Senin, 30 Desember 2024

Dua Kota

Karya : Gutamining Saida

Sebelum matahari benar-benar bangkit dari ufuk timur, aku sudah bersiap-siap meninggalkan kota Cepu.  Cepu kota yang selalu menawarkan kehangatan keluarga. Roda motor melaju dengan semangat. Aku menembus jalan-jalan menuju Kedungtuban. Sebuah kota kecil yang menjadi saksi perjalananku sebagai seorang guru. Kedua kota ini begitu berbeda dalam karakternya, namun keduanya sama-sama memberi warna dalam hidupku.

Kedungtuban adalah kota di mana aku bekerja sebagai guru SMP. Sebagai seorang pendidik, aku tidak hanya berinteraksi dengan siswa. Aku juga dihadapkan berbagai perasaan dan kenangan. Kisah bersama mereka tak tertinggalkan. Di kota kecil ini, aku menemukan dunia yang penuh cerita. Dari tawa ceria siswa di pagi hari, diskusi seru tentang pelajaran IPS, hingga momen-momen lucu yang tidak pernah gagal membuatku tersenyum.

Salah satu kisah yang selalu aku ingat adalah saat mengajar kelas 9A, kelasku sebagai wali kelas. Suatu ketika, aku mencoba metode belajar dengan game tebak-tebakan soal IPS. Di kelas 9D di antara semua siswa, ada Yudi, seorang siswa yang terkenal tidak begitu memperhatikan pelajaranku. Namun, saat permainan dimulai, dia mengejutkan semua orang dengan menjawab pertanyaan sulit tentang nama kepala sekolah dengan benar. Gelak tawa dan sorakan memenuhi kelas, membuat suasana belajar menjadi begitu hidup. Momen ini tidak hanya membuat kepala sekolah tersenyum, tetapi juga memberiku kebanggaan sebagai seorang guru.

Tidak semua hari di Kedungtuban dipenuhi tawa. Ada kalanya kesedihan hadir, seperti ketika aku harus menghadapi kenyataan bahwa beberapa siswa menghadapi masalah pribadi yang sulit. Ada Melani, seorang siswa yang pernah memintaku mendoakannya sebelum lomba. Ketika dia akhirnya menang dan memberikan dua beng-beng sebagai tanda terima kasih, aku merasakan haru yang mendalam. Hadiah sederhana itu bukan hanya simbol rasa syukur, tetapi juga pengingat bahwa peran seorang guru tidak pernah sekadar mengajarkan ilmu.

Selain kisah bersama siswa, rekan kerja di SMPN 1 Kedungtuban juga menjadi bagian penting dalam kehidupanku di sana. Bersama mereka, aku belajar arti kerja sama dan persahabatan. Setiap Jumat pagi, kami mengadakan senam bersama di lapangan besar sekolah. Setelah itu, kami sarapan bersama dengan bekal yang dibawa dari rumah. Ada yang membawa nasi goreng, mie goreng, atau telur yang dibungkus dengan daun. Suasana ini menciptakan kebersamaan yang tidak mudah dilupakan. Bahkan saat ada yang lupa membawa bekal, kantin sekolah selalu menjadi penyelamat.

Kedungtuban juga menjadi tempat di mana ide-ide menulisku sering muncul. Entah itu saat berbicara dengan siswa, berbagi cerita dengan teman sejawat, atau bahkan saat menikmati keheningan di sela-sela jam mengajar. Aku selalu mencatat momen-momen itu, menuliskannya dalam bentuk puisi atau cerita, agar tidak hilang begitu saja.

Ketika sore tiba, waktunya bagiku untuk kembali ke Cepu. Perjalanan pulang selalu menjadi momen refleksi, memikirkan hal-hal yang telah terjadi sepanjang hari. Sesampainya di Cepu, rasa lelah seolah sirna ketika aku disambut oleh keluargaku. Kebersamaan dengan mereka adalah hadiah yang selalu kutunggu-tunggu.

Cepu adalah kota yang penuh kehangatan. Di sinilah aku menikmati waktu bersama anak, suami, dan ibuku. Makan malam bersama, berbagi cerita, atau sekadar menonton televisi bersama adalah momen-momen sederhana yang selalu membuatku bersyukur. Salah satu kenangan yang paling menyenangkan adalah ketika kami menikmati nasi sambal tahu bersama. Hidangan sederhana ini tidak hanya lezat, tetapi juga membawa rasa nyaman yang hanya bisa ditemukan di rumah.

Kehidupan di Cepu mengajarkanku arti penting dari keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga. Sebagai seorang guru, tanggung jawabku di Kedungtuban tidak pernah ringan. Namun, kebersamaan dengan keluarga di Cepu selalu mengingatkanku bahwa setiap usaha yang kulakukan memiliki tujuan yang lebih besar, yaitu memberikan yang terbaik bagi mereka.

Dua kota ini Kedungtuban dan Cepu, adalah dua sisi kehidupan yang saling melengkapi. Di Kedungtuban, aku menemukan tantangan dan kebahagiaan dalam mendidik generasi muda. Di Cepu, aku menemukan cinta dan ketenangan bersama keluarga. Setiap pagi aku pergi meninggalkan Cepu dengan semangat, dan setiap sore aku kembali dengan rasa syukur yang mendalam.

Kedua kota ini mungkin terlihat biasa di mata orang lain. Bagiku kota itu adalah bagian penting dari perjalanan hidupku. Setiap jalan yang kulalui, setiap wajah yang kutemui, dan setiap cerita yang kualami di kedua kota ini adalah bagian dari mozaik kehidupanku. Mozaik yang penuh warna, penuh cerita dan penuh cinta.

Begitulah kisah tentang Kedungtuban dan Cepu, dua kota yang selalu menjadi saksi bisu perjalanan hidupku. Dua kota yang mengajarkanku arti kerja keras, kebahagiaan, dan rasa syukur. Dan aku yakin, cerita ini akan terus berlanjut, selama aku masih melangkah di antara keduanya.

Cepu, 31 Desember 2024

 

 


 

Minggu, 29 Desember 2024

Kecap Rasa Soto

Karya: Gutamining Saida

Hari ini, siang di Blora terasa hangat dan perut kami sudah mulai keroncongan. Saya bersama cucu, anak, saudara memutuskan untuk menikmati makan siang di sebuah warung soto yang terkenal dengan cita rasa khasnya, yaitu soto kletuk. Warung ini memang sederhana, tetapi selalu ramai dengan pengunjung yang setia mencicipi kelezatan sotonya.

Setelah menunggu sebentar, pesanan kami pun datang. Aroma gurih kuah soto kletuk yang menggoda langsung menyapa hidung. Kuahnya bening kekuningan dengan potongan daging ayam yang empuk. lengkap kletuk yakni campuran gorengan singkong yang renyah.

Di antara kami, ada seorang saudara yang tampak antusias menikmati makan siangnya. Ia biasa menambahkan berbagai pelengkap ke dalam sotonya, mulai dari sambal, perasan jeruk nipis, hingga kecap. Dengan penuh semangat, ia meraih botol kecap yang ada di meja.

Entah karena terlalu semangat atau botol kecapnya memang sudah longgar. Saat ia memiringkan botol untuk menuangkan kecap, tiba-tiba tutup botolnya copot. Kecap yang seharusnya hanya beberapa tetes malah tumpah dalam jumlah besar ke dalam mangkuk sotonya. Dalam sekejap, kuah sotonya berubah warna menjadi cokelat pekat seperti saus rendang.

Reaksi spontan kami adalah terdiam sesaat, lalu meledak dalam tawa. “Astaghfirullah, itu soto atau kecap?” celetuk salah satu saudara sambil tertawa terbahak-bahak.

Sementara itu, saudara yang sotonya tertimpa “musibah” hanya bisa menatap mangkuknya dengan ekspresi campuran antara bingung dan pasrah. “Ya Allah, ini gimana? Jadi kecap rasa soto, dong!” katanya sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

Gelak tawa kami semakin keras, membuat beberapa pengunjung lain di warung itu ikut melongok ke arah kami. Mereka penasaran dengan apa yang terjadi. Begitu melihat mangkuk berisi kuah soto yang lebih mirip kolam kecap. Mereka pun ikut tertawa. Bahkan, si penjual soto yang sedang melayani pelanggan lain juga tidak bisa menahan senyumnya.

Suasana siang itu mendadak riuh dengan tawa. Saya, yang awalnya sibuk menikmati soto kletuk dengan santai sampai harus berhenti makan sejenak karena tidak bisa menahan tawa. Momen sederhana ini terasa begitu menghibur, mempererat keakraban kami sebagai keluarga.

Setelah tawa mereda, saudara kami yang sotonya kecampur kecap akhirnya memutuskan untuk memesan mangkuk soto baru. “Kalau dimakan begini, rasa sotonya hilang, yang ada malah jadi sup kecap,” katanya sambil tersenyum.

Pelayan warung yang mengerti situasinya langsung membawakan mangkuk baru tanpa banyak bertanya. “Sudah, Pak. Hati-hati lagi ya tuangnya,” ucap pelayan itu sambil ikut tersenyum.

Kami pun melanjutkan makan siang dengan suasana yang lebih hangat. Soto kletuk yang biasanya terasa lezat, kali ini juga disertai dengan bumbu tambahan berupa tawa dan candaan.

Momen sederhana seperti ini mengajarkan saya betapa kebersamaan adalah hal yang sangat berharga. Tidak peduli seberapa kecil atau sederhana kejadian yang dialami, jika diwarnai dengan tawa dan canda, semuanya menjadi kenangan indah yang sulit dilupakan.

Setelah selesai makan, kami masih tertawa kecil setiap kali mengingat insiden “kecap rasa soto” tadi. Bahkan, saudara kami yang menjadi “korban” juga tidak keberatan dijadikan bahan candaan sepanjang perjalanan pulang.

“Lain kali kalau mau tuang kecap, cek dulu tutupnya, biar tidak ada kejadian soto berubah rasa lagi,” kata salah satu saudara. Siang itu, makan soto kletuk di Blora bukan hanya sekadar mengisi perut. Kami pulang dengan perut kenyang, hati yang gembira, dan cerita lucu yang akan terus kami ingat. Dalam hidup, momen seperti inilah yang membuat segalanya terasa lebih bermakna. Tawa sederhana yang tercipta dari insiden kecil adalah bumbu kebahagiaan yang kadang sering kita lupakan.

Kejadian ini juga menjadi pengingat bahwa kebersamaan keluarga adalah sumber kebahagiaan yang tak ternilai. Di balik soto kletuk yang lezat, ada rasa syukur karena kami bisa menikmati momen bersama, saling berbagi cerita, dan tertawa bersama tanpa beban. Mungkin, itu adalah rasa paling istimewa yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Semoga menghibur.

Cepu, 29 Desember 2024

 

 

Liburan Pindah Kantor

Karya: Gutamining Saida

Liburan kali ini terasa berbeda dari biasanya. Di hari biasa, kantor saya sering kali berpindah tempat dari ruang kelas ke ruang kelas lain. Saya harus mempersiapkan materi, media pembelajaran, atau asesmen. Masa liburan kali ini kantor saya benar-benar berubah wujud.  

Sebelum liburan datang, saya sudah berusaha mempersiapkan segala kebutuhan. Kulkas di rumah sengaja saya isi penuh dengan berbagai bahan makanan. Sayuran, tempe, tahu dan ikan untuk persiapan kurang lebih seminggu. Saya berpikir, dengan persediaan yang cukup tidak bolak balik ke pasar. Saya bisa menikmati liburan dengan lebih santai tanpa harus sering-sering ke pasar.

Namun, rencana tinggal rencana. Sehari sebelum liburan dimulai, cucu-cucu saya sudah datang. Mereka tujuannya untuk menikmati liburan di rumah Cepu. Mereka datang dengan penuh semangat. Kehadiran cucu membawa kebahagiaan sekaligus keriuhan yang tak ada habisnya. Ada tiga cucu yang masih kecil, masing-masing berusia 3, 5, dan 7 tahun. Dua perempuan dan satu laki-laki.

Kedatangan mereka benar-benar mengubah suasana rumah. Jika sebelumnya rumah terasa tenang dan damai. Kini semuanya berubah menjadi ramai dan penuh canda tawa. Di usia mereka yang masih kecil.  Cucu-cucu saya punya kebiasaan yang sama yaitu senang makan! Baru saja selesai makan, sebentar kemudian mereka akan datang lagi sambil berkata, “Timi, lapar!”

Kebiasaan ini membuat saya harus berkutat di dapur hampir sepanjang hari. Rencana isi kulkas penuh untuk persediaan seminggu ternyata hanya bertahan dua hari. Bayangkan saja, dalam sehari saya harus memasak dua hingga tiga kali.

Hari pertama kedatangan cucu-cucu suasana dapur langsung berubah menjadi kantor baru saya. Saya menyiapkan makanan favorit mereka. Mulai dari nasi goreng, telur goreng, hingga tempe goreng. Mereka makan dengan lahap.  Tidak lama kemudian, mereka sudah meminta lagi.

“Tim, mau pisang!” pinta cucu laki-laki yang berusia lima tahun.

“Pisangnya habis, nanti beli dulu,” jawab saya sambil tersenyum.

Melihat antusiasme mereka, saya merasa senang. Meski sedikit kewalahan. Setiap kali saya selesai memasak, dapur pasti berantakan lagi dengan piring, gelas, dan peralatan masak yang menumpuk.

Hari kedua, persediaan di kulkas mulai menipis. Rencana saya untuk tidak pergi ke pasar selama seminggu pun harus batal. Hari ketiga, rutinitas memasak kembali berlangsung. Saya mulai menyadari bahwa liburan kali ini bukan tentang bersantai. Saat ini menikmati momen kebersamaan dengan cucu-cucu saya.

Liburan kali ini memang jauh dari kata santai, tetapi saya merasa bahagia. Meski harus bolak-balik ke pasar dan dapur.  Kebersamaan dengan cucu adalah hadiah yang tidak ternilai. Suara tawa mereka, permintaan sederhana seperti ingin makan, atau sekadar merengek minta dipeluk, semuanya membuat hati penuh rasa syukur.

Saya banyak belajar bahwa meski rencana awal tidak berjalan sesuai harapan, hal itu tidak masalah . Selama kita bisa menikmati momen yang ada. Dapur, pasar, dan meja makan menjadi tempat di mana kenangan-kenangan indah tercipta.

Akhirnya meskipun liburan ini melelahkan secara fisik.  Saya merasa hati dipenuhi kebahagiaan. Melihat wajah ceria cucu-cucu setiap kali makanan terhidang di meja adalah kebahagiaan sederhana yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Saya pun menyadari bahwa kantor saya kali ini, meski berupa dapur, adalah tempat di mana cinta dan kebahagiaan keluarga terjalin erat.

Semoga liburan berikutnya, saya bisa mempersiapkan kulkas dengan lebih baik. Atau hanya perlu menyiapkan energi yang lebih besar untuk mengejar semangat cucu-cucu saya yang tak pernah habis. Semoga menginspirasi.

Cepu, 28 Desember 2024

 

 


 

Minggu, 22 Desember 2024

Heboh Tentang Piket Liburan

Karya: Gutamining Saida

Suasana di ruang guru terasa sangat hidup. Menjelang akhir tahun, seluruh guru sibuk.  Bukan hanya dengan tugas persiapan pembagian rapor. Namun juga dengan persiapan jadwal piket selama liburan. Ruang guru dipenuhi suara percakapan, tawa, dan sesekali protes ringan ketika nama seseorang terselip dalam daftar piket yang telah diisi teman lainnya.

Waka Kurikulum Bu Cicik, membagikan chat berisi kolom jadwal piket. Bapak ibu guru diharapkan memilih hari sesuai yang diinginkan. Dengan senyum lebar, ia berdiri di depan ruangan berkata, "Baik, teman-teman, seperti yang sudah kita bahas, setiap guru harus mengambil hari piket selama liburan sekolah. Harap pilih sesuai jadwal yang tersedia."

Begitu chats masuk di grup dinas, suasana menjadi semakin heboh. Guru-guru langsung menulis nama mencatat hari yang mereka inginkan. Beberapa bahkan saling berebut untuk mengisi terlebih dahulu.

"Hari Senin kosong, aku ambil Senin!" kata bu Suryani dengan semangat sambil menulis namanya.

"Eh, tunggu dulu, aku juga mau Senin," timpal Bu Endang, mencoba menyelipkan namanya.

"Bu Endang, jangan curang dong, saya sudah duluan!" balas bu Suryani sambil tertawa kecil. Keduanya akhirnya berdiskusi, mencari solusi yang adil.

Namun, masalah tidak berhenti di situ. Beberapa guru menyadari bahwa nama mereka yang sudah ditulis di daftar, entah bagaimana, tiba-tiba hilang atau tertimpa nama lain. "Lho, kok namaku nggak ada? Padahal tadi sudah aku tulis," protes bu Suryani dengan nada bingung.

"Iya, namaku juga hilang," sahut Richa, menambah kericuhan.

Melihat suasana yang semakin tidak terkendali, Bu Cicik mencoba menenangkan. "Baik teman-teman, mari kitacari solusi. Saya paham semua ingin memilih hari yang nyaman, tapi kita harus punya sistem yang lebih rapi," katanya sambil mengangkat tangannya agar semua perhatian tertuju padanya.

Pak Angga guruIPA, mengajukan ide. "Bagaimana kalau kita pindah ke sistem digital saja? Kita gunakan Google Spreadsheet. Semua bisa mengisi secara online, jadi lebih transparan dan tidak ada yang terselip."

Saran itu langsung mendapat sambutan positif. "Wah, itu ide bagus, pak Angga," katabu Suryani. "Setidaknya, kalau digital, semua bisa terlihat jelas siapa yang sudah mengisi."

Pak Angga segera membuka laptopnya dan mulai membuat Google Spreadsheet yang sederhana namun efektif. Ia menambahkan kolom untuk nama, tanggal piket, dan catatan tambahan. Setelah selesai, ia membagikan tautan spreadsheet tersebut melalui grup dinas guru.

"Nah, teman-teman, tautan sudah saya kirim. Silakan isi jadwal masing-masing di sana. Ingat, siapa cepat dia dapat," kata pak Angga sambil tersenyum.

Guru-guru langsung membuka tautan itu di ponsel mereka. Suasana ruang guru yang sebelumnya gaduh mulai berubah menjadi lebih tenang, meski sesekali terdengar komentar-komentar ringan.

"Wah, ternyata hari Jumat sudah penuh," gumam pak Bambang sambil mencari hari lain yang masih kosong.

"Pak Edi, jangan lupa isi hari yang benar, jangan main asal klik," canda Bu Rini sambil tertawa.

Beberapa guru yang kurang familiar dengan teknologi meminta bantuan. "Pak Angga, tolong ajari saya cara mengisi ini," pinta bu Suryani, guru senior yang masih agak kaku dengan penggunaan spreadsheet.

Dengan sabar, pak Angga membantu bu Suryani dan beberapa guru lainnya. Dalam waktu kurang dari satu jam, semua guru berhasil mengisi jadwal piket mereka tanpa ada lagi nama yang hilang atau tertimpa. Spreadsheet itu juga otomatis tersimpan dan bisa diakses kapan saja, sehingga semua guru merasa lebih nyaman.

Setelah semua selesai, Bu Cicik memberikan apresiasi kepada seluruh guru. "Terima kasih, teman-teman. Saya senang akhirnya kita bisa menyelesaikan ini dengan cara yang lebih praktis dan rapi. Semoga jadwal piket ini berjalan lancar."

Ruang guru kembali dipenuhi tawa dan obrolan ringan. Beberapa guru saling mengingatkan untuk mematuhi jadwal yang telah mereka pilih. Pak Angga pun mendapatkan banyak pujian atas idenya yang cemerlang. "Pak Angga, kamu memang penyelamat kami," kata Pak Edi sambil tertawa.

Suasana ruang guru berubah menjadi lebih santai. Meski masih sibuk dengan pekerjaan akhir semester. Semua merasa lega karena masalah jadwal piket sudah terselesaikan dengan baik. Kehebohan pagi itu menjadi kenangan manis yang akan mereka ingat saat menyambut liburan akhir tahun yang semakin dekat. Selamat menikmati libur akhir semester. Siap menyongsong semester genap dengan semangat.

Cepu, 23 Desember 2024

 


 

Pengajian di Musala Miftahul Falah

 Karya: Gutamining Saida

Sore itu suasana di sekitar Musala Miftahul Falah terasa tenang. Langit cerah meskipun matahari mulai condong ke barat. Tak ada tanda-tanda mendung, namun jamaah yang hadir untuk pengajian rutin sore ini tampaknya tidak terlalu banyak. Beberapa ibu sudah duduk di dalam musala.

Saya memutuskan untuk segera mengatur mereka. "Ibu-ibu yang di luar, monggo masuk ke dalam," kata saya dengan nada lembut. Beberapa dari mereka menoleh, tersenyum, lalu dengan perlahan masuk ke musala.

Saat melihat susunan tempat duduk. Deretan selatan masih kosong. Pemandangan ini terasa kurang sedap dipandang. Saya pun segera meminta beberapa ibu yang duduk berjauhan untuk bergeser ke depan dan memenuhi deretan yang kosong. "Ayo, Ibu-ibu, bergeser biar terlihat lebih rapi. Kalau duduknya teratur, kelihatan lebih penuh," saranku.

Ibu-ibu mulai bergeser meski beberapa di antara mereka terlihat tersipu malu. Setelah semuanya tertata dengan baik, acara inti pun dimulai. Sore ini yang mengisi ustad H. Maimun dari Cepu. 

Sang ustad yang dikenal dengan gaya ceramah santai namun penuh makna. Beliau membuka pengajian dengan salam. Setelah itu, ia menyapu pandangan ke seluruh jamaah sebelum berkomentar dengan senyuman kecil.

"Ibu-ibu, duduknya kok seperti diatur begini? Apa disuruh ibu ketua ya?" katanya, setengah bercanda.

Sontak, semua yang hadir tertawa. Mereka merasa tersindir dengan komentar tersebut. "Iya, Pak Ustad, biar jaraknya rapi," salah satu ibu mencoba menjawab sambil tertawa kecil.

Ustad mengangguk, tersenyum, lalu melanjutkan ceramahnya. Topik sore itu sangat relevan dengan kehidupan para jamaah, terutama ibu-ibu rumah tangga di era digital.

"Ibu-ibu," ujar sang ustad, "di zaman sekarang, menjadi istri yang baik itu memang penuh tantangan. Banyak yang harus kita pelajari dan kendalikan, terutama di era media sosial ini. Tidak sedikit ibu-ibu yang sering membuat story, baik saat susah maupun senang. Padahal, ada baiknya kita lebih berhati-hati dalam berbagi kehidupan di dunia maya."

Para ibu mulai memperhatikan lebih serius. Suasana menjadi tenang, hanya terdengar suara ustad yang berbicara.

"Sebagai wanita, ada beberapa hal penting yang harus kita tirakati di zaman sekarang," lanjutnya. "Tirakat ini berbeda dengan zaman dulu, tetapi esensinya tetap sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah dan menjaga hati kita."

Beliau kemudian menyebutkan empat hal yang menjadi tirakat penting bagi seorang Wanita yaitu

  1. Tidak iri dengan wanita lain.
    "Ibu-ibu, di media sosial kita sering melihat kehidupan orang lain yang tampak sempurna. Tapi ingat, apa yang kita lihat belum tentu mencerminkan kenyataan. Jangan iri, sebab Allah sudah memberikan yang terbaik untuk kita."
  2. Dapat menerima takdir.
    "Kadang hidup ini tidak selalu sesuai dengan harapan kita. Jangan terlalu banyak mengeluh, terima apa yang Allah Subhanahu Wata’alla takdirkan, dan jalani dengan ikhlas."
  3. Tidak menuntut suami berlebihan.
    "Seorang istri yang baik adalah yang memahami kemampuan suaminya. Jangan menuntut hal-hal duniawi yang di luar batas kemampuan suami."
  4. Menahan diri dari urusan duniawi.
    "Sekarang ini banyak yang berlomba-lomba memiliki barang mewah atau memperlihatkan kemewahan. Padahal, yang terpenting adalah bagaimana kita menjadi wanita yang Abida, ahli ibadah, dan selalu bersyukur."

Ustad melanjutkan ceramahnya dengan menekankan pentingnya menjadi manusia yang diridhai Allah Subhanahu Wata’alla. "Manusia yang akan diangkat derajatnya oleh Allah Subhanahu Wata’alla adalah mereka yang mampu bersabar dan ikhlas dalam menerima ujian-Nya," katanya.

Kemudian memberikan tiga contoh manusia yang diangkat derajatnya oleh Allah Subhanahu Wata’alla yaitu,

  1. Manusia yang direndahkan.
    "Orang yang dihina, difitnah, atau direndahkan oleh orang lain. Jika ia mampu bersabar dan tidak membalas, maka Allah Subhanahu Wata’alla akan meninggikan derajatnya."
  2. Manusia yang diuji dengan kekayaan.
    "Ada orang yang diuji dengan banyak harta, tapi kemudian dibuat bangkrut atau miskin. Jika ia tetap bersyukur dan tawakal, Allah Subhanahu Wata’alla akan mengganti kehilangan itu dengan kebaikan yang lebih besar."
  3. Manusia yang diuji dengan kesehatan.
    "Orang yang diberi sakit oleh Allah Subhanahu Wata’alla. Jika ia sabar dan tetap berusaha mendekatkan diri kepada-Nya, maka sakitnya itu menjadi penghapus dosa dan peninggi derajatnya."

Ceramah itu benar-benar mengena di hati para jamaah. Banyak ibu-ibu yang tampak merenung, seolah-olah sedang mengevaluasi diri mereka sendiri. Beberapa terlihat mengangguk pelan, menyetujui setiap kata yang disampaikan ustad.

Menjelang akhir pengajian, ustad menutup dengan doa bersama. Doa itu mengalir dengan indah, memohon keberkahan, kesabaran, dan kekuatan untuk menjadi istri dan ibu yang lebih baik.

Saya merasa lega. Meski jamaah sore ini tidak terlalu banyak, suasana pengajian terasa hangat dan penuh hikmah. Saya berharap pesan-pesan yang disampaikan ustad dapat menjadi pegangan, tidak hanya untuk ibu-ibu yang hadir, tetapi juga untuk saya pribadi.

Saya terus teringat satu kalimat yang diucapkan ustad yaitu "Jadilah wanita yang ahli ibadah. Sebab, wanita yang seperti itu akan selalu diberkahi dan diangkat derajatnya oleh Allah Subhanahu Wata’alla." Kalimat itu menjadi motivasi untuk terus memperbaiki diri. Di tengah hiruk-pikuk dunia digital tirakat yang sebenarnya adalah menjaga hati dan tetap mendekat kepada Allah Subhanahu Wata’alla. Semoga menginspirasi.

Cepu, 21 Desember 2024

 


Skenario Terbaik Dari Allah

 


Karya: Gutamining Saida

Siang ini aku menghadiri pernikahan putri seorang teman lama. Dulu teman mengajar saat aku masih bertugas di SMPN 1 Cepu. Udara terasa hangat, dan suasana pernikahan penuh keceriaan. Para tamu saling bersalaman, bertukar cerita, dan mengucapkan selamat kepada keluarga mempelai. Aku memasuki tempat resepsi yang sudah dihias dengan elegan, dengan bunga-bunga segar dan nuansa emas yang menambah kemegahan acara.

Setelah memberi ucapan selamat kepada orang tua mempelai, aku mencari tempat duduk di area yang telah disediakan untuk tamu. Di sana, aku bertemu dengan beberapa guru dari SMPN 3, SMPN 1, SMPN 5, yang sudah akrab. Kami memilih duduk di tengah sambil menikmati sajian makanan yang beragam. Ada sate - gulai kambing, nasi campur, galantin, dan berbagai macam lauk pauk yang menggugah selera.

Saat berdampingan dengan beberapa teman. Pembicaraan ringan tentang makanan segera berubah menjadi diskusi hangat tentang pekerjaan. Salah satu dari mereka, yang sudah lama tak bertemu, menanyakan kabar tentang rencanaku untuk mutasi.

"Jadi, gimana usulan mutasimu? Sudah ada kabar terbaru?" tanyanya dengan nada penuh perhatian.

Aku tersenyum, sebelum menjawab. "Belum, masih tertunda. Sampai sekarang belum ada kepastian kapan akan diproses."

"Kok cuma berita aja ya?" celetuk seorang teman lainnya. Nada bicaranya tidak bermaksud menyinggung, tetapi lebih sebagai candaan.

Aku hanya tersenyum tanpa memberikan komentar. Rasanya tak ada gunanya menjelaskan panjang lebar. Aku tahu mereka peduli, tapi aku juga sadar bahwa proses mutasi ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan buru-buru.

Setelah beberapa saat, aku berkata pelan, "Aku tetap berusaha. Semua ketentuan cepat atau lambatnya ini urusan Allah Subhanahu Wata’alla. Mungkin ini memang skenario-Nya yang terbaik untukku."

Mereka terdiam sejenak, lalu mengangguk. Salah seorang dari mereka menepuk bahuku. "Kamu benar. Kadang kita hanya bisa berusaha, tapi hasilnya tetap tergantung kehendak-Nya."

Aku tersenyum tipis. Dalam hati, aku mencoba menguatkan diri. Proses mutasi yang kutempuh bukanlah hal yang mudah. Ada banyak dokumen yang harus disiapkan, persetujuan yang harus diperoleh, dan prosedur administrasi yang terkadang terasa seperti labirin tanpa ujung. Namun, aku percaya bahwa segala sesuatu memiliki waktunya sendiri.

Pembicaraan berlanjut ke topik lain, tetapi pikiranku tetap terbayang pada proses mutasi ini. Aku teringat saat pertama kali mengajukan permohonan mutasi. Aku memiliki harapan besar, membayangkan bahwa segalanya akan berjalan lancar. Namun, kenyataannya tidak seindah yang kubayangkan.

Kadang, aku merasa lelah. Ada saat-saat di mana aku bertanya-tanya, "Kenapa harus menunggu selama ini? " Namun, di tengah keraguan itu aku selalu mencoba mengingatkan diriku sendiri bahwa Allah Subhanahu Wata’alla memiliki rencana yang jauh lebih indah daripada apa yang mampu kupahami.

Sambil menikmati es buah yang segar, aku kembali berbincang dengan teman-teman. Mereka mulai bercerita tentang pengalaman mereka masing-masing di sekolah. Ada yang berbagi cerita lucu tentang siswa-siswanya, ada juga yang curhat tentang tugas-tugas yang menumpuk. Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menimpali dengan candaan ringan.

Di balik tawa dan senyum itu, aku terus merenung. Aku menyadari bahwa perjalanan hidup ini memang penuh dengan kejutan. Terkadang apa yang kita inginkan tidak segera tercapai. Tetapi, di setiap penantian, ada pelajaran berharga yang bisa kita ambil.

Saat berjalan keluar, titik-titik air menyentuh wajahku. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba melepaskan segala kecemasan yang sempat mengganggu pikiranku.

Dalam perjalanan pulang, aku merenung lebih dalam. Allah Subhanahu Wata’alla menunda proses mutasiku untuk alasan yang lebih besar. Mungkin ada hal-hal yang harus kupelajari terlebih dahulu di tempatku sekarang. Mungkin ada orang-orang yang membutuhkan kehadiranku di sini.

Aku tersenyum kecil merasa lebih tenang. Proses ini mengajarkanku untuk lebih sabar, lebih ikhlas, dan lebih berserah diri kepada-Nya. Aku tahu pada akhirnya, semuanya akan berjalan sesuai rencana-Nya.

Hari ini adalah pengingat bagiku untuk terus percaya pada skenario terbaik dari Allah Subhanahu Wata’alla. Sambil menatap langit sore yang mulai berubah warna, aku berjanji pada diriku sendiri untuk menjalani setiap hari dengan penuh rasa syukur, apa pun yang terjadi.

Cepu, 22 Desember 2024

 


Jumat, 20 Desember 2024

Guru Perlu Kreatif


Karya: Gutamining Saida

Pagi ini udara sejuk menyelimuti sekolah di pinggiran desa. Hari ini adalah hari pembagian rapor. Momen penting bagi siswa dan orang tua untuk mengetahui hasil belajar selama satu semester. Bu Lulu, seorang guru Prakarya yang dikenal kreatif dan penuh semangat Dia sudah mempersiapkan dirinya sejak pukul tujuh.  Kali ini tantangan berbeda dihadapinya. Raport siswa besar dan berat.

Sekolah tempat Bu Lulu mengajar memiliki letak bangunan yang terpencar. Ruang guru berada di sisi timur, sedangkan kelas tujuh yang menjadi tanggung jawabnya berada di sisi barat. Cukup jauh dengan ruang guru. Tidak hanya itu, rapor siswa kini lebih besar dan tebal. Raport tebal berat untuk dibawa. Jumlah siswa di kelasnya tiga puluh dua siswa. Tidak bisa dibawa sekaligus sekali.

“Bagaimana ini? Kalau bolak-balik membawa rapor sebanyak ini, pasti sangat melelahkan dan tidak efisien,” gumam Bu Lulu sambil memandangi tumpukan map rapor di meja ruang guru. Bu Lulu adalah sosok guru yang selalu memprioritaskan efisiensi dan kenyamanan dalam pekerjaannya. Ia tidak ingin kegiatan pembagian rapor terganggu hanya karena kendala teknis seperti ini. Setelah berpikir sejenak, ia mendapatkan ide yang menurutnya dapat mengatasi masalah tersebut.

Siswa diliburkan pada hari pembagian rapor. Jadwal pembagian diatur dalam tiga sesi yaitu kelas 7 dimulai pukul 08.00 WIB, diikuti kelas 8 pukul 09.00 WIB dan terakhir kelas 9 pukul 10.00 WIB. Hal ini juga memungkinkan orang tua bisa fokus datang sesuai jadwal tanpa tergesa-gesa.

“Kalau siswa diliburkan, orang tua bisa lebih tenang datang. Kita juga bisa fokus memberikan penjelasan tentang rapor tanpa harus mengawasi siswa yang mungkin akan bermain di luar kelas,” kata Bu Lulu meyakinkan.

Bu Lulu memikirkan cara membawa tumpukan rapor dari ruang guru ke kelas tujuh. Jika harus berjalan kaki membawa semuanya sekaligus, tentu akan sangat merepotkan. Bu Lulu kembali menggunakan kreativitasnya.

Ia memutuskan menggunakan sepeda motor untuk mengangkut rapor. Dengan hati-hati, ia mengangkut raport tersebut dengan motor. Sesi pertama, ia membawa rapor untuk kelas 7F. Dengan motor saja tiga kali Angkatan. “Alhamdulillah dengan cara ini, aku tidak terlalu kelelahan. Cukup menghemat tenaga meski harus bolak-balik,” ujarnya sambil tersenyum puas.

Bu Lulu kembali ke ruang guru sambil tersenyum. Ia merasa lega karena rencananya berjalan dengan baik. Hari itu mengajarkan banyak hal kepadanya, terutama pentingnya kreativitas dalam menghadapi tantangan. “Menjadi guru bukan hanya soal mengajar di kelas. Tapi juga bagaimana kita mampu berpikir kreatif dalam situasi apapun,” gumamnya sambil membereskan sisa-sisa dokumen yang masih tertinggal.

Bu Lulu pulang dengan perasaan lega. Ia yakin bahwa hari ini tidak hanya menjadi momen berharga bagi orang tua dan siswa, tetapi juga baginya sebagai seorang guru yang terus belajar dan berkembang. Kreativitas adalah kunci untuk menghadapi segala situasi.  Bu Lulu telah membuktikannya dengan caranya sendiri. Semoga manfaat.

Kedungtuban, 21 November 2024

 

 

 

 


 

Rabu, 18 Desember 2024

Hebohnya Ibu-ibu Guru SMPN 1 Kedungtuban

Karya: Gutamining Saida

Suasana ruang guru di SMPN 1 Kedungtuban terasa berbeda. Para guru sibuk dengan laptop. Diskusi santai sambil menyeruput minum. Pagi ini, ada kehebohan yang tak biasa. Semua berawal ketika Mbak Yayuk datang dengan membawa kantong plastik besar berwarna putih. Kresek itu terlihat penuh.  Ada guru yang langsung penasaran.

“Mbak Yayuk bawa apa tuh? Kok  bawa kanan kiri?” tanya Bu Saida yang berjalan dari pintu gerbang.

“Sstt, ini hasil karya kita bulan lalu. Tas batik ecoprint! Sudah jadi!” jawab Mbak Yayuk dengan penuh semangat. Ia memberikan kresek ke bu Saida. Bu Saida menuju pintu ruang guru

Sontak, para ibu guru yang semula sibuk di meja masing-masing. Mereka langsung bergerak mendekati meja besar. Mata mereka berbinar-binar, tak sabar melihat hasil karya tangan mereka yang selama sebulan terakhir dinanti.

“Wah, akhirnya jadi juga! Bu Saida keluarkan semuanya!” seru Bu Suryani yang berdiri tak sabar melihat hasilnya.

Bu Saida mulai mengeluarkan tas-tas ecoprint itu satu per satu. Berbagai warna dan pola daun terlihat menghiasi permukaan tas kain itu. Ada yang menggunakan daun jati, daun mentes, bahkan beberapa bunga kecil. Saat tas-tas itu dikeluarkan, suasana tiba-tiba menjadi lebih ramai.

“Lho, kok gambarnya beda? Ini punyaku, ya?” tanya Bu Yulis sambil memegang sebuah tas dengan warna yang agak pudar.

“Eh… kayaknya itu punyaku, deh. Aku pakai daun jati waktu itu!” sahut Bu Endang, mengernyit mencoba mengingat.

“Hehehe, mungkin karena direndam tawas, jadi warnanya berubah. Ada beberapa daun yang warnanya pudar, tapi itu wajar kok,” jelas Bu Yulis, berusaha menenangkan ibu-ibu guru yang mulai kebingungan mencari tas miliknya.

Keributan kecil pun terjadi. Para ibu guru mulai mengelilingi meja. Mereka memeriksa tas satu per satu sambil mencoba mengingat pola dan warna yang mereka buat. Tak seberapa lama ibu-ibu guru bisa langsung mengenali karya mereka sendiri.

“Ini kayaknya punyaku, deh, soalnya aku pakai bunga telang. Tapi kok, warnanya hilang? Bukannya dulu unggu?” kata Bu Cicik sambil tertawa.

“Bu Rini, itu kan punyaku! Tapi nggak apa-apa, deh. Kalau njenengan suka, ambil aja,” goda Bu bu Iip, yang ternyata juga memilih daun jati untuk tasnya..

Setelah beberapa menit, akhirnya semua tas berhasil ditemukan pemiliknya. Ada yang merasa puas, ada juga yang terkejut melihat perubahan pada tasnya. Namun, semua sepakat bahwa karya mereka tetap istimewa.

“Walaupun warnanya berubah, ini tetap tas buatan kita sendiri. Nggak ada yang punya tas secantik ini!” ujar Bu Suryani dengan bangga sambil menenteng tasnya.

Setelah puas mengamati tas masing-masing, Bu Saida tiba-tiba punya ide. “Eh, kita foto bareng, yuk! Biar ada kenangan pakai tas ecoprint ini.”

Beberapa guru langsung setuju. Mereka berkumpul di dekat pintu ruang guru sambil menenteng tas. Dengan tas ecoprint di tangan, mereka mulai berpose. Ada yang berdiri santai, ada yang bergaya bak model, dan ada juga yang mengangkat tasnya tinggi-tinggi untuk memamerkan motif uniknya.

Pak Edi yang menjadi fotografer dadakan mengatur mereka dengan sabar. “Ayo, semuanya senyum! Satu, dua, tiga… klik!” Setelah beberapa kali foto, mereka semakin heboh. Ada yang meminta foto dengan gaya berbeda. Tawa dan candaan memenuhi ruang guru.

Ketika selesai mereka duduk kembali di tempat masing-masing. Kali ini dengan wajah yang penuh kebahagiaan. Beberapa bahkan langsung memotret tasnya untuk diunggah ke media sosial.

“Seru banget, ya! Ini pengalaman yang nggak bakal terlupakan,” ujar Bu Heny sambil memandangi tasnya. “Iya, meskipun warnanya berubah, hasil akhirnya tetap cantik. Apalagi ini buatan kita sendiri,” tambah Bu Laras sambil tersenyum.

Semua merasa puas melihat semua guru bahagia. “Kegiatan ini bukan cuma untuk bikin tas, tapi juga membuat kenangan. Lain kali kita bikin lagi, ya! Tapi mungkin kita coba batik yang lebih sulit.”

Semua guru sepakat. Tas batik ecoprint tidak hanya menjadi hasil karya yang membanggakan. Tetapi menjadi simbol kebersamaan mereka. Suasana heboh yang terjadi pagi itu akan selalu menjadi kenangan manis di ruang guru SMPN 1 Kedungtuban. Tas mereka mungkin sederhana, tetapi kebahagiaan yang tercipta sangat luar biasa.

Kedungtuban, 19 Desember 2024

 


 

Selasa, 17 Desember 2024

Misteri Kehidupan Si Bilta

 


Karya: Gutamining Saida

Hidup adalah misteri yang hanya Allah Subhanahu Wata’alla, Sang Pencipta yang Maha Kuasa, memahami ke mana jalan itu akan membawa seorang hamba. Kisah hidup Bilta, seorang perempuan sederhana yang kini menjalani takdirnya sebagai ibu dari tiga anak kecil.

Saat kuliah, Bilta adalah mahasiswi yang rajin dan ambisius. Hari-harinya dihabiskan bergelut dengan tugas dan mimpi-mimpi besar yang ia bangun sejak remaja. Pulpen, buku, dan laptop adalah tiga benda yang tak pernah lepas dari genggamannya. Mereka menjadi saksi perjuangannya melawan waktu, tugas kuliah, dan ujian.

Bilta tidak pernah gentar. Meski tugas menumpuk dan malam sering kali terasa begitu singkat, ia selalu yakin bahwa kesuksesan adalah hasil dari kerja keras. Ia sering berkata kepada dirinya sendiri, "Allah Subhanahu Wata’alla tidak pernah tidur. Selama aku berusaha, pasti ada jalan."

Setelah akhirnya Bilta menyelesaikan kuliah dengan hasil yang memuaskan. Bilta merasa lega. Ia juga sadar bahwa dunia kerja yang sebenarnya membutuhkan lebih dari sekadar ijazah. Ia memutuskan untuk mengambil kursus demi menambah keterampilan. Atas dorongan ibunya, ia memilih kursus menjahit.

Kursus tersebut menjadi titik balik hidupnya. Ia belajar keterampilan menjahit dengan sepenuh hati. Lambat laun, ia memutuskan untuk terjun ke dunia bisnis jilbab. Tidak lagi bergelut dengan pulpen dan laptop.  Kini penggaris, meteran, dan kain-kain cantik menjadi teman setianya.

Usahanya perlahan mulai berkembang. Bilta mulai dikenal sebagai desainer jilbab yang kreatif. Produk-produknya menarik perhatian ratusan pelanggan. Pesanan datang bertubi-tubi, bahkan ia sering kewalahan memenuhi permintaan. Kesuksesan itu tidak datang tanpa perjuangan. Malam-malam panjang kembali ia jalani. Kali ini dengan mesin jahit manual menemani

Kehidupan tidak pernah berjalan lurus seperti jalan tol. Allah Subhanahu Wata’alla menulis takdirnya dengan penuh kejutan. Di puncak kesuksesannya, Bilta bertemu jodohnya. Mereka menikah, dan tak lama setelah itu, Bilta mengandung anak pertama.

Menjadi seorang ibu adalah anugerah sekaligus tanggung jawab yang besar. Setelah kelahiran anak pertama, Bilta merasa waktunya tersita sepenuhnya untuk merawat sang buah hati. Ia berhenti menjalankan bisnisnya. Fokus pada urusan keluarga dan keluarga.

Lahirlah anak kedua lahir dalam waktu yang tidak terlalu lama. Bilta memutuskan untuk menutup sementara usaha bisnis. Fokusnya kini beralih sepenuhnya pada keluarga. Dalam kurun waktu yang singkat, Bilta dikaruniai anak ketiga. Kehidupannya kini dipenuhi suara tangis bayi, tawa kecil, dan pekerjaan rumah yang tiada habisnya.

Jiwa pekerja keras Bilta tidak pernah padam. Ia tidak ingin hanya diam. Di sela-sela kesibukan mengurus tiga anak kecil, ia mencari cara untuk tetap produktif.

Setiap hari ia posting bekal makanan anak dan suami. Dengan berbagai kreasi, model yang selalu berganti. Banyak teman-teman, kenalan dekat memberikan komentar. Ide baru muncul di benaknya.

Dengan bekal seadanya ia mencoba membuat kastsu,  makanan yang biasa untuk bekal. Akhirnya ia membuat dan menawarkan. Hari demi hari, usahanya berkembang. Wajan, sutil, dan kompor kini menjadi alat perang barunya. Setiap pagi, ia bangun lebih awal untuk menyiapkan bahan-bahan, memasak, dan mengemas makanan. Tidak mudah membagi waktu antara memasak dan mengurus anak-anak, tetapi Bilta menikmati setiap prosesnya. Ia percaya, selama ia bersungguh-sungguh, Allah Subhanahu Wata'alla pasti memberikan jalan.

Usaha bekal makan mulai dikenal di lingkungan sekitar. Banyak pelanggan yang menyukai masakannya, mulai dari tetangga hingga teman-teman komunitasnya. Bilta merasa bersyukur atas pencapaian kecil ini. Meski ia tidak lagi bergelut dengan kain atau menjahit jilbab, ia merasa hidupnya tetap bermakna.

Kini, Bilta menjalani hari-harinya dengan penuh kesibukan. Ketika anak-anak sedang tidur siang, ia memanfaatkan waktu untuk menyelesaikan pesanan makanan. Saat malam tiba, ia memikirkan inovasi menu baru untuk hari berikutnya.

Kedungtuban, 18 November 2024


Senin, 16 Desember 2024

Keseruan saat lomba estafet karet

Karya: Gutamining Saida

Hari Senin tanggal 16 November 2024  di SMPN 1 Kedungtuban menjadi hari yang ditunggu-tunggu oleh semua siswa. Sekolah mengadakan serangkaian perlombaan. Jenisnya futsal, volley, estafet karet, dan lain sebagainya.

Salah satu cabang lomba yang paling dinanti siswa perempuan adalah Lomba Karet Estafet. Lomba ini diikuti oleh semua siswa dari kelas 7 hingga kelas 9. Sejak pagi, lapangan sekolah sudah dipenuhi siswa yang bersorak-sorai mendukung tim dari kelas masing-masing.

Lomba karet estafet dimainkan secara beregu. Satu tim terdiri dari dua siswa. Setiap sesi, ada tiga tim yang bertanding. Tugas mereka sederhana namun penuh tantangan yaitu  memindahkan karet gelang dari satu ujung lapangan ke ujung lainnya menggunakan sedotan yang harus digigit mulut. Karetnya dicampur tepung. Tidak boleh ada bantuan dari tangan. Jika karet jatuh, peserta harus mengulang dari titik sebelumnya.

Ketika peluit tanda dimulainya lomba ditiup, sorak-sorak menggema di lapangan. Peserta dari kelas 7, 8, 9 mulai berlomba-lomba mengambil karet dari meja ke meja di ujung utara. Awalnya terlihat mudah, tetapi seiring dengan tekanan waktu dan sorakan penonton, banyak peserta yang gugup.

“Cepat, cepat!” seru salah satu penonton dari kelas 9, memompa semangat timnya.

Peserta dari 7 justru terlihat kebingungan karena karetnya jatuh berulang kali. Salah satu anggota tim bahkan tanpa sadar tertawa sendiri karena melihat kawannya mulutnya bergelepotan tepung, menggigit sedotan terlalu keras hingga bengkok.

“Jangan ketawa, fokus!” teriak teman-temannya, tapi tidak ada yang bisa menahan tawa melihat wajah temannya yang sudah belepotan tepung.  Wajah mereka masuk ke dalam tepung jika karet jatuh. Peserta terlihat lebih tegang karena mereka ingin memastikan posisi. Sebelum mengoper karet ke meja akhir.

Peserta dari kelas 9 menjadi pusat perhatian karena salah satu anggotanya terjebak di lintasan karet. “Ayo, cepat! Kita bisa kalah!” teriak temannya dari kejauhan. Namun, bukannya melewati rintangan, peserta itu justru tersandung dan terjatuh. Seketika, penonton meledak dalam tawa. Meski malu, ia tetap bangkit dan menyelesaikan tugasnya.

Sementara itu, peserta dari kelas 8 menunjukkan kerja sama yang luar biasa. Mereka berhasil mengalihkan karet dengan cepat dan tanpa hambatan. Permaianan semakin seru. Peserta selain harus melewati lintasan juga harus memindahkan karet menggunakan sedotan sambil berjalan. Penonton semakin bersemangat mendukung tim favorit mereka, dan teriakan-teriakan dukungan membuat suasana semakin meriah.

Begitu peluit berbunyi, peserta langsung bergerak. Tim kelas 9 menunjukkan kecepatan mereka. Wajahnya belepotan tepung saat ia harus mengulang dari titik awal.

Di sisi lain, tim kelas 8 tetap tenang dan fokus. Mereka memindahkan karet dengan hati-hati meski penonton terus tertawa melihat ekspresi serius mereka. Sementara itu, tim 7 justru menjadi hiburan karena salah satu anggotanya terlihat panik dan menggigit sedotan terlalu keras hingga karetnya terpental jauh.

“Lari! Lari!” teriak penonton ketika salah satu peserta dari 8 berlari ke garis akhir dengan membawa karet terakhir.

“Sungguh lomba yang luar biasa. Tidak hanya penuh keceriaan, tetapi juga mengajarkan kita kerja sama dan sportivitas,” ujar seorang guru

Meskipun lomba telah usai, momen-momen lucu dan seru selama pertandingan akan terus dikenang oleh semua siswa. Bagi mereka, lomba ini bukan hanya soal menang atau kalah, tetapi juga tentang kebersamaan dan tawa yang mereka bagikan bersama.

Kedungtuban, 16 November 2024


 

Hikmah di balik ujian sakitku

 Karya : Gutamining Saida

Aku duduk menunggu hasil rontgen yang akan menentukan langkah pengobatan selanjutnya. Rasa khawatir bercampur harapan memenuhi pikiranku. Ketika hasilnya keluar, dokter menjelaskan bahwa pemeriksaan dan kontrol harus dialihkan ke dokter spesialis tulang. Tulangku memang bermasalah dan memerlukan penanganan lebih lanjut. Meskipun sudah menduga sebelumnya, mendengar vonis itu tetap meninggalkan bekas di hatiku. Aku mencoba tegar, menerima kenyataan bahwa perjalanan pengobatanku masih panjang.

Jadwal kontrol dengan dokter tulang dimulai siang hari dan biasanya berlangsung hingga sore. Rumah sakit menjadi tempat yang akrab bagiku.  Antrian panjang yang sudah menjadi rutinitas. Aku mulai memasuki dunia yang berbeda yaitu berada di ruang tunggu pasien tulang. Di sana, aku bertemu dengan banyak orang yang menghadapi berbagai masalah pada tulang mereka.

Setiap kali aku masuk ke ruang tunggu, pemandangan yang kulihat membuat hatiku terasa sesak.  Sekaligus terbuka untuk memahami lebih banyak tentang kehidupan. Ada seorang pria muda yang lengannya tergantung di penyangga. Dia menunggu giliran untuk kontrol setelah tulang tangannya patah akibat kecelakaan. Di sudut lain, seorang wanita tua duduk dengan kaki yang terbalut gips. Ia tampak kesulitan bergerak.  Ia tersenyum ramah saat berbicara dengan pendampingnya dan tetap menghangatkan suasana.

Aku juga melihat seorang anak kecil yang kedua lengannya dibalut perban. Dari cerita ibunya, ia terjatuh dari sepeda dan harus menjalani operasi kecil. Tangis anak itu mengingatkanku betapa rapuhnya manusia. Manusia harus sekaligus kuat ketika menghadapi ujian. Pasien lain memiliki cerita yang serupa, mulai dari jari-jari yang patah hingga kerusakan tulang yang lebih parah akibat kecelakaan.  Ada yang dari penyakit tertentu.

Sebelumnya aku tidak pernah membayangkan betapa banyaknya masalah kesehatan yang bisa terjadi pada tulang manusia. Tulang yang selama ini aku anggap sebagai bagian tubuh yang kuat dan tak tergoyahkan ternyata sangat rentan terhadap berbagai macam cedera dan gangguan. Dari waktu ke waktu, aku mulai mengenal istilah-istilah medis yang sebelumnya asing bagiku. Aku belajar tentang fraktur, dislokasi, osteoporosis dan berbagai masalah lainnya.

Setiap cerita yang kudengar dari para pasien membuka mataku lebih lebar. Aku belajar bahwa ujian yang diberikan Allah kepada setiap manusia memang berbeda-beda. Akan tetapi semuanya memiliki tujuan yang sama. Allah memberi untuk menguji kesabaran dan keimanan manusia. Melihat kondisi mereka aku mulai merasa bahwa ujian yang aku alami jauh lebih ringan.

Di tengah rasa nyeri yang sering kurasakan, aku berusaha untuk tetap tegar. Aku meyakinkan diriku bahwa ini adalah bagian dari rencana Allah yang pasti memiliki banyak hikmah. Aku mencoba ikhlas menerima kenyataan bahwa ini adalah ujian yang harus aku jalani. Setiap kali rasa cemas atau lelah melanda.  Aku mengingatkan diriku bahwa ada banyak orang di sekitarku yang menghadapi ujian yang lebih berat.

Salah satu momen yang paling membekas di hatiku adalah ketika aku berbincang dengan seorang bapak paruh baya. Ia yang kehilangan kemampuan berjalan akibat kecelakaan kerja. Ia bercerita bahwa hidupnya berubah total. Ia tetap bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk hidup dan berkumpul dengan keluarganya. Dari cerita itu, aku belajar untuk lebih menghargai apa yang masih kumiliki.

Di ruang tunggu aku juga belajar untuk lebih bersyukur atas kesehatan yang selama ini sering aku abaikan. Aku mulai menyadari betapa berharganya nikmat yang Allah berikan. Bahkan hal-hal kecil seperti berjalan tanpa rasa sakit. Aku masih menggunakan tangan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Semua itu adalah nikmat yang sering kita anggap biasa hingga suatu saat hilang.

Setiap perjalanan ke rumah sakit menjadi pelajaran bagiku untuk lebih sabar dan lebih menghargai hidup. Aku mulai melihat semua ini sebagai kesempatan untuk introspeksi diri, memperbaiki cara pandangku terhadap kehidupan, dan mendekatkan diri kepada Allah. Aku percaya bahwa Allah tidak akan memberikan ujian di luar kemampuan hamba-Nya.

Di balik semua rasa lelah dan sakit yang aku alami, aku percaya bahwa ada hikmah yang besar menanti. Aku merasa bahwa ujian ini mengajarkanku untuk lebih memahami kehidupan, lebih menghargai kesehatan, dan lebih bersyukur atas setiap nikmat yang masih aku miliki.

Sebelum tidur aku selalu berdoa agar Allah memberikan kesembuhan dan kekuatan untuk menjalani hari-hari yang akan datang. Aku juga berdoa untuk pasien-pasien lain yang aku temui di rumah sakit. Semoga mereka diberikan kesabaran dan kemudahan dalam menghadapi ujian mereka.

Proses pengobatan masih terus berlangsung, aku merasa lebih kuat. Aku tidak lagi melihat ujian ini sebagai beban.  Merasa sadar kesempatan ini menjadikanku pribadi yang lebih baik. Setiap langkah yang aku ambil di perjalanan ini adalah bentuk perjuangan untuk sembuh dan bentuk syukur atas setiap nikmat yang masih aku rasakan.

Aku percaya di balik sakit tulang yang aku derita, Allah sedang menyiapkan sesuatu yang indah. Ujian ini mungkin sulit, tetapi aku yakin bahwa aku mampu melewatinya dengan sabar dan ikhlas. Sebab, setiap ujian yang Allah berikan pasti memiliki hikmah dan tujuan yang baik bagi hamba-Nya. Aamiin

Cepu, 15 November 2024

 

Salah Kostum

Karya: Gutamining Saida

Sang mentari tampak malu-malu menyembul di antara awan. Saya sudah bersiap berangkat ke sekolah. Saya mengenakan seragam keki dengan rapih. Hari itu memang hari Selasa, dan seperti biasanya seragam keki. Namun entah mengapa, pagi itu terasa agak aneh. Ada sedikit keraguan di hati, tapi saya mengabaikannya.

Motor melaju perlahan di jalanan yang mulai ramai. Sampai di lampu merah, saya melihat seorang ibu-ibu dengan berani menerobos lampu merah. “Weees, ibu-ibu kok nggak sabaran,” gumam saya dalam hati sambil menggelengkan kepala. Mata saya langsung tertuju pada seragam yang dikenakan ibu itu yaitu seragam Korpri.

Perang batin pun dimulai. “Loh, ini hari Selasa ya? Tapi... kok ibu-ibu itu pakai Korpri?” Saya mulai panik. Pikiran saya melesat ke banyak kemungkinan. Kalau benar ini tanggal 17, itu artinya saya salah kostum! Seharusnya saya memakai seragam Korpri, bukan keki.

“Balik nggak ya?” saya membatin sambil menatap lampu merah yang lama berganti hijau.

Kalau saya balik pulang untuk ganti baju, konsekuensinya jelas. Saya bakal telat absen, dan itu bukan ide yang bagus. Tapi kalau lanjut dengan seragam keki, saya pasti jadi bahan omongan teman-teman di sekolah. "Ah, sudah lah! Lanjut saja, salah kostum bukan salah besar,” batin saya, akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Sesampainya di sekolah, ruang guru udah terdengar riuh suara para guru. Ada yang memakai seragam keki seperti saya, ada yang mengenakan kaos olahraga karena mengikuti agenda classmeeting. Tapi suasana semakin ramai saat seorang guru Bu Endang datang dengan seragam Keki. Seketika tawa meledak.

Saya yang duduk di pojok tak kuasa menahan senyum. Dalam hati, saya lega karena ternyata bukan saya saja yang memakai seragam keki.

Beberapa guru sudah berkumpul dan... benar saja! Ruang guru penuh warna-warni seragam.

“Tenang, kita nggak sendirian kok. Saya aja salah pakai kaos olahraga, kirain ada meeting class hari ini,” ujar Pak Edi sambil menunjuk kaosnya.

Sontak kami semua tertawa lagi. Perdebatan kecil pun dimulai. Ada yang sibuk mempertahankan seragam masing-masing. Saya, yang masih setia dengan keki, merasa perlu membela diri. “Namanya juga hari Selasa, kan biasanya pakai keki.”

Pak Bambang langsung menimpali, “Loh, ya saya juga nggak salah. Saya pikir ada kegiatan olahraga, makanya pakai kaos.”

Tawa kami belum reda ketika seorang guru lainnya masuk ruang guru. Dan reaksi ruang guru pun bisa ditebak, semua tertawa membahana. Suasana benar-benar menjadi warna-warni pagi itu. Rasanya baru kali ini, ruang guru berubah seperti pasar seragam. Ada keki, korpri dan kaos olahraga, semua tumpah ruah dalam satu ruangan.

Sambil tertawa Bu Suryani berkata, “Ya udah lah, yang penting kita semua tetap semangat kan.” Hari ini adalah “Hari Salah Kostum Nasional” versi ruang guru sekolah kami. Semua kembali ke tugas masing-masing, tapi tidak ada yang bisa berhenti senyum. Bahkan sampai jam istirahat, momen pagi itu masih menjadi bahan obrolan seru.

Salah kostum itu bukan bencana besar. Justru dari kejadian kecil seperti ini, kami menemukan tawa, kehangatan, dan kebersamaan. Hari ini benar-benar special. Suasana penuh warna, penuh cerita, dan penuh tawa.

Kedungtuban, 17 November 2024


 

Senin, 09 Desember 2024

Hikamah Di Balik Turunnya Hujan

Karya: Gutamining Saida

Hari Selasa tampak seperti hari-hari biasa di awalnya. Matahari bersinar cerah pagi tadi, memberikan semangat baru untuk memulai aktivitas. Saya pun berangkat ke sekolah dengan penuh antusias, melaksanakan tugas sebagai guru di SMP. Jam demi jam berlalu dengan padatnya jadwal mengajar, hingga akhirnya bel pulang pun berbunyi.

Namun, ketika mendekati jam pulang.  Langit yang tadi cerah mulai berubah. Awan hitam menggantung rendah, dan angin dingin mulai berhembus. "Sepertinya hujan akan turun," pikir saya. Benar saja, beberapa menit kemudian, titik-titik air mulai jatuh dari langit, perlahan tapi pasti, hingga menjadi hujan deras.

Saya berdiri di teras ruang guru. Saya memperhatikan bagaimana air hujan jatuh membasahi atap-atap. Rasa ingin segera pulang muncul, namun hujan yang deras membuat saya mengurungkan niat untuk segera meninggalkan sekolah. Saya memutuskan untuk menunggu hingga hujan sedikit reda.

Di sekitar saya, beberapa guru menerobos hujan untuk pulang. Sebagian mengeluh karena perjalanan mereka tertunda, namun saya memilih untuk menikmati momen itu. Bukankah hujan adalah berkah dari Allah SWT? Rasanya sayang jika nikmat ini justru menjadi alasan untuk mengeluh.

Saya memandang ke langit yang kelabu, mendengar suara gemericik air yang jatuh di atas genting dan tanah. Bau khas hujan menyeruak, menyegarkan udara yang sempat panas di siang hari. Saya tersenyum, menyadari bahwa di balik hujan yang mungkin dianggap penghalang bagi sebagian orang, tersimpan banyak pelajaran berharga.

Hujan mengajarkan kesabaran. Saya duduk di bangku ruang guru, menunggu tanpa rasa tergesa-gesa. Tidak ada gunanya memaksa diri berjalan di bawah derasnya air hanya untuk cepat-cepat sampai di rumah. Dalam menunggu, saya belajar menerima bahwa tidak semua hal bisa berjalan sesuai kehendak kita. Ada saat-saat di mana kita harus berserah, percaya bahwa Tuhan selalu memiliki rencana terbaik.

Tidak hanya kesabaran, hujan juga mengingatkan saya akan rasa syukur. Betapa nikmatnya udara yang lebih sejuk setelah hujan mengguyur bumi. Tanaman-tanaman yang tadinya layu terlihat segar kembali, daun-daunnya berkilauan ditimpa air hujan. Saya membayangkan para petani yang pasti merasa bahagia karena hujan membantu mereka mengairi sawah-sawah. Saya mengucap syukur dalam hati, menyadari bahwa hujan bukanlah penghalang, melainkan anugerah yang seringkali kita lupa untuk hargai.

Saat menunggu, saya merenung bahwa hujan adalah salah satu tanda kekuasaan Allah SWT. Tidak ada manusia yang mampu memprediksi kapan hujan turun dengan tepat. Berapa lama akan berlangsung, atau seberapa deras. Semua itu adalah rahasia Allah SWT yang menunjukkan bahwa kita hanyalah makhluk kecil di hadapan-Nya.

Setelah beberapa waktu, hujan mulai sedikit reda. Rintiknya kini jauh lebih halus, memberi kesempatan bagi saya untuk melanjutkan perjalanan pulang. Saya mengangkat tas dan berjalan keluar dari teras, menginjak genangan air kecil yang memantulkan bayangan langit kelabu.

Di sepanjang perjalanan, saya melihat kehidupan di sekitar yang kembali bergerak setelah tertahan oleh hujan. Beberapa anak-anak terlihat bermain di genangan air, tertawa riang tanpa memikirkan baju mereka yang basah. Para pedagang mulai membuka lapaknya kembali, sementara pengendara motor melaju perlahan, berhati-hati agar tidak tergelincir. Pemandangan itu membuat hati saya hangat.

Hujan kini benar-benar berhenti, menyisakan suasana tenang dan udara segar. Saya memandang keluar, merasakan kedamaian yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di momen itu, saya merasa semakin yakin bahwa segala sesuatu di dunia ini, memiliki hikmah dan tujuan yang indah.

Hujan di hari Selasa itu bukanlah hambatan, melainkan pengingat untuk lebih bersyukur, bersabar, dan menghargai apa yang sudah Allah SWT berikan. Dan ketika saya merenungkan semua itu, hati saya dipenuhi rasa bahagia dan syukur yang mendalam. Sesungguhnya Allah SWT selalu punya cara untuk mengajarkan kebaikan. Cara lain Allah SWT lewatkan dengan melalui setetes air hujan.

Kedungtuban 10 Desember 2024

 

 


 

Pagi yang diberkahi hujan



 Karya: Gutamining Saida

Suara rintik hujan membangunkan saya lebih awal dari biasanya. Udara terasa sejuk, dingin menusuk hingga ke tulang. Hujan yang turun sejak malam masih terus berlanjut. Hujan membawa aroma khas tanah yang menyegarkan. Saya melirik jam dinding; waktu menunjukkan pukul 03.30 WIB. Sebuah panggilan untuk bangkit dari kenyamanan selimut dan menjalankan kewajiban kepada Sang Pencipta. Seusai shalat subuh, saya duduk sejenak, menghirup teh hangat sambil memandang hujan yang turun tanpa henti.

Pikiran mulai terarah pada tugas saya hari ini. Menjadi seorang guru adalah amanah yang tidak hanya sekadar profesi, tetapi juga jihad di jalan ilmu. Walau cuaca tak mendukung, semangat saya tak boleh surut. Setelah sarapan sederhana bersama keluarga, saya bersiap. Jas hujan yang berada di jok motor saya ambil, memastikan perlindungan dari derasnya hujan selama perjalanan menuju sekolah.

Saat langkah pertama keluar rumah, saya sudah dihadapkan pada tantangan. Jalanan kampung yang biasa saya lewati berubah menjadi jalur genangan air. Lobang Seribu, begitu warga setempat menyebutnya, menjadi tantangan utama. Jalan penuh lubang ini kini terisi air hujan, menyembunyikan kedalaman yang bisa mengejutkan siapa saja yang melintas. Saya harus berhati-hati mengendarai motor, menebak mana yang aman dilewati.

Di sepanjang perjalanan, saya bertemu banyak pejuang pagi. Orang-orang seperti saya yang tetap keluar di tengah hujan, menjalankan tugas mereka masing-masing. Ada yang mengendarai motor dengan jas hujan seadanya, beberapa lainnya bersepeda ontel. Wajah mereka tampak basah oleh percikan air, tetapi semangat tetap tergambar jelas. Beberapa anak sekolah tampak memegang payung sambil mengayuh sepeda dengan cekatan. Mereka tidak peduli basah dan dingin, karena ada panggilan tanggung jawab yang harus dipenuhi.

Saya semakin bersyukur melihat semua ini. Hujan yang turun tak menjadi halangan bagi mereka untuk terus bergerak maju. Dalam hati, saya mengingatkan diri sendiri, "Jika mereka saja bisa, apalagi saya yang diberi banyak kemudahan. Kendaraan ada, jas hujan ada. Tidak ada alasan untuk menyerah."

Perjalanan melintasi Lobang Seribu bukan hanya ujian kesabaran, tetapi juga pelajaran kehati-hatian. Sekali saya salah menebak kedalaman genangan, ban motor tergelincir sedikit. Namun, saya cepat menguasai kendaraan dan melanjutkan perjalanan. Hati kecil saya berkata, "Setiap langkah menuju sekolah adalah jihad. Allah Subhanahu Wata'alla akan memudahkan jalan bagi yang berniat baik."

Tiba di parkiran sekolah, saya disambut oleh suasana yang tidak kalah semangat. Siswa-siswa mulai berdatangan. Sebagian besar dengan jas hujan dan payung. Beberapa terlihat basah kuyup karena sepeda mereka tak cukup melindungi dari hujan deras. Namun, tak satu pun dari mereka tampak murung. Mereka justru tertawa, bercanda dengan teman-temannya, seolah dingin dan basah bukan masalah besar.

Saya melepas jas hujan dan salah seorang siswa mendekat dan mengajak jabat tangan. "Kamu semangat sekali, sudah di sekolah?" tanya saya. Ia hanya tersenyum, menjawab polos, "Mau tanding di SMPN 4 Cepu Bu.”

Kata-katanya menghangatkan hati saya. Sebagai guru, momen-momen seperti ini yang selalu membuat saya merasa bahwa pekerjaan ini lebih dari sekadar mengajar. Ini adalah jalan pengabdian, sebuah ladang pahala yang tak kasat mata tetapi terasa nyata dalam hati.

Di kelas, saya membuka pelajaran dengan cerita singkat tentang perjalanan saya pagi ini. Siswa-siswa mendengarkan dengan antusias. Beberapa dari mereka bahkan menceritakan pengalaman mereka sendiri melawan hujan untuk sampai ke sekolah. Salah seorang siswa, yang datang dengan sepatu basah, berkata, "Bu, tadi sepeda saya hampir jatuh karena genangan air di Lobang Seribu, tapi saya tetap semangat, karena saya ingin bertemu teman-teman dan belajar."

Hari ini, hujan menjadi pengingat akan banyak hal. Hujan mengajarkan saya untuk bersyukur atas kemampuan saya untuk tetap menjalankan tugas. Hujan juga menunjukkan bahwa semangat dan tekad adalah bahan bakar utama dalam menjalani hidup, lebih dari sekadar kenyamanan fisik.

Saat istirahat, saya menyempatkan diri untuk duduk di ruang guru, merenungkan apa yang telah saya alami pagi ini. Betapa luar biasa rahmat Allah, yang tidak hanya memberikan hujan sebagai berkah, tetapi juga menguatkan saya dan orang-orang di sekitar saya untuk tetap menjalankan tanggung jawab masing-masing. Hujan ini, dengan segala tantangan yang dibawanya, adalah bentuk ujian kecil yang membuat kita lebih kuat dan lebih bersyukur. Saya tersenyum, merasa lega sekaligus bersyukur telah melewati pagi yang penuh perjuangan ini dengan baik.

Hidup adalah perjalanan yang sering kali diwarnai dengan tantangan, seperti hujan pagi ini. Namun, selama niat kita baik dan langkah kita disertai doa, Allah selalu memberikan kekuatan. Hujan tidak hanya menyuburkan tanah, tetapi juga menyirami jiwa, mengingatkan kita untuk terus bersyukur dan bersemangat menjalani hari. Pagi ini, saya belajar bahwa jihad di jalan ilmu adalah salah satu bentuk ibadah yang paling indah.

Kedungtuban, 8 Desember 2024

 

 

Jumat, 06 Desember 2024

Guru Cerdas Tak Percaya Hoax

Karya: Gutamining Saida

Jumat siang itu, suasana di ruang 9E SMPN 1 Kedungtuban terasa berbeda. Setelah pengawasan Penilaian Sumatif Akhir Semester (PSAT) selesai, kegiatan diseminasi literasi digital dimulai.  Sekitar pukul 09.30 WIB. Kegiatan ini menghadirkan Ibu Ragil Anggi N, S.Pd., sebagai pemateri dengan moderator  bapak Yudhistira Megaputra, S.Pd.

Seperti biasanya, kegiatan dimulai dengan pembukaan yang dipandu oleh moderator. Para peserta, yang terdiri dari para guru, telah duduk rapi di tempat yang disediakan. Lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang, memberikan semangat kebangsaan di awal acara.

Setelah itu, kepala sekolah bapak Prasetyo Cahyo Nugroho, S. Pd, M.M, memberikan sambutan. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan apresiasi kepada seluruh guru SMPN 1 Kedungtuban atas dedikasi mereka dalam meningkatkan mutu pendidikan. Secara khusus, kepala sekolah memberikan penghargaan kepada beberapa guru yang berprestasi.

  • Ibu Sri Mulyani telah berhasil menyelesaikan program Guru Penggerak dengan predikat lulus.
  • Ibu Ragil Anggi dipilih oleh Kementerian Pendidikan untuk mengikuti workshop secara luring.
  • Ibu Rini S terpilih oleh Balai Besar Guru Penggerak (BBGP) untuk program pengembangan kompetensi.

“Prestasi ini tidak hanya membanggakan sekolah sendiri, tetapi juga menjadi motivasi untuk terus maju,” ujar kepala sekolah dengan penuh semangat. Tepuk tangan meriah pun mengiringi apresiasi tersebut.

Setelah sambutan giliran pemateri yaitu Ibu Ragil Anggi, memulai sesi utama. Dengan penuh antusias, beliau membuka materi dengan sebuah ice breaking yang melibatkan semua peserta.

“Tepuk satu!” serunya. Para guru serentak bertepuk tangan satu kali.
“Tepuk dua!” lanjutnya, diiringi dua tepukan.
“Tepuk tiga!” suara kompak peserta mengiringi tiga tepukan. Suasana pun langsung cair. Para guru tampak rileks dan tertawa bersama.

“Tujuan ice breaking ini adalah untuk mengurangi ketegangan. Sekarang, mari kita mulai materi,” kata Ibu Anggi sambil tersenyum.

Ibu Anggi kemudian memutar sebuah video tentang misinformasi dan dampaknya di masyarakat. Video itu menggambarkan bagaimana informasi yang salah dapat menyebar dengan cepat, menimbulkan keresahan, bahkan merusak hubungan sosial.

“Apakah kita pernah tanpa sadar ikut menyebarkan informasi yang ternyata salah?” tanyanya kepada peserta. Beberapa guru mengangguk, menandakan bahwa mereka pernah mengalami hal tersebut.

Ibu Anggi menjelaskan bahwa di era digital ini, guru memiliki peran penting sebagai agen literasi digital. “Kita harus memastikan informasi yang kita terima dan sebarkan adalah benar dan dapat dipercaya,” tegasnya.

Setelah pemaparan materi, sesi diskusi dimulai. Moderator yaitu bapak Yudhistira Megaputra memandu jalannya diskusi dengan baik. Guru-guru mulai mengajukan pertanyaan, dan suasana menjadi lebih interaktif.

Pertanyaan pertama datang dari Ibu Endri, yang menanyakan bagaimana menanggapi isu tentang gaji guru yang akan naik pada bulan Desember yang kita temui di media sosial.

Pertanyaan itu mendapat tanggapan menarik dari Pak Bambang, yang menyarankan Tunggu saja.   Akan ada, “Indah pada waktunya.” Semua peserta tersenyum.

Bu Maryati juga menambahkan, “Kita harus sabar menunggu. Menunggu adalah cara yang terbaik.”

Diskusi berlangsung hangat dan penuh semangat, dengan berbagai ide dan pengalaman dibagikan.

Di akhir sesi, Bu Anggi mengajak seluruh peserta membuat pernyataan bersama. “Mari kita katakan dengan penuh semangat: Guru cerdas tak percaya hoax!” ajaknya.

Para guru mengulang pernyataan tersebut sambil melakukan gerakan tangan yang telah diajarkan. Suasana menjadi sangat hidup, dan senyum menghiasi wajah semua peserta.

“Semangat ini harus kita bawa ke ruang kelas dan lingkungan kita. Mari kita menjadi agen perubahan,” tambah Ibu Anggi.

Acara diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari seluruh peserta. Semua guru tampak puas dan bersemangat untuk menerapkan apa yang telah mereka pelajari. Suasana bahagia meliputi ruang pertemuan SMPN 1 Kedungtuban.

Diseminasi literasi digital ini tidak hanya memberikan ilmu baru, tetapi juga mempererat hubungan antar guru. Dengan berakhirnya acara, harapan besar tumbuh bahwa para guru akan menjadi lebih bijak dalam memanfaatkan teknologi dan informasi di era digital.

Kedungtuban, 6 Desember 20224

 

 

 

Rabu, 04 Desember 2024

Terbang Ke Alam Mimpi


Karya: Gutamining Saida

Suasana ruang XII terasa sunyi, hanya sesekali terdengar bunyi gesekan pensil di atas lembar jawaban. Sebagai pengawas, saya menjalankan tugas berkeliling untuk memastikan semuanya berjalan tertib. Pandangan saya terhenti pada seorang siswa laki-laki di barisanke dua. Kepalanya terletak di atas meja.

Rasa penasaran mendorong saya untuk mendekatinya. Saya melihat lembar jawabannya. Saya bolak balik LJK sudah selesai dikerjakan. Semua kolom terisi rapi. "Wah, dia cepat sekali menyelesaikan," pikir saya. Tidak ingin mengganggu, saya melanjutkan berkeliling. Lalu mengecek kartu nomor peserta di setiap meja. Namun, saat selesai keliling, anak itu masih saja tertidur. Dia tidak berubah posisi sama sekali.

Mulai khawatir, saya mencoba membangunkannya. Dengan hati-hati, saya menyenggol kakinya. Tidak ada respons. Saya menyenggol lagi, hingga tiga kali, tapi tetap tidak bergerak. Dalam hati, saya mulai bertanya-tanya, “Apa dia benar-benar tidur atau......?”

Tidak mau menyerah, saya mencoba cara lain. Saya menyentuh tangannya dan menggoyangkannya pelan-pelan. Kali ini, perlahan ia mulai mengangkat wajah. Matanya yang merah dan sembab terlihat jelas saat ia menguceknya dengan punggung tangan. Dia benar-benar tidur pulas!

Sambil setengah sadar, dia menatap saya dengan wajah bingung. Saya tersenyum kecil, lalu berkata pelan, “Kamu kok bisa tidur di sini? Semalam ngapa?”

Dia menjawab singkat dengan suara serak, “Saya tanggapan, Bu.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya, tapi cukup untuk membuat saya tersenyum.

Wajah siswa itu masih setengah sadar saat saya bertanya lagi, mencoba menggali cerita di balik kantuknya. “Kamu tanggapan apa?” saya melanjutkan dengan nada penasaran.

Dia mengucek matanya sekali lagi, menatap saya dengan ekspresi polos, lalu menjawab, “Tanggapan hadroh, Bu.”

“Oh, bagian apa kamu?” tanya saya lagi, tak bisa menahan rasa ingin tahu.

“Terbang, Bu,” jawabnya singkat, tapi cukup membuat saya tersenyum.

“Ooooh,” komentar saya spontan, sedikit memperpanjang nada seolah memberi penekanan. Siswa-siswa lain yang mendengar mulai tersenyum, tertarik pada percakapan kecil kami.

Rasa penasaran saya belum habis. “Dimana kamu tanggapan?” tanya saya lagi, kali ini dengan nada yang lebih santai.  

“Di orang punya hajat nikahan, Bu,” jawabnya sambil mengangkat kepala sedikit lebih tegak, mungkin mulai sadar sepenuhnya.

“Oh, gitu. Dapat bayaran berapa sehari?” tanya saya lagi.

“Lima puluh ribu, Bu,” jawabnya, kali ini lebih lancar.

Saya tersenyum lebar. “Cocok sekali dengan bagian musik hadrohmu, yaitu terbang. Seperti siang ini, kamu juga terbang….. ke alam mimpi!”

Kelas pun meledak dalam tawa. Suara cekikikan terdengar dari berbagai sudut ruangan, mencairkan suasana tegang ujian. Bahkan beberapa siswa yang tadinya serius mengerjakan lembar jawaban ikut tersenyum. Siswa yang tadi tertidur hanya bisa menggaruk-garuk kepala sambil ikut tersenyum malu.

Melihat situasi yang mulai santai, saya kembali mengingatkan siswa-siswa lain untuk tetap fokus pada ujian mereka. “Ayo, kembali kerjakan soal-soalnya. Jangan sampai waktu habis, ya!” ujar saya sambil melangkah menjauh dari siswa yang tadi tertidur. Tapi dalam hati, saya masih tersenyum .

Saat waktu ujian hampir habis, saya kembali berkeliling untuk memastikan semuanya sudah mengisi lembar jawaban dengan lengkap. Siswa yang tadi tertidur kini tampak segar, meski matanya masih sedikit merah. Ia tersenyum malu-malu ketika saya melewati mejanya.

Ketika waktu ujian akhirnya selesai, dan siswa-siswa mulai menyerahkan lembar jawaban, saya tersenyum puas. Meski ada kejadian unik di ruang ini, semuanya tetap berjalan lancar. Dan cerita tentang siswa yang "terbang" siang itu mungkin akan terus saya ingat, menjadi pengingat bahwa di balik setiap anak ada perjuangan dan cerita yang tak selalu terlihat.

Kedungtuban, 5 Desember 2024