Jumat, 26 Desember 2025

Wisata Naik Dokar

Karya : Gutamining Saida 

Liburan akhir tahun kali ini saya lalui dengan cara yang sederhana. Saya memilih menemani cucu-cucu  menikmati waktu libur tanpa harus pergi jauh. Bagi saya, kebahagiaan tidak selalu terletak pada tempat wisata megah atau perjalanan ke luar kota. Kebahagiaan sering kali hadir justru dari hal-hal sederhana yang menghidupkan kenangan, menumbuhkan rasa syukur, dan mempererat ikatan keluarga.

Di Cepu, kota kecil yang sarat kenangan masa kecil saya, masih ada satu moda transportasi tradisional yang sesekali muncul menghiasi sore hari, yaitu kereta kuda atau yang oleh orang Jawa disebut dokar. Dulu, ketika saya masih kecil, dokar adalah transportasi andalan. Jika pergi ke kota Cepu bersama orang tua dari Padangan (Jatim), naik dokar sudah menjadi kebahagiaan tersendiri. Bunyi tapak kaki kuda di jalan, derit roda kayu, serta hembusan angin yang menerpa wajah adalah pengalaman yang begitu membekas dalam ingatan.

Kini, zaman telah berubah. Dokar tidak lagi menjadi pilihan utama. Transportasi modern mengambil alih, dan dokar perlahan tersisih. Ia hanya muncul di waktu-waktu tertentu, biasanya sore hari, sekadar berkeliling kota dengan hiasan lampu warna-warni yang menarik perhatian. Meski peminatnya tidak sebanyak dulu, dokar tetap bertahan, seolah menjadi saksi bisu perjalanan zaman dan perubahan peradaban.

Setiap kali cucu-cucu saya berlibur ke Cepu, mereka selalu meminta satu hal yang Sama yaitu naik dokar. Permintaan sederhana itu selalu saya sambut dengan senyum dan rasa syukur. Saya merasa Allah Subhanahu Wata'alla masih memberi kesempatan kepada saya untuk membersamai mereka, mengenalkan pengalaman masa lalu yang mungkin tidak mereka jumpai di tempat mereka tinggal yaitu Tegal. 

Pagi menjelang siang, kami pun naik dokar. Saya sengaja memilih jurusan ke arah Jawa Timur agar perjalanan terasa lebih panjang. Saya ingin cucu-cucu saya benar-benar menikmati suasana, melihat jalanan, pepohonan, rumah-rumah warga, dan merasakan pelan-pelan laju kehidupan yang tidak tergesa-gesa. Dokar berjalan dengan ritme tenang, seolah mengajak kami untuk ikut memperlambat langkah, menenangkan hati, dan menikmati detik demi detik yang Allah Subhanahu Wata'alla anugerahkan.

Beberapa menit perjalanan, cucu ketiga Elmira nama panggilannya mulai mengantuk. Kepalanya bersandar, matanya terpejam, tertidur pulas di tengah goyangan dokar yang lembut. Saya memandangnya dengan penuh kasih. Semoga tidurnya menjadi ibadah, serta Allah menjaga setiap helaan napasnya, dan kelak ia tumbuh menjadi anak yang salehah, sehat, dan berakhlak baik.

Sementara itu, cucu pertama dan kedua justru terlihat sangat menikmati perjalanan. Mereka sibuk berkomentar ke sana kemari. Ada yang menunjuk lampu-lampu, ada yang bertanya tentang kuda, tentang suara lonceng kecil, tentang jalan yang kami lewati. Tawa mereka mengalir begitu saja, tanpa beban. Saya pun ikut bercerita, mengenang masa kecil saya, bagaimana dulu dokar menjadi alat transportasi utama, bagaimana orang-orang bertegur sapa di jalan, dan bagaimana kesederhanaan terasa begitu cukup.

Di sela-sela cerita, saya mengingatkan mereka untuk bersyukur. Saya berkata bahwa tidak semua anak bisa merasakan naik dokar, tidak semua orang diberi kesempatan liburan bersama keluarga, dan tidak semua nenek atau kakek masih diberi kesehatan untuk menemani cucu-cucunya. Semua ini adalah nikmat Allah Subhanahu Wata'alla yang patut disyukuri dengan ucapan hamdalah dan perilaku yang baik.

Hati saya terasa hangat. Duduk di atas dokar, dikelilingi cucu-cucu, saya merasakan betapa besar kasih sayang Allah. Di usia yang tidak lagi muda, saya masih diberi waktu, tenaga, dan kebahagiaan untuk membersamai generasi penerus keluarga kami. Saya sadar, kebahagiaan ini tidak datang begitu saja. Ia adalah buah dari kesabaran, doa, dan izin Allah semata.

Perjalanan itu mungkin terlihat biasa bagi orang lain. Hanya naik dokar, berkeliling kota, tanpa tujuan wisata yang mewah. Bagi saya, perjalanan itu adalah pelajaran iman. Bahwa hidup tidak harus selalu cepat. Kebahagiaan sejati sering kali hadir saat kita mau berhenti sejenak, menoleh ke sekitar, dan mensyukuri apa yang ada.

Ketika dokar akhirnya berhenti dan perjalanan usai, cucu-cucu turun dengan wajah ceria. Yang terkecil tertidur bangun dengan mata masih setengah mengantuk. Saya tersenyum, lalu mengucap hamdalah dalam hati. Alhamdulillah, Allah Subhanahu Wata'alla telah memberi saya kesempatan untuk membersamai cucu-cucu dengan bahagia, mengenalkan nilai kesederhanaan, dan menanamkan rasa syukur sejak dini.

Harapannya kenangan naik dokar ini kelak tersimpan di hati mereka. Bukan sekadar ingatan tentang kereta kuda, tetapi tentang kebersamaan, kasih sayang keluarga, dan pelajaran bahwa setiap nikmat, sekecil apa pun, adalah tanda cinta Allah Subhanahu Wata'alla kepada hamba-Nya.
Cepu, 26 Desember 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar