Suasana ruang XII terasa sunyi,
hanya sesekali terdengar bunyi gesekan pensil di atas lembar jawaban. Sebagai
pengawas, saya menjalankan tugas berkeliling untuk memastikan semuanya berjalan
tertib. Pandangan saya terhenti pada seorang siswa laki-laki di barisanke dua.
Kepalanya terletak di atas meja.
Rasa penasaran mendorong saya
untuk mendekatinya. Saya melihat lembar jawabannya. Saya bolak balik LJK sudah
selesai dikerjakan. Semua kolom terisi rapi. "Wah, dia cepat sekali
menyelesaikan," pikir saya. Tidak ingin mengganggu, saya melanjutkan
berkeliling. Lalu mengecek kartu nomor peserta di setiap meja. Namun, saat
selesai keliling, anak itu masih saja tertidur. Dia tidak berubah posisi sama
sekali.
Mulai khawatir, saya mencoba
membangunkannya. Dengan hati-hati, saya menyenggol kakinya. Tidak ada respons.
Saya menyenggol lagi, hingga tiga kali, tapi tetap tidak bergerak. Dalam hati,
saya mulai bertanya-tanya, “Apa dia benar-benar tidur atau......?”
Tidak mau menyerah, saya mencoba
cara lain. Saya menyentuh tangannya dan menggoyangkannya pelan-pelan. Kali ini,
perlahan ia mulai mengangkat wajah. Matanya yang merah dan sembab terlihat
jelas saat ia menguceknya dengan punggung tangan. Dia benar-benar tidur pulas!
Sambil setengah sadar, dia
menatap saya dengan wajah bingung. Saya tersenyum kecil, lalu berkata pelan,
“Kamu kok bisa tidur di sini? Semalam ngapa?”
Dia menjawab singkat dengan suara
serak, “Saya tanggapan, Bu.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya, tapi cukup
untuk membuat saya tersenyum.
Wajah siswa itu masih setengah
sadar saat saya bertanya lagi, mencoba menggali cerita di balik kantuknya.
“Kamu tanggapan apa?” saya melanjutkan dengan nada penasaran.
Dia mengucek matanya sekali lagi,
menatap saya dengan ekspresi polos, lalu menjawab, “Tanggapan hadroh, Bu.”
“Oh, bagian apa kamu?” tanya saya
lagi, tak bisa menahan rasa ingin tahu.
“Terbang, Bu,” jawabnya singkat,
tapi cukup membuat saya tersenyum.
“Ooooh,” komentar saya spontan,
sedikit memperpanjang nada seolah memberi penekanan. Siswa-siswa lain yang
mendengar mulai tersenyum, tertarik pada percakapan kecil kami.
Rasa penasaran saya belum habis.
“Dimana kamu tanggapan?” tanya saya lagi, kali ini dengan nada yang lebih santai.
“Di orang punya hajat nikahan,
Bu,” jawabnya sambil mengangkat kepala sedikit lebih tegak, mungkin mulai sadar
sepenuhnya.
“Oh, gitu. Dapat bayaran berapa
sehari?” tanya saya lagi.
“Lima puluh ribu, Bu,” jawabnya,
kali ini lebih lancar.
Saya tersenyum lebar. “Cocok
sekali dengan bagian musik hadrohmu, yaitu terbang. Seperti siang ini, kamu
juga terbang….. ke alam mimpi!”
Kelas pun meledak dalam tawa.
Suara cekikikan terdengar dari berbagai sudut ruangan, mencairkan suasana
tegang ujian. Bahkan beberapa siswa yang tadinya serius mengerjakan lembar
jawaban ikut tersenyum. Siswa yang tadi tertidur hanya bisa menggaruk-garuk
kepala sambil ikut tersenyum malu.
Melihat situasi yang mulai
santai, saya kembali mengingatkan siswa-siswa lain untuk tetap fokus pada ujian
mereka. “Ayo, kembali kerjakan soal-soalnya. Jangan sampai waktu habis, ya!” ujar
saya sambil melangkah menjauh dari siswa yang tadi tertidur. Tapi dalam hati,
saya masih tersenyum .
Saat waktu ujian hampir habis,
saya kembali berkeliling untuk memastikan semuanya sudah mengisi lembar jawaban
dengan lengkap. Siswa yang tadi tertidur kini tampak segar, meski matanya masih
sedikit merah. Ia tersenyum malu-malu ketika saya melewati mejanya.
Ketika waktu ujian akhirnya
selesai, dan siswa-siswa mulai menyerahkan lembar jawaban, saya tersenyum puas.
Meski ada kejadian unik di ruang ini, semuanya tetap berjalan lancar. Dan
cerita tentang siswa yang "terbang" siang itu mungkin akan terus saya
ingat, menjadi pengingat bahwa di balik setiap anak ada perjuangan dan cerita
yang tak selalu terlihat.
Kedungtuban, 5 Desember 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar