Senin, 30 Desember 2024

Dua Kota

Karya : Gutamining Saida

Sebelum matahari benar-benar bangkit dari ufuk timur, aku sudah bersiap-siap meninggalkan kota Cepu.  Cepu kota yang selalu menawarkan kehangatan keluarga. Roda motor melaju dengan semangat. Aku menembus jalan-jalan menuju Kedungtuban. Sebuah kota kecil yang menjadi saksi perjalananku sebagai seorang guru. Kedua kota ini begitu berbeda dalam karakternya, namun keduanya sama-sama memberi warna dalam hidupku.

Kedungtuban adalah kota di mana aku bekerja sebagai guru SMP. Sebagai seorang pendidik, aku tidak hanya berinteraksi dengan siswa. Aku juga dihadapkan berbagai perasaan dan kenangan. Kisah bersama mereka tak tertinggalkan. Di kota kecil ini, aku menemukan dunia yang penuh cerita. Dari tawa ceria siswa di pagi hari, diskusi seru tentang pelajaran IPS, hingga momen-momen lucu yang tidak pernah gagal membuatku tersenyum.

Salah satu kisah yang selalu aku ingat adalah saat mengajar kelas 9A, kelasku sebagai wali kelas. Suatu ketika, aku mencoba metode belajar dengan game tebak-tebakan soal IPS. Di kelas 9D di antara semua siswa, ada Yudi, seorang siswa yang terkenal tidak begitu memperhatikan pelajaranku. Namun, saat permainan dimulai, dia mengejutkan semua orang dengan menjawab pertanyaan sulit tentang nama kepala sekolah dengan benar. Gelak tawa dan sorakan memenuhi kelas, membuat suasana belajar menjadi begitu hidup. Momen ini tidak hanya membuat kepala sekolah tersenyum, tetapi juga memberiku kebanggaan sebagai seorang guru.

Tidak semua hari di Kedungtuban dipenuhi tawa. Ada kalanya kesedihan hadir, seperti ketika aku harus menghadapi kenyataan bahwa beberapa siswa menghadapi masalah pribadi yang sulit. Ada Melani, seorang siswa yang pernah memintaku mendoakannya sebelum lomba. Ketika dia akhirnya menang dan memberikan dua beng-beng sebagai tanda terima kasih, aku merasakan haru yang mendalam. Hadiah sederhana itu bukan hanya simbol rasa syukur, tetapi juga pengingat bahwa peran seorang guru tidak pernah sekadar mengajarkan ilmu.

Selain kisah bersama siswa, rekan kerja di SMPN 1 Kedungtuban juga menjadi bagian penting dalam kehidupanku di sana. Bersama mereka, aku belajar arti kerja sama dan persahabatan. Setiap Jumat pagi, kami mengadakan senam bersama di lapangan besar sekolah. Setelah itu, kami sarapan bersama dengan bekal yang dibawa dari rumah. Ada yang membawa nasi goreng, mie goreng, atau telur yang dibungkus dengan daun. Suasana ini menciptakan kebersamaan yang tidak mudah dilupakan. Bahkan saat ada yang lupa membawa bekal, kantin sekolah selalu menjadi penyelamat.

Kedungtuban juga menjadi tempat di mana ide-ide menulisku sering muncul. Entah itu saat berbicara dengan siswa, berbagi cerita dengan teman sejawat, atau bahkan saat menikmati keheningan di sela-sela jam mengajar. Aku selalu mencatat momen-momen itu, menuliskannya dalam bentuk puisi atau cerita, agar tidak hilang begitu saja.

Ketika sore tiba, waktunya bagiku untuk kembali ke Cepu. Perjalanan pulang selalu menjadi momen refleksi, memikirkan hal-hal yang telah terjadi sepanjang hari. Sesampainya di Cepu, rasa lelah seolah sirna ketika aku disambut oleh keluargaku. Kebersamaan dengan mereka adalah hadiah yang selalu kutunggu-tunggu.

Cepu adalah kota yang penuh kehangatan. Di sinilah aku menikmati waktu bersama anak, suami, dan ibuku. Makan malam bersama, berbagi cerita, atau sekadar menonton televisi bersama adalah momen-momen sederhana yang selalu membuatku bersyukur. Salah satu kenangan yang paling menyenangkan adalah ketika kami menikmati nasi sambal tahu bersama. Hidangan sederhana ini tidak hanya lezat, tetapi juga membawa rasa nyaman yang hanya bisa ditemukan di rumah.

Kehidupan di Cepu mengajarkanku arti penting dari keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga. Sebagai seorang guru, tanggung jawabku di Kedungtuban tidak pernah ringan. Namun, kebersamaan dengan keluarga di Cepu selalu mengingatkanku bahwa setiap usaha yang kulakukan memiliki tujuan yang lebih besar, yaitu memberikan yang terbaik bagi mereka.

Dua kota ini Kedungtuban dan Cepu, adalah dua sisi kehidupan yang saling melengkapi. Di Kedungtuban, aku menemukan tantangan dan kebahagiaan dalam mendidik generasi muda. Di Cepu, aku menemukan cinta dan ketenangan bersama keluarga. Setiap pagi aku pergi meninggalkan Cepu dengan semangat, dan setiap sore aku kembali dengan rasa syukur yang mendalam.

Kedua kota ini mungkin terlihat biasa di mata orang lain. Bagiku kota itu adalah bagian penting dari perjalanan hidupku. Setiap jalan yang kulalui, setiap wajah yang kutemui, dan setiap cerita yang kualami di kedua kota ini adalah bagian dari mozaik kehidupanku. Mozaik yang penuh warna, penuh cerita dan penuh cinta.

Begitulah kisah tentang Kedungtuban dan Cepu, dua kota yang selalu menjadi saksi bisu perjalanan hidupku. Dua kota yang mengajarkanku arti kerja keras, kebahagiaan, dan rasa syukur. Dan aku yakin, cerita ini akan terus berlanjut, selama aku masih melangkah di antara keduanya.

Cepu, 31 Desember 2024

 

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar