Rabu, 31 Desember 2025

Sepincuk Nasi Pecel

Karya : Gutamining Saida 
Nasi pecel merupakan menu favorit saya. Makanan sederhana, merakyat, dan enak di lidah. Bisa dinikmati kapan saja yaitu pagi terasa cocok, siang tetap enak, sore mantap, dan malam pun masih nikmat. Dalam kesederhanaan sepincuk  nasi pecel, saya sering menemukan rasa syukur yang dalam. Ia bukan sekadar makanan, melainkan pengingat bahwa nikmat Allah Subhanahu Wata'alla tidak selalu hadir dalam kemewahan, tetapi justru dalam hal-hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Suatu hari, saya mendengar informasi tentang nasi pecel yang sedang viral. Tempatnya tidak jauh dari rumah. Banyak yang membagikan pengalaman mereka di media sosial, lengkap dengan promosi menarik yang membuat siapa saja tergoda. Dalam hati saya berkata, “Kalau memang dekat dan ramai, tentu ada sesuatu yang istimewa.” Maka saya berusaha menyempatkan waktu untuk mencoba, bukan sendiri, melainkan bersama anak dan cucu. Bagi saya, menikmati makanan bersama keluarga adalah salah satu bentuk syukur yang nyata.

Pagi itu, kami berangkat sejak pukul 06.30 WIB. Udara masih segar, matahari belum terlalu tinggi. Sesampainya di lokasi, ternyata pembeli sudah mulai berdatangan. Antrian tampak tertib, masing-masing menunggu giliran sesuai urutan. Saya memperhatikan wajah-wajah di sekitar ada yang datang berdua, berkelompok, bahkan membawa keluarga besar. Tidak sedikit yang datang dengan wajah cerah, seolah sarapan ini bukan hanya tentang mengisi perut, tetapi juga mengisi hati.

Nasi dan minuman disiapkan penjual. Pembeli memilih tempat duduk sendiri. Ada yang duduk di kursi, ada pula yang menggelar tikar kecil atau tikar besar, menyesuaikan jumlah anggota keluarga yang dibawa. Suasana terasa akrab meski banyak yang tidak saling mengenal. Inilah keindahan kebersamaan dalam hal sederhana. Saya teringat firman Allah Subhanahu Wata'alla bahwa manusia diciptakan bersuku-suku agar saling mengenal. Di tempat itu, perbedaan usia, latar belakang, dan kebiasaan seakan menyatu oleh satu hal: sepiring nasi pecel. 

Semakin siang, suasana semakin ramai. Antrian kian panjang, suara obrolan semakin terdengar, dan aroma sambal pecel yang khas terus menguar. Saya duduk bersama anak dan cucu, memperhatikan mereka menikmati makanan dengan lahap. Melihat cucu makan dengan gembira membuat hati saya hangat. Dalam hati saya berdoa, “Ya Allah, jadikanlah kebersamaan sederhana ini sebagai kenangan baik bagi mereka. Jadikan rezeki yang kami makan hari ini membawa keberkahan.”

Bagi saya, nasi pecel ini terasa sangat istimewa. Perpaduan nasi hangat, sayuran rebus, sambal kacang yang pas, dan pelengkap sederhana seperti tempe goreng menghadirkan rasa yang lengkap. Namun, menariknya, suami saya tidak terlalu menyukai nasi pecel. Dahulu, mungkin perbedaan selera ini terasa sepele, bahkan kadang memunculkan keinginan agar semua sama. Seiring bertambahnya usia dan pengalaman, saya belajar bahwa perbedaan adalah bagian dari warna-warni kehidupan.Dalam keluarga, tidak semua harus sama. Selera makan saja bisa berbeda, apalagi cara berpikir, kebiasaan, dan pilihan hidup. 

Islam mengajarkan kita untuk saling menghargai, saling memahami, dan tidak memaksakan kehendak. Selama tidak melanggar nilai kebaikan, perbedaan justru menjadi ladang pahala jika disikapi dengan lapang dada. Saya bersyukur, “Ya Allah, terima kasih atas pasangan hidup yang Engkau berikan. Meski tidak selalu sejalan dalam hal kecil, kami masih bisa duduk bersama dalam satu tempat, satu waktu, satu tujuan yaitu menikmati nikmat-Mu.” Bukankah itu yang terpenting?

Di tengah keramaian, saya merenung. Betapa Allah Maha Adil dalam membagi rezeki. Ada yang mampu makan di tempat sederhana ini dengan penuh kegembiraan, ada pula yang mungkin hari itu hanya bisa berharap. Makan sepincuk  nasi pecel yang saya nikmati bukan hanya soal rasa, tetapi juga amanah untuk bersyukur dan tidak berlebihan. 

Saya teringat pesan bahwa setiap suapan akan dimintai pertanggungjawaban dari mana ia diperoleh dan untuk apa tenaga yang dihasilkan darinya digunakan. Pagi itu mengajarkan saya banyak hal. Tentang kesabaran dalam antri, tentang kebersamaan tanpa sekat, tentang perbedaan selera dalam satu keluarga, dan tentang syukur atas rezeki yang sering kita anggap biasa. 

Nasi pecel yang viral itu mungkin akan berlalu dari perbincangan, tetapi makna yang saya petik darinya semoga menetap dalam hati. Kami pun pulang dengan perasaan kenyang, bukan hanya di perut, tetapi juga di jiwa. Semoga setiap kebersamaan sederhana seperti ini menjadi amal kebaikan, menjadi penguat ikatan keluarga, dan menjadi pengingat bahwa nikmat Allah Subhanahu Wata'alla hadir di mana saja bahkan di sepincuk nasi pecel yang disantap bersama orang-orang tercinta.
Cepu, 31 Desember 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar