allah adalah sebaik-baik Pelindung. Maka atap rumah itu ia anggap sebagai simbol perlindungan Allah atas keluarga yang tinggal di dalamnya. Selama mereka berbuat baik dan mengingat-Nya, Allah akan menaungi mereka dengan rahmat-Nya.

Ketika karya itu hampir selesai, Hamzah memandangnya dengan rasa bangga. Namun ia tidak langsung bersorak. Ia diam sejenak, lalu mengucapkan hamdalah. Ia tahu, apa pun yang berhasil ia lakukan hari itu bukan semata karena kepintarannya, tetapi karena izin Allah. Stik es krim yang sederhana bisa berubah menjadi rumah indah karena Allah memberi akal, kesabaran, dan kesempatan.

Dalam diamnya, Hamzah seolah belajar tentang kehidupan. Bahwa membangun rumah dari stik es krim saja membutuhkan ketelatenan, apalagi membangun kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan membutuhkan niat yang baik, usaha yang sungguh-sungguh, kesabaran saat gagal, dan doa yang tidak pernah putus.

Rumah dua lantai buatan Hamzah mungkin kecil dan rapuh. Namun nilai yang tersimpan di dalamnya sangat besar. Ia mengajarkan bahwa mimpi boleh tinggi, seperti rumah bertingkat dua, tetapi harus dibangun dengan dasar iman. Ia juga mengajarkan bahwa setiap karya, sekecil apa pun, bisa menjadi ladang pahala jika diniatkan karena Allah.

Rumah kecilnya telah selesai. Bukan sekadar mainan, melainkan simbol harapan. Harapan agar kelak ia bisa membangun rumah yang sesungguhnya, rumah yang penuh cinta, penuh doa, dan penuh keberkahan. Rumah yang penghuninya selalu ingat kepada Allah, dalam suka maupun duka. Dan semoga, rumah kecil dari stik es krim itu menjadi saksi bahwa sejak dini, Hamzah telah belajar menautkan karya, mimpi, dan iman dalam satu bangunan yang indah.
Cepu, 23 Desember 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar