Sebelum matahari benar-benar
bangkit dari ufuk timur, aku sudah bersiap-siap meninggalkan kota Cepu. Cepu kota yang selalu menawarkan kehangatan
keluarga. Roda motor melaju dengan semangat. Aku menembus jalan-jalan menuju
Kedungtuban. Sebuah kota kecil yang menjadi saksi perjalananku sebagai seorang
guru. Kedua kota ini begitu berbeda dalam karakternya, namun keduanya sama-sama
memberi warna dalam hidupku.
Kedungtuban adalah kota di mana
aku bekerja sebagai guru SMP. Sebagai seorang pendidik, aku tidak hanya
berinteraksi dengan siswa. Aku juga dihadapkan berbagai perasaan dan kenangan. Kisah
bersama mereka tak tertinggalkan. Di kota kecil ini, aku menemukan dunia yang
penuh cerita. Dari tawa ceria siswa di pagi hari, diskusi seru tentang
pelajaran IPS, hingga momen-momen lucu yang tidak pernah gagal membuatku
tersenyum.
Salah satu kisah yang selalu aku
ingat adalah saat mengajar kelas 9A, kelasku sebagai wali kelas. Suatu ketika,
aku mencoba metode belajar dengan game tebak-tebakan soal IPS. Di kelas 9D di antara semua
siswa, ada Yudi, seorang siswa yang terkenal tidak begitu memperhatikan
pelajaranku. Namun, saat permainan dimulai, dia mengejutkan semua orang dengan
menjawab pertanyaan sulit tentang nama kepala sekolah dengan benar. Gelak tawa
dan sorakan memenuhi kelas, membuat suasana belajar menjadi begitu hidup. Momen
ini tidak hanya membuat kepala sekolah tersenyum, tetapi juga memberiku
kebanggaan sebagai seorang guru.
Tidak semua hari di Kedungtuban
dipenuhi tawa. Ada kalanya kesedihan hadir, seperti ketika aku harus menghadapi
kenyataan bahwa beberapa siswa menghadapi masalah pribadi yang sulit. Ada
Melani, seorang siswa yang pernah memintaku mendoakannya sebelum lomba. Ketika
dia akhirnya menang dan memberikan dua beng-beng sebagai tanda terima kasih,
aku merasakan haru yang mendalam. Hadiah sederhana itu bukan hanya simbol rasa
syukur, tetapi juga pengingat bahwa peran seorang guru tidak pernah sekadar
mengajarkan ilmu.
Selain kisah bersama siswa, rekan
kerja di SMPN 1 Kedungtuban juga menjadi bagian penting dalam kehidupanku di
sana. Bersama mereka, aku belajar arti kerja sama dan persahabatan. Setiap
Jumat pagi, kami mengadakan senam bersama di lapangan besar sekolah. Setelah
itu, kami sarapan bersama dengan bekal yang dibawa dari rumah. Ada yang membawa
nasi goreng, mie goreng, atau telur yang dibungkus dengan daun. Suasana ini
menciptakan kebersamaan yang tidak mudah dilupakan. Bahkan saat ada yang lupa
membawa bekal, kantin sekolah selalu menjadi penyelamat.
Kedungtuban juga menjadi tempat
di mana ide-ide menulisku sering muncul. Entah itu saat berbicara dengan siswa,
berbagi cerita dengan teman sejawat, atau bahkan saat menikmati keheningan di
sela-sela jam mengajar. Aku selalu mencatat momen-momen itu, menuliskannya
dalam bentuk puisi atau cerita, agar tidak hilang begitu saja.
Ketika sore tiba, waktunya bagiku
untuk kembali ke Cepu. Perjalanan pulang selalu menjadi momen refleksi,
memikirkan hal-hal yang telah terjadi sepanjang hari. Sesampainya di Cepu, rasa
lelah seolah sirna ketika aku disambut oleh keluargaku. Kebersamaan dengan
mereka adalah hadiah yang selalu kutunggu-tunggu.
Cepu adalah kota yang penuh
kehangatan. Di sinilah aku menikmati waktu bersama anak, suami, dan ibuku.
Makan malam bersama, berbagi cerita, atau sekadar menonton televisi bersama
adalah momen-momen sederhana yang selalu membuatku bersyukur. Salah satu kenangan
yang paling menyenangkan adalah ketika kami menikmati nasi sambal tahu bersama.
Hidangan sederhana ini tidak hanya lezat, tetapi juga membawa rasa nyaman yang
hanya bisa ditemukan di rumah.
Kehidupan di Cepu mengajarkanku
arti penting dari keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga. Sebagai seorang
guru, tanggung jawabku di Kedungtuban tidak pernah ringan. Namun, kebersamaan
dengan keluarga di Cepu selalu mengingatkanku bahwa setiap usaha yang kulakukan
memiliki tujuan yang lebih besar, yaitu memberikan yang terbaik bagi mereka.
Dua kota ini Kedungtuban dan
Cepu, adalah dua sisi kehidupan yang saling melengkapi. Di Kedungtuban, aku
menemukan tantangan dan kebahagiaan dalam mendidik generasi muda. Di Cepu, aku
menemukan cinta dan ketenangan bersama keluarga. Setiap pagi aku pergi
meninggalkan Cepu dengan semangat, dan setiap sore aku kembali dengan rasa
syukur yang mendalam.
Kedua kota ini mungkin terlihat
biasa di mata orang lain. Bagiku kota itu adalah bagian penting dari perjalanan
hidupku. Setiap jalan yang kulalui, setiap wajah yang kutemui, dan setiap
cerita yang kualami di kedua kota ini adalah bagian dari mozaik kehidupanku.
Mozaik yang penuh warna, penuh cerita dan penuh cinta.
Begitulah kisah tentang
Kedungtuban dan Cepu, dua kota yang selalu menjadi saksi bisu perjalanan
hidupku. Dua kota yang mengajarkanku arti kerja keras, kebahagiaan, dan rasa
syukur. Dan aku yakin, cerita ini akan terus berlanjut, selama aku masih
melangkah di antara keduanya.
Cepu, 31 Desember 2024