Senin, 09 Juni 2025
Bethem
Minggu, 08 Juni 2025
Tips memasak dari Abah
Sabtu, 07 Juni 2025
Syukuran
Jumat, 06 Juni 2025
Darwis
Terkuak Setelah Delapan Tahun
Kamis, 05 Juni 2025
Tantangan Sahabat
Buket Dari Visca
Rabu, 04 Juni 2025
Ingatan Yang Tak Pernah Usang
Karya: Gutamining Saida
Malam itu, layar ponsel saya
menyala. Sebuah pesan masuk lewat WhatsApp. Dari nama pengirimnya, saya
langsung tahu yaitu Rafi. Mantan siswa yang dulu pernah mengisi ruang-ruang
kelas dengan kenakalannya, kini menjadi bagian dari masa lalu yang kadang
muncul kembali dalam bentuk kenangan, dan... curhatan.
"Bu Saida, ternyata enak
jadi siswa SMP." Begitu isi pesannya. Singkat. Namun terasa dalam. Saya
tak langsung membalas malam itu. Mata sudah berat, dan niat untuk membalas bisa
menunggu esok pagi.
Keesokan harinya, selepas Subuh,
saya membuka kembali pesan dari Rafi. Saya tersenyum kecil. Kalimat singkatnya
itu seolah mengandung sejuta cerita. Saya pun membalas dengan nada gurauan yang
khas kami yaitu "Rafi? Ingat kamu tuh sering telat masuk, tidur waktu
pelajaran IPS. Tapi tetap nyengir, ya kan?"
Beberapa menit kemudian, centang
dua berubah biru. Artinya, dibaca. Tak lama, ia membalas dengan gambar stiker
wajah tertawa terpingkal-pingkal. Saya bisa membayangkan senyum jail-nya yang
dulu suka bikin guru gemas. Dulu sering tidur saat pelajaran, tapi tetap jadi
anak yang dekat di hati, karena di balik kelakuannya, ada rasa hormat dan cinta
yang tak pernah pudar.
Hubungan saya dan Rafi, seperti
hubungan seorang ibu dengan anak remajanya yang keras kepala namun penyayang.
Kadang dia menghilang, lama tak memberi kabar, lalu tiba-tiba muncul lagi
dengan sapaan hangat, cerita saat sekolah di SMK, atau sekadar mengirim meme
lucu tentang sekolah.
“Bu, kangen sekolah SMP,” tulis
Rafi pada suatu siang.
“Kalau kangen, ke sekolah. Ketemu
saya, cerita-cerita.”balas saya.
Beberapa minggu setelah chat itu,
Rafi benar-benar datang ke sekolah. Ia datang dengan celana seragam sekolah ransel
kecil di punggung, dan senyum yang masih sama seperti dulu. Begitu masuk ruang
guru, dia langsung mencari saya.
“Bu Saida mana?” tanyanya ke guru
lain.
Saya keluar dari ruang saat
mendengar namaku disebut. Di depan pintu, berdiri sosok tinggi yang dulu kecil
dan suka ribut di kelas.
“Bu...!” sapanya.
“Rafi! Tumben,” jawab saya sambil
tertawa.
Kami duduk di bangku teras dekat
taman sekolah. Tak ada guru lain di sekitar. Hanya kami berdua, dan obrolan
yang membawa kami kembali pada tahun-tahun ketika Rafi masih mengenakan seragam
biru putih.
“Bu, saya lihat story guru SMPN 1
Kedungtuban, ada acara pelepasan siswa. Jadi ingat dulu waktu saya di kelas IX.”
“Dulu kamu juga ikut, kan?”jawab saya.
“Iya bu, tapi kayaknya waktu itu
saya biasa saja. Sekarang lihat, jadi kangen banget suasananya.”
Rafi bercerita panjang. Tentang
dunia sekolah di SMK, tentang betapa ia merindukan masa-masa tak punya banyak
beban, tentang guru-guru yang dulu sering ia goda tapi hormati dalam diam. Ia
mengaku, sekarang baru sadar betapa banyak hal berharga yang dulu ia abaikan.
“Saya tuh dulu suka tidur pas
pelajaran IPS, tapi sekarang sering baca berita soal politik, ekonomi. Jadi
malah mikir, kenapa nggak serius dari dulu ya...”
Saya tertawa pelan. “Namanya juga
anak SMP, Raf. Yang penting sekarang kamu sadar dan belajar dari masa lalu.”
Obrolan kami terus mengalir.
Kadang serius, kadang diselingi tawa. Ia juga bercerita tentang adiknya yang
sekarang duduk di kelas 8, dan sering ia nasihati untuk tidak seperti dirinya
dulu.
“Bu, dulu saya bandel ya?”
katanya sambil menunduk.
“Kamu tidak bandel. Kamu hanya
penuh energi dan butuh lebih banyak arahan. Itu yang penting.”
Ia tersenyum. “Terima kasih, Bu.”
Setelah beberapa saat, Rafi
pamit. Sebelum pergi, ia kembali menoleh.
“Bu, doakan saya ya. Saya kalau
sudah lulus nanti mau coba daftar kuliah sambil kerja.”
“Insya Allah. Kamu pasti bisa.”
Rafi kembali melangkah keluar
gerbang sekolah, seperti dulu saat pertama kali lulus. Tapi kali ini bukan sebagai
siswa yang tergesa-gesa ingin keluar dari ruang kelas, melainkan sebagai pemuda
yang membawa banyak kenangan dan tekad baru.
Malamnya, saya kembali mendapat
chat darinya. Hanya satu kata yaitu “Terima kasih, Bu.” Saya tak membalas
dengan panjang. Cukup dengan yaitu “Semoga menjadi anak sholeh, ya.”
Hubungan kami, seperti ribuan
kisah guru dan murid lainnya, tidak berhenti di ruang kelas. Ia tetap tumbuh,
berdenyut dalam ingatan dan perhatian yang tulus. Karena bagi saya, seorang
guru, mantan murid bukanlah masa lalu namun mereka adalah bagian dari
perjalanan yang terus hidup, bahkan saat pelajaran sudah usai.
Cepu, 5 Juni 2025