Senin, 09 Desember 2024

Hikamah Di Balik Turunnya Hujan

Karya: Gutamining Saida

Hari Selasa tampak seperti hari-hari biasa di awalnya. Matahari bersinar cerah pagi tadi, memberikan semangat baru untuk memulai aktivitas. Saya pun berangkat ke sekolah dengan penuh antusias, melaksanakan tugas sebagai guru di SMP. Jam demi jam berlalu dengan padatnya jadwal mengajar, hingga akhirnya bel pulang pun berbunyi.

Namun, ketika mendekati jam pulang.  Langit yang tadi cerah mulai berubah. Awan hitam menggantung rendah, dan angin dingin mulai berhembus. "Sepertinya hujan akan turun," pikir saya. Benar saja, beberapa menit kemudian, titik-titik air mulai jatuh dari langit, perlahan tapi pasti, hingga menjadi hujan deras.

Saya berdiri di teras ruang guru. Saya memperhatikan bagaimana air hujan jatuh membasahi atap-atap. Rasa ingin segera pulang muncul, namun hujan yang deras membuat saya mengurungkan niat untuk segera meninggalkan sekolah. Saya memutuskan untuk menunggu hingga hujan sedikit reda.

Di sekitar saya, beberapa guru menerobos hujan untuk pulang. Sebagian mengeluh karena perjalanan mereka tertunda, namun saya memilih untuk menikmati momen itu. Bukankah hujan adalah berkah dari Allah SWT? Rasanya sayang jika nikmat ini justru menjadi alasan untuk mengeluh.

Saya memandang ke langit yang kelabu, mendengar suara gemericik air yang jatuh di atas genting dan tanah. Bau khas hujan menyeruak, menyegarkan udara yang sempat panas di siang hari. Saya tersenyum, menyadari bahwa di balik hujan yang mungkin dianggap penghalang bagi sebagian orang, tersimpan banyak pelajaran berharga.

Hujan mengajarkan kesabaran. Saya duduk di bangku ruang guru, menunggu tanpa rasa tergesa-gesa. Tidak ada gunanya memaksa diri berjalan di bawah derasnya air hanya untuk cepat-cepat sampai di rumah. Dalam menunggu, saya belajar menerima bahwa tidak semua hal bisa berjalan sesuai kehendak kita. Ada saat-saat di mana kita harus berserah, percaya bahwa Tuhan selalu memiliki rencana terbaik.

Tidak hanya kesabaran, hujan juga mengingatkan saya akan rasa syukur. Betapa nikmatnya udara yang lebih sejuk setelah hujan mengguyur bumi. Tanaman-tanaman yang tadinya layu terlihat segar kembali, daun-daunnya berkilauan ditimpa air hujan. Saya membayangkan para petani yang pasti merasa bahagia karena hujan membantu mereka mengairi sawah-sawah. Saya mengucap syukur dalam hati, menyadari bahwa hujan bukanlah penghalang, melainkan anugerah yang seringkali kita lupa untuk hargai.

Saat menunggu, saya merenung bahwa hujan adalah salah satu tanda kekuasaan Allah SWT. Tidak ada manusia yang mampu memprediksi kapan hujan turun dengan tepat. Berapa lama akan berlangsung, atau seberapa deras. Semua itu adalah rahasia Allah SWT yang menunjukkan bahwa kita hanyalah makhluk kecil di hadapan-Nya.

Setelah beberapa waktu, hujan mulai sedikit reda. Rintiknya kini jauh lebih halus, memberi kesempatan bagi saya untuk melanjutkan perjalanan pulang. Saya mengangkat tas dan berjalan keluar dari teras, menginjak genangan air kecil yang memantulkan bayangan langit kelabu.

Di sepanjang perjalanan, saya melihat kehidupan di sekitar yang kembali bergerak setelah tertahan oleh hujan. Beberapa anak-anak terlihat bermain di genangan air, tertawa riang tanpa memikirkan baju mereka yang basah. Para pedagang mulai membuka lapaknya kembali, sementara pengendara motor melaju perlahan, berhati-hati agar tidak tergelincir. Pemandangan itu membuat hati saya hangat.

Hujan kini benar-benar berhenti, menyisakan suasana tenang dan udara segar. Saya memandang keluar, merasakan kedamaian yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di momen itu, saya merasa semakin yakin bahwa segala sesuatu di dunia ini, memiliki hikmah dan tujuan yang indah.

Hujan di hari Selasa itu bukanlah hambatan, melainkan pengingat untuk lebih bersyukur, bersabar, dan menghargai apa yang sudah Allah SWT berikan. Dan ketika saya merenungkan semua itu, hati saya dipenuhi rasa bahagia dan syukur yang mendalam. Sesungguhnya Allah SWT selalu punya cara untuk mengajarkan kebaikan. Cara lain Allah SWT lewatkan dengan melalui setetes air hujan.

Kedungtuban 10 Desember 2024

 

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar