Karya : Gutamining Saida
Liburan hari pertama semaster gasal telah tiba. Cucu-cucu saya selalu berlibur di Cepu. Tidak ada jam dinding yang dikejar-kejar. Pagi ini rumah terasa lebih ramai, bertambah empat pendatang baru justru di situlah kesempatan belajar akan hadir dengan cara yang sederhana dan penuh makna.
Saya berdiri sambil membawa sebuah pepaya matang berwarna jingga kekuningan. Saya sedang menyiapkan tugas kecil untuk Zaskia. Zaskia cucu pertama saya, sekarang sudah kelas dua sekolah dasar.
“Kak Zaskia, hari ini tugasmu mengupas pepaya ya,” ujar saya pelan namun tegas, seolah saya bertugas seorang guru yang sedang memberi arahan.
Zaskia menoleh, sedikit terkejut. Biasanya tugas dapur adalah hal yang dilakukan orang dewasa. Namun kali ini berbeda. Zaskia tidak menolak. Dengan senyum tipis, ia mengangguk dan menerima pepaya itu. Di tangannya, pepaya tampak besar dan licin. Zaskia sempat ragu, takut salah, takut pepaya itu jatuh atau terkelupas tidak rapi.
Saya lalu memberi petunjuk. “Pelan-pelan ya kak Zaskia. Kupas dari atas, jangan sampai dagingnya ikut terbuang banyak.” Zaskia mendengarkan dengan saksama. Pisau kecil dipegang dengan hati-hati. Kulit pepaya mulai terkelupas, sedikit demi sedikit. Namun karena belum terbiasa, ada satu bagian yang terlewati. Kulit itu masih menempel, membuat pepaya terlihat tidak sempurna.
Zaskia berhenti sejenak. Dia menatap pepaya itu dengan wajah sedikit kecewa. Dalam hatinya muncul rasa bersalah. Dia merasa tugasnya belum diselesaikan dengan baik, belum sesuai harapan.
“Ada yang terlewat,” gumam Zaskia lirih.
Saya mendekat, memperhatikan hasil kupasan Zaskia.
“Kalau belum rapi, boleh diulang. Belajar itu memang begitu.”
Kalimat sederhana itu seperti menyejukkan hati Zaskia. Ada rasa lega yang tiba-tiba hadir. Dia tersenyum kecil, lalu berkata dengan penuh kesadaran,
“Boleh minta pepaya lagi? Kakak ingin mencoba lagi.”
Permintaan itu bukan karena disuruh, melainkan lahir dari keinginan untuk belajar. Zaskia ingin memperbaiki, bukan menyerah. Pepaya kedua pun diambil. Kali ini Zaskia lebih berhati-hati. Setiap gerakan terasa lebih terkontrol. Dia mengingat petunjuk saya mengingat kesalahan sebelumnya, dan berusaha tidak mengulanginya.
Pepaya kedua selesai dikupas. Hasilnya lebih baik, meski masih belum sempurna. Ada bagian yang terlalu tipis, ada pula yang terlalu tebal. Namun ada satu hal yang berubah yaitu Zaskia tidak lagi merasa kecewa. Dia justru merasa senang karena sudah berani mencoba dan menyelesaikan tugasnya.
“Kakak masih ingin belajar,” ucap Zaskia dengan mata berbinar.
Maka pepaya ketiga pun menyusul. Tiga pepaya, tiga kesempatan belajar. Pada pepaya ketiga, tangan Zaskia semakin mantap. Kupasannya lebih rapi, gerakannya lebih tenang, dan wajahnya terlihat cerah. Ada rasa bangga yang tumbuh perlahan, bukan karena dipuji, melainkan karena berhasil mengalahkan rasa ragu dan malas. Setelah selesai, Zaskia tersenyum lebar. Senyum yang tulus. Senyum seorang anak yang baru saja menemukan makna belajar dari pengalaman nyata.
Dalam keheningan dapur itu, hati terasa tergetar. Betapa Allah menghadirkan pelajaran besar melalui hal yang sangat sederhana. Mengupas pepaya bukan sekadar aktivitas fisik, melainkan proses menumbuhkan karakter yaitu kesabaran, tanggung jawab, ketekunan, dan keberanian mencoba.
Islam mengajarkan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Orang tualah, lingkunganlah, yang membentuknya. Maka melibatkan anak dalam aktivitas sehari-hari adalah salah satu cara menanamkan nilai kehidupan. Bukan dengan ceramah panjang, bukan dengan paksaan, melainkan dengan kepercayaan dan pendampingan.
Rasulullah mencontohkan pendidikan dengan keteladanan dan kelembutan. Belajar tidak harus selalu duduk di kelas. Belajar bisa hadir di dapur, di halaman rumah, di ruang keluarga, bahkan saat mengupas pepaya. Selama ada niat baik dan kasih sayang, setiap aktivitas bisa menjadi ladang pahala. Anak perlu dilibatkan agar dia mencoba. Mencoba agar dia berani. Berani agar dia belajar. Belajar agar dia tumbuh menjadi pribadi yang kuat.
Kesalahan bukan untuk dimarahi, melainkan untuk dipahami. Kekurangan bukan untuk ditertawakan, melainkan untuk diperbaiki bersama. Hari ini, liburan tidak diisi dengan gawai atau televisi. Liburan diisi dengan pengalaman. Pengalaman kecil yang kelak akan menjadi kenangan besar. Zaskia belajar bahwa kegagalan bukan akhir, melainkan pintu menuju keberhasilan berikutnya. Di sudut dapur, tiga pepaya tersaji rapi. Namun yang lebih berharga bukanlah pepayanya, melainkan proses di baliknya.
Proses belajar yang ditumbuhkan sejak usia dini, dengan cinta, kesabaran, dan keikhlasan. Alhamdulillah, betapa Allah Maha Baik. Dia mengajarkan bahwa pendidikan terbaik sering kali hadir dalam bentuk yang paling sederhana. Semoga dari tugas kecil ini tumbuh jiwa yang besar, hati yang kuat, dan akhlak yang mulia pada diri Zaskia. Aamiin.
Cepu, 21 Desember 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar