Hari Selasa tampak seperti
hari-hari biasa di awalnya. Matahari bersinar cerah pagi tadi, memberikan
semangat baru untuk memulai aktivitas. Saya pun berangkat ke sekolah dengan
penuh antusias, melaksanakan tugas sebagai guru di SMP. Jam demi jam berlalu
dengan padatnya jadwal mengajar, hingga akhirnya bel pulang pun berbunyi.
Namun, ketika mendekati jam
pulang. Langit yang tadi cerah mulai
berubah. Awan hitam menggantung rendah, dan angin dingin mulai berhembus.
"Sepertinya hujan akan turun," pikir saya. Benar saja, beberapa menit
kemudian, titik-titik air mulai jatuh dari langit, perlahan tapi pasti, hingga
menjadi hujan deras.
Saya berdiri di teras ruang guru.
Saya memperhatikan bagaimana air hujan jatuh membasahi atap-atap. Rasa ingin
segera pulang muncul, namun hujan yang deras membuat saya mengurungkan niat
untuk segera meninggalkan sekolah. Saya memutuskan untuk menunggu hingga hujan
sedikit reda.
Di sekitar saya, beberapa guru
menerobos hujan untuk pulang. Sebagian mengeluh karena perjalanan mereka
tertunda, namun saya memilih untuk menikmati momen itu. Bukankah hujan adalah
berkah dari Allah SWT? Rasanya sayang jika nikmat ini justru menjadi alasan
untuk mengeluh.
Saya memandang ke langit yang
kelabu, mendengar suara gemericik air yang jatuh di atas genting dan tanah. Bau
khas hujan menyeruak, menyegarkan udara yang sempat panas di siang hari. Saya
tersenyum, menyadari bahwa di balik hujan yang mungkin dianggap penghalang bagi
sebagian orang, tersimpan banyak pelajaran berharga.
Hujan mengajarkan kesabaran. Saya
duduk di bangku ruang guru, menunggu tanpa rasa tergesa-gesa. Tidak ada gunanya
memaksa diri berjalan di bawah derasnya air hanya untuk cepat-cepat sampai di
rumah. Dalam menunggu, saya belajar menerima bahwa tidak semua hal bisa
berjalan sesuai kehendak kita. Ada saat-saat di mana kita harus berserah,
percaya bahwa Tuhan selalu memiliki rencana terbaik.
Tidak hanya kesabaran, hujan juga
mengingatkan saya akan rasa syukur. Betapa nikmatnya udara yang lebih sejuk
setelah hujan mengguyur bumi. Tanaman-tanaman yang tadinya layu terlihat segar
kembali, daun-daunnya berkilauan ditimpa air hujan. Saya membayangkan para
petani yang pasti merasa bahagia karena hujan membantu mereka mengairi
sawah-sawah. Saya mengucap syukur dalam hati, menyadari bahwa hujan bukanlah
penghalang, melainkan anugerah yang seringkali kita lupa untuk hargai.
Saat menunggu, saya merenung
bahwa hujan adalah salah satu tanda kekuasaan Allah SWT. Tidak ada manusia yang
mampu memprediksi kapan hujan turun dengan tepat. Berapa lama akan berlangsung,
atau seberapa deras. Semua itu adalah rahasia Allah SWT yang menunjukkan bahwa
kita hanyalah makhluk kecil di hadapan-Nya.
Setelah beberapa waktu, hujan
mulai sedikit reda. Rintiknya kini jauh lebih halus, memberi kesempatan bagi
saya untuk melanjutkan perjalanan pulang. Saya mengangkat tas dan berjalan
keluar dari teras, menginjak genangan air kecil yang memantulkan bayangan
langit kelabu.
Di sepanjang perjalanan, saya
melihat kehidupan di sekitar yang kembali bergerak setelah tertahan oleh hujan.
Beberapa anak-anak terlihat bermain di genangan air, tertawa riang tanpa
memikirkan baju mereka yang basah. Para pedagang mulai membuka lapaknya
kembali, sementara pengendara motor melaju perlahan, berhati-hati agar tidak
tergelincir. Pemandangan itu membuat hati saya hangat.
Hujan kini benar-benar berhenti,
menyisakan suasana tenang dan udara segar. Saya memandang keluar, merasakan
kedamaian yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di momen itu, saya merasa
semakin yakin bahwa segala sesuatu di dunia ini, memiliki hikmah dan tujuan
yang indah.
Hujan di hari Selasa itu bukanlah
hambatan, melainkan pengingat untuk lebih bersyukur, bersabar, dan menghargai
apa yang sudah Allah SWT berikan. Dan ketika saya merenungkan semua itu, hati
saya dipenuhi rasa bahagia dan syukur yang mendalam. Sesungguhnya Allah SWT selalu
punya cara untuk mengajarkan kebaikan. Cara lain Allah SWT lewatkan dengan melalui
setetes air hujan.
Kedungtuban 10 Desember 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar