Senin, 09 Desember 2024

Pagi yang diberkahi hujan



 Karya: Gutamining Saida

Suara rintik hujan membangunkan saya lebih awal dari biasanya. Udara terasa sejuk, dingin menusuk hingga ke tulang. Hujan yang turun sejak malam masih terus berlanjut. Hujan membawa aroma khas tanah yang menyegarkan. Saya melirik jam dinding; waktu menunjukkan pukul 03.30 WIB. Sebuah panggilan untuk bangkit dari kenyamanan selimut dan menjalankan kewajiban kepada Sang Pencipta. Seusai shalat subuh, saya duduk sejenak, menghirup teh hangat sambil memandang hujan yang turun tanpa henti.

Pikiran mulai terarah pada tugas saya hari ini. Menjadi seorang guru adalah amanah yang tidak hanya sekadar profesi, tetapi juga jihad di jalan ilmu. Walau cuaca tak mendukung, semangat saya tak boleh surut. Setelah sarapan sederhana bersama keluarga, saya bersiap. Jas hujan yang berada di jok motor saya ambil, memastikan perlindungan dari derasnya hujan selama perjalanan menuju sekolah.

Saat langkah pertama keluar rumah, saya sudah dihadapkan pada tantangan. Jalanan kampung yang biasa saya lewati berubah menjadi jalur genangan air. Lobang Seribu, begitu warga setempat menyebutnya, menjadi tantangan utama. Jalan penuh lubang ini kini terisi air hujan, menyembunyikan kedalaman yang bisa mengejutkan siapa saja yang melintas. Saya harus berhati-hati mengendarai motor, menebak mana yang aman dilewati.

Di sepanjang perjalanan, saya bertemu banyak pejuang pagi. Orang-orang seperti saya yang tetap keluar di tengah hujan, menjalankan tugas mereka masing-masing. Ada yang mengendarai motor dengan jas hujan seadanya, beberapa lainnya bersepeda ontel. Wajah mereka tampak basah oleh percikan air, tetapi semangat tetap tergambar jelas. Beberapa anak sekolah tampak memegang payung sambil mengayuh sepeda dengan cekatan. Mereka tidak peduli basah dan dingin, karena ada panggilan tanggung jawab yang harus dipenuhi.

Saya semakin bersyukur melihat semua ini. Hujan yang turun tak menjadi halangan bagi mereka untuk terus bergerak maju. Dalam hati, saya mengingatkan diri sendiri, "Jika mereka saja bisa, apalagi saya yang diberi banyak kemudahan. Kendaraan ada, jas hujan ada. Tidak ada alasan untuk menyerah."

Perjalanan melintasi Lobang Seribu bukan hanya ujian kesabaran, tetapi juga pelajaran kehati-hatian. Sekali saya salah menebak kedalaman genangan, ban motor tergelincir sedikit. Namun, saya cepat menguasai kendaraan dan melanjutkan perjalanan. Hati kecil saya berkata, "Setiap langkah menuju sekolah adalah jihad. Allah Subhanahu Wata'alla akan memudahkan jalan bagi yang berniat baik."

Tiba di parkiran sekolah, saya disambut oleh suasana yang tidak kalah semangat. Siswa-siswa mulai berdatangan. Sebagian besar dengan jas hujan dan payung. Beberapa terlihat basah kuyup karena sepeda mereka tak cukup melindungi dari hujan deras. Namun, tak satu pun dari mereka tampak murung. Mereka justru tertawa, bercanda dengan teman-temannya, seolah dingin dan basah bukan masalah besar.

Saya melepas jas hujan dan salah seorang siswa mendekat dan mengajak jabat tangan. "Kamu semangat sekali, sudah di sekolah?" tanya saya. Ia hanya tersenyum, menjawab polos, "Mau tanding di SMPN 4 Cepu Bu.”

Kata-katanya menghangatkan hati saya. Sebagai guru, momen-momen seperti ini yang selalu membuat saya merasa bahwa pekerjaan ini lebih dari sekadar mengajar. Ini adalah jalan pengabdian, sebuah ladang pahala yang tak kasat mata tetapi terasa nyata dalam hati.

Di kelas, saya membuka pelajaran dengan cerita singkat tentang perjalanan saya pagi ini. Siswa-siswa mendengarkan dengan antusias. Beberapa dari mereka bahkan menceritakan pengalaman mereka sendiri melawan hujan untuk sampai ke sekolah. Salah seorang siswa, yang datang dengan sepatu basah, berkata, "Bu, tadi sepeda saya hampir jatuh karena genangan air di Lobang Seribu, tapi saya tetap semangat, karena saya ingin bertemu teman-teman dan belajar."

Hari ini, hujan menjadi pengingat akan banyak hal. Hujan mengajarkan saya untuk bersyukur atas kemampuan saya untuk tetap menjalankan tugas. Hujan juga menunjukkan bahwa semangat dan tekad adalah bahan bakar utama dalam menjalani hidup, lebih dari sekadar kenyamanan fisik.

Saat istirahat, saya menyempatkan diri untuk duduk di ruang guru, merenungkan apa yang telah saya alami pagi ini. Betapa luar biasa rahmat Allah, yang tidak hanya memberikan hujan sebagai berkah, tetapi juga menguatkan saya dan orang-orang di sekitar saya untuk tetap menjalankan tanggung jawab masing-masing. Hujan ini, dengan segala tantangan yang dibawanya, adalah bentuk ujian kecil yang membuat kita lebih kuat dan lebih bersyukur. Saya tersenyum, merasa lega sekaligus bersyukur telah melewati pagi yang penuh perjuangan ini dengan baik.

Hidup adalah perjalanan yang sering kali diwarnai dengan tantangan, seperti hujan pagi ini. Namun, selama niat kita baik dan langkah kita disertai doa, Allah selalu memberikan kekuatan. Hujan tidak hanya menyuburkan tanah, tetapi juga menyirami jiwa, mengingatkan kita untuk terus bersyukur dan bersemangat menjalani hari. Pagi ini, saya belajar bahwa jihad di jalan ilmu adalah salah satu bentuk ibadah yang paling indah.

Kedungtuban, 8 Desember 2024

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar