Karya: Gutamining Saida
Akhir tahun selalu datang dengan cara yang tenang, namun mengetuk hati paling dalam. Tidak ada suara gaduh, tidak ada perayaan yang benar-benar mampu menandingi suara batin yang tiba-tiba bertanya, “Sudah sejauh mana aku berjalan menuju Allah?” Di antara pergantian angka kalender, ada jeda yang seharusnya kita gunakan untuk merenung, bermuhasabah, dan menata kembali arah hidup. Bukan untuk menyesali masa lalu semata, tetapi untuk memperbaiki langkah agar tahun depan menjadi lebih bermakna di hadapan-Nya.
Beberapa hari menjelang akhir tahun aku memilih berjalan pelan menuju makam. Bukan karena sedang berduka, melainkan karena rindu yang tak pernah benar-benar usai. Makam orang tua dan sanak saudara menjadi tujuan langkah kaki. Tempat ini bukan sekadar hamparan tanah dan batu nisan, tetapi ruang pengingat paling jujur tentang hakikat kehidupan. Di sinilah dunia seakan kehilangan daya tariknya, dan segala yang tampak besar berubah menjadi kecil.
Saat melangkah di antara makam-makam, aku menyadari satu hal yaitu semua yang pernah hidup di dunia ini memiliki cerita. Mereka pernah tertawa, menangis, berharap, kecewa, dan berjuang. Ada yang pernah memiliki harta berlimpah, jabatan tinggi, rumah megah, dan nama yang disegani. Kini, semuanya sama. Tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, antara pejabat dan rakyat biasa. Semua berbaring dalam sunyi, menunggu hari kebangkitan.
Aku duduk bersimpuh, menundukkan kepala, dan melantunkan doa. Bukan hanya untuk mereka yang telah mendahului, tetapi juga untuk diriku sendiri. Di tempat seperti ini, manusia diajak jujur kepada dirinya. Tidak ada topeng, tidak ada pencitraan, dan tidak ada pujian manusia yang bisa diharapkan. Semua amal, baik yang terlihat maupun tersembunyi, akan diperhitungkan di hadapan Allah.
Sering kali dalam hidup, kita terlalu berharap kepada manusia. Kita bekerja keras ingin dipuji, berbuat baik agar dikenang, beribadah supaya dianggap saleh. Padahal, berharap kepada manusia sering berujung kecewa, penyesalan, dan luka hati. Manusia memiliki keterbatasan. Pujian bisa berubah menjadi celaan, penghargaan bisa berganti dengan pengabaian. Hanya Allah yang Maha Setia menerima amal hamba-Nya, sekecil apa pun, selama dilakukan dengan ikhlas.
Di depan makam orang tua, ingatan masa kecil kembali hadir. Nasihat sederhana mereka dahulu kini terasa sangat dalam maknanya. Tentang hidup yang tidak boleh sombong, tentang rezeki yang harus disyukuri, dan tentang ibadah yang harus dijaga. Orang tua telah pergi, anak-anak pun suatu hari akan memiliki jalan hidupnya sendiri. Mereka tidak akan membersamai kita di alam kubur. Tidak ada yang bisa menggantikan amal saleh yang kita kumpulkan selama hidup di dunia.
Harta yang selama ini kita kejar dengan penuh ambisi tidak akan ikut terbawa. Jabatan yang dibanggakan akan kita tinggalkan. Rumah megah yang menjadi simbol keberhasilan duniawi akan diganti dengan rumah yang sangat sederhana, bahkan mungkin hanya berukuran dua kali satu. Di sanalah kita tinggal sendiri, tanpa gelar, tanpa jabatan, tanpa sorotan manusia. Yang menemani hanyalah amal baik atau sebaliknya, penyesalan yang tiada guna.
Ziarah kubur mengajarkan bahwa dunia ini hanyalah persinggahan sementara. Kita datang tanpa membawa apa-apa dan akan kembali tanpa membawa apa pun. Yang membedakan hanyalah bekal amal. Salat yang khusyuk, sedekah yang ikhlas, doa yang tulus, sabar dalam ujian, serta kebaikan yang dilakukan tanpa berharap balasan manusia. Semua itulah yang kelak menjadi cahaya di alam kubur.
Akhir tahun bukan tentang pesta atau perayaan berlebihan. Merupakan undangan dari Allah agar kita berhenti sejenak, menoleh ke belakang, dan melihat ke depan dengan lebih jernih. Sudahkah ibadah kita meningkat? Sudahkah amal kita lebih banyak daripada kelalaian? Sudahkah niat kita lurus hanya untuk Allah semata?
Dalam doa yang lirih, terucap harapan sederhana namun sangat besar maknanya. Semoga Allah memberi kesempatan untuk memperbaiki diri di tahun mendatang. Semoga setiap langkah hidup diarahkan untuk mencari ridho-Nya, bukan sekadar pujian manusia. Semoga ketika waktu kembali itu tiba, kita dipanggil dalam keadaan husnul khotimah, dengan hati yang tenang dan wajah yang berseri.
Makam menjadi saksi bahwa kehidupan dunia akan berakhir. Di sanalah pula tumbuh harapan. Harapan agar kita menjadi hamba yang lebih sadar, lebih rendah hati, dan lebih dekat kepada Allah. Karena pada akhirnya, tujuan hidup bukanlah seberapa lama kita tinggal di dunia, melainkan bagaimana kita pulang kepada Sang Pencipta dengan membawa amal terbaik dan ridho-Nya.
Cepu, 29 Desember 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar