Karya: Gutamining Saida
Sore itu cuaca tampak redup. Langit menggantungkan awan kelabu seolah sedang menyiapkan sesuatu yang istimewa. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah yang mulai basah. Tak lama kemudian terdengar suara tetesan air, mula-mula pelan, nyaris tak terdengar, lalu semakin jelas dan teratur. Gerimis pun turun, perlahan namun pasti, hingga akhirnya berubah menjadi hujan yang lebih deras. Butiran air jatuh dari langit tanpa suara keluhan, justru membawa ketenangan bagi siapa pun yang mau berhenti sejenak dan merenung.
Hujan adalah salah satu nikmat Allah yang sering kali datang tanpa diminta, tetapi kerap pula kita terima tanpa disadari. Padahal di setiap tetesnya tersimpan rahmat, rezeki, dan pengingat bahwa kehidupan ini sepenuhnya berada dalam kuasa-Nya. Allah Subhanahu Wata'alla menurunkan hujan bukan hanya untuk membasahi bumi, tetapi juga untuk menyuburkan tanah, menumbuhkan tanaman, menghidupkan makhluk, dan mengetuk hati manusia agar kembali bersyukur.
Dalam hati saya berucap Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Sebab langkah awal mensyukuri nikmat adalah dengan mengakui bahwa semua berasal dari Allah Subhanahu Wata'alla. Lalu saya melafalkan doa turun hujan, doa sederhana yang diajarkan Rasulullah, sebagai bentuk kepasrahan dan harapan agar hujan yang turun menjadi hujan yang membawa manfaat, bukan bencana. Di momen seperti ini, iman terasa begitu dekat. Tidak perlu ceramah panjang, cukup dengan kesadaran bahwa hujan adalah tanda kasih sayang Allah Subhanahu Wata'alla yang tak pernah terputus.
Di rumah Cepu, sore itu terasa lebih hidup karena kehadiran cucu-cucu saya dari Tegal. Mereka bertiga berada di rumah yaitu Zaskia, Hamzah dan Elmira menikmati suasana yang jarang mereka rasakan. Begitu melihat hujan mulai turun dengan deras, mata mereka berbinar. Ada kebahagiaan polos yang sulit disembunyikan. Mereka saling menatap, lalu berlari kecil menghampiri saya.
“Timmi, kita boleh hujan-hujanan di depan rumah?” tanya mereka hampir bersamaan, dengan wajah penuh harap.
Saya tersenyum. Dalam benak saya terlintas banyak hal. Tentang masa kecil, tentang kebebasan sederhana, dan tentang bagaimana anak-anak seharusnya dikenalkan pada alam sebagai bagian dari ciptaan Allah Subhanahu Wata'alla. Setelah memastikan hujan tidak disertai petir dan kondisi aman, saya mengangguk dan mengizinkan mereka. Bukan semata memberi kebebasan, tetapi juga sebagai bentuk pembelajaran bahwa menikmati nikmat Allah Subhanahu Wata'alla boleh dilakukan dengan tetap menjaga keselamatan dan adab.
Mereka pun berlari ke depan rumah. Tanpa alas kaki, tanpa rasa takut. Air hujan menyapa tubuh kecil mereka, membasahi rambut, wajah, dan pakaian. Tawa mereka pecah, riang dan jujur, seolah dunia hanya berisi kegembiraan. Mereka menengadahkan wajah ke langit, membiarkan tetesan hujan menyentuh pipi, seakan sedang bercengkerama langsung dengan rahmat yang Allah turunkan.
Saya berdiri tak jauh dari mereka, mengawasi dari dekat. Hati saya hangat melihat pemandangan itu. Tiga anak kecil yang sedang belajar mencintai nikmat Tuhannya tanpa mereka sadari. Dalam tawa mereka ada kebebasan, dalam kegembiraan mereka ada keikhlasan. Tidak ada keluhan tentang basah, tidak ada rasa keberatan. Yang ada hanyalah rasa senang menerima apa yang datang dari langit.
Di situlah saya belajar kembali. Bahwa sering kali orang dewasa terlalu sibuk menghitung kekurangan, sementara anak-anak justru menikmati apa yang ada. Kita sering mengeluh tentang hujan karena dianggap mengganggu aktivitas, padahal hujan adalah anugerah. Anak-anak mengajarkan bahwa syukur tidak selalu diucapkan dengan kata-kata panjang, tetapi bisa hadir dalam senyum, tawa, dan penerimaan yang tulus.
Saya membiarkan mereka bermain beberapa saat. Sesekali saya mengingatkan agar tidak terlalu jauh dan tetap berhati-hati. Mereka mengangguk, lalu kembali tertawa. Air hujan mengalir di halaman rumah, membawa debu dan kotoran, seolah membersihkan bukan hanya tanah, tetapi juga suasana hati. Dalam momen itu, saya merasa Allah Subhanahu Wata'alla sedang mengajarkan tentang kesederhanaan iman yaitu menerima, menikmati, dan bersyukur.
Hujan sore itu menjadi pengingat bahwa hidup ini pun seperti hujan. Datang sesuai kehendak Allah, dengan kadar dan waktu yang sudah ditentukan. Ada hujan yang pelan, ada yang deras. Ada yang membawa kesejukan, ada pula yang menguji kesabaran. Semuanya pasti mengandung hikmah bagi hamba yang mau berpikir dan bersyukur.
Ketika hujan mulai mereda, saya memanggil cucu-cucu untuk masuk. Tubuh mereka basah, rambut menempel di dahi, tetapi wajah mereka berseri. Saya menyuruh mandi dan keramas satu per satu, sambil mengucap syukur dalam hati. Sore itu bukan hanya tentang hujan, tetapi tentang pelajaran iman yang sederhana namun dalam. Semoga hati ini selalu seperti anak-anak mudah gembira atas nikmat kecil, lapang menerima ketentuan Allah, dan ringan mengucap Alhamdulillah dalam setiap keadaan.
Cepu, 22 Desember 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar