Karya: Gutamining Saida
Suasana di ruang guru SMPN 1 Kedungtuban sedikit berbeda. Penilaian sumatif akhir semester siang ini, baru saja berakhir. Guru-guru yang bertugas mulai kembali ke ruang guru untuk istirahat. Ada yang sedang menyusun laporan, atau sekadar berbincang ringan. Namun, kedamaian itu seketika pecah oleh gerak-gerik salah satu guru, yang tampak sibuk dan gelisah.
Bu Mulyani
adalah guru Pendidikan Agama Islam yang dikenal aktif dan penuh semangat. Siang
itu, ia terlihat membolak balik, menghitung amplop coklat di ruang guru. Ia
menghitung ulang jumlah amplop dengan ekspresi penuh kecemasan. Dari wajahnya
yang penuh kekhawatiran, tampak jelas ada sesuatu yang tidak beres.
“Lho, kok kurang
satu?” gumamnya, setengah berbicara kepada diri sendiri.
Ia mondar-mandir
dari ruang guru ke ruang kurikulum dengan langkah tergesa-gesa. Ia kemudian
kembali lagi ke ruang guru lagi. Ia berhenti di meja kerjanya, memeriksa tas
serta setiap sudut meja dengan teliti. Namun, amplop yang dicarinya tetap tidak
ditemukan.
“Eh, amplopnya
isi apa sih, Bu Mul?” tanya bu Saida guru IPS.
“Lembar jawaban
siswa, bu,” jawab Bu Mul cepat. “Tadi saya sudah yakin semua amplopnya ada.
Tapi sekarang kok kurang satu? Aduh, gimana ini...”
Pak Bambang
terkekeh kecil. “Saya kira amplopnya berisi uang. Habis bu Mul panik banget
begitu.”
Mendengar
percakapan ini, beberapa guru lain mulai tertarik dan ikut nimbrung. Sebagian
merasa prihatin, sementara yang lain tak bisa menahan diri untuk berkomentar.
“Bu Mul, jangan
terlalu panik. Coba diingat-ingat lagi, tadi taruh di mana?” kata Bu Yulis,
guru seni budaya yang sedang menghitung uang iuran untuk kegiatan P5.
“Kalau bu Mul lupa-lupa
begitu, biasanya bukan karena usia, tapi karena U... upyek!
Hahaha!” sambungnya sambil tertawa lepas. Komentar Bu Yulis sontak membuat
suasana menjadi riuh. Guru-guru lain yang mendengarnya ikut tertawa.
“Ya ampun, Bu
Yulis, jangan bikin saya tambah stres!” kata Bu Mul, sambil mencoba tersenyum
kecut. Namun, ia tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.
Di tengah
kegaduhan itu, hanya satu orang yang tetap tenang dan tak terganggu yaitu Bu
Rini. Ia duduk di sebelah meja bu Yulis. Bu Rini, fokus menatap layar
laptopnya. Jari-jarinya lincah mengetik sesuatu. Tidak ada sedikit pun tanda
bahwa ia peduli dengan keributan di sekitarnya. Bu Rini memang dikenal sebagai
sosok yang pendiam, sangat disiplin dan bertanggung jawab terhadap
pekerjaannya.
“Bu Rini, kok
nggak komentar? Lagi sibuk banget ya?” celetuk bu Suryani, guru IPS sambil mendekati mejanya. Bu Rini hanya
mengangkat bahu tanpa melepaskan pandangannya dari layar laptop. “Masih ada
laporan yang harus selesai. Maaf ya, nggak bisa ikut heboh.” Mendengar jawaban
datar itu, bu Suryani hanya tersenyum kecil dan kembali ke tempatnya.
Sementara itu,
Bu Mul terus mondar-mandir di ruang guru. Saking paniknya, ia bahkan tanpa
sadar mengangkat sedikit bagian bawah bajunya. Entah untuk mengelap keringat atau
sekadar gerakan refleks karena gelisah. Tentu saja, ini tidak luput dari
perhatian rekan-rekannya.
“Lihat tuh,
masih muda tapi udah pelupa. Jangan-jangan ini gara-gara faktor U,”
canda Bu Endang, guru Bahasa Inggris, sambil tertawa.
“Eh, jangan
sembarangan! Kalau faktor U itu usia, Bu Mul masih jauh dari itu.
Mungkin dia cuma lagi banyak pikiran,” sahut Bu Iip.
“Kalau begitu,
mungkin faktor U yang lain yaitu upyek! Hahaha!” kata Bu Yulis,
mengulang candanya tadi. Kali ini, tawa guru-guru lain semakin kencang.
Sebelum teman guru
beranjak membantu, Bu Mul tiba-tiba berseru. “Ketemu! Astaghfirullah, ternyata diatas
buku!” katanya dengan nada lega.
Seketika suasana
ruang guru dipenuhi gelak tawa. Semua orang merasa lega sekaligus geli melihat
betapa paniknya Bu Mul beberapa menit yang lalu.
“Lain kali
jangan sampai kejadian begini lagi ya, Bu Mul,” kata bu Yulis. “Kalau amplop
jawaban hilang beneran, bisa gawat!”
“Duh, iya bu. Peristiwa
ini jadi pelajaran. Terima kasih ya, semuanya,” ujar Bu Mul sambil tersenyum
malu.
Meskipun
masalahnya sudah selesai, suasana riuh di ruang guru terus berlanjut dengan
gurauan dan cerita-cerita lain. Namun, satu orang tetap tidak terpengaruh oleh
kegaduhan itu yaitu Bu Rini. Ia masih fokus pada laptopnya, menyelesaikan
tugas-tugas yang harus dikumpulkan siang itu.
Ketika suasana
mulai tenang, Bu Yulis melirik ke arah Bu Rini dan bergumam pelan. “Kalau Bu
Rini nggak lupa amplop atau tugas, itu bukan karena nggak pernah upyek.
Tapi karena dia lebih serius daripada kita semua.”
Komentar itu
membuat beberapa guru yang mendengarnya mengangguk setuju. Memang, di balik
keheningannya, Bu Rini adalah sosok yang menjadi panutan dalam hal
profesionalisme.
Siang itu, ruang
guru tidak hanya menjadi tempat bercengkerama. Peristiwa itu memberikan pelajaran penting
tentang kerja sama, humor, dan dedikasi. Sebuah kejadian sederhana seperti
kehilangan amplop mampu membuat suasana ruang guru menjadi lebih hidup, penuh
gelak tawa, sekaligus rasa saling mendukung.
Kedungtuban, 4
Desember 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar