Karya : Gutamining Saida
Setelah pulang dari jama’ah subuh, kebiasaan yang sering saya lakukan, saya mengaktifkan handphone. Waktu subuh selalu terasa istimewa yaitu udara masih sejuk, hati relatif lebih tenang, dan pikiran belum terlalu dipenuhi hiruk-pikuk urusan dunia. Biasanya saya hanya sekadar mengecek pesan, barangkali ada kabar penting dari keluarga atau kerabat dekat.
Tidak saya sangka, pagi itu justru datang sebuah kabar yang begitu mengejutkan dan mengaduk perasaan.
Sebuah pesan masuk dari Pak Mansur. Singkat, padat, serta sarat makna duka. “Assalamualaikum. Lek Ning lahiran dan bayinya meninggal.” Membaca pesan itu, saya terdiam cukup lama. Mata saya kembali membaca kalimat yang sama, seolah berharap ada kesalahan penulisan atau salah kirim pesan. Hati saya diliputi kebingungan. Selama ini saya tidak pernah mendengar kabar bahwa Lek Ning sedang hamil. Sekitar sebulan lalu kami sempat bertemu, berbincang seperti biasa, tanpa ada tanda-tanda hamil atau cerita tentang kehamilan.
Dalam kondisi masih terbengong-bengong, saya menekan tombol panggilan. Saya ingin mendengar langsung penjelasan dari Pak Mansur, agar tidak salah paham. Alhamdulillah, panggilan saya langsung diterima. Suaranya terdengar jelas meski berada di seberang jauh.
“Lek Ning siapa, Pak?” tanya saya singkat, karena benar-benar belum mengaitkan kabar itu dengan siapa pun dalam ingatan saya.
“Lek Ning saudara sendiri, Bu,” jawab beliau dengan nada yakin.
Saya masih belum sepenuhnya mengerti. “Lho, memang hamil?” tanya saya lagi, spontan dan jujur.
Pak Mansur menjawab ringan namun tegas, “Ya iyalah, melahirkan ya hamil.”
Jawaban itu justru membuat saya semakin terdiam. Ada rasa kaget, sedih. Kehidupan memang sering kali menyimpan kejutan yang tak pernah kita duga. Saya hanya mampu mengucap, “Oh ya, terima kasih infonya, Pak.” Setelah itu pembicaraan kami akhiri dengan salam.
Handphone saya letakkan kembali. Saya duduk memandangi pagi yang mulai terang. Pikiran saya melayang pada peristiwa yang baru saja saya dengar. Seorang bayi yang baru saja hadir ke dunia, namun tak sempat merasakan hangatnya pelukan ibu, tak sempat melihat wajah ayahnya, bahkan tak sempat menangis lama di dunia. Ia datang hanya sebentar, lalu kembali kepada Sang Pemilik Kehidupan.
Di situlah hati saya mulai belajar satu hal penting bahwa usia manusia adalah rahasia Allah Subhanahu Wata'alla.
Tidak ada satu pun makhluk yang mengetahui kapan hidupnya dimulai dan kapan hidupnya diakhiri. Ada yang meninggal di dalam kandungan, tanpa sempat melihat dunia. Ada yang baru lahir, hanya sebentar menghirup udara dunia, lalu kembali ke hadirat-Nya. Ada pula yang hidup panjang umur, melewati berbagai fase kehidupan, sehat, sakit, susah, senang, silih berganti.
Ada orang yang terlihat sehat, bugar, tidak pernah mengeluh sakit, namun Allah Subhanahu Wata'alla memanggilnya lebih dahulu. Sebaliknya, ada yang bertahun-tahun terbaring sakit, keluar masuk rumah sakit, namun Allah Subhanahu Wata'alla masih memberinya kesempatan hidup lebih lama.
Semua itu bukan kebetulan, bukan pula semata-mata karena ikhtiar manusia, melainkan karena kehendak dan ketetapan Allah Subhanahu Wata'alla semata.
Peristiwa ini menjadi pengingat yang sangat kuat bagi saya. Betapa sering kita merasa hidup masih panjang, merasa aman dengan rencana-rencana dunia, menunda amal, menunda kebaikan, bahkan menunda taubat. Padahal, tidak ada satu pun jaminan bahwa esok hari kita masih diberi kesempatan bernafas. Bahkan bayi yang belum berdosa pun bisa dipanggil kapan saja, apalagi manusia dewasa yang penuh dengan khilaf dan kesalahan.
Saya teringat sebuah hadits bahwa dunia ini hanyalah tempat singgah, sementara akhirat adalah tempat tinggal yang sesungguhnya. Kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan pintu menuju kehidupan yang kekal. Bagi seorang bayi yang meninggal, ia adalah titipan Allah Subhanahu Wata'alla yang suci. Ia tidak membawa dosa, bahkan kelak bisa menjadi penolong bagi orang tuanya di akhirat, dengan izin Allah Subhanahu Wata'alla.
Saya pun mendoakan Lek Ning dan keluarganya. Semoga diberi kesabaran, keikhlasan, dan kekuatan iman. Tidak mudah menerima kenyataan kehilangan, apalagi kehilangan seorang bayi yang mungkin telah lama dinanti. Dalam Islam, setiap musibah selalu mengandung hikmah, meski sering kali hikmah itu baru terasa setelah waktu berlalu.
Setelah cukup lama, saya mengangkat tangan dan berdoa. Saya bersyukur masih diberi kesempatan hidup, diberi kesehatan, dan diberi waktu untuk memperbaiki diri. Saya memohon agar Allah Subhanahu Wata'alla tidak mencabut nyawa saya kecuali dalam keadaan husnul khatimah. Peristiwa ini mengajarkan saya untuk tidak sombong dengan umur, tidak lalai dengan waktu, dan senantiasa mengingat bahwa hidup dan mati sepenuhnya berada dalam genggaman Allah Subhanahu Wata'alla.
Begitulah rahasia dan kehendak Allah. Tidak ada satu pun manusia yang mampu menebaknya. Tugas kita hanyalah menjalani hidup dengan penuh iman, sabar, dan syukur, serta mempersiapkan bekal terbaik untuk perjalanan pulang menuju-Nya.
Cepu, 29 Desember 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar