Senin, 09 Juni 2025

Bethem



Karya: Gutamining Saida 
Minggu pagi saya mampir ke penjual godok an di pinggir jalan sebelum menuju sekolah. Deretan penjual srabi, bubur dan  ketela rebus, pisang rebus, dan beberapa jajanan tradisional lainnya yang seringkali mengingatkan saya  pada masa kecil. Aroma khas dari ketela yang masih hangat dan manisnya pisang rebus selalu berhasil menggoda, apalagi jika pagi masih berembun.

Ada yang berbeda pagi ini. Di sudut meja kecil, tersusun beberapa plastik bening berisi sesuatu yang tak biasa saya lihat. Warnanya agak gelap kehitaman, bentuknya bulat seperti biji besar yang telah direbus. Saya sempat ragu, apa ini? Penasaranku tak bisa ditahan.

“Bu, ini apa ya?” tanyaku sambil menunjuk ke plastik itu.

“Oh, itu beton,” jawab si ibu penjual sambil tersenyum. “Enak lho, gurih rasanya.”

Beton? Otakku langsung berpikir biji buah nangka. Baru beberapa detik kemudian aku tersadar, oh… mungkin ini makanan yang pernah saya dengar samar-samar di masa kecil. Tapi tak pernah saya temui, apalagi mencicipi.

Karena penasaran dan percaya pada lidah sang ibu penjual yang sering memberikan rekomendasi jajanan enak, akhirnya saya beli juga satu plastik. Harganya murah, tak lebih dari harga sebungkus gorengan. Saya membawa plastik itu ke sekolah sambil berharap teman-teman tahu lebih banyak tentang makanan ini.

Sesampainya di gazebo, saya langsung menyapa beberapa rekan dan mengeluarkan plastik berisi beton itu.

“Ini lho, ada yang tahu ini apa?” tanya saya sambil membuka plastiknya dan mencium aromanya yang lembut. Aroma khas biji rebus, seperti perpaduan antara biji nangka dan ubi jalar.

“Wah, ini beton, ya?” kata seorang teman sambil mengambil satu dan mencicipinya. Ia tampak berpikir sejenak, lalu berkata, “Hmm… tapi kok ini bukan sembarang beton. Rasanya beda.”

Tiba-tiba, Bu Ning guru yang lebih senior ikut mendekat dan memperhatikan lebih saksama.

“Ini namanya bethem, bukan beton biasa,” katanya penuh keyakinan. “Bethem itu biji kluwih yang sudah tua, biasanya yang jatuh sendiri dari pohonnya, lalu diambil bijinya dan direbus. Makanya kulit luarnya hitam karena sudah tua, tapi dalamnya putih bersih dan rasanya gurih banget.”

Mendengar penjelasannya, kami semua terdiam sejenak. Satu demi satu rekan guru mulai mencicipi, menggigit dengan pelan seolah ingin mengenang masa lalu lewat rasa.

“Enak ya,” ujar Bu Rohana  sambil tersenyum, “dalamnya empuk tapi padat. Gurih seperti makan kacang rebus, tapi ada aroma khas yang nggak bisa dibandingkan.”

“Ini makanan zaman dulu banget ya?” tanya Bu Ida sambil mengambil satu lagi. “Kayaknya dulu waktu kecil pernah makan, tapi sekarang sudah sangat jarang lihat.”

Saya mengangguk, dalam hati merasa senang bisa membawa sesuatu yang ternyata membangkitkan kenangan begitu banyak orang. Kami pun melanjutkan obrolan ringan tentang makanan-makanan tempo dulu yang kini makin sulit ditemukan. Ada yang menyebut jenang gempol, ada yang rindu dengan bubur suro asli buatan nenek, bahkan ada yang cerita tentang makan tiwul dan gatot saat kecil karena memang belum kenal nasi putih.

Bethem menjadi bintang pagi di ruang guru. Tak butuh waktu lama, semua bethem habis disantap bersama. Suasana hangat menyelimuti, bukan karena makanan itu mewah atau viral, tapi karena ia membawa kami kembali pada cerita lama  tentang masa kecil, tentang orang tua yang dulu suka memasak sesuatu dari bahan sederhana yang tersedia di alam.

Bethem, siapa sangka, telah menjadi penghubung antar generasi. Bagi kami yang sempat mengenalnya, ia adalah pengingat bahwa ada kebahagiaan dalam kesederhanaan. Bagi generasi sekarang, mungkin tak menarik, karena bentuknya tak estetik dan tak masuk ke dalam daftar makanan kekinian yang bisa dipajang di media sosial. Tapi rasa dan makna yang dibawanya jauh lebih dalam.

Saya pun sempat berpikir, mengapa sekarang makanan-makanan seperti bethem ini nyaris punah? Mungkin karena pohon kluwih sudah jarang ditanam. Mungkin karena orang lebih memilih camilan cepat saji yang serba instan. Atau mungkin karena kita sendiri yang mulai melupakan akar budaya kita sendiri.

Bethem bukan sekadar makanan. Ia adalah cerita. Ia adalah sejarah kecil yang hidup dari tangan ke tangan, dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Meskipun sederhana, gurihnya menyisakan rasa syukur dalam hati. Saya belajar, bahwa kadang yang paling membahagiakan bukanlah hal besar, tapi sebiji bethem yang direbus dengan kasih sayang dan dinikmati bersama.
Cepu, 8 Juni 2025 

Minggu, 08 Juni 2025

Tips memasak dari Abah

 Karya: Gutamining Saida 
Sejak adzan Subuh berkumandang, langit sudah menangis lembut. Hujan turun pelan-pelan, menyapa bumi yang sebelumnya kering dan panas. Suasana mendung membungkus rumah kami, udara dingin menyusup melalui celah-celah jendela, membuat tubuh enggan beranjak dari selimut hangat. Tapi seperti biasa, suami saya bangun lebih dahulu.

Saat saya turun ke dapur  aroma kopi menyambut, saya melihat ia duduk di ruang tengah sambil memainkan ponsel. Jendela masih memperlihatkan pemandangan yang basah yaitu daun-daun bergetar karena tetesan air, dan jalan kecil di depan rumah berubah jadi aliran air kecil yang bergerak pelan.

"Ini hujan nggak berhenti dari Subuh ya?" tanya saya

Suami saya mengangguk sambil tersenyum. "Hujan-hujan begini enaknya masak yang hangat-hangat ya, mi. Tadi saya kirim video ke grup keluarga, isinya tips-tips dapur. Biar anak-anak bisa manfaakan juga, apalagi kalau masak di pagi dingin kayak gini."

Saya mendekat dan melihat pesan yang ia kirimkan di grup WhatsApp keluarga kecil kami. Grup itu hanya berisi kami, dua anak kami yang sudah berkeluarga, menantu, dan cucu-cucu kecil yang kadang iseng kirim stiker atau suara tawa. Pagi itu, grup mulai hidup karena kiriman video dari sang abah.

“Tips Dapur bisa irit , Edisi Hujan Gerimis. Yuk dicoba!” tulisnya.

Saya klik videonya. Vidio dari grup sebelah yang  abah bagi tips dapur yang mungkin berguna, apalagi kalau waktu masak terbatas. Simpel dan praktis ya…”

Tips pertama: Cara mencairkan daging beku. “Nggak perlu nunggu lama. Cukup rendam dalam air hangat yang sudah diberi garam dan cuka. Dalam waktu lebih singkat, daging bisa siap diolah. Cocok kalau mau bikin sop iga atau rawon hangat di pagi seperti ini.”

Saya mengangguk, membayangkan panci besar penuh kuah panas mengepul. Suasana mendukung untuk menghidangkan masakan seperti itu.

Tips kedua yaitu Membersihkan ikan lele agar tidak amis dan berlendir. “Cukup taburkan tepung terigu, remas-remas, bilas, dan ulangi sekali kalau perlu. Dijamin lebih bersih dan bau amis berkurang. Cocok buat pecel lele malam nanti kalau hujan reda.”

Tips ketiga yaitu Agar tak menangis saat mengupas bawang merah. “Ambil tisu, basahi, dan letakkan dekat talenan. Uap dari bawang akan terserap tisu basah itu. Mata pun aman dari pedih.”

Tips ini membuat tertawa kecil. Saya teringat betapa sering harus mengelap air mata yang bukan karena sedih, tapi karena bawang. Terkadang suami mengejek dengan manja. 

Tips keempat yaitu Menghindari cipratan minyak panas saat menggoreng. “Sebelum panaskan minyak, beri sedikit perasan air jeruk nipis. Nggak cuma mengurangi cipratan, juga kasih aroma segar.”

Tips kelima yaitu Agar air rebusan tidak meluap. “Masukkan potongan es batu kalau air mulai naik dan mendidih. Air akan kembali tenang. Ini sering Abah pakai waktu rebus mie instan malam-malam.”

Pesan itu ditutup dengan kalimat yang membuat hati ini hangat yaitu

 “Semoga bermanfaat. Abah cuma ingin berbagi agar memasak jadi lebih ringan dan menyenangkan. Apalagi saat hujan-hujan seperti ini, makanan hangat akan terasa lebih nikmat kalau dibuat dengan hati yang tenang.”

Anak kami yang baru belajar memasak pun ikut nimbrung, “Tips lelenya mantap! Biasanya jijik sama lendirnya, coba nanti sore.”

Tak ketinggalan anak sulung  kami menambahkan, “Ini yang bawang merah mantul banget. Baru tahu loh, bah”

Saya menatap abah dan berkata pelan, “Ternyata abah pintar cari tutorial yang pas untuk dipraktekkan untuk kita semua...”

Ia tertawa kecil, lalu berkata, “Daripada tidak ada kegiatan di rumah, lebih baik berbagi hal-hal kecil. Siapa tahu jadi manfaat.”

Saya berjalan ke dapur dan mengambil bawang merah dari keranjang. Nencoba tips nya meletakkan tisu basah di samping talenan.  Mata saya  tidak terasa perih. Langsung saja ambil ponsel, kirim pesan  singkat ke grup sambil berkata, “Lulus uji coba! Terima kasih. "

Di luar, hujan masih menetes halus. Tapi hati kami hangat. Bukan karena kopi atau makanan panas, tapi karena komunikasi sederhana yang menyatukan kami dalam kasih yang tak lekang oleh waktu meski hanya lewat sebuah lima tips kecil di dapur. Semoga manfaat. 
Cepu, 9 Juni 2025 



Sabtu, 07 Juni 2025

Syukuran




Karya : Gutamining Saida 
Mentari bersinar dengan hangat di atas langit Cepu. Angin semilir berembus perlahan, seolah mengabarkan bahwa hari ini akan menjadi hari istimewa bagi keluarga besar SMPN 3 Cepu. Bukan hari biasa, karena telah tersebar undangan makan siang yang mengumpulkan bukan hanya para guru yang masih aktif, namun juga para kepala sekolah yang telah purna tugas. Undangan ini terasa seperti ajakan pulang ke rumah lama, di mana setiap sudutnya penuh kenangan dan tawa bersama.

Saya pun bersyukur, karena termasuk yang diundang. Ini bukan hanya soal rezeki berupa makan siang, tetapi juga rezeki dalam bentuk silaturahmi, dan rasa syukur yang menguatkan hati. Urusan rezeki memang sepenuhnya rahasia Allah Subhanahu Wsta'alla. Siang ini, saya percaya, rezeki itu sampai kepada saya dengan indahnya.

Perjalanan menuju lokasi acara bukanlah perjalanan biasa. Untuk mencapai RM Taman Kampung, kami harus menyeberangi jembatan Bengawan Solo yang tenang mengalir, seperti menyimpan kisah sendiri dalam bisiknya. Beberapa teman datang naik mobil bersama, yang lain boncengan motor, bahkan ada yang datang sendiri, berkendara dalam keheningan, mungkin sambil mengenang tahun-tahun pengabdian di SMPN 3 Cepu.

Tiba di lokasi, suasana langsung menyambut hangat. Pepohonan rindang menaungi taman dengan semilir angin yang bersahabat. Di tengah  meja-meja sudah ditata rapi. Aroma ikan bakar mulai tercium samar-samar, menggoda perut yang sejak pagi belum terisi berat. Di panggung kecil, pengeras suara telah siap, dan tampak beberapa bapak mantan kepala sekolah sudah hadir, duduk sambil bercengkerama penuh tawa.

Acara dibuka dengan hangat oleh pembawa acara yaitu Miss Lian. Siang itu terasa lebih istimewa karena bertepatan dengan ulang tahun dua sosok yang berarti yaitu Mbak Fitri dan Mbak Della. Tawa dan tepuk tangan mengiringi momen tiup lilin yang sederhana namun penuh kehangatan. Sebuah kue ulang tahun berukuran sedang hadir di tengah-tengah meja, dihias cantik. 

Setelah itu, sambutan dari pihak sekolah disampaikan bapak Kepala sekolah. Sambutan tidak hanya berisi ucapan syukur, namun juga rasa bangga atas kekompakan keluarga besar SMPN 3 Cepu. Dilanjutkan dengan sambutan syukuran, karena tiga orang teman kami baru saja diterima dalam formasi P3K. Mereka disebut satu per satu yaitu wajah-wajah bahagia muncul di antara para hadirin, dan doa bersama pun dilantunkan dengan khusyuk oleh bapak haji Jumakir, agar ketiga rekan tersebut senantiasa diberi kelancaran dalam mengemban amanah barunya.

Setelah semua sambutan selesai, waktu yang dinanti pun tiba yaitu  makan siang. Menu utamanya begitu menggoda ikan bakar yang matang sempurna, sambal segar pedas manis, lalapan yang masih renyah daun kemangi, timun dan kobis, serta oseng kangkung yang dimasak pas. Tidak berlebihan bumbunya, justru menghadirkan rasa rumah yang hangat. Minuman pun disajikan beragam ada teh hangat bagi pencinta klasik, es teh segar untuk pelepas dahaga, dan es jeruk atau jeruk hangat yang menyegarkan tenggorokan. Setiap orang bebas memilih sesuai selera.

Saya memilih duduk bersama beberapa rekan , dan tak terasa obrolan pun mengalir deras. Ada tawa, ada cerita masa lalu, ada juga keharuan saat mengenang teman-teman, aneka sajian. Sesekali terdengar suara merdu dari panggung, ternyata beberapa bapak kepala sekolah yang pernah menjabat di SMPN 3 Cepu turut menghibur diantaranya bapak Hermawan, pak Pri, ibu Pertiwi dan lainnya. Lagu-lagu kenangan dibawakan dengan penuh semangat, dan tak sedikit yang ikut menyanyi bersama.

Hari itu bukan hanya tentang makanan yang enak atau hiburan yang meriah. Hari itu adalah tentang pertemuan, tentang rasa syukur, tentang bagaimana rezeki bisa datang dalam wujud yang tak terduga yaitu  undangan makan siang yang penuh makna.

Di perjalanan pulang, melewati kembali jembatan Bengawan Solo, saya merenung. Terkadang, Allah Subhanahu Wata'alla memberi rezeki bukan dalam bentuk uang atau benda. Tapi dalam bentuk rasa yaitu rasa bahagia, rasa diterima, rasa syukur, dan rasa damai karena masih bisa tertawa dan berkumpul dengan orang-orang baik. 
Cepu, 7 Juni 2025 

Jumat, 06 Juni 2025

Darwis

Karya: Gutamining Saida 
Di sebuah pertemuan santai, di bawah rindangnya pohon mangga di halaman rumah seorang teman lama, saya duduk bersama beberapa rekan seperjuangan masa muda. Obrolan kami seperti biasa mengalir begitu saja. Tak butuh waktu lama untuk membuat suasana cair. Tawa dan kenangan lama bergulir begitu hangat.

Saat saya bertemu seseorang yang baru saya kenal, sudah jadi semacam naluri untuk menanyakan, “Tinggal di mana, Bu?” atau “Asalnya dari mana, Bu?” Pertanyaan itu sering jadi pintu masuk percakapan yang lebih akrab. Tak jarang, obrolan yang bermula dari hal-hal sederhana itu menjalar ke topik yang lebih dalam, hingga akhirnya membuka hati.

Ketika saya masih lajang, teman-teman sering bercanda, “Kalau nanti sudah berkeluarga, obrolannya beda. Bukan lagi soal kuliah atau kerja, tapi anakmu berapa? Cucumu berapa?” Saya pun tertawa waktu itu, belum bisa membayangkan betapa benarnya kata-kata itu. Kini, di usia yang sudah lanjut, ternyata percakapan memang sering berputar di seputar keluarga, terutama anak dan cucu.

“Anakmu berapa?” tanya saya pada seorang teman lama yang baru saja datang dengan wajah ceria.

“Alhamdulillah, tiga. Laki-laki semua,” jawabnya sambil menyodorkan keripik singkong buatannya.

Saya tersenyum dan menimpali, “Wah, kompak semua cowok. Nggak nambah satu lagi? Siapa tahu perempuan.”

Saya mengatakannya dengan nada bercanda, seperti biasanya saya menanggapi teman yang punya anak sejenis semua. Tapi saya tak menyangka, jawabannya begitu unik dan dalam.

“Sudah terlanjur,” jawabnya sambil terkekeh pelan. “Anak ketiga saya namanya Darwis.”

Saya sedikit terdiam. Nama itu memang tidak asing. Tapi bagi saya belum pernah tahu kisah di baliknya. Lalu ia melanjutkan penjelasannya, yang membuat saya manggut-manggut memahami.

“Darwis itu kami ambil dari gabungan dua kata. Dar itu dari nama suami saya, Darmin. Wis itu artinya selesai. Jadi Darwis itu bermakna anak laki-laki dari Darmin yang terakhir.”

Saya tak bisa menahan senyum yang melebar. Luar biasa. Sebuah nama yang mungkin terdengar biasa saja, ternyata mengandung makna dalam dan sebuah keputusan besar dalam keluarga mereka.

“Nama itu bukan hanya nama,” lanjut teman saya. “Itu semacam titik akhir, sekaligus penanda bahwa kami bersyukur sudah diberi tiga anak sehat. Kami sepakat untuk berhenti di situ.”

Saya mulai menyadari, betapa pentingnya sebuah nama. Ia bukan sekadar tanda pengenal, tetapi juga harapan, doa, bahkan keputusan penting dalam hidup seseorang.

Cerita itu membuat saya merenung panjang. Dalam banyak keluarga, keputusan untuk memiliki anak selalu membawa konsekuensi. Ada yang memilih banyak anak karena merasa anak adalah rezeki, ada yang membatasi karena pertimbangan ekonomi atau kesehatan, dan ada juga yang seperti teman saya, menyematkan filosofi dalam nama anak sebagai pernyataan sikap hidup.

Tiga anak laki-laki mereka sudah cukup merasa lengkap. Bahkan, sejak menamai anak ketiga dengan Darwis, mereka berpegang teguh pada makna itu. Tidak pernah ada lagi diskusi soal menambah anak. Mereka jalani hidup dengan menerima dan mensyukuri apa yang sudah diberikan.

“Kadang ada keluarga yang punya anak banyak, tapi tidak sempat benar-benar membesarkan dan mendampingi mereka satu per satu,” kata teman saya lagi. “Buat kami, tiga anak adalah jumlah yang bisa kami peluk dengan penuh. Bisa kami doakan satu per satu, bisa kami dampingi tumbuh dengan sungguh-sungguh.”

Saya terkesan. Apalagi ketika ia bercerita bagaimana anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang baik dan saling mendukung. Si sulung kini sudah bekerja di luar kota, anak kedua sedang kuliah di universitas negeri, dan Darwis, si bungsu, masih SMA dan aktif dalam kegiatan sosial.

“Darwis memang anak terakhir, tapi dia sangat dewasa. Kadang seperti yang paling tua,” cerita teman saya sambil tertawa kecil. “Mungkin karena dia tahu, dia penutup yang bermakna.”

Percakapan kami siang itu begitu berkesan. Dari pertanyaan ringan tentang jumlah anak, kami sampai pada cerita tentang keputusan, rasa syukur, dan makna hidup. Saya semakin percaya bahwa setiap orang punya cara sendiri dalam merancang hidupnya. Ada yang menyelipkan makna dalam nama, ada yang menulisnya dalam cerita, dan ada juga yang hidup tanpa banyak kata tapi penuh makna.

Darwis, bukan hanya nama. Ia adalah titik akhir yang penuh rasa syukur kepada Allah Subhanahu Wata'alla dan keteguhan. Satu kata yang merangkum cinta, kesepakatan, dan keutuhan dalam sebuah keluarga. 
Cepu, 7 Juni 2025 

Terkuak Setelah Delapan Tahun



Karya : Gutamining Saida 
Siang menjelang sore, ketika sedikit lengang dan aktivitas sehari-hari perlahan mereda, saya membuka ponsel seperti biasa. Hanya ingin mengecek apakah ada pesan penting yang perlu segera dibalas atau barangkali sekadar melihat-lihat grup sekolah yang sering riuh tanpa henti. Namun hari libur itu berbeda biasanya sepi. 

Sebuah pesan pribadi masuk. Nama pengirimnya bukan nama baru, bukan pula seseorang yang sering berbalas kabar dengan saya. Justru dia adalah teman lama, seseorang yang pernah begitu dekat, lalu perlahan mengabur dari ruang harian saya. Tidak ada alasan buruk yang membuat komunikasi kami renggang. Hanya waktu, jarak, dan rutinitas yang memisahkan.

Saya membuka pesannya dengan hati yang tenang. Tak ada ekspektasi apa-apa. Tapi begitu mata saya menangkap deretan kalimat yang dikirimkannya, dada ini langsung terasa penuh. Air mata menetes pelan, lalu terus mengalir tanpa bisa saya cegah.

Bukan karena dia sakit. Bukan pula karena dia menyampaikan kabar duka, berpamitan karena akan pindah jauh, atau mengeluhkan sakit asma ya kambuh. Tidak. Justru karena pesan itu begitu sederhana, hangat, dan menggetarkan hati.

Dia menuliskan bahwa selama delapan tahun terakhir, tanpa saya ketahui, dia selalu menyempatkan diri membaca tulisan-tulisan saya di blog. Katanya, setiap kali saya menulis tentang pengalaman atau sekadar cerita kecil tentang keseharian, dia merasa seperti sedang duduk di samping saya, mendengarkan langsung kisah itu dari mulut saya sendiri. Dia jarang menyapa saya di WhatsApp. Bahkan kadang jika saya kirim pesan duluan, balasannya datang beberapa waktu kemudian. Tapi ternyata, selama ini dia tidak pernah jauh. Hatinya tetap dekat. Perhatiannya tetap hadir, hanya saja dalam diam.

Delapan tahun. Bukan waktu yang sebentar. Saya bahkan sempat berpikir bahwa dia telah benar-benar lupa, atau paling tidak, dia tidak  mempedulikan jejak yang saya tinggalkan dalam bentuk tulisan. Saya tahu bahwa hidup setiap orang terus berjalan, dan saya tidak pernah berharap setiap orang akan terus mengingat saya. Tapi sore itu, lewat tulisan chat yang begitu jujur dan hangat, saya merasa dihargai sebagai pribadi. Saya merasa didengar, bahkan ketika saya tidak sedang berbicara langsung padanya.

Saya teringat, betapa dia dulu adalah teman yang selalu siap mendengarkan. Kami pernah duduk berjam-jam membahas hal-hal sederhana, saling berbagi mimpi dan rencana yang entah bisa terwujud atau tidak. Setelah kami menjalani jalan masing-masing, saya mengira bahwa itu semua tinggal kenangan. Namun ternyata tidak. Ada sesuatu yang tetap bertahan dalam diam yaitu rasa peduli, dan barangkali juga sayang, yang tidak luntur digerus waktu.

Pesannya bukan hanya membuat saya terharu. Tapi juga menyadarkan saya bahwa setiap tulisan yang saya buat, setiap kisah yang saya bagi, ternyata bisa punya arti yang begitu dalam bagi orang lain. Bahkan untuk seseorang yang diam-diam mengikutinya dari jauh.

Saya membalas pesan itu dengan jari-jari yang sedikit gemetar. Ingin rasanya langsung menelepon dan mengucapkan terima kasih secara langsung. Tapi saya tahu, dia tidak menulis itu untuk mendapat balasan panjang. Dia menulis karena ingin jujur, ingin memberi tahu bahwa apa yang saya lakukan tidak sia-sia. Bahwa saya tidak sendiri.

Hari itu, saya belajar sesuatu yang sangat berharga. Bahwa perhatian tidak selalu hadir dalam bentuk sapaan harian atau kabar yang rajin datang. Kadang, perhatian hadir lewat kehadiran yang tidak terlihat, lewat mata yang membaca diam-diam, lewat hati yang tetap menyimpan tempat khusus untuk kita meski tak lagi bersua setiap hari.

Saya menuliskan kisah ini bukan hanya untuk mengabadikan momen haru itu, tapi juga sebagai pengingat bagi siapa saja yang mungkin merasa tak diperhatikan, merasa sendiri, atau merasa tulisannya tak dibaca. Jangan menyerah. Karena bisa jadi, di luar sana, ada seseorang yang terus mengikuti perjalanan kita dalam diam. Seseorang yang tetap peduli meski tak lagi banyak kata. Seseorang yang menyimpan rahasia selama bertahun-tahun, hanya untuk suatu hari nanti memberitahu kita bahwa kita selalu berarti.

Terima kasih, sahabatku, yang telah hadir kembali dalam bentuk baru. Bukan sebagai teman yang hadir setiap waktu, tapi sebagai penjelas bahwa kasih sayang yang tulus tak butuh banyak kata cukup ketulusan, dan waktu yang tepat untuk mengungkapnya. Terima kasih sahabat. 
Cepu, 6 Juni 2025 

Kamis, 05 Juni 2025

Tantangan Sahabat


Karya : Gutamining Saida 
Suasana rumah mulai hening. Anak saya sudah di kamarnya. Sekolah untuk esok hari libur karena hari raya Idul Qurban. Saat ini tinggal tersisa waktu untuk diri sendiri. Seperti biasa, saya membuka media sosial, sekadar menelusuri kabar teman dan melepas lelah. Di antara sekian banyak story WhatsApp, pandangan saya tertumbuk pada satu unggahan yang tak biasa. Bukan dari siapa-siapa, tapi dari sahabat saya sendiri yaitu Bu Puruhita, yang biasa saya sapa Bu Hita.

Foto itu sederhana. Hanya foto Bu Hita berdiri berdua dengan seorang siswi saat acara pelepasan kelas IX. Di tangannya tergenggam sebuah buket frescare, wajahnya tampak tersenyum, namun ada kesan dalam yang sulit dijelaskan. Mungkin hanya saya yang bisa menangkapnya. Karena selama saya mengenal beliau, tampil di depan kamera dan membagikannya ke media sosial adalah hal yang jarang ia lakukan. Beliau lebih sering bekerja diam-diam, di balik layar, memastikan segala sesuatu berjalan lancar tanpa banyak sorotan.

Saya pun tergelitik memberi komentar. Sekadar spontan, namun dari situlah tantangan itu bermula. Tak lama setelah komentar saya terkirim, beliau membalas dengan santai tapi bermakna. “Coba buat tulisan tentang kisah saya saat ini, bu Saida."

Tantangan itu awalnya terasa ringan. Tapi begitu saya mulai memikirkannya, ada sesuatu yang berat. Mungkin karena saya tahu, tantangan ini datang dari seseorang yang tak pernah sembarangan bicara. Bu Hita bukan tipe yang asal memberi saran. Jika beliau meminta saya menulis, pasti ada maksud baik di dalamnya. Mungkin agar saya belajar dan belajar atau sekadar berlatih mencurahkan isi hati lewat kata-kata.

Ingatan saya pun melayang ke beberapa tahun lalu, saat pertama kali kami bertemu di ruang guru SMPN 3 Jiken. Kami sama-sama guru baru, masih canggung, masih belajar menyesuaikan diri dengan ritme sekolah. Namun entah kenapa, saya merasa nyaman berada di dekatnya. Beliau tidak banyak bicara, tetapi setiap ucapannya selalu terasa pas, seperti tahu kapan harus mendengar dan kapan harus menuntun.

Sejak saat itu, kami bersahabat. Bukan sahabat yang setiap hari saling bertukar kabar, tapi sahabat yang tahu kapan harus hadir. Dalam diamnya, Bu Hita adalah penggerak. Ia bekerja dengan sepenuh hati, dan meskipun tidak selalu terlihat, hasil kerjanya selalu terasa. Dari urusan administrasi, kegiatan siswa, sampai hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian, semuanya ia tangani dengan ketelitian luar biasa.

Itulah mengapa story malam itu terasa begitu berarti bagi saya. Foto yang sejenak menangkap momen langka dari sosok yang selama ini lebih banyak berada di balik layar. Di situ saya melihat sosok sahabat saya berdiri dengan anggun, memegang buket frescare sebagai simbol perpisahan, namun sekaligus sebagai pengingat akan perjalanan panjang yang telah ia lewati bersama para siswa.

Saya merasa terpanggil untuk menjawab tantangan itu, bukan untuk membuktikan kehebatan tulisan saya, melainkan sebagai bentuk penghargaan. Bukan hanya kepada Bu Hita, tetapi kepada proses yang telah membentuk saya hingga hari ini. Saya tidak peduli apakah hasil tulisan ini akan dianggap bagus atau tidak. Karena bagi saya, yang terpenting adalah keberanian untuk memulai dan kejujuran dalam setiap kalimat yang saya tuangkan.

Menulis cerita ini membuat saya semakin sadar bahwa dalam hidup ini, sering kali yang paling menggerakkan bukanlah kata-kata besar, melainkan teladan diam-diam dari orang-orang sederhana. Bu Hita adalah contohnya. Sosok yang tidak haus sorotan, namun selalu menjadi cahaya bagi sekelilingnya.

Saya tidak tahu apakah tulisan ini akan sesuai harapannya. Mungkin terlalu pribadi, atau malah terlalu sederhana. Tapi saya yakin, setiap huruf yang saya tulis adalah bentuk cinta dan rasa hormat saya pada perjalanan yang pernah kami bagi. Dan semoga, jika suatu hari tulisan ini dibaca orang lain, mereka bisa menangkap sepotong kecil pesan bahwa setiap orang punya caranya sendiri dalam memberi makna, dan sahabat sejati adalah mereka yang mendorong kita untuk menjadi lebih baik tanpa mengubah siapa diri kita sebenarnya.

Kepada Bu Hita, terima kasih telah menjadi cermin dan cahaya. Terima kasih telah memberi tantangan yang membuat saya menengok kembali perjalanan ini. Dan terima kasih telah menunjukkan bahwa kadang, satu foto dan satu buket frescare bisa membawa seribu makna termasuk keberanian untuk menulis dari hati. 
Cepu, 6 Juni 2025 

Buket Dari Visca


Karya : Gutamining Saida 
Selepas menunaikan ibadah isya di musala kecil dekat rumah, saya memanjakan diri dengan merebahkan tubuh di istana kesayangan. Istana kapuk begitu saya menyebut tempat istimewa itu adalah ranjang sederhana yang selalu menyambut letih saya dengan penuh kasih. Hari ini terasa panjang, penuh dengan riuh aktivitas yang tak henti. Dari pagi sampai sore, tidak sempat sekalipun saya menyapa istana kapuk. Maka, malam ini saya menebus semuanya.

Sambil rebahan, saya menggenggam ponsel. Jemari saya berselancar di atas layar, membuka berbagai pesan, notifikasi, dan tanpa sengaja, berhenti pada sebuah story WhatsApp dari teman lama saya yang tinggal di Blora, Ibu Puruhita atau akrab saya panggil, Bu Hita.

Jujur, saya sempat kaget. Bukan karena isi story-nya, tapi karena selama ini Bu Hita sangat sulit diajak foto. Sosoknya berbeda dengan saya yang hampir selalu mengabadikan momen dengan swafoto. Bu Hita lebih memilih untuk berada di balik layar, tak ingin jadi sorotan. Maka ketika saya melihat wajahnya terpampang di story, spontan saya mengetik komentar singkat, “Cantik.”

Tak lama, dua tanda centang abu-abu berubah biru. Wah, story-nya sudah dibaca! Saya senyum sendiri. Dalam hati saya bergumam, Alhamdulillah, pasti Bu Hita sudah sehat. Terakhir kami bertemu, ia mengeluhkan gangguan pernapasan yang membuatnya harus istirahat total.

Belum sempat saya melanjutkan berselancar, notifikasi masuk. Pesan dari Bu Hita yaitu “Buketnya!” disertai stiker lucu dengan tokoh kartun mengangkat tangan dan memegang buket. Saya tertawa kecil. Sungguh, ini lebih dari sekadar percakapan. Ini adalah pertanda bahwa dia telah pulih dan kembali ceria.

“Semoga sehat-sehat,” balas saya singkat dan tulus.

“Alhamdulillah sehat, Bu Saida,” jawabnya. Hati saya terasa hangat.

Rasa penasaran pun tak tertahan. Saya pun lanjut bertanya, “Itu buket beneran?”

“Iyalah, Bu. Isinya Frescare berjumlah lima dengan aroma green tea,” jawabnya disertai foto yang lebih jelas sebuah buket sederhana namun unik. Tidak berisi bunga segar, bukan pula uang atau makanan ringan seperti kebanyakan buket yang saya lihat belakangan ini. Tapi isinya… pereda nyeri dan penyegar pernapasan!

Saya tak bisa menyembunyikan rasa takjub. Selama ini saya tahu buket bisa berisi uang, bunga plastik, bahkan bumbu dapur. Tapi buket berisi Frescare? Baru kali ini saya melihatnya.

Dengan antusias, Bu Hita mulai bercerita panjang lebar tentang buket tersebut. Katanya, pemberi buket adalah salah satu siswanya, Viska, dari kelas IX yang akan lulus tahun ini. “Anak itu memang beda,” tulis Bu Hita. “Cuek, ceria, dan agak tomboy. Tapi hatinya lembut.”

Beberapa hari sebelumnya, Viska mengirim pesan pribadi pada Bu Hita yang isinya langsung bikin terpingkal. 
"Bu Hita, aku mau kasih buket buat Bu Hita. Nanti isinya salonpas aja ya, biar cocok buat Bu yang sering batuk dan ngeluh pegal-pegal."

Membaca pesan itu, Bu Hita hanya bisa tertawa di balik layar. Tapi naluri seorang guru membuatnya berpikir cepat. Ia tak ingin mengecewakan niat baik siswanya, tapi juga ingin memberi sedikit arahan.

“Salonpas, Vis? Wah, idenya unik, tapi boleh nggak kalau diganti sama Frescare aja?” balas Bu Hita.

“Loh, kenapa, Bu?” tanya Viska polos.

“Biar lebih cocok. Soalnya Ibu tuh lebih sering sesak napas daripada pegal. Nah, kalau Frescare green tea itu bisa bikin lega di hidung dan dada. Ibu suka banget wanginya.”

Viska sempat mengetik cepat, lalu menghapus. Kemudian mengirim emoji mikir. Beberapa detik kemudian, ia membalas, “Oke deh, Bu! Tapi Viska boleh minta imbalannya?”

“Iya, asal bukan uang ya,” jawab Bu Hita.

“Enggak, Bu. Viska cuma minta foto bareng bu Hita. Sekali aja, boleh ya bu Hita? Hehe…”

Hari yang dijanjikan pun tiba. Viska, tampil pada acara pelepasan kelas IX  gaya jalan santai, datang membawa buket kecil berisi lima kemasan  botol kecil Frescare yang disusun rapi dengan pita dan kertas warna hijau daun. Di tengah buket, ada tulisan tangan 
"Untuk Bu Hita. Jangan lupa semprot setiap habis batuk. Biar Bu Hita tetap bisa ngajarin kita sampai lulus dan ikut pindah mengajar di SMANSA Blora."

Bu Hita memandang buket itu dengan mata berkaca-kaca. Di saat banyak remaja seusia Viska sibuk dengan urusan mereka sendiri, ada satu anak yang peduli, yang diam-diam memperhatikan gurunya, yang bahkan rela merangkai buket kecil penuh makna.

Tentu saja, mereka pun berfoto bersama. Satu jepretan yang mengabadikan bukan hanya wajah, tapi juga kisah kecil tentang kasih sayang dan perhatian. Semoga menghibur.
Cepu, 5 Juni 2025 

Rabu, 04 Juni 2025

Ingatan Yang Tak Pernah Usang

 Karya: Gutamining Saida

Malam itu, layar ponsel saya menyala. Sebuah pesan masuk lewat WhatsApp. Dari nama pengirimnya, saya langsung tahu yaitu Rafi. Mantan siswa yang dulu pernah mengisi ruang-ruang kelas dengan kenakalannya, kini menjadi bagian dari masa lalu yang kadang muncul kembali dalam bentuk kenangan, dan... curhatan.

"Bu Saida, ternyata enak jadi siswa SMP." Begitu isi pesannya. Singkat. Namun terasa dalam. Saya tak langsung membalas malam itu. Mata sudah berat, dan niat untuk membalas bisa menunggu esok pagi.

Keesokan harinya, selepas Subuh, saya membuka kembali pesan dari Rafi. Saya tersenyum kecil. Kalimat singkatnya itu seolah mengandung sejuta cerita. Saya pun membalas dengan nada gurauan yang khas kami yaitu "Rafi? Ingat kamu tuh sering telat masuk, tidur waktu pelajaran IPS. Tapi tetap nyengir, ya kan?"

Beberapa menit kemudian, centang dua berubah biru. Artinya, dibaca. Tak lama, ia membalas dengan gambar stiker wajah tertawa terpingkal-pingkal. Saya bisa membayangkan senyum jail-nya yang dulu suka bikin guru gemas. Dulu sering tidur saat pelajaran, tapi tetap jadi anak yang dekat di hati, karena di balik kelakuannya, ada rasa hormat dan cinta yang tak pernah pudar.

Hubungan saya dan Rafi, seperti hubungan seorang ibu dengan anak remajanya yang keras kepala namun penyayang. Kadang dia menghilang, lama tak memberi kabar, lalu tiba-tiba muncul lagi dengan sapaan hangat, cerita saat sekolah di SMK, atau sekadar mengirim meme lucu tentang sekolah.

“Bu, kangen sekolah SMP,” tulis Rafi pada suatu siang.

“Kalau kangen, ke sekolah. Ketemu saya, cerita-cerita.”balas saya.

Beberapa minggu setelah chat itu, Rafi benar-benar datang ke sekolah. Ia datang dengan celana seragam sekolah ransel kecil di punggung, dan senyum yang masih sama seperti dulu. Begitu masuk ruang guru, dia langsung mencari saya.

“Bu Saida mana?” tanyanya ke guru lain.

Saya keluar dari ruang saat mendengar namaku disebut. Di depan pintu, berdiri sosok tinggi yang dulu kecil dan suka ribut di kelas.

“Bu...!” sapanya.

“Rafi! Tumben,” jawab saya sambil tertawa.

Kami duduk di bangku teras dekat taman sekolah. Tak ada guru lain di sekitar. Hanya kami berdua, dan obrolan yang membawa kami kembali pada tahun-tahun ketika Rafi masih mengenakan seragam biru putih.

“Bu, saya lihat story guru SMPN 1 Kedungtuban, ada acara pelepasan siswa. Jadi ingat dulu waktu saya di kelas IX.”

 “Dulu kamu juga ikut, kan?”jawab saya.

“Iya bu, tapi kayaknya waktu itu saya biasa saja. Sekarang lihat, jadi kangen banget suasananya.”

Rafi bercerita panjang. Tentang dunia sekolah di SMK, tentang betapa ia merindukan masa-masa tak punya banyak beban, tentang guru-guru yang dulu sering ia goda tapi hormati dalam diam. Ia mengaku, sekarang baru sadar betapa banyak hal berharga yang dulu ia abaikan.

“Saya tuh dulu suka tidur pas pelajaran IPS, tapi sekarang sering baca berita soal politik, ekonomi. Jadi malah mikir, kenapa nggak serius dari dulu ya...”

Saya tertawa pelan. “Namanya juga anak SMP, Raf. Yang penting sekarang kamu sadar dan belajar dari masa lalu.”

Obrolan kami terus mengalir. Kadang serius, kadang diselingi tawa. Ia juga bercerita tentang adiknya yang sekarang duduk di kelas 8, dan sering ia nasihati untuk tidak seperti dirinya dulu.

“Bu, dulu saya bandel ya?” katanya sambil menunduk.

“Kamu tidak bandel. Kamu hanya penuh energi dan butuh lebih banyak arahan. Itu yang penting.”

Ia tersenyum. “Terima kasih, Bu.”

Setelah beberapa saat, Rafi pamit. Sebelum pergi, ia kembali menoleh.

“Bu, doakan saya ya. Saya kalau sudah lulus nanti mau coba daftar kuliah sambil kerja.”

“Insya Allah. Kamu pasti bisa.”

Rafi kembali melangkah keluar gerbang sekolah, seperti dulu saat pertama kali lulus. Tapi kali ini bukan sebagai siswa yang tergesa-gesa ingin keluar dari ruang kelas, melainkan sebagai pemuda yang membawa banyak kenangan dan tekad baru.

Malamnya, saya kembali mendapat chat darinya. Hanya satu kata yaitu “Terima kasih, Bu.” Saya tak membalas dengan panjang. Cukup dengan yaitu “Semoga menjadi anak sholeh, ya.”

Hubungan kami, seperti ribuan kisah guru dan murid lainnya, tidak berhenti di ruang kelas. Ia tetap tumbuh, berdenyut dalam ingatan dan perhatian yang tulus. Karena bagi saya, seorang guru, mantan murid bukanlah masa lalu namun mereka adalah bagian dari perjalanan yang terus hidup, bahkan saat pelajaran sudah usai.

Cepu, 5 Juni 2025

 


Selasa, 03 Juni 2025

Kenangan Tanpa Rencana

Karya : Gutamining Saida
Selasa pagi, suasana di ruang guru SMPN 3 Cepu masih seperti biasa. Tidak ada yang tampak berbeda. Obrolan ringan, tumpukan berkas, dan kesibukan masing-masing guru menjadi pemandangan harian yang akrab. Sampai akhirnya, kabar mengejutkan datang dari pimpinan sekolah yaitu bapak Kepala Sekolah menyampaikan bahwa besok, Rabu tanggal 4 Juni 2025 akan diadakan acara pelepasan siswa kelas IX.

Semua yang mendengar sontak terdiam membisu tanpa kata - kata. Beberapa saling pandang, sebagian tidak percaya, dan lainnya bertanya-tanya dalam hati, Apakah ini sungguhan? Apakah tidak ada salah informasi?

Bagaimana mungkin acara sebesar pelepasan siswa kelas IX bisa dilakukan hanya dalam waktu persiapan satu hari?

Namun, satu hal yang segera menyatukan pikiran kami adalah keyakinan bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika Allah Subhanahu Wata'alla menghendaki. Maka dalam hitungan jam, seluruh warga sekolah meliputi guru, karyawan, OSIS, hingga petugas kebersihan bahu membahu menyusun skenario acara mendadak ini. Kami semua menyadari bahwa meskipun tanpa perencanaan panjang, tujuan acara ini sangat mulia adalah memberi kenangan manis bagi siswa kelas IX sebelum mereka benar-benar meninggalkan bangku SMP.

Pihak orang tua atau wali murid menjadi penggerak utama yang mendorong realisasi acara ini. Mereka menyampaikan keinginan besar agar anak-anak mereka bisa merasakan momen pelepasan, meski sederhana. Tanpa panggung megah atau hiasan mewah, yang penting adalah maknanya  sebuah penghormatan, perpisahan yang hangat, dan kenangan yang akan dibawa anak-anak ke jenjang pendidikan berikutnya.

Siang ruang guru berubah menjadi pusat komando. Kertas agenda dibuat, pembawa acara ditentukan, susunan acara disusun dalam waktu kilat. Bahkan beberapa guru terlihat sibuk menyiapkan banyak hal yang sudah disiapkan oleh wali murid. OSIS pun ikut ada yang menata kursi, merapikan tempat dan bahkan membuat hiasan dari  bernuansa tempo dulu. 

Semangat itu menjalar ke seluruh sudut sekolah. Keajaiban kecil pun terjadi satu per satu kebutuhan acara seperti seragam bapak ibu guru, karyawan, siswa kelas IX banner sederhana, hiasan. Tidak ada permintaan yang dipaksakan, semua bergerak atas dasar kepedulian dan cinta.

Rabu pagi, sehabis subuh hujan turun deras. Grup whatshap SMPN 3 Cepu selepas subuh sudah heboh dengan adanya instruksi perubahan seragam bagi bapak ibu guru dan karyawan. Sejak semalam pakaian sudah disiapkan harus mencari pakaian seragam Samin terbaru. 

Di lapangan sekolah, senyum dan haru bercampur menjadi satu. Para siswa kelas IX datang dengan pakaian seragam samin rapi, wajah sumringah, dan hati penuh rasa penasaran. Mereka tidak menyangka bahwa dalam waktu singkat, sekolah mereka bisa menyulap keterbatasan menjadi momen yang begitu istimewa.

Acara dibuka dengan lantunan doa, shalawat nariyah, menyanyikan lagu Indonesia Raya lalu dilanjut sambutan sambutan, salah satu sambutan singkat dari kepala sekolah. Dalam sambutannya, beliau mengakui bahwa acara ini sangat mendadak, tetapi beliau juga menyampaikan apresiasi yang dalam kepada khususnya wali murid, seluruh guru, karyawan yang telah berjuang demi anak-anak.

Tak ada panggung mewah, yang ada hanya kebersamaan. Tak ada tarian atau paduan suara profesional, hanya ada penampilan siswa yang tulus dan menghibur bersama grup band. Salah satu momen paling mengharukan adalah saat perwakilan siswa menyampaikan pesan dan kesan selama belajar di SMPN 3 Cepu. Suara bergetar, mata berkaca-kaca, dan suasana penuh haru mengisi ruangan.

Hikmah dari peristiwa yang dapat dipelajari dari kisah pelepasan ini adalah :
Pertama, bahwa kerja sama, niat baik, dan rasa saling percaya dapat menembus batas waktu dan keterbatasan materi.

Kedua, bahwa setiap anak berhak mendapatkan momen spesial untuk menandai berakhirnya masa belajar mereka. Karena memori indah masa sekolah bukan hanya dibentuk oleh buku pelajaran, tetapi juga oleh pengalaman dan perayaan kebersamaan.

Ketiga, bahwa ketika hati-hati yang tulus berkumpul, Allah Subhanahu Wata'alla akan membuka jalan, memberikan kemudahan, dan menyempurnakan segala kekurangan.

Hari Rabu, menjadi saksi bahwa meski tanpa perencanaan jauh-jauh hari, pelepasan siswa kelas IX SMPN 3 Cepu tetap terlaksana dengan sukses dan penuh makna.
Cepu, 4 Juni 2025 

Kebersamaan Warga Esmega




Karya : Gutamining Saida 
Hari Selasa itu bukan hari biasa. Bukan hari belajar-mengajar seperti pekan-pekan sebelumnya, juga bukan hari libur penuh istirahat. Hari itu adalah hari tanggung jawab bersama. Hari di mana setiap guru yang tergabung dalam keluarga besar Esmega menunjukkan makna dari komitmen, kerjasama, dan kesungguhan hati dalam kegiatan  sekolah yang mereka cintai.

Sejak informasi pembagian tugas disampaikan pagi hari, para guru sudah bersiap. Piket kali ini berbeda. Tidak seperti piket harian yang biasanya hanya melibatkan beberapa orang, kali ini semua guru harus terlibat, tanpa terkecuali. Ada tiga sesi yang disiapkan oleh panitia pelaksana yaitu sesi pertama pukul 14.00 - 16.00 WIB, sesi kedua pukul 16.00 - 20.00 WIB, dan sesi ketiga, sesi paling malam, dimulai pukul 20.00 sampai selesai.

Piket ini bukan sekadar menjaga sekolah, tapi bagian dari rangkaian persiapan kegiatan penting. Yang pasti, setiap warga esmega tahu, tugas ini harus dilakukan sebaik mungkin.

Saat jarum jam menunjukkan pukul 14.00 WIB, para guru yang seharusnya pulang mulai menunda kepulangannya. Sebagian masih memakai pakaian seragam keki rapi, sebagian sudah berpakaian santai tetap sopan. Mereka berkumpul di lokasi yang sudah ditentukan. 

Sesi pertama panasnya siang belum begitu terasa karena semangat guru-guru yang saling menyapa dan bekerja dengan ringan tangan. Ada yang mengecek kebersihan, persiapan panggung, ada yang menata kursi bahkan ada yang dengan penuh canda menata dekorasi sambil tertawa kecil bersama rekan satu tim ditambah OSIS esmega. 

Saat sesi kedua datang menjelang senja, bagian sesi pertama bisa pulang, jumlah guru berubah. Mereka datang untuk menggantikan rekan yang sudah piket sebelumnya. Tidak ada suasana terburu-buru, semua bergulir dengan tenang dan teratur. Suasana kebersamaan benar-benar terasa. Meskipun wajah-wajah lelah mulai tampak, tapi semangat untuk bersama, kebersamaan, kekompakan, menjaga nama baik Esmega tak pernah surut.

Salah satu guru yang datang untuk sesi kedua berkata dengan senyum, “Kita merasa guyub begini yang bikin betah.”
Malam pun tiba. Saat langit sudah gelap dan lampu-lampu sekolah menyala. Mereka tahu, malam ini akan panjang, namun mereka siap.

Sesi malam ini memang tak mudah. Saat sebagian besar masyarakat mulai beristirahat, guru-guru Esmega justru penuh tanggung jawab. Ada yang memantau sekitar area sekolah, ada yang duduk di lapangan mengecek perlengkapan yang harus siap esok hari. 

Sungguh, semua terasa indah. Bukan karena tempatnya yang nyaman, tapi karena kebersamaan yang terjalin erat. Semua guru bergerak dalam satu komando. Tak ada yang merasa lebih penting dari yang lain. Semuanya saling mendukung dan melengkapi.

Kepala sekolah yang sempat hadir memberikan semangat. Beliau melihat wajah warga Esmega yang sesungguhnya bersatu dalam kerja, kompak dalam aksi, dan tulus dalam niat.

Tak ada yang menuntut imbalan. Tak ada yang berharap pujian. Mereka semua hadir karena panggilan hati, karena rasa memiliki terhadap sekolah yang sudah menjadi rumah kedua.

Dan di antara tawa serta rasa letih itu, ada satu hal yang tak bisa dipungkiri yaitu semangat kebersamaan. Dalam tugas yang tampak sederhana seperti ini ternyata tercermin semangat luar biasa dari para guru yang mencintai sekolahnya. Mereka rela meninggalkan waktu istirahat, keluarga, dan kesibukan pribadi demi menjaga dan mempersiapkan lingkungan tempat mereka mendidik anak-anak bangsa.

Esmega bukan sekadar nama sekolah. Ia menjelma menjadi rumah penuh cinta, tempat para pendidik berkumpul dan saling menguatkan. Dalam diam dan cahaya temaram lampu sekolah, para guru itu tahu, mereka sedang menanam sesuatu yang besar yaitu dedikasi dan keteladanan.
Cepu, 4 Juni 2025 


Senin, 02 Juni 2025

Canda Tawa Pagi


Karya: Gutamining Saida 

Sasana sekolah masih sepi. Jam dinding di ruang guru menunjukkan pukul 06.35 WIB. Seperti biasa, saya sudah duduk di pojok ruangan,  menyiapkan bahan pembelajaran untuk jam pertama.  Suasana pagi terasa akrab.

AC di ruang guru sedikit  menyapa pelan. Di luar, terdengar langkah-langkah siswa mulai berdatangan, sebagian masih bercengkerama di halaman. Di ruang guru,  masih beberapa guru menikmati waktu tenang sebelum bel berbunyi.

Tiba-tiba pintu ruang guru terdengar dibuka. Saya menoleh, penasaran siapa yang datang. Dari kejauhan tampak sosok perempuan dengan senyum lebar yang sudah tak asing lagi yaitu Bu Ning, guru mata pelajaran Pendidikan  Olahraga. Dengan seragam olahraga lengkap dan sepatu kets putihnya yang khas, ia melangkah ringan mendekati saya.

"Assalamu’alaikum," ucapnya sambil mengulurkan tangan.

"Wa’alaikumsalam, Bu Ning," balas saya sambil tersenyum dan menyambut tangannya hangat.

Tanpa duduk terlebih dahulu, Bu Ning langsung membuka percakapan dengan gaya cerianya. "Kemarin saya ketemu Pak Anas, Bu!" katanya antusias.

"Oh ya? Di mana ketemunya?" saya menanggapi sambil menyimpan catatan rencana pembelajaran ke dalam map.

"Di depan Bank Jateng, lho!" jawabnya cepat, matanya berbinar. Ia pun duduk di kursi seberang saya, membetulkan jilbabnya sebentar sebelum melanjutkan.

Saya tertawa kecil. “Lho, kok gak pangling dengan Pak Anas? Kan kadang kita ketemu orang yang mirip tapi ternyata bukan.”

Bu Ning menepuk pundak kirinya sendiri sambil berkata penuh percaya diri, “Pastilah tahu, Bu! Wong saya ini pengamat wajah!” candanya.

Saya ikut tertawa. “Terus, ngobrol apa sama Pak Anas?”tanya saya sedikit kepo. 
"Biasa masalah kegiatan pensiunan."jawabnya singkat

"Cerita dengan bu Saida tidak," ucap bu Ning
“Cerita, dan tanya-tanya. Beliau sempat nanya rumah bu Ning di mana. Saya jawab, ‘Cepu selatan, bu Ning."

“Katakan pak Anas ya, ‘Saya ini orang DPR!’ katanya sambil nyengir lebar.”

Saya terkejut. “Orang DPR? Maksudnya Dewan Perwakilan Rakyat?” saya menebak spontan.

Bu Ning tertawa keras sambil  bergaya“Bukan, Bu! DPR itu singkatan dari Deretan Pinggir Rel kereta api!”

Saya sontak tertawa keras, terpingkal-pingkal. “Waduh, DPR yang itu tho!”

Kami berdua tertawa lepas. Suara tawa kami mungkin sampai terdengar keluar ruangan, karena beberapa guru yang baru masuk sempat ikut tersenyum melihat kami terpingkal-pingkal.

Canda sederhana itu membuat pagi terasa sangat ringan. Tidak ada beban, tidak ada kecemasan soal tugas, administrasi, atau jadwal padat. Hanya dua guru yang saling berbagi cerita ringan dan mengawali hari dengan kebahagiaan.

Saya melanjutkan, “Saya pikir beneran DPR, lho.  Memang rumah beliau dekat rel kereta api, jadi cocok juga sih!

“Iya dong! Saya ini asli Cepu. Dulu rumah saya deket rel juga. Tapi nggak ada gerbong yang mau mampir!” katanya sambil berkedip.

Tawa kami pecah lagi. Kali ini lebih panjang. Rasanya menyenangkan bisa tertawa bersama di pagi hari. Tidak setiap hari ada momen seperti ini.

“Kadang hal kecil seperti ini ya yang bisa bikin hari kita jadi lebih ringan,” gumam saya sambil menatap langit-langit ruangan.

Bu Ning mengangguk setuju. “Betul. Kadang kita terlalu sibuk sampai lupa bahwa bahagia itu bisa datang dari hal sederhana. Seperti ketemu teman lama, atau… bikin singkatan aneh kayak DPR itu,” ujarnya sambil mengelap matanya yang berair karena tertawa.

Saya menatap wajahnya yang masih tersenyum. Ada ketulusan di sana. Kehangatan seorang sahabat yang membuat hari tak lagi terasa biasa.

Sejenak kami terdiam, menikmati suasana pagi yang mulai ramai. Suara langkah siswa terdengar makin ramai di koridor. Beberapa guru lain mulai memenuhi ruangan, membawa cerita mereka masing-masing. Tapi momen kecil pagi ini terasa istimewa, seperti serpihan cahaya yang singgah sebentar di hati kami.

"Yuk, kita ke kelas. Anak-anak pasti sudah menunggu," ajak saya sambil membereskan buku yang akan dibawa ke kelas. 

Bu Ning berdiri dan mengangguk. “Ayo. Kita bawa tawa ini ke kelas, biar anak-anak juga ikut bahagia.”

Kami pun berjalan bersama menuju ruang kelas masing-masing.  Kami melangkah dengan hati yang ringan. Bukan karena tidak ada beban, tapi karena kami memilih untuk memulai hari dengan tawa dan kebersamaan.

Di ruang guru yang sederhana, kebahagiaan itu ternyata bisa lahir dari hal kecil yaitu sebuah singkatan kocak, pertemuan tak terduga, dan candaan hangat antara dua guru. Kami menyadari bahwa bahagia memang bisa diciptakan… asal hati kita mau terbuka.
Cepu, 3 Juni 2025 




Pertemuan Yang Membawa Rindu

Karya : Gutamining Saida 
Saat saya keluar dari ruang guru dengan daftar kegiatan yang sudah menanti dalam kepala. Langit tampak cerah, dan semilir angin pagi menyegarkan langkah-langkah kecil saya menyusuri lorong sekolah. Baru saja melangkah beberapa meter, saya berpapasan dengan empat siswi kelas 7B. Mereka adalah Bening, Nova, Nayara, dan Zeneta.

Wajah mereka cerah dan penuh senyum. Tanpa menunggu aba-aba, mereka langsung menghampiri saya sambil mengulurkan tangan, menyapa penuh antusias.

“Assalamu’alaikum, Bu Saida!” seru mereka hampir serempak, berlomba ingin lebih dulu menyentuh tangan saya. 

Saya menyambut mereka dengan senyum hangat. Sapaan mereka selalu menjadi penyegar semangat, seperti bunga-bunga pagi yang bermekaran di taman. Ada rasa hangat yang tak bisa dijelaskan saat melihat anak-anak ini begitu ceria dan penuh respek.

Satu per satu dari mereka mulai bercerita, seperti berlomba ingin menjadi yang pertama mendapat perhatian saya

Nayara dengan mata berbinar berkata, “Bu, kemarin saya lihat Ibu di jalan…”

Saya sedikit terkejut. “Iya? Kok saya nggak tahu ya?” jawab saya  singkat, mencoba mengingat-ingat.

“Iya, Bu. Saya mau manggil, tapi malu,” ujarnya sambil tertawa kecil.

Saya ikut tertawa. Nayara memang tipe anak yang manis dan sedikit pemalu. Ia pandai menyimpan rasa, tapi selalu punya cara sendiri untuk menunjukkan perhatiannya.

Nova, yang berdiri di sebelah Nayara, hanya tersenyum sambil membuat isyarat bentuk hati dengan kedua tangannya. Nova adalah tipe anak yang pendiam, tapi ekspresinya selalu tulus. Ia jarang bicara, namun sikapnya penuh kasih dan selalu mampu membuat hati ini hangat.

Lalu Zeneta si banyak bicara langsung menyambung, “Bu, tadi pagi saya sarapan buru-buru karena takut telat. Tapi sempat lihat langit pagi lo, Bu, warnanya bagus!”

Zeneta memang tak pernah kehabisan topik untuk diceritakan. Mulai dari kejadian di rumah, cerita jalan ke sekolah, hingga warna langit pun tak luput dari perhatiannya. Ia seperti radio yang tak pernah padam, dan saya tak pernah bosan mendengarnya.

Dan akhirnya, Bening mendekat, dengan langkah tenang dan wajah serius.

“Bu… bu… kemarin malam kita ketemu ya!” ucapnya datar.

Saya terdiam sebentar, mencoba mengingat. “Dimana, Ning?”

Bening masih dengan ekspresi datar menjawab, “Ketemu di alam mimpi, Bu…”

Sekejap, tawa meledak dari kami berlima. Saya tertawa geli, begitu juga ketiga temannya. Bening tetap tak menunjukkan ekspresi lucu, justru itulah yang membuat jawabannya makin menggelikan. Ia seperti tahu bagaimana cara menebar humor tanpa perlu banyak gerak atau suara.

Itulah mereka empat siswi kelas 7B yang selalu berhasil mewarnai hari-hari saya dengan keunikan karakter mereka masing-masing. Nayara dengan ceritanya yang malu-malu, Nova yang lebih senang bicara dengan isyarat cinta, Zeneta yang penuh semangat berbicara tanpa henti, dan Bening yang kalem namun jenaka.

Sehari saja tidak berjumpa dengan mereka, rasanya seperti ada ruang kosong yang tidak terisi. Mereka bukan hanya siswa-siswi yang  saya temui di kelas. Mereka adalah bagian dari kisah hidup saya di sekolah. Kadang saya berpikir, dalam usia mereka yang masih belia, mereka sudah begitu pandai mengisi hati orang lain dengan cara mereka sendiri.

Saya sering merasa bahwa anak-anaklah yang justru menjadi guru kehidupan bagi saya. Mereka mengajarkan arti kesabaran, ketulusan, dan spontanitas. Melalui celoteh mereka yang tampak sederhana, saya menemukan hikmah yang mendalam. Kadang, satu kata dari mereka bisa menjadi bahan renungan hingga malam.

Maka, ketika pagi ini saya  melihat mereka datang bersamaan dengan langkah ringan dan sapaan hangat, saya tahu ini bukan sekadar kebetulan. Tidak ada yang kebetulan dalam hidup. Semua pertemuan adalah bagian dari skenario Tuhan yang indah dan tepat waktu. Termasuk pertemuan saya dengan anak-anak ini.

Saya bersyukur pada Allah Subhanahu Wata'alla, yang mempertemukan  dengan siswa-siswi yang baik, sopan, dan penuh semangat. Mereka adalah potongan-potongan cerita kecil yang akan selalu hidup dalam ingatan. Bukan karena mereka pintar menjawab soal, bukan karena nilai tinggi yang mereka dapat, tapi karena kehadiran mereka yang tulus dan membekas.

Jika suatu saat nanti saya menua dan tak lagi berada di ruang kelas, mungkin saya tak akan ingat semua soal yang pernah saya ajarkan, tapi saya yakin akan tetap mengingat tawa Bening, isyarat cinta Nova, cerita pagi Zeneta, dan malu-malu Nayara. Karena dari merekalah saya belajar, bahwa menjadi guru adalah tentang mencintai, bukan hanya mengajar.

Saya kembali melangkah dengan hati penuh syukur, sembari menyimpan satu keyakinan yaitu semua ini bukan kebetulan. Semua ini adalah skenario Tuhan, dan saya bersyukur menjadi salah satu pemeran di dalamnya.
Cepu, 2 Juni 2025 


-

Minggu, 01 Juni 2025

Senyum Zeneta


Karya : Gutamining Saida 
Senin pagi, saya selesai memarkir motor, berjalan melewati koridor sekolah menuju ruang guru. Udara Senin terasa segar dan tenang, menyambut semangat baru setelah akhir pekan yang cukup menenangkan. Langkah saya  ringan, meski tumpukan pekerjaan sudah menanti. Di dekat tempat parkir menuju ruang guru, mata saya  menangkap sosok siswi yang sedang berjalan sendirian, dengan langkah pelan dan kepala tertunduk. Itu Zeneta, siswi kelas 7A.

Saya mempercepat langkah dan menyapanya lebih dulu, "Assalamualaikum, Zeneta!"
Ia mendongakkan kepala dan tersenyum tipis, lalu menyapa balik, “Bu Saida…” suaranya pelan, agak tertahan.
"Semangaaaat!" jawab saya  ceria, mencoba menyuntikkan energi positif di pagi yang masih muda itu. Tapi ia tidak melanjutkan langkahnya. Ia berhenti dan menatap saya  sebentar, lalu berkata lirih, “Saya sedih, Bu.”
Saya ikut berhenti, memperhatikan ekspresi wajahnya yang terlihat murung.
“Kenapa, Net?” tanya saya  lembut.
“Nilai matematika saya dapat sedikit,” ucapnya, masih dengan suara pelan.
Saya mencoba memahami perasaan kecewanya. “Memangnya berapa?”
“Empat puluh lima, Bu,” katanya pelan, seolah malu menyebutkan angka itu.
Refleks saya tertawa kecil dan menjawab spontan, “Merdeka!”

Seketika matanya membelalak, lalu senyum merekah di wajahnya. Lesung pipi di pipinya muncul, dan ia tertawa dengan lepas. Sambil tertawa ia berkata, “Bu Saida aneh…” lalu berlari kecil meninggalkan saya, meninggalkan tawa yang ringan dan menular.

Saya terdiam sejenak, menyadari satu hal yaitu pagi ini saya berhasil membuat Zeneta tersenyum kembali. Padahal beberapa hari lalu, sayalah yang justru membuatnya menangis.

Saat itu, saya memanggilnya ke ruang guru. Ada kesalahan dalam lembar jawab sumatif nya khususnya mata pelajaran IPS ia memberi tanda bukan tanda silang saat mengerjakan. Dengan lembut saya berusaha menjelaskan kesalahannya, tapi mungkin suasana ruang guru yang formal dan suasana tegang membuatnya merasa terpojok.

Ia menangis di hadapan saya. Saya tidak memarahinya, tapi mungkin cara saya memberi tahu belum cukup menenangkan. Zeneta adalah tipe anak yang sensitif. Ia merasa sangat bersalah, terlebih karena tahu nilainya tidak bisa maksimal akibat kesalahan teknis yang seharusnya bisa dihindari.

Saya sempat merasa bersalah juga. Saya terlalu cepat masuk ke mode "menyelesaikan masalah", tanpa cukup waktu menyentuh perasaannya terlebih dahulu. Ia keluar dari ruang guru dengan mata sembab dan langkah pelan.

Pagi ini, ketika saya melihat senyum kembali di wajahnya, hati saya terasa lapang. Momen singkat di lorong sekolah ini seperti hadiah kecil dari Allah Subhanahu Wata'alla sebuah kesempatan kedua untuk merajut kembali kepercayaan dan semangat siswa.

Saya sadar, menjadi guru tidak hanya soal menjelaskan materi atau memberi nilai. Lebih dari itu, guru adalah pengamat jiwa. Guru harus bisa membaca bahasa tubuh, nada suara, dan isyarat kecil yang kadang tak diucapkan. Satu kesalahan teknis memang bisa berdampak pada nilai, tapi bisa jadi dampaknya lebih besar pada semangat dan rasa percaya diri siswa.

Itulah sebabnya, ketika Zeneta berkata nilainya jelek, saya tidak ingin menambah beban dengan nasihat panjang. Saya ingin ia tahu bahwa kegagalan bukan akhir segalanya. Maka, satu kata spontan “Merdeka!” justru menjadi jembatan penyemangat yang sederhana namun mengena.

Saya masuk ke ruang guru dengan hati hangat. Senyum Zeneta masih terbayang di benak. Di antara tugas menumpuk, rapat, dan urusan administratif, momen kecil ini memberi makna besar. Zeneta tidak hanya belajar matematika dia belajar tentang kesalahan, kesedihan, dan bangkit kembali.

Saya pagi ini belajar satu hal penting yaitu kadang, satu kata tulus bisa menjadi pelipur lara yang lebih dalam dari seribu penjelasan.
Cepu, 2 Juni 2025 

Menulis di Tengah Lelah dan Syukur



Karya : Gutamining Saida 
Ada kalanya pena harus berhenti menari, bukan karena tak cinta lagi pada kata-kata, melainkan karena tenaga dan pikiran tersedot untuk kewajiban yang lebih mendesak. Sepekan terakhir ini, saya memutuskan untuk libur menulis. Bukan karena kehilangan semangat atau merasa jenuh, tapi karena kepala ini rasanya seperti padat merayap. Tidak ada satu pun ide yang mampir. Atau, mungkin ide-ide itu masih ada, hanya saja tak sempat saya jamu dengan hangat untuk singgah dan tumbuh menjadi tulisan.

Hari-hari saya beberapa waktu belakangan ini diisi dengan tugas berat namun mulia yaitu  mengoreksi hasil penilaian sumatif akhir semester. Semester ini, saya mendapat amanah mengajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) untuk enam kelas. Belum lagi tambahan dua kelas untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti. Dan tak berhenti di sana, ada ‘bonus’ dua kelas lagi amanah yang datang karena guru sebelumnya telah memasuki masa pensiun per 1 Mei lalu.

Totalnya, sepuluh kelas. Sepuluh kelas dengan lembar-lembar jawaban yang harus saya periksa satu per satu. Membaca jawaban siswa, mencermati apakah mereka benar-benar memahami pelajaran, atau sekadar menebak, adalah pekerjaan yang menguras pikiran. Tapi saya tidak mengeluh. Tidak ada ruang untuk itu. Yang ada hanyalah rasa syukur. Syukur karena masih dipercaya. Syukur karena tubuh ini masih diberi kemampuan untuk menyelesaikan tanggung jawab yang besar.

Saya yakin, tidak ada kerja keras yang sia-sia. Ketika kita menjalani sebuah tugas dengan niat yang lurus dan hati yang ikhlas, maka Allah Subhanahu Wata'alla pasti akan mempermudah jalan-jalan kita di kemudian hari. Mungkin bukan sekarang balasannya, tapi saya yakin setiap lembar yang saya koreksi, setiap nilai yang saya input dengan cermat, semua itu adalah bagian dari ladang amal yang kelak akan saya tuai hasilnya.

Ketika hari mulai sedikit lebih longgar, saya kembali membuka laman tulisan terakhir saya. Ada kerinduan yang mengendap. Ada rasa bersalah karena membiarkan pena saya berdebu. Tapi saya tahu, saya manusia biasa. Ada masa untuk memberi, ada masa untuk berhenti sejenak. Tidak semua jeda berarti kemunduran. Kadang, jeda adalah waktu yang diberikan Allah Subhanahu Wata'alla ntuk kita kembali mengisi energi dan menemukan arah.

Saya mencoba menulis lagi. Dengan perlahan, saya merangkai kata, membiarkan pikiran mengalir seperti sungai yang akhirnya menemukan jalannya sendiri. Saya tahu mungkin tulisan ini belum sempurna, mungkin belum sekuat karya-karya saya sebelumnya. Tapi saya percaya, yang penting adalah niat dan keberanian untuk memulai lagi.

Saya menulis bukan untuk dipuji. Saya menulis karena saya percaya bahwa setiap kata punya daya. Bahwa tulisan, sekecil apa pun, bisa menyentuh hati orang lain, menginspirasi, atau setidaknya membuat pembacanya merasa tidak sendirian. Karena di luar sana, ada banyak orang yang juga sedang berjuang dalam diam. Mungkin ada guru lain yang juga kelelahan mengoreksi lembar jawaban. Mungkin ada ibu rumah tangga yang kehilangan waktu untuk dirinya sendiri. Mungkin ada penulis yang juga sedang kehilangan arah.

Untuk mereka, saya ingin tulisan ini menjadi semacam pelukan hangat. Sebuah pengingat bahwa kita tidak sendiri. Bahwa setiap usaha yang tulus akan selalu berharga, meskipun tidak selalu terlihat.

Saya berharap, siapa pun yang membaca tulisan ini bisa kembali tersenyum. Bisa kembali menyalakan semangat yang sempat padam. Kalau boleh sedikit berharap lebih, semoga tulisan ini bisa menjadi motivasi untuk memulai kembali, apa pun bentuknya: menulis, bekerja, belajar, atau sekadar merawat harapan.

Kadang, kita tidak butuh semangat besar untuk memulai. Cukup satu langkah kecil yang diambil dengan keberanian. Hari ini, saya memilih untuk melangkah lagi. Saya menulis lagi, karena saya percaya, ada yang menantikan karya saya. Ada yang ingin membaca. Dan saya tidak ingin mengecewakan mereka.

Terima kasih untuk semua pembaca yang setia. Pembaca tulisan saya adalah bagian dari alasan saya kembali ke halaman kosong ini. Mari kita saling menguatkan. Karena hidup adalah perjalanan panjang yang indah, meski kadang melelahkan. Dalam lelah itu, saya tetap percaya Allah Subhanahu Wata'alla melihat setiap usaha kecil kita. Tidak ada yang sia-sia. Termasuk tulisan ini.
Cepu, 1 Juni 2025 



Wisata Rohani



Karya :Gutamining Saida 
Minggu pagi itu terasa berbeda. Saat banyak orang memilih beristirahat atau menghabiskan waktu dengan keluarga, kami justru memulai hari lebih awal untuk sebuah perjalanan spiritual. Pukul lima pagi, langit masih gelap, udara masih dingin, dan jalanan masih sepi. Kami melangkahkan kaki keluar rumah dengan niat yang sama yaitu mengikuti wisata rohani di Masjid Al Mujahidin, Balun, Cepu.

Berjalan kaki bersama ibu terasa menyenangkan. Obrolan ringan, senyuman yang tulus, serta semangat untuk memperbaiki diri membuat langkah terasa ringan. Jalanan masih lenggang, sesekali motor melintas pelan, dan cahaya lampu jalan menjadi penerang kami. Hanya butuh sekitar lima belas menit, dan kami pun sampai di masjid yang megah itu. Langkah pertama memasuki halaman masjid terasa sejuk dan damai. Suasana masih belum ramai. Kami bisa memilih tempat duduk yang nyaman di dalam masjid. 

Dari kejauhan, suara hadroh sudah terdengar. Rupanya sejak usai salat Subuh, lantunan shalawat sudah mengalun dari grup hadroh di masjid. Suara rebana berpadu dengan vokal yang mendayu membawa suasana menjadi haru dan khusyuk. Tak lama kemudian, perhatian jamaah tertuju pada dua penari sufi yang tampil dengan gerakan berputar pelan penuh makna. Gerakan mereka lemah lembut, menyatu dengan irama shalawat. Satu penari mengenakan baju putih dengan jilbab marun, tampak bersih dan anggun. Sementara yang satu lagi memakai baju marun dengan jilbab hitam, menambah kesan kuat dan tegas. Keduanya menari bukan untuk pamer, melainkan sebagai bentuk ibadah menghibur, menghadirkan kekhusyukan melalui keindahan seni.

Semakin lama, jamaah yang hadir semakin banyak. Kaum ibu datang bergelombang, sebagian memilih duduk di serambi masjid karena ruang utama sudah penuh. Ada pula yang membawa anak-anak kecil yang tampak antusias mengikuti acara. Meski suasana ramai, tidak ada suara gaduh. Yang terdengar hanyalah suara hadroh, bisikan doa, dan sesekali sapaan lembut di antara para jamaah.

Tepat pukul enam, kajian pagi dimulai. Pembawa acara memulai dengan mengajak jamaah membaca surat Al-Fatihah bersama-sama. Bacaan ini menjadi pembuka yang khusyuk sebelum sang ustadz Minardi dari Jepon mulai menyampaikan tausiyahnya.

Materi kajian pagi itu sangat menyentuh hati. Salah satu inti pesan yang disampaikan adalah tentang makna syukur. Menurut ustaz, bersyukur bukan hanya dengan ucapan “alhamdulillah” semata, tapi juga harus dibuktikan melalui tindakan. Lisan bersyukur dengan dzikir, tangan digunakan untuk membuka dan membaca Al-Qur’an, kaki digunakan untuk melangkah ke masjid, dan kekayaan digunakan untuk berbagi dalam bentuk sedekah. Dengan cara itu, insya Allah hidup akan menjadi lebih berkah.

Kajian kemudian berlanjut pada pembahasan mengenai manusia yang beruntung mendapatkan syafaat dari Nabi Muhammad SAW. Menurut sang ustaz, syafaat itu akan diberikan kepada orang-orang yang mencintai Nabi, yaitu mereka yang gemar bershalawat, menyantuni anak yatim, serta rajin beribadah. Bahkan disebutkan pula bahwa benteng terbaik bagi manusia dari godaan setan adalah masjid, karena masjid adalah tempat turunnya malaikat. Selain itu, dzikir yang terus-menerus menjadi pelindung hati dari kerasnya dunia dan penyakit rohani.

Ustaz juga menjelaskan bahwa obat hati ada tiga yaitu pertama, dengan memperbanyak dzikir; kedua, dengan membaca Al-Qur’an; dan ketiga, dengan sering mengunjungi masjid. Hati yang kering karena urusan dunia akan menjadi lembut bila diisi dengan dzikir dan ilmu.

Ada pula penjelasan tentang jenis-jenis dzikir yaitu dzikir harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Dzikir harian misalnya seperti membaca tasbih, tahmid, dan takbir setiap selesai salat. Dzikir mingguan dapat berupa mengikuti pengajian rutin. Dzikir bulanan bisa dengan mengikuti kegiatan malam satu suro, istighotsah, atau pembacaan yasin bersama. Sementara dzikir tahunan misalnya memperbanyak takbir, tahlil, dan tahmid di hari raya Idul Fitri, bulan Dzulhijah, serta berkurban bila mampu.

Ustaz menekankan pentingnya ibadah qurban. Bagi yang mampu, hendaknya berqurban setiap tahun agar bisa berbagi daging dengan sesama, terutama mereka yang kurang mampu. “Dengan qurban, kita tidak hanya membagi daging, tetapi juga membagi kebahagiaan,” kata beliau.

Sekitar pukul 07.00 WIB, kajian ditutup dengan doa bersama. Semua jamaah mengangkat tangan, memanjatkan doa untuk keselamatan, keberkahan, dan keteguhan iman. Beberapa ibu tampak meneteskan air mata, mungkin karena merasa tersentuh atau mengingat dosa-dosa yang ingin mereka hapuskan.

Selesai acara, kami tidak langsung pulang. Beberapa ibu pengurus yatim dan duafa membagikan santunan kepada anak yatim. Ada beberapa pengurus yang bertugas membagi duduk melingkar sesuai kelompoknya. Ada pula yang masih berdiskusi tentang isi kajian tadi. Hati rasanya begitu penuh dengan rasa syukur, haru, dan semangat baru untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Wisata rohani ini bukan sekadar kegiatan keagamaan, tapi juga menjadi penyegar jiwa. Dalam kesibukan dan hiruk pikuk dunia, kami diberi ruang untuk mengingat Allah Subhanahu Wata'alla memperbaiki niat, dan memperkuat tali silaturahmi. Langkah kaki kami kembali pulang dengan hati yang jauh lebih ringan.
Cepu, 1 Juni 2025