Sang mentari tampak malu-malu
menyembul di antara awan. Saya sudah bersiap berangkat ke sekolah. Saya
mengenakan seragam keki dengan rapih. Hari itu memang hari Selasa, dan seperti
biasanya seragam keki. Namun entah mengapa, pagi itu terasa agak aneh. Ada
sedikit keraguan di hati, tapi saya mengabaikannya.
Motor melaju perlahan di jalanan
yang mulai ramai. Sampai di lampu merah, saya melihat seorang ibu-ibu dengan
berani menerobos lampu merah. “Weees, ibu-ibu kok nggak sabaran,” gumam saya
dalam hati sambil menggelengkan kepala. Mata saya langsung tertuju pada seragam
yang dikenakan ibu itu yaitu seragam Korpri.
Perang batin pun dimulai. “Loh,
ini hari Selasa ya? Tapi... kok ibu-ibu itu pakai Korpri?” Saya mulai panik.
Pikiran saya melesat ke banyak kemungkinan. Kalau benar ini tanggal 17, itu
artinya saya salah kostum! Seharusnya saya memakai seragam Korpri, bukan keki.
“Balik nggak ya?” saya membatin
sambil menatap lampu merah yang lama berganti hijau.
Kalau saya balik pulang untuk
ganti baju, konsekuensinya jelas. Saya bakal telat absen, dan itu bukan ide
yang bagus. Tapi kalau lanjut dengan seragam keki, saya pasti jadi bahan
omongan teman-teman di sekolah. "Ah, sudah lah! Lanjut saja, salah kostum
bukan salah besar,” batin saya, akhirnya memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan.
Sesampainya di sekolah, ruang
guru udah terdengar riuh suara para guru. Ada yang memakai seragam keki seperti
saya, ada yang mengenakan kaos olahraga karena mengikuti agenda classmeeting.
Tapi suasana semakin ramai saat seorang guru Bu Endang datang dengan seragam Keki.
Seketika tawa meledak.
Saya yang duduk di pojok tak
kuasa menahan senyum. Dalam hati, saya lega karena ternyata bukan saya saja
yang memakai seragam keki.
Beberapa guru sudah berkumpul
dan... benar saja! Ruang guru penuh warna-warni seragam.
“Tenang, kita nggak sendirian
kok. Saya aja salah pakai kaos olahraga, kirain ada meeting class hari ini,”
ujar Pak Edi sambil menunjuk kaosnya.
Sontak kami semua tertawa lagi.
Perdebatan kecil pun dimulai. Ada yang sibuk mempertahankan seragam
masing-masing. Saya, yang masih setia dengan keki, merasa perlu membela diri.
“Namanya juga hari Selasa, kan biasanya pakai keki.”
Pak Bambang langsung menimpali,
“Loh, ya saya juga nggak salah. Saya pikir ada kegiatan olahraga, makanya pakai
kaos.”
Tawa kami belum reda ketika
seorang guru lainnya masuk ruang guru. Dan reaksi ruang guru pun bisa ditebak,
semua tertawa membahana. Suasana benar-benar menjadi warna-warni pagi itu.
Rasanya baru kali ini, ruang guru berubah seperti pasar seragam. Ada keki, korpri
dan kaos olahraga, semua tumpah ruah dalam satu ruangan.
Sambil tertawa Bu Suryani berkata,
“Ya udah lah, yang penting kita semua tetap semangat kan.” Hari ini adalah
“Hari Salah Kostum Nasional” versi ruang guru sekolah kami. Semua kembali ke
tugas masing-masing, tapi tidak ada yang bisa berhenti senyum. Bahkan sampai
jam istirahat, momen pagi itu masih menjadi bahan obrolan seru.
Salah kostum itu bukan bencana
besar. Justru dari kejadian kecil seperti ini, kami menemukan tawa, kehangatan,
dan kebersamaan. Hari ini benar-benar special. Suasana penuh warna, penuh
cerita, dan penuh tawa.
Kedungtuban, 17 November 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar