Senin, 30 Juni 2025

Hamzah Aja Ketagihan




Karya : Gutamining Saida 
Bekam, atau dalam istilah Arab disebut hijamah, adalah salah satu terapi pengobatan yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Terapi ini dilakukan dengan cara mengeluarkan darah kotor dari tubuh melalui permukaan kulit menggunakan alat khusus yang menciptakan tekanan negatif, semacam vakum. Secara umum, bekam terbagi menjadi dua jenis yaitu bekam kering (tanpa sayatan) dan bekam basah (dengan sayatan tipis pada kulit untuk mengeluarkan darah).

Manfaat bekam sangat banyak, antara lain melancarkan peredaran darah, membantu mengatasi pegal-pegal, meringankan migrain, membersihkan racun dalam darah, hingga membantu meningkatkan imunitas tubuh. Tidak heran jika terapi ini kembali populer di kalangan masyarakat modern yang mulai tertarik dengan metode pengobatan alami dan sunnah Nabi.

Tidak semua orang berani mencoba. Banyak yang mundur teratur begitu mendengar kata “sayatan” atau “darah”. Ada yang membayangkan rasa sakit, ada pula yang takut karena trauma dengan jarum suntik. Bagi mereka, terapi bekam terdengar menyeramkan. Saya punya cerita berbeda, soal bekam ini dari cucu saya yang masih  sekolah TK. Saat liburan tiba, anak pertama saya yang tinggal di Tegal pulang ke rumah. Dia membawa serta tiga anaknya yaitu Zaskia, Hamzah, dan Emira.  Anak kedua saya, yang kini tinggal di Salatiga saya  anjurkan pulang ke Cepu. Momen kumpul begini cukup jarang terjadi dan sangat kami syukuri. Seperti biasa, rumah kami menjadi ramai dan penuh tawa anak-anak. Mereka berlarian ke sana kemari, tertawa, bermain, dan membuat rumah kami kembali hidup.

Suatu sore, anak saya, sang umi dari ketiga cucu itu, meminta untuk dibekam karena tubuhnya terasa pegal. Seorang terapis wanita adalah anak saya nomor tiga bernama Faiz. Dia membuka praktik dirumah sehingga memiliki perlengkapan bekamnya. Ia mengeluarkan alat vakum, jarum steril, kapas, alkohol, dan minyak gosok.

Saya ingat betul, saat itu Hamzah, cucu saya yang tengah duduk di TK A, awalnya hanya duduk memperhatikan uminya. Ia tampak penasaran dan matanya membelalak melihat alat-alat bekam. Saya sempat khawatir dia akan takut atau menangis melihat proses bekam yang mengeluarkan darah. Tapi ternyata saya salah besar.

Alih-alih takut, Hamzah malah mendekat dengan semangat. Dia bertanya, “Timmi, itu kenapa umi disedot kayak gitu? Kok ada darahnya? Kayak seru ya, boleh Hamzah coba?” Kami semua tertawa. Saya menatap Hamzah sambil berkata lembut, “Ini namanya bekam, sayang. Ini pengobatan yang dianjurkan Nabi. Tapi biasanya untuk orang dewasa. Hamzah kan masih kecil.”

Anak sekecil Hamzah bisa jadi sangat gigih bila sudah menginginkan sesuatu. Ia mulai merengek, lalu memohon dengan suara manja. “Timmi, Hamzah pengen banget. Masa Umi boleh, Hamzah nggak boleh. Hamzah nggak takut darah, kok!”

Melihat kesungguhan cucu saya, akhirnya sang terapis (Faiz) menjelaskan dengan hati-hati bahwa bekam untuk anak kecil sebenarnya bisa dilakukan, tapi tentu dengan penanganan khusus dan hanya di titik-titik tertentu yang ringan. Dengan persetujuan uminya dan kami semua, serta memakai alat khusus untuk anak-anak, Hamzah pun dibekam yang jenis kering.

Hamzah tidak menangis sama sekali. Ia malah tersenyum puas. Setelah proses selesai, ia bangkit sambil berkata penuh kemenangan, “Wah, enak ya, kayak digigit semut tapi bikin badan adem!” Kami semua terpingkal-pingkal. Anak sekecil itu bisa merasa "ketagihan" bekam. Dan benar saja, keesokan harinya, ia kembali bertanya, “Timmi, kapan Hamzah dibekam lagi?”

Sejak saat itu, setiap kali melihat ada anggota keluarga yang dibekam, Hamzah langsung muncul dan ikut antre. Ia menganggap bekam itu seperti permainan. Bahkan ia pernah bercerita di sekolah bahwa bekam itu seperti “sedotan super yang bisa bikin tubuh jadi superhero.”

Bagi saya pribadi, pengalaman ini memberi pelajaran penting. Kadang kita sebagai orang dewasa terlalu cepat menanamkan rasa takut kepada anak-anak yaitu takut jarum, takut darah, takut sakit. Hamzah, dengan rasa penasaran dan keberaniannya yang polos, malah menunjukkan bahwa keberanian bisa muncul bila rasa ingin tahu didampingi dengan pengertian.

Setiap liburan, jika kami berkumpul dan ada sesi bekam, Hamzah akan jadi yang paling dulu bersorak. “Ayo dibekam, biar sehat seperti Nabi!” Ah, cucuku yang satu ini memang unik. Di usianya yang masih dini, dia sudah mengenal salah satu terapi sunnah. Siapa sangka, di balik tubuh kecilnya, tersimpan semangat besar untuk menjaga kesehatan ala Rasulullah.

Semoga keberaniannya terus tumbuh dan menjadi anak yang sehat jasmani rohani, penuh cinta kepada sunah Nabi meski dimulai dari sesuatu yang sederhana yaitu bekam.
Cepu, 1 Juli 2025 

Rumah Impian Hamzah.

 


Karya: Gutamining Saida

Mentari mulai merunduk di ufuk barat. Cahaya jingga yang lembut masuk ke dalam rumah lewat celah jendela ruang keluarga. Lantai masih dipenuhi jejak-jejak kertas, sisa permainan belajar berhitung yang seru di pagi hari bersama Timmi. Di pojok ruangan, tertata rapi beberapa stik es krim dan  tutup botol plastik. Semua itu adalah karya Zaskia siangnya tadi.

Zaskia memang senang membuat kerajinan. Siang tadi, dia berhasil membuat bentuk rumah mungil dari stik es krim dan menambahkan tutup botol sebagai pintunya. Beberapa tutup botol lainnya ia tempel sebagai hiasan jendela. Setelah jadi, ia memamerkan kepada saya dengan bangga. Saya tentu memujinya sambil mencium pipi dan mengabadikan karyanya.

Setelah puas bermain dan berkarya, Zaskia beristirahat di kamar. Sementara itu, Hamzah yang sedari tadi mengamati karya kakaknya dalam diam, tiba-tiba bergerak perlahan mendekati bahan-bahan yang masih berserakan di lantai.

Hamzah jongkok pelan-pelan, mengambil satu, lalu dua, tiga stik e krim dan mulai menatanya. Tangannya kecil tapi cukup lincah untuk menyusun potongan-potongan sederhana. Sorot matanya penuh rasa ingin tahu, seolah mencoba memahami bagaimana kakaknya tadi membentuk rumah kecil itu.

Lalu ia memanggil saya dengan suara khasnya yang lembut namun mantap, “Tiimmmi… Hamzah mau buat seperti kakak, boleh?”

Saya tersenyum lebar dan langsung menjawab, “Boleh banget, sayang. Silakan.”

Hamzah tampak senang sekali. Ia duduk bersila di lantai, memandangi bahan-bahan di hadapannya. Beberapa stik ia susun menjadi bentuk persegi, lalu menambahkan bagian atas seperti segitiga, tanda atap rumah. Tutup botol ia ambil dan ditaruh di bawah, lalu ia mengambil dua tutup botol dirangkai dengan stik ditaruh di bawah rumah. Dibentuklah seperti orang pemilik rumah.

“Ini orangnya, Timm, di depan rumah,” katanya sambil tersenyum.

Sesekali matanya melirik ke arah saya, seolah meminta dukungan diam-diam. Saya hanya membalasnya dengan senyuman lembut dan anggukan, membiarkannya bereksplorasi dengan imajinasinya sendiri.

Hamzah melanjutkan dengan serius. Ia menempelkan tutup botol di sisi kiri dan kanan rumah sebagai jendela. Lalu ia meletakkan stik dan tutup botol di depan rumah. Ia menyebut orang itu sebagai abah dan umi, meskipun hanya berupa bulatan dan garis-garis untuk tangan dan kaki.

Sekitar dua puluh menit kemudian, ia berdiri dan menghampiri saya dengan karyanya yang sudah selesai ia menunjuk karya yang ada di lantai.

“Nih, Timm, sudah! Ini rumah... dan ini orangnya,” ujarnya sambil menunjuk setiap bagian dengan bangga.

Saya tersenyum haru. Meski sederhana, karya itu adalah hasil dari hati dan imajinasi seorang anak kecil yang tulus. Karya itu bukan hanya tentang stik dan tutup botol, tapi tentang niat belajar dan meniru sesuatu yang ia kagumi.

“Sungguh bagus, Hamzah hebat,” puji saya sambil mengelus rambutnya.

Wajah Hamzah bersinar bahagia. Ia duduk di samping saya dan memandangi hasil karyanya lagi. Sesekali ia menunjuk-nunjuk bagian yang ia buat, menjelaskan apa maksudnya dengan bahasa polos dan penuh semangat. Saya biarkan ia bercerita, sambil mendengarkan dengan hati yang penuh syukur.

Dalam hati saya merasa sangat terharu. Anak kecil itu yang pagi tadi masih bingung menghitung angka- angka kini dengan percaya diri menunjukkan rumah kecil kreasinya. Rasa takutnya berganti dengan rasa percaya diri. Keraguan berubah menjadi kreativitas.

Saya pun diam-diam mengangkat kedua tangan ke atas. Saya menutup mata dan berdoa dalam hati, “Ya Allah, terima kasih atas nikmat yang Engkau titipkan lewat cucu-cucuku. Ya Rabb, mudahkanlah jalan mereka. Bimbing mereka untuk tumbuh menjadi anak yang kreatif, cerdas, dan tetap rendah hati. Lapangkan hati mereka untuk menuntut ilmu dan tuntunlah langkah mereka dalam mencapai ridho-Mu…”

Sore itu menjadi salah satu sore yang indah. Bukan karena langit cerah, atau udara sejuk, tetapi karena ada kebahagiaan sederhana yang datang dari kebersamaan dan proses tumbuhnya seorang anak. Saya tahu, kelak rumah dari stik itu akan rusak, atau mungkin hilang terbuang. Tapi momen ini, semangat Hamzah, dan doa saya akan abadi di dalam hati.

Saya ambil handphone dan mengabadikan karya Hamzah. Saya ingin mereka tahu, betapa berharga setiap usaha mereka, sekecil apa pun. Saya ingin mereka selalu percaya bahwa belajar itu menyenangkan, dan rumah ini akan selalu menjadi tempat yang menyemangati mereka untuk mencoba lagi dan lagi. Semoga bermanfaat dan menjadi inspirasi pembaca saya. Aamiin

Cepu, 29 Juni 2025


Jejak Anak-anak Saya

Karya : Gutamining Saida 
Saya adalah seorang ibu dari tiga anak yaitu Bilta, Abid, dan Faiz. Satu lelaki di tengah-tengah dua putri. Dalam benak, setiap nama mereka adalah doa yang saya tanam sejak mereka lahir ke dunia. Mereka tumbuh dengan karakter dan jalan hidup masing-masing. Dalam satu keluarga, satu cinta yang tak pernah berubah yaitu cinta seorang ibu.

Anak pertama saya , Bilta, adalah perempuan yang kini telah menjadi ibu dari tiga anak yaitu Zaskia, Hamzah, dan Emira. Mereka tinggal di kota Tegal, menjalani hari-hari dalam perannya sebagai ibu rumah tangga. Setiap kali saya mengingat Bilta, kenangan masa kecilnya seperti film yang diputar ulang di benak saya. Ketekunannya, kepandaiannya membantu di rumah, dan kelembutannya masih terasa hingga kini ia menjadi ibu bagi anak-anaknya.

Menariknya, jarak antara anak pertama dan kedua saya sama seperti jarak antara Zaskia dan Hamzah, cucu-cucu saya. Seperti pengulangan waktu, Tuhan mengatur ritmenya dengan indah. Saya melihat cermin masa lalu dalam kehidupan mereka sekarang. Seolah saya diingatkan kembali akan masa-masa mendidik dan membersamai anak-anak saya, namun kali ini dalam wujud cucu-cucu yang menggemaskan.

Abid, anak kedua dan satu-satunya putra dalam keluarga, memiliki jalan hidup yang berbeda. Sejak lulus dari Madrasah Ibtidaiyah, dia sudah melanglang buana. Belajar dan mencari pengalaman dari kota ke kota. Dari Gresik ke Kudus, lalu ke Semarang, Bali, hingga ke Salatiga. Ia seperti burung petualang yang tidak bisa diam di satu dahan terlalu lama. Sering kali saya tak tahu pasti di mana ia sekarang.  Saya  percaya, anak saya sedang mengejar cita-cita, menimba ilmu, dan mengasah kemampuannya untuk masa depan.

Tak jarang saya mendengar kabar darinya melalui pesan singkat atau telepon cepat. Hanya sekadar menyampaikan bahwa dia baik-baik saja, sedang sibuk ini dan itu. Kadang saya tersenyum sendiri, membayangkan betapa sibuk dan dinamis hidupnya, lalu saya berdoa dalam hati, “Ya Allah, jagalah dik Abid di setiap perjalanannya. Jadikan langkah-langkahnya berkah, dan tunjukkan dia jalan yang terbaik.”

Faiz, si bungsu, adalah anak perempuan saya yang kini tinggal satu rumah di Cepu. Dia memilih untuk membuka usaha terapi di rumah. Sejak awal saya mengarahkan tetap berada di rumah. Ada keinginan dalam hati saya untuk memiliki seorang anak yang tetap dekat, yang bisa menemani saya di masa tua. Tidak banyak permintaan saya sebagai seorang ibu, hanya ingin ditemani, disapa setiap hari, dan bisa melihat wajah anak ketika pagi dan malam menjelang. Faiz memenuhi keinginan saya dengan tinggal bersama. 

Dia membuka usaha kecil-kecilan yang lambat laun mulai dikenal banyak orang. Sekarang sudah memiliki banyak pasien. Kadang saya membantunya sebisa mungkin, atau sekadar menemani saat dia lelah. Meski sibuk, Faiz tetap menyempatkan diri menyiapkan kebutuhan, bercerita tentang pelanggan, dan kadang terapi saya saat kelelahan. Ia adalah penyejuk di usia saya yang tak lagi muda.

Ketiga anak-anak saya Bilta, Abid, dan Faiz sekarang sudah menjalani hidup masing-masing. Mereka bukan lagi anak kecil yang merengek atau berlarian di halaman. Mereka sudah dewasa. Sudah menjalani kehidupan dengan cara mereka. Di dalam doa saya, mereka tetap anak-anak kecil yang saya jaga dan saya peluk dalam setiap sujud saya.

Waktu dan jarak membuat mereka jarang berkumpul. Rumah kami yang biasanya sunyi mendadak riuh oleh tawa anak-anak, cucu-cucu, percakapan antar saudara, dan hidangan yang disantap bersama. Kesibukan masing-masing membawa mereka kembali ke kota dan kehidupan mereka. Tapi saya selalu menanti, mungkin di lain waktu, kami akan kembali duduk bersama.

Dalam hati, saya berdoa, “Ya Allah, bahagiakanlah anak-anak saya. Jadikan mereka anak-anak yang sholeh dan sholehah, yang berbakti kepada orang tua, dan senantiasa menyembah kepadaMu. Jadikan mereka cahaya bagi sekelilingnya, manfaat bagi lingkungannya.”

Saya tahu, tugas saya sebagai ibu belum selesai, meski mereka sudah tumbuh dewasa. Doa saya tidak akan pernah berhenti. Setiap detik, setiap tarikan napas, adalah bentuk cinta dan pengharapan untuk mereka.

Jika suatu hari nanti saya tidak lagi bisa menemani, saya ingin mereka tetap mengingat bahwa saya mencintai mereka dalam diam, dalam doa, dan dalam setiap kenangan yang pernah kita bagi. Karena bagi seorang ibu, anak-anak adalah dunia yang tak tergantikan, bagian dari jiwa yang akan selalu melekat di hati, di doa, dan di akhir hayat.
Cepu, 30 Juni 2025 



Bermain Dakon Bersama Zaskia

Karya: Gutamining Saida 
Liburan sekolah Zaskia kali ini terasa lebih istimewa. Dia memilih menghabiskan waktu di Cepu, bersama saya, neneknya. Sejak tiba di rumah, saya sudah menyusun rencana kecil-kecilan untuk mengenalkan berbagai permainan tradisional yang dulu begitu akrab saat masa kecil saya. Salah satunya dakon adalah permainan sederhana yang penuh strategi dan hitung-hitungan.

Zaskia, cucu pertama saya, saat ini duduk di kelas satu SD. Usianya tujuh tahun, namun rasa ingin tahunya sangat besar. Saya yakin, permainan dakon bisa menjadi jembatan antara kebahagiaan masa kecil saya dan dunia masa kini yang serba digital. Saya ingin memperkenalkan bahwa bermain tak selalu harus dengan gawai atau menonton layar. Ada cara-cara sederhana yang bisa memunculkan tawa, tantangan, dan rasa senang yang tulus.

Saya mengeluarkan papan dakon yang sudah saya siapkan. Benda itu kini terbuat dari plastik, berwarna-warni menarik. Berbeda dengan masa kecil saya dulu. Waktu kecil, kami tidak punya papan dakon yang mewah. Kami menggali tanah membentuk dua baris lubang yang masing-masing berjumlah tujuh. Biji-biji asam, kerikil kecil, atau biji sawo kami kumpulkan sebagai pengganti biji dakon. Sederhana, tapi penuh kenangan.

Zaskia memandang papan dakon itu dengan mata berbinar.

“Ini apa, Timmi?” tanyanya sambil mengelus bagian atas papan.

“Namanya dakon, kakak. Ini permainan yang timmi dulu sering mainkan waktu kecil.”

Zaskia mendekat. “Caranya gimana?”

Saya mulai menjelaskan aturan dasar. Setiap lubang diisi tujuh biji, kecuali tempat penyimpanan di kedua ujung papan. Saya mengambil giliran pertama untuk menunjukkan cara memindahkan biji satu per satu, berputar ke arah kanan. Setiap biji yang dijatuhkan ke lubang harus dilakukan dengan hati-hati, hingga giliran berakhir ketika biji terakhir masuk ke lubang kosong di area sendiri. Jika berhasil, biji lawan di lubang seberangnya bisa “diserbu” dan dipindahkan ke tempat penyimpanan kita.

Saya ulangi gerakan itu dua kali. Zaskia mengangguk-angguk, mencoba memahami. Saya tahu, baginya ini tantangan baru, berbeda dari permainan-permainan yang biasa ia mainkan di rumah.

Kami mulai bermain. Awalnya saya membiarkannya mencoba dulu tanpa lawan. Saya dampingi dengan sabar, memperhatikan bagaimana ia menghitung biji dengan teliti. Kadang dia bingung, kadang menghitung terbalik. Tapi saya tidak menyela. Membiarkan dia belajar dari kesalahan kecilnya.

“Ini masukin satu-satu ya, Timmi?”

“Iya, kakak Zaskia. Satu biji untuk satu lubang. Kalau sudah habis, terusin dari lubang terakhir yang kamu isi.”

Beberapa kali Zaskia kebingungan, lalu tertawa sendiri. Tapi wajahnya tetap semangat. Saya tahu, dia tertantang. Matanya berkonsentrasi penuh, tangannya telaten memindah biji demi biji.

Setelah beberapa kali mencoba, saya ajak dia bermain sungguhan melawan saya. Kali ini, kami berhadapan. Dia duduk bersila di seberang saya, siap dengan tangan kecilnya.

“Siap kalah ya?” saya menggoda.

“Siap menang dong!” jawabnya mantap.

Permainan dimulai. Beberapa ronde pertama saya mainkan dengan santai, memberi ruang agar dia bisa mengamati pola permainan saya. Namun, semakin lama, Zaskia mulai menunjukkan strategi sendiri. Dia memilih lubang dengan biji paling banyak, menghitung langkah ke depan, dan mulai menantikan saat bijinya jatuh di lubang kosong di wilayahnya.

Sampai akhirnya, di ronde ketiga, dia berhasil menang. Jumlah bijinya lebih banyak daripada saya. Ketika saya mengumumkan kemenangannya, Zaskia langsung melompat kecil, berteriak senang.

“Yaaaay! Aku menang! Timmi kalah!” serunya sambil tertawa riang.

Saya tertawa ikut senang. Melihat cucu saya bisa menikmati permainan tradisional seperti dakon adalah kebahagiaan tersendiri. Dalam sorak kemenangannya, saya melihat semangat belajar, ketelitian berhitung, serta rasa percaya diri yang tumbuh. Tidak hanya bermain, Zaskia telah belajar banyak hal dari permainan ini menghitung dengan cermat, bersaing dengan sportif, dan tentu saja, sabar menunggu giliran.

Setelah menang, ia tidak langsung berhenti. “Main lagi, Timmi!” pintanya.

Kami pun bermain kembali, kali ini lebih seru karena Zaskia sudah memahami strategi. Ia mulai mengecoh, mencoba menebak langkah saya, bahkan tertawa senang saat berhasil mengambil banyak biji dari lubang saya. Sore itu kami habiskan dengan bermain dakon. 

Saya senang bukan main. Melihat cucu saya terhibur tanpa perlu ponsel, tanpa perlu internet, hanya dengan papan dakon dan segenggam biji plastik. Warisan permainan tradisional ini ternyata masih mampu memunculkan tawa dan keceriaan.

Saya berharap, kelak Zaskia akan mengingat momen ini. Ketika dia sudah dewasa, semoga dia juga akan mengajarkan dakon kepada anak-anaknya. Karena permainan sederhana seperti ini bukan hanya hiburan, tapi juga sarana belajar, mempererat hubungan keluarga, dan mengenalkan warisan budaya yang tak ternilai. Semoga menginspirasi. 
Cepu, 30 Juni 2025

Minggu, 29 Juni 2025

Refresing Tipis-Tipis


Karya :Gutamining Saida 
Minggu pagi matahari belum sepenuhnya naik ketika suara-suara riang mulai terdengar dari dapur dan ruang tengah rumah kami. Suara cucu-cucu saling  bercanda, aroma serabi cantol  mengepul, dan tawa kecil dari anak-anak saya yang sedang menyiapkan sarapan. Minggu ini kami sepakat untuk tidak bermalas-malasan, juga tidak merencanakan liburan jauh-jauh keluar kota. Kami hanya ingin menikmati waktu bersama, merayakan kebersamaan yang tak selalu bisa kami dapatkan di hari-hari kerja yang sibuk.

“Yuk, hari ini kita refreshing tipis-tipis,” ucap saya sambil menyadarkan punggung di dinding ruang makan. “Semua ikut, ya. Tidak boleh ada yang tinggal di rumah."

Ajakan itu disambut antusias. Tak butuh waktu lama, kami semua sudah bersiap. Cucu- cucu mengenakan baju favorit mereka, pasangan saya menenteng tas kresek berisi air minum, tisu, dan perlengkapan sederhana lain. Kami memang tidak hendak pergi jauh, cukup di dalam kota saja. Tidak ingin ambil risiko macet atau lelah di perjalanan. Tujuan kami hari ini sederhana adalah keliling kota Cepu dan menciptakan momen kebersamaan yang hangat.

Kami menyusuri jalan utama kota Cepu . Dari jendela mobil, cucu-cucu menunjuk gedung-gedung yang mereka kenali, bahkan ada yang memberi komentar lucu tentang baliho iklan yang baru. Kami melewati taman kota Cepu yang rindang, pasar plasa pagi yang masih ramai, dan deretan toko yang sebagian baru saja membuka pintu.

“Yuk, mampir sebentar ke taman seribu lampu. Jalan kaki sebentar,” kata anak laki-laki saya sambil menunjuk taman yang teduh.

Kami turun, berjalan santai menyusuri jalan setapak di taman. Ada yang berlari kecil, ada yang memungut bunga jatuh, dan ada yang sekadar duduk di bangku taman menikmati angin pagi. Tidak ada agenda khusus, tapi suasana ini terasa hangat. Saling berbicara tanpa tekanan, tertawa atas hal-hal remeh, dan menikmati detik demi detik bersama.

Setelah cukup puas berjalan-jalan, kami melanjutkan perjalanan menuju warung bakso favorit keluarga. Letaknya tidak terlalu jauh dari taman. Di sanalah kami biasa berkumpul saat ada perayaan kecil, atau hanya sekadar ingin menikmati semangkuk kehangatan dalam bentuk bakso.

Saat duduk bersama, semangkuk bakso panas mengepul di hadapan kami masing-masing dilengkapi minuman es jeruk, perasaan syukur menyelinap ke dalam hati. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat semua anggota keluarga duduk dalam satu meja, tertawa, saling menyuapi, dan bercakap dengan akrab. Setiap suapan terasa istimewa, bukan karena rasa baksonya saja, melainkan karena suasana yang mendampingi.

Setelah makan, kami memutuskan untuk singgah di sebuah tempat terbuka yang baru direnovasi menjadi area foto dan taman kota. Di sana, kami mengabadikan momen. Satu persatu berpose, mulai dari gaya formal, gaya lucu, hingga foto candid yang membuat kami tertawa terpingkal-pingkal saat melihat hasilnya.
Cucu - cucu berlari di antara tiang-tiang lampu taman yang artistik. Anak perempuan saya mengabadikan momen dengan ponselnya, sesekali mengarahkan sudut foto, memastikan semua wajah masuk dalam bingkai. Kami berfoto di depan loko kereta, di bawah patung kuda menjadi ikon kota Cepu , dan di depan air mancur kecil yang berkilauan terkena sinar matahari.

Waktu berlalu tanpa terasa. Tanpa rencana yang ribet, tanpa biaya besar, tanpa perjalanan panjang dan melelahkan, hari Minggu kami tetap terasa lengkap. Kebersamaan itu ternyata tidak membutuhkan kemewahan. Cukup ada waktu untuk berkumpul, kemauan untuk saling mendengarkan, dan hati yang saling menerima.

Saat matahari mulai condong ke barat, kami pun memutuskan pulang. Sepanjang perjalanan pulang, terdengar gumaman kecil dari anak-anak yang tertidur di kursi belakang, kelelahan karena bahagia. Di dalam hati, saya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa . Tidak perlu menunggu liburan panjang atau tiket wisata mahal untuk bisa bahagia. Cukup hari Minggu, cukup keliling kota, cukup satu meja makan sederhana, cukup tawa yang mengisi udara itu semua sudah lebih dari cukup.

Bahagia tidak harus mahal. Kepuasan batin yang kami rasakan hari itu adalah anugerah yang tak ternilai.  Saya yakin, cerita Minggu ini akan menjadi salah satu kenangan manis yang akan kami kenang bersama di masa depan.
Cepu, 30 Juni 2025 


Sore Penuh Tawa Dan Angka

Karya :Gutamining Saida 
Sore ini di ruang tamu saya ubah menjadi arena bermain. Angin bertiup lembut, membawa kesejukan setelah panas siang yang menyengat. Cahaya matahari yang mulai condong ke barat menciptakan bayangan panjang di tanah. Saya selesai menyusun satu media permainan berhitung untuk cucu-cucu saya. Dua cucu saya, Zaskia dan Hamzah, sudah sejak siang terlihat tak sabar ingin bermain.

Saya memang sudah menyiapkan media sederhana,  penuh manfaat. Di lantai ruang tamu, saya menempelkan kertas-kertas besar bertuliskan soal penjumlahan: 2+3, 4+2, 4+5, dan sebagainya. Di sisi lain, saya siapkan dua angka pilihan untuk setiap soal satu jawaban benar, satu lagi pengecoh. Misalnya, untuk soal 2+3, pilihan angkanya adalah 5 dan 6. Soal 4+2,pilihsn angkanya adalah 6 dan 7 dan seterusnya. 

Permainan dimulai dengan  berdiri di dekat soal. Mereka membaca soal, menghitung, lalu berjalan menuju angka hasil penjumlahan yang menurut mereka benar. Kalau jawabannya betul, mereka boleh lanjut ke soal berikutnya. Kalau salah, harus kembali ke awal.

Zaskia, cucu pertama saya yang kini sudah duduk di kelas satu SD, tentu lebih percaya diri. Ia sudah bisa menghitung tanpa bantuan jari. “Timmi, ini gampang! 2 tambah 3 itu lima, aku pasti bisa!” katanya penuh semangat.

Zaskia berjalan mantap ke angka lima, dan saya tersenyum senang. “Betul, Kak! Lanjut ya…”

Giliran berikutnya, Hamzah. Bocah lelaki yang kini masih duduk di TK A itu maju perlahan. Ia tampak semangat, namun juga sedikit tegang. Saya tahu, bagi anak seusia Hamzah, menghitung masih bergantung pada jari jemari mungilnya.

“Dua tambah tiga,” ucapnya pelan sambil menunduk. Tangannya mulai bergerak. Satu jari... dua... lalu tambah tiga lagi.

“Hayoo, jangan salah ya, Hamzah!” tiba-tiba terdengar suara menggoda dari belakang.

Itu suara Om Abid, adik dari orang tua Hamzah (uminya Hamzah) yang ikut menonton bersama Amah Faiz, Umi Bilta, Timmi, dan Ayut Tatik. Mereka semua duduk di kursi di sisi tempat permainan, mereka menjadi penonton dadakan permainan berhitung sore itu.

“Kalau salah, nanti tak suruh pulang ke Tegal!” celetuk Om Abid lagi sambil tertawa.

Wajah Hamzah langsung berubah. Ia berhenti menghitung, matanya menatap sekitar, lalu menunduk lagi. Tangannya ragu-ragu mengangkat jari, lalu menurunkannya. “Aku… aku nggak mau pulang ke Tegal…” gumamnya sambil tetap memandangi soal.

“Liburanku masih panjang…” lanjutnya lirih, membuat semua yang menonton tertawa geli, bukan mengejek, tapi karena ekspresi polos dan jujur dari Hamzah.

Saya segera mendekat, menenangkan Hamzah. “Nggak apa-apa. Santai saja. Hitung pelan-pelan. Nggak ada yang marah kalau salah. Yang penting kamu mencoba.”

Zaskia pun ikut menyemangati, “Ayo, dik! Pakai jarimu aja. Tadi aku juga sempat ragu, tapi ternyata bisa.”

Hamzah menarik napas panjang, lalu mulai lagi menghitung. “Dua,” katanya sambil mengangkat dua jari, “tambah tiga…” ia menambah tiga jari lagi. “Satu, dua, tiga, empat, lima!” serunya sambil menunjuk angka lima di depan.

Ia melangkah ke angka lima. Saya tersenyum lega. “Betul, Hamzah! Pinter! Lanjut, ya.”

Semua penonton memberi tepuk tangan. Hamzah tertawa lepas, merasa percaya diri kembali. “Aku nggak jadi pulang ke Tegal!” katanya sambil berlari ke soal berikutnya.

Permainan berlangsung seru. Meski media yang saya buat sederhana, namun suasananya penuh semangat dan keceriaan. Zaskia dan Hamzah bergantian menyelesaikan soal. Kadang mereka saling bantu, kadang saling menggoda. Tapi yang paling penting, mereka belajar bukan hanya berhitung, tapi juga belajar percaya diri, sabar, dan menyelesaikan masalah dengan tenang.

Setiap kali satu soal diselesaikan, mereka akan menoleh ke arah saya atau orang-orang yang menonton, seolah ingin memastikan bahwa usahanya dihargai.

“Aku sekarang bisa semua soal, Timmi!” kata Zaskia bangga.

“Aku udah nggak takut salah,” sambung Hamzah.

Saya memeluk mereka berdua. “Timmi bangga. Kalian bukan cuma belajar angka, tapi juga belajar berani dan jujur. Hebat!”

Senja mulai merambat turun. Cahaya oranye lembut membalut wajah-wajah ceria itu. Permainan ditutup dengan foto bersama di dekat media berhitung. Semua tampak bahagia. Saya, sebagai nenek, merasa sangat bersyukur.

Betapa luar biasanya nikmat sore ini. Satu waktu sederhana, satu permainan kecil, tapi memberi arti besar. Bukan hanya membuat cucu-cucu senang, tapi juga menanamkan cinta belajar sejak dini.

“Lain kali,” bisik saya dalam hati, “saya akan siapkan permainan baru. Agar cucu-cucu saya selalu belajar sambil bahagia.” Semoga menginspirasi dan bermanfaat. 
Cepu, 29 Juni 2025 

Nikmat Sempat dan Nikmat Berkumpul




Karya : Gutamining Saida 
Di antara segala kesibukan dan jarak yang membentang, ada satu hal yang tak pernah berubah yaitu kerinduan untuk berkumpul. Saya sudah lama menyimpan harapan itu untuk duduk lesehan di lantai bersama anak-anak dan cucu, bukan hanya sekadar lepas rindu, tapi benar-benar menikmati kebersamaan yang utuh, tanpa tergesa, tanpa panggilan pekerjaan, tanpa keharusan kembali tergesa-gesa.

Kali ini harapan kecil saya menjadi nyata. Anak, menantu dan cucu dari Tegal sudah berusaha mengambil cuti, meski pekerjaan sedang padat. Anak laki-laki yang tinggal di Salatiga pun mengurus izin pulang lebih awal. Rumah yang biasanya sunyi di malam hari, kini berubah menjadi ruang hangat penuh tawa.

Sejak pagi saya sudah sibuk mempersiapkan. Dapur terasa hidup kembali. Bunyi irisan bawang, denting sendok di panci, dan aroma bumbu tumis memenuhi udara. Saya ingin malam ini istimewa. Bukan dari kemewahan hidangan, tapi dari kehangatan yang tersaji di atas daun pisang seujung yang sederhana.

Menu makan malam saya pilihkan dengan rasa hati yaitu telur bumbu bali yang gurih pedas, tempe yang dimasak sayur momoh hidangan favorit yang sering kami nikmati dulu saat anak-anak masih kecil, mie goreng sederhana yang dicampur potongan wortel  sayur, dan tentu saja ikan bakar . Semua saya tata dengan anak perempuan yang ketiga. Lelah memang, tapi rasa bahagia membuat tubuh ini kuat.

Menjelang malam, lantai di ruang tamu sudah diberi alas plastik di atasnya diberi daun pisang memanjang dari arah timur menuju barat. Wajah-wajah yang saya rindukan duduk bersisian. Anak saya membantu menyiapkan minuman di gelas menantu saya sibuk membantu juga. Cucu-cucu berlarian kecil sambil sesekali mengambil mie goreng.

“Mie goreng buatan Timmi ini memang nggak ada lawan!” seru cucu saya yang paling besar, sambil menyendok mie hangat.

“Telur balinya juga… kayak waktu kecil, Miii,” ucap anak saya sambil tersenyum. Matanya tampak berkaca-kaca. Mungkin karena rasa yang memanggil kenangan.

Saya hanya tersenyum. “Nggak ada yang berubah dari resepnya, cuma yang masak sudah lebih pelan sekarang,” seloroh saya, membuat mereka tertawa kecil.

Satu per satu daun pisang tiada sisa makanan, tapi cerita tak pernah habis. Kami bercerita tentang hari-hari yang lewat, pekerjaan, sekolah anak-anak, dan impian masa depan. Ada yang serius, ada yang lucu, dan kadang diselingi candaan khas keluarga.

Cucu saya yang paling besar, Zaskia tiba-tiba berkata dengan polos, “Kalau udah gede nanti, aku mau bikin rumah deket rumah Timmi biar bisa makan kayak gini tiap malam.”

Ucapan polos itu disambut gelak tawa dan tepuk tangan kecil. Tapi di dalam hati saya, kata-kata itu terasa seperti pelukan hangat.

Malam semakin larut. Setelah makan, kami duduk lesehan di ruang tengah. Ada yang duduk bersandar di dinding, ada yang merebahkan diri di karpet sambil memeluk anak-anak mereka. Saya memandangi mereka satu per satu. Di tengah rasa lelah setelah menyiapkan semuanya, hati saya terisi penuh oleh rasa syukur.

“Terima kasih, ya,” kata saya pelan, tapi cukup terdengar oleh semua.

Anak saya yang sulung menoleh, “Kenapa, Miii?”

“Terima kasih karena kalian semua meluangkan waktu untuk pulang ke Cepu . Saya  tahu nggak mudah ambil cuti, ijin pulang, ninggalin kerjaan. Tapi kalian tetap datang. Nikmat bisa berkumpul seperti ini… nggak bisa dibeli,” jawab saya.

Suasana seketika hening. Lalu terdengar suara pelan, “Kami yang terima kasih, Miii. Sudah masak, nyiapkan semuanya. Ini malam paling hangat selama tahun ini.”

Saya tersenyum sambil mengusap mata. Tak terasa, air mata menetes.

Malam itu adalah malam yang tak akan saya lupakan. Malam saat waktu berhenti sejenak, dan dunia terasa sangat kecil cukup diisi oleh keluarga, tawa, dan cerita. Sebuah malam yang tak mewah, tapi sangat mahal. Kebersamaan yang mengalahkan kepentingan pribadi. Perjumpaan yang lahir dari keinginan untuk saling menyapa bukan lewat layar, tapi lewat pelukan dan sentuhan tangan.

Di dalam hati, saya mulai menyusun rencana. “Lain kali, harus ada agenda khusus. Bukan tunggu libur panjang. Tapi dibuat waktu untuk berkumpul. Bukan karena momen, tapi karena memang ingin bersama.”

Nikmat sempat, nikmat berkumpul. Dua hal yang sering dilupakan, tapi malam itu, saya rasakan utuh keduanya.

Dan ketika malam benar-benar larut, dan anak-anak mulai masuk kamar, cucu-cucu tertidur di pelukan orang tuanya, saya duduk sendiri di teras. Menatap langit yang bersih. Hati saya penuh doa yaitu semoga ini bukan yang pertama, bukan yang terakhir. Semoga rumah ini, terus menjadi tempat mereka pulang.
Cepu, 29 Juni 2025 

Sabtu, 28 Juni 2025

Stik Es Krim dan Tutup Botol Zaskia

Karya : Gutamining Saida 
Sabtu siang, tanggal 28 Juni 2025, sinar matahari memancar cukup terik di halaman rumah. Suasana di dalam rumah justru terasa hangat dengan keceriaan. Timmi, kembali hadir sebagai teman bermain sekaligus inspirator kegiatan Zaskia

Timmi, yang biasanya hanya menjadi seorang nenek memasak, menyetrika, bersih-bersih rumah sekarang harus tampil beda. Mengajari, mengajak bermain bersama cucu2nya. Timmi muncul sambil berkata, “Zaskia, yuk kita bikin karya dari stik es krim dan tutup botol Floridina!”

Zaskia, yang sedang duduk santai di ruang tamu, langsung menyambut dengan antusias. “Mau! Mau! Apa yang kita buat, Timmi?”

“Suka-suka Zaskia aja! Timmi hanya kasih ide awal ya, nanti Zaskia kembangkan,” jawab Timmi sambil menunjuk ke tumpukan stik es krim bersih dan beberapa tutup botol Floridina yang sudah dikumpulkan sejak kemarin. 

Awalnya, Timmi memberi contoh sederhana. Ia menyusun beberapa stik es krim membentuk pohon. Dua batang disatukan sebagai batang utama, lalu ditambahkan beberapa stik menyilang sebagai cabang. Tutup botol Floridina digunakan sebagai hiasan buah atau bunga di ujung cabang. Zaskia memperhatikan dengan seksama, tapi ia tampak memikirkan sesuatu yang lain.

“Kalau aku bikin rumah saja, ya, Timmi,” ucapnya dengan mata berbinar.

“Tentu boleh!” sahut Timmi bersemangat. “Rumah seperti apa?”

“Rumah Zaskia, tapi nanti ada orangnya, kipas anginnya, dan gaya-gaya orang,” jawabnya mantap.

Zaskia mulai menyusun stik-stik es krim dengan penuh ketelitian. Ia membentuk empat sisi rumah, menempelkan satu per satu stik dengan rapi. Atap rumah dibuat dengan bentuk segitiga dari susunan stik yang direkatkan dengan hati-hati. Tutup botol floridina ia tempelkan di bagian depan sebagai hiasan jendela. Satu tutup botol lain dijadikan pintu unik dan penuh imajinasi.

“Timmi, ini orangnya ya,” kata Zaskia kemudian, sambil menunjukkan sebuah tutup botol Floridina yang ia beri tangan dan kaki. 

“Wah, itu siapa namanya?” tanya Timmi sambil tertawa kecil.

Tidak berhenti sampai di situ, Zaskia mulai mencoba dengan gaya yang berbeda. Ia menempelkan stik es krim membentuk tangan dan kaki tokoh. Ada yang berdiri, ada yang duduk, bahkan ada yang berpose sedang melompat. Yang paling membuat saya yang menyaksikan dari kejauhan terkesima adalah tokoh yang dibuat seolah sedang berlari.

Saya melihat dengan rasa bangga dan syukur. Ternyata, dari bahan sesederhana stik es krim dan tutup botol floridina, Zaskia bisa menciptakan berbagai bentuk dengan begitu imajinatif. Ia bahkan membuat kipas angin, dengan bagian baling-baling dari stik dan tutup botol. Ia membayangkan kipas itu berputar saat kepanasan.

Timmi mendampingi proses kreativitas Zaskia dengan setia. Zaskia seolah berbicara, menyampaikan ide, berdiskusi, dan kadang-kadang tertawa sendiri ketika menemukan hal baru dalam kreasinya.

Ketika semua sudah jadi, Zaskia menata hasil karyanya. Rumah, tokoh-tokoh dari tutup botol Floridina, dan kipas angin mini semuanya berjajar seperti pameran kecil. Saya pun ikut memotret dan menyimpan foto-foto itu sebagai kenangan.

Mata Zaskia berbinar dan tampak sangat bangga dan bahagia, bukan karena mendapat pujian, tapi karena merasa karyanya dihargai dan bisa bermakna.

Sabtu siang itu menjadi waktu yang sangat berkesan. Bukan hanya karena karyanya yang unik, karena kehangatan momen antara Zaskia, dan imajinasinya yang luar biasa. Saya bersyukur kepada Allah Subhanahu Wata'alla karena di usia yang masih belia, Zaskia telah menunjukkan kemampuan berpikir kreatif, percaya diri, dan mandiri dalam menciptakan sesuatu.  Semua itu bermula hanya dari stik es krim dan tutup botol Floridina bahan yang sederhana. 
Cepu, 28 Juni 2025 

Jumat, 27 Juni 2025

Ajal Rahasia Allah


Karya :Gutamining Saida 
Pukul 14.00 WIB, udara siang terasa begitu terik. Matahari masih tinggi, meski bayangan mulai condong ke barat.  Ketika Abah berkata dengan nada tenang, “Ayo siap-siap, kita takziah ke Blora. Suami Bu Titik meninggal dunia.”

Mendengar kabar kepergian suaminya seolah tak percaya. Tak ada kabar sakit, tak ada keluhan berarti.  Begitulah hidup yaitu ajal datang bukan karena sakit, melainkan karena memang sudah waktunya.

Tanpa banyak bicara, saya segera bersiap. Di perjalanan menuju Blora bersama Abah, saya duduk diam, memandangi jalanan yang perlahan kami lewati. Pikiran melayang pada almarhum, pada keluarga yang ditinggalkan, dan pada misteri kehidupan yang tak bisa kita pahami sepenuhnya.

Menurut informasi yang kami terima, almarhum meninggal saat berada di kamar mandi. Tidak dalam kondisi sakit parah, hanya merasa sedikit kelelahan setelah pulang dari Semarang mengunjungi anaknya yang sedang menyelenggarakan acara sunatan untuk cucu mereka. Mungkin rasa lelah itu sekadar penanda bahwa tubuh telah sampai pada batas.

Tragisnya, kamar mandi terkunci dari dalam. Saat dicurigai terlalu lama tak keluar, keluarga mulai gelisah. Mereka mengetuk, memanggil, lalu akhirnya mendobrak. Di situlah mereka menemukan kenyataan yaitu suami Bu Titik telah pergi.  Tanpa suara. Tanpa pamit. Malaikat maut telah menunaikan tugasnya, tepat di tempat yang tak pernah disangka-sangka.

Saya menghela napas panjang. Ajal memang rahasia Allah. Tak bisa ditunda, tak bisa dimajukan, tak bisa dihindari walau sehelai rambut. Bahkan di tempat paling pribadi dan sunyi seperti kamar mandi, bila waktunya telah tiba, maka manusia harus berserah.

Setibanya di rumah duka, suasana haru langsung menyelimuti. Para pelayat sudah berdatangan, duduk bersimpuh di ruang tamu dan halaman. Tangis tertahan terdengar dari beberapa sudut. Wajah Bu Titik tampak sayu, namun tabah. Ia menyambut kami dengan lirih, lalu menunduk, memeluk saya erat.

Saya hanya bisa membalas pelukan itu sambil berbisik, “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Sabar ya, Bu. Semoga husnul khatimah.”

Kami duduk bersama para pelayat lainnya, membaca doa-doa untuk almarhum. Suara lantunan tahlil mengalun pelan, berpadu dengan isak tangis yang sesekali pecah. Di tengah suasana duka itu, saya kembali merenung.

Takziah, lebih dari sekadar menghadiri kematian. Ia adalah pengingat bagi yang hidup. Saat melihat jenazah terbujur kaku, saya merasa disentuh dalam-dalam. Manusia yang tadi masih bercanda, tertawa, bercengkerama, kini hanya terbaring diam. Betapa fana dunia ini. Betapa cepat waktu berlalu.

Ada banyak manfaat takziah, terutama untuk diri saya sendiri. Di antaranya adalah
1. Menguatkan ukhuwah.
Mengunjungi orang yang berduka adalah wujud kepedulian dan kasih sayang antarsesama. Kita datang untuk menunjukkan bahwa mereka tidak sendiri.
2. Mendapatkan pahala 
Dalam Islam, takziah termasuk amal yang berpahala besar karena menghibur hati orang yang sedang dalam kesedihan.
3. Belajar bersyukur 
Saat melihat kematian, kita disadarkan untuk lebih bersyukur atas waktu yang kita miliki saat ini.
4. Mengingatkan akan kematian. 
Ini yang paling dalam. Takziah membuka mata bahwa hidup ini sementara. Kita tak tahu kapan giliran kita.
Saya teringat sabda Rasulullah, “Cukuplah kematian itu sebagai nasihat.” Dan hari ini, nasihat itu nyata. Menyeruak begitu dalam, di tengah rumah yang dipenuhi duka.

Dalam perjalanan pulang, Abah berkata, “Ajal manusia itu tidak memilih tempat. Bisa di kamar mandi, bisa di atas sajadah, bisa juga di jalan. Yang penting, kita siap.”

Saya mengangguk pelan. Siang itu, takziah telah mengajarkan saya lebih dari sekadar berempati.  Saya merenung tentang makna hidup, tentang pentingnya menyayangi orang terdekat selagi masih bersama, dan tentang bagaimana kita seharusnya menyiapkan bekal untuk akhir perjalanan ini.

Ya Allah, terima kasih masih Kau beri waktu untuk membersamai mereka. Terima kasih telah Kau izinkan saya belajar tentang hidup dari peristiwa hari ini.
Cepu, 27 Juni 2025 

Kamis, 26 Juni 2025

Bolding (Bola Gelinding) Bersama Zaskia dan Hamzah


Karya : Gutamining Saida 
Menjelang sore notifikasi dari ponsel saya berbunyi berturut-turut. Saya tengah duduk santai di ruang tamu, menatap ke luar jendela di mana angin sore berhembus lembut menyapa dedaunan yang menari. Sejurus kemudian, layar ponsel penuh dengan pesan-pesan dari grup WhatsApp dinas Esmega. Grup yang biasanya senyap mendadak ramai oleh pesan-pesan bernada gembira dan penuh ucapan syukur.
"Selamat berlibur bapak ibu." chats bapak Kepala Sekolah singkat. 

“Alhamdulillah…"
"Alhamdulillah..."
"Alhamdulillah, terimakasih infonya pak.
"Alhamdulillah, yang ditunggu-tunggu akhirnya datang!” balas bapak ibu guru yang lain, tak kalah semangat.

Saya pun segera membuka pesan dari Bapak Kepala Sekolah. Ternyata benar. Beliau menyampaikan informasi penting yaitu surat edaran (SE) resmi mengenai jadwal libur untuk guru dan tenaga kependidikan di lingkungan Kabupaten Blora akhirnya diterbitkan. Ditanda tangani oleh bapak Kepala Dinas tetanggal 26 Juni 2025. Mata saya langsung membacanya dengan saksama, memastikan setiap kalimat.

Seketika hati saya turut berbunga-bunga. Bukan hanya karena ada waktu rehat dari rutinitas sekolah yang padat, tetapi karena saya membayangkan hari-hari ke depan yang bisa  saya isi bersama cucu-cucu tercinta. Libur ini menjadi semacam hadiah tak terduga kesempatan langka yang tak selalu datang, apalagi di tengah tahun ajaran yang berjalan padat.

Tak lama setelah mengumumkan berita baik itu, Bapak Kepala Sekolah langsung memberi arahan kepada Waka Kurikulum dan Kepala Tata Usaha untuk segera menyusun jadwal piket selama libur. Beliau memang sigap dan tegas dalam setiap keputusan. Para guru menyambutnya dengan berbagai rencana ada yang langsung mengatur jadwal mudik, bahkan ada yang sudah sibuk membuat rencana liburan keluarga.

Namun tidak dengan saya. Libur kali ini tak perlu jauh-jauh. Cukup di rumah. Bersama cucu-cucu, itu sudah lebih dari cukup.

Sejak kabar libur itu datang, senyum saya tak bisa berhenti merekah syukur atas nikmat Allah. Saya segera menyusun rencana kecil-kecilan di dalam hati. Bermain bersama Zaskia, Hamzah dan Elmira. Membacakan dongeng menjelang tidur. Mengajarkan mereka membuat prakarya dari barang-barang bekas. Atau sekadar duduk di teras, menikmati sore sambil mengawasi mereka naik sepeda di jalan raya.

"Timmi, hari ini kita main apa?" tanya Zaskia dengan mata berbinar.

“Kita maiin bolding yuk,” ajak saya. “Timmi  sudah siapkan bola tenes, botol minuman bekas dan peluit. ”

Mereka bersorak kegirangan. Tak perlu taman hiburan, tak perlu gedung permainan berbayar. Cukup di ruang tamu, dan mereka sudah seperti menemukan dunia baru. 
Caranya adalah botol - botol bekas minuman ini ditata kemudian kalian dari arah sana kira-kira empat meter kemudian bola yang kalian pegang  digelindingkan atau dilempar setelah mendengar bunyi peluit. Nanti yang botolnya langsung roboh semua itulah yang menang. 

Hamzah sempat berkata, “Timmi besok kita main masak-masakan ya. Aku mau jadi koki!”

Dan aku menjawab, “Boleh, tapi harus jadi koki yang cuci piring sendiri juga ya!”

Tak bisa saya pungkiri, dalam keseharian yang biasanya sibuk, momen seperti ini sangat jarang kami nikmati. Saya disibukkan dengan tugas-tugas sekolah, mereka dengan kegiatan belajar dan bermain di rumahnya Tegal. Libur ini menjadi anugerah untuk mempererat ikatan, mengisi hati dengan kenangan yang akan tumbuh menjadi cerita manis di masa depan.

Malam hari sebelum tidur, Zaskia pernah berbisik pada saya, “Timmi, semoga besok liburnya belum habis ya.” Saya tersenyum dan mengelus kepalanya. Dalam hati, saya juga berharap begitu.

Waktu memang akan terus berjalan. Libur akan selesai pada waktunya. Saya yakin, setiap tawa dan pelukan, setiap lembar kertas yang kami gunting bersama, setiap potong tempe goreng yang mereka makan dengan lahap semuanya akan jadi kenangan yang tak mudah terlupakan. Selamat menikmati libur kawan semua. 
Cepu, 27 Juni 2025 

Sarapan Nasi Goreng


Karya : Gutamining Saida 
Sayup-sayup suara azan subuh berkumandang dari musala di ujung gang. Udara terasa sejuk menembus jendela yang sedikit terbuka. Di dalam rumah, suasana masih tenang, tapi ada satu dua suara yang mulai terdengar yaitu langkah kaki kecil menuju kamar mandi.

Zaskia dan Hamzah sudah bangun. Dua cucu kesayangan itu memang dibiasakan untuk melaksanakan salat Subuh sejak dini. Walaupun matanya kadang masih berat, mereka tetap berusaha. Zaskia dengan kerudung mungilnya yang sering miring, dan Hamzah yang biasanya masih mengucek-ucek mata saat berdiri di samping saya  mengangkat takbir.

Setelah salat, mereka duduk sejenak membaca dzikir pendek. Kadang dengan suara yang masih pelan dan terbata, tapi hati ini selalu hangat mendengarnya. Sementara itu, saya bergegas ke dapur. Sarapan spesial yaitu nasi goreng tempe goreng.

Sebenarnya bukan sesuatu yang mewah. Tapi bagi saya, nasi goreng yang dimasak dengan sepenuh hati bisa jadi hidangan terbaik di dunia..Saya ambil bumbu-bumbu sederhana yaitu bawang merah, bawang putih, cabai, sedikit garam, dan kecap manis. Saya siapkan nasi. 

Tempenya juga sudah dipotong-potong. Amah Faiz  bantu menggoreng dengan minyak yang baru. Suara gemericik minyak saat irisan tempe masuk ke dalam wajan terdengar seperti musik pagi yang menyenangkan. Aroma tempe goreng perlahan menyebar ke seluruh rumah.

“Goreng tempe Mah!” seru Hamzah yang tiba-tiba muncul di ambang pintu dapur.

“Laper ya?” tanya saya sambil tersenyum.

Hamzah mengangguk cepat. “Aku mau tempe dua ya, Mah!”

Zaskia menyusul tak lama kemudian. "Timmi, nasi gorengnya dibanyakin ya, aku suka yang cuma pakai nasi aja,” pintanya.
Zaskia memang tidak terlalu suka lauk. Dia lebih senang dengan rasa nasi yang manis gurih. Sedangkan Hamzah kebalikannya lauk adalah segalanya baginya.

Tak lama kemudian, kami semua duduk di ruang makan sederhana. Saya  menyendokkan nasi goreng ke mangkok-mangkok mereka, menambahkan tempe goreng di atasnya, lalu membagikan sendok sesuai favorit mereka. Anak-anak memang punya kebiasaan unik mangkok biru untuk Hamzah, mangkok merah muda untuk Zaskia.

Mereka mulai makan dengan lahap. Suara sendok beradu dengan mangkok, diselingi obrolan kecil dan tawa riang. Suasana pagi yang damai benar-benar terasa lengkap.

Ada satu yang belum bergabung. Si bungsu, cucu terkecil, masih duduk diam di lantai. Wajahnya tampak mengantuk, dan ketika disodorkan mangkok kecil berisi nasi goreng, dia hanya menggeleng pelan.

“Masih ngantuk? ” kata uminya sambil menepuk-nepuk punggung anaknya pelan.
Saya mencoba lagi, dengan nada ceria, “Ayo… ini pesawatnya mendarat di bandara mulut!” Tapi tetap saja, mulut mungil itu tak kunjung terbuka. Saya menghela napas pelan, tidak kecewa, hanya mencoba bersabar. Saya tahu, kadang anak kecil butuh waktu dan suasana hati yang pas untuk bisa makan.

Sementara itu, Zaskia sudah hampir menghabiskan nasinya.
“Timmi, ini nasi gorengnya kok enak banget sih?” tanyanya sambil memiringkan kepala penasaran.

Saya tertawa kecil. “Soalnya Timmi masak pakai bumbu cinta.”

“Cinta itu yang kayak apa?”

“Cinta itu…Timmi masak sambil mikirin kalian. Sambil berdoa semoga kalian sehat, kenyang, dan jadi anak yang baik.”

Hamzah langsung berseru, “Berarti tempenya juga cinta dong? Nambah lagi ya, Timmi”
Saya senang sekali melihat mereka menghargai makanan, tanpa banyak pilih-pilih. Meski lauknya hanya tempe goreng, mereka tetap makan dengan gembira. Tidak ada yang protes, tidak ada yang minta diganti. Semua menerima apa adanya.

Jam mulai menunjukkan pukul tujuh. Waktu sarapan hampir usai. Anak-anak mulai beranjak dari meja, satu demi satu. Saya  masih duduk, membersihkan nasi yang tercecer di meja kecil itu. Dalam hati, saya bersyukur luar biasa.

Bukan soal mewah atau tidaknya sarapan kami. Bukan soal lauk yang berlimpah atau peralatan makan yang cantik. Tapi soal kebersamaan. Soal rasa syukur. Soal cinta yang mengalir dalam setiap sendok nasi goreng yang saya buat pagi itu.

Mungkin tak semua anak di luar sana bangun Subuh, salat, lalu makan dengan penuh syukur. Zaskia dan Hamzah sudah belajar dari kecil. Belajar mengenal Allah , belajar menghargai makanan, dan belajar menerima hidup dengan sederhana.
Cepu, 27 Juni 2025 




Perjuang FLS2N dan O2SN Esmega

Karya : Gutamining Saida
Akhir bulan Juni 2025 menjadi momen yang sangat bersejarah bagi keluarga besar SMPN 3 Cepu. Tepat pada tanggal 25 Juni 2025 kabar bahagia itu diumumkan secara resmi. Hasil lomba FLS2N (Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional) serta O2SN (Olimpiade Olahraga Siswa Nasional) jenjang SMP tingkat Kabupaten Blora telah keluar. Dokumen pengumuman itu ditandatangani langsung oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Blora, menandai bahwa perjuangan panjang para peserta dari berbagai sekolah telah mencapai garis akhir.

Dari sekian banyak sekolah yang berpartisipasi, nama SMPN 3 Cepu bersinar terang. Sekolah ini mengikuti berbagai cabang perlombaan, mulai dari bidang seni hingga olahraga. Tidak tanggung-tanggung, hasil yang diraih pun cukup membanggakan. Beberapa cabang yang diikuti berhasil menorehkan prestasi gemilang, membawa pulang gelar juara dari tingkat kabupaten.

Tasya Rihafatul Ais Andrea, dari cabang lomba mendongeng, berhasil meraih juara dua tingkat Kabupaten Blora. 
Sesya Purnomo Putri berhasil membawa pulang juara tiga dalam cabang lomba ilustrasi. 
Tiem ansambel campuran SMPN 3 Cepu menyabet juara satu. Sebuah prestasi tertinggi di bidang seni musik. Tim ini terdiri dari gabungan siswa kelas 7 dan 8 dengan susunan alat musik yang lengkap dan harmonisasi vokal yang apik. Mereka membawakan lagu  dengan sentuhan aransemen yang indah. Juri memberikan nilai tinggi. 

“Hebat! Keren! Juara satu, loh!” teriak beberapa pembimbing dengan semangat. Para personel ansambel saling pandang dan tersenyum, mengenang kembali proses latihan panjang dan melelahkan, yang akhirnya membuahkan hasil manis.

Alifia Zahra Dian, siswi yang sudah lama berlatih pencak silat di luar sekolah, berhasil menjadi juara satu pencak silat putri tingkat kabupaten. Saat namanya diumumkan, suasana sempat hening sejenak, lalu disambut dengan sorakan penuh bangga.

Dari cabang karate, SMPN 3 Cepu juga tak pulang dengan tangan kosong. Untuk kategori putra, perwakilan sekolah berhasil meraih juara tiga. Sementara itu, di kategori putri, Ramono Mutia Maya, siswa SMPN 3 Cepu menyabet juara tiga juga. Meskipun belum di posisi puncak, pencapaian mereka tetap luar biasa mengingat persaingan yang sangat ketat.

“Bisa juara tiga saja saya udah bersyukur,” ujar Mutia, saat diwawancarai oleh guru olahraga sambil tersenyum lebar.

Pembimbing pun memberikan komentar  menyentuh hati. “Prestasi ini adalah bukti bahwa dengan kerja keras, latihan yang teratur, dan semangat kebersamaan, kita bisa bersaing dan unggul."saat mendengar dan melihat hasil rekap juara. Terima kasih kepada para siswa, dan semua pihak yang telah mendukung.” lanjut guru pembimbing yang mendampingi. 

FLS2N dan O2SN 2025 mungkin telah usai, semangat juang akan terus hidup di SMPN 3 Cepu. Di balik setiap trofi dan sertifikat, ada kisah tentang keberanian, kerja keras, dan kebanggaan menjadi bagian dari sekolah yang tak hanya membentuk kecerdasan namun juga karakter serta  prestasi. 
Cepu, 26 Juni 2025 

Hamzah belajar sepeda




Karya : Gutamining Saida  
Di halaman yang teduh, Zaskia sedang asyik mengayuh sepeda merah kecil. 
Selama dua hari terakhir, Zaskia giat belajar naik sepeda.  Terjatuh, lututnya sempat lecet sedikit, tapi dia tak perna putus asa. “Timmi, aku bisa! Coba lihat nanti,” katanya penuh semangat kemarin sore.

Kakak Zaskia berhasil naik sepeda. Sepeda bisa berjalan lurus beberapa meter tanpa jatuh. Wajahnya sumringah, senyum tak lepas dari bibirnya.

Tak jauh dari situ, berdiri seorang bocah laki-laki bernama Hamzah, adik Zaskia. Ia memperhatikan kakaknya berkeliling halaman.

“Kakak Zaskia sudah bisa sih?” gumam Hamzah lirih.
Timmi… aku boleh nggak… pinjam sepedanya Kakak  Zaskia?” tanyanya ragu.

Saya tersenyum hangat. “Tentu boleh, Hamzah. Mau belajar juga, ya?”

Hamzah mengangguk pelan.
Zaskia yang mendengar langsung memarkir sepedanya. “Nih, dik. Tapi pelan-pelan ya. Kalau jatuh jangan nangis!"
Saya membantu Hamzah naik ke atas sepeda. Kakinya masih ragu menginjak pedal. Tangannya mencengkeram setang erat-erat.

“Coba satu kaki naik di pedal, kaki satunya lagi buat dorong dulu. Timmi pegangin belakangnya ya,” saya memberi arahan sambil menopang sadel.

Hamzah mencoba. Sekali… dua kali… sepeda goyang dan hampir jatuh.

“Pelan aja, dik! ” seru Zaskia sambil mengamati dari samping.

“Ini susah, Kak!” teriak Hamzah sambil manyun.

“Dulu aku juga susah! Tapi lama-lama bisa,” jawab Zaskia sambil tersenyum bangga. “Coba lagi!”

Hamzah tidak menyerah. Ia mencoba lagi dan lagi. Kadang terjatuh, kadang sepeda hanya bergeser sedikit, tapi semangatnya makin menyala.

“Ayo, Hamzah bisa!” sorak kakak Zaskia sambil bertepuk tangan.

“Dikit lagi nih… aku mau coba lebih kenceng!” kata Hamzah, nafasnya mulai ngos-ngosan, tapi matanya berbinar.

Saya mulai melepas pegangannya sedikit demi sedikit tanpa memberitahunya. Ia mengayuh, satu, dua, tiga... dan sepeda melaju!

“Dik Hamzahh! KAMU BISA!!” teriak Zaskia kencang.

Hamzah terkejut. Ia menoleh ke belakang, melihat saya berdiri jauh dari tempatnya mulai.

Wajah Hamzah langsung bersinar seperti mentari pagi. “AKU BISA! AKU BISA KAYAK KAKAK!” teriaknya penuh kemenangan. Ia turun dari sepeda dan meloncat-loncat girang.

“Coba lagi, coba lagi!” katanya cepat, lalu menaiki sepeda lagi tanpa bantuan.

Zaskia menghampirinya dan memberi tos. “Good job, dik! Kamu hebat!”

“Makasih, Kak. Tadi aku deg-degan banget. Tapi seruuu!”

Saya mengusap kepala mereka bergantian. “Kalian hebat. Lihat, karena berani mencoba dan nggak gampang nyerah, sekarang Hamzah bisa naik sepeda.”

Mereka tertawa bersama, lalu mulai bermain berdua. Hamzah mengayuh sepedanya pelan-pelan mengitari halaman. 
Pagi itu di halaman rumah, bukan hanya tentang anak kecil yang belajar naik sepeda. Tapi juga tentang keberanian, semangat, dan dukungan satu sama lain. Saya memandang mereka dengan hati penuh syukur. Setiap usaha kecil mereka adalah langkah besar dalam hidup. Dan momen itu saat Hamzah berhasil mengayuh sepeda sendiri untuk pertama kalinya akan selalu saya simpan dalam hati. 
Cepu, 26 Juni 2025 

Rabu, 25 Juni 2025

Pagi ku Bersama Zaskia dan Hamzah



Karya : Gutamining Saida 
Malam sebelumnya, suasana rumah di Cepu berubah ramai. Setelah beberapa hari hanya ada Zaskia, kini dua adik laki-laki dan perempuan tiba. Mereka datang dengan wajah riang, suara ramai, dan langkah kecil yang tak pernah diam. Hamzah, si anak tengah yang suka menjelajah, serta adiknya Elmira namanya, seolah membawa angin segar yang menghidupkan kembali semangat liburan di rumah Timmi.

Saya sudah mempersiapkan satu permainan seru sejak semalam. Pagi ini, selesai makan pagi, saya langsung mengajak mereka berkumpul di ruang tamu yang telah saya singkirkan dari kursi-kursi. Di pojok ruangan, saya menaruh bola tenis berwarna hijau. Di sisi satunya, ada dua mangkok dari plastik, dan di antara keduanya, saya letakkan dua buah enthong nasi dari bahan plastik.

“Permainannya sederhana,” kata saya sambil tersenyum kepada Zaskia dan Hamzah yang sudah duduk antusias. “Kalian harus memindahkan bola tenis dari tempatnya ke mangkok, hanya dengan menggunakan enthong ini. Tidak boleh pakai tangan, dan tidak boleh dipegang!”

Mata mereka berbinar, tanda permainan ini cukup menarik perhatian. Zaskia langsung berdiri dan mengambil satu enthong. Hamzah, tentu tidak mau kalah. Mereka pun menggenggam yang satunya.

“Siapa duluan, siapa duluan?” tanya Zaskia tak sabar.

“Kalian berjalan bareng, siapa yang paling banyak memindahkan bola ke mangkok kosong, dia yang menang,” jawab saya.

Saya menghitung mundur, “Tiga… dua… satu… mulai!”

Zaskia dan Hamzah langsung bergerak cepat. Zaskia tampak hati-hati, berusaha menjaga agar bola tidak jatuh dari enthong-nya. Ia berjalan pelan-pelan dari tempat bola membawa menuju ke mangkok yang berjarak kira-kira tiga meter. Sementara Hamzah, tampil penuh semangat. Ia mencoba meniru gaya kakaknya, tapi tak lama kemudian, ia mulai frustrasi karena bolanya terus jatuh.

“Susah, Timm! Bolanya loncat terus!” seru Hamzah dengan suara setengah kesal.

“Pelan-pelan, Hamzah. Jangan buru-buru,” kata saya memberi semangat.

Anak laki-laki itu punya ide lain. Saat Zaskia sedang sibuk memindahkan bola di mangkok, Hamzah diam-diam mengambil satu bola dan memegangnya dengan tangan, lalu cepat-cepat meletakkannya di mangkok.

“Ehhh! Curang! Itu pakai tangan!” teriak Zaskia sambil menunjuk adiknya. “Timm, adik  Hamzah curang! Tadi dia pegang bolanya pakai tangan, lho!”

Saya menoleh ke arah Hamzah. Bocah itu tampak salah tingkah, tapi tetap tersenyum geli. “Cuma satu, kok,” jawabnya santai.

“Namanya juga aturan, kalau curang, berarti nggak seru lagi mainnya,” ucap saya dengan nada lembut tapi tegas.

Hamzah mengangguk kecil. Beberapa saat setelah ia mencoba lagi, bolanya jatuh, dan ia kembali terlihat tak sabar. Kali ini, ia mencoba menyiasati dengan menahan bola dengan jari di ujung enthong.

“Hamzah, itu juga nggak boleh! Tanganmu nyentuh bola!” teriak kakak Zaskia lagi.

“Kakak cerewet banget sih! Biarin aja,” balas Hamzah dengan kesal.

“Aku cuma pengen adil!” Zaskia membela diri, lalu menoleh ke saya. “Timm, tolong bilangin dong. Kalau kayak gitu, nggak asyik mainnya.”

Saya tertawa kecil. “Baiklah, biar Timm kasih tambahan aturan. Kalau sampai tiga kali ketahuan curang, dikurangi satu bola yang sudah kamu pindah, ya.”

Hamzah mendengus, tapi akhirnya mengangguk. Ia mulai mencoba lebih hati-hati, meski ekspresinya menunjukkan bahwa ia harus menahan diri untuk tidak mengambil jalan pintas.

Permainan pun berlanjut dengan semangat yang makin seru. Kakak Zaskia terus menyemangati dirinya sendiri, bahkan sesekali berteriak, “Ayo, semangat! Yang penting jujur!” sambil berjalan mantap.

Hamzah pun pelan-pelan mengikuti gaya kakaknya. Ia mulai merasa senang saat bisa memindahkan bola dengan sukses, tanpa jatuh dan tanpa curang. Sorak-sorai kecil pun terdengar setiap kali satu bola berhasil masuk mangkok.

Tak terasa, permainan berlangsung hampir 30 menit. Bola di tempat pun habis. Saya menghitung jumlah bola di mangkok masing-masing. Hasilnya, Zaskia menang dengan selisih dua bola.

“Yeayyy! Aku menang karena nggak curang!” sorak Zaskia.

Hamzah meringis, tapi tetap tersenyum. “Iya, iya… lain kali aku nggak curang lagi deh.”

Saya memeluk keduanya. “Yang penting kalian bermain dengan senang hati dan belajar untuk jujur. Kadang kalah itu tidak apa-apa, asal kalian tahu mana yang benar dan mana yang tidak.”

Keringat masih mengalir, tapi wajah mereka bahagia. Suasana rumah semakin hidup, bukan hanya karena suara tawa, tapi permainan pagi itu sangat menyenangkan. 
Cepu, 26 Juni 2025 




Selasa, 24 Juni 2025

Benteng Pendem (Van Den Bosch)

Karya :Gutamining Saida 
Langit tampak cerah, seolah menyambut kedatangan rombongan esmega yang akan menapak tilas sejarah perjuangan bangsa di sebuah tempat yang sudah lama saya impikan untuk dikunjungi  Benteng Pendem Van Den Bosch. Nama benteng ini mulai dikenal masyarakat luas sebagai situs sejarah yang menyimpan jejak penting perjuangan melawan penjajahan. Dibangun oleh Belanda dan berdiri kokoh sejak pertengahan abad ke-19, benteng ini menyimpan kisah tentang penjajahan, perlawanan, dan harapan akan kemerdekaan.

Benteng Van Den Bosch, atau yang lebih akrab disebut masyarakat sebagai Benteng Pendem, terletak strategis di wilayah Ngawi, Jawa Timur. Letaknya yang berada di pertemuan antara muara Sungai Bengawan Madiun dan Sungai Bengawan Solo menjadikannya titik strategis yang sangat penting bagi Belanda saat itu. Dengan posisi tersebut, Belanda dapat mengontrol lalu lintas sungai dan memantau pergerakan rakyat serta prajurit pribumi dari berbagai arah. Tak heran, pada masa Perang Diponegoro tahun 1825, benteng ini menjadi pusat komando yang amat vital.

Dibangun secara resmi pada tahun 1845, benteng ini kemudian dinamai sesuai nama jenderal Belanda saat itu yaitu Van Den Bosch, yang dikenal sebagai tokoh yang mencetuskan sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Sistem ini sangat menyengsarakan rakyat pribumi karena memaksa mereka menanam komoditas yang menguntungkan penjajah, seperti kopi dan tebu, daripada menanam bahan pangan untuk kebutuhan sendiri. Maka tak hanya sebagai benteng fisik, bangunan ini pun menyimpan simbol penjajahan ekonomi yang menindas.

Ketika saya memasuki gerbang benteng, rasa takjub bercampur haru menyelimuti hati. Meskipun sebagian bangunan telah lapuk dimakan usia, jejak arsitektur khas Eropa abad ke-19 masih jelas terlihat. Dinding-dinding batu besar dan tebal masih berdiri kokoh. Sebagian area benteng memang berada di bawah permukaan tanah—oleh karena itu masyarakat menyebutnya “benteng pendem” alias benteng yang tenggelam.

Saya berjalan menyusuri lorong-lorong yang dulunya menjadi tempat pertahanan militer. Terbayang dalam benak saya bagaimana para pejuang Indonesia dahulu menyusun strategi untuk menggempur pertahanan Belanda. Benteng ini bukan sekadar bangunan tua, tetapi saksi bisu dari keteguhan para pahlawan yang memperjuangkan kebebasan negeri ini.

Di masa penjajahan, benteng ini dijaga ketat. Selain sebagai pusat militer, juga difungsikan sebagai tempat tahanan bagi para pejuang yang melawan penjajah. Banyak yang tak kembali setelah ditawan di sini. Tak sedikit yang disiksa atau dibuang ke tempat yang tak pernah terdengar lagi kabarnya. Benteng ini menyimpan luka yang dalam, namun juga menyimpan semangat tak kenal lelah dari para pejuang tanah air.

Setelah Indonesia merdeka, benteng ini tidak dibiarkan terbengkalai. Pemerintah kemudian menjadikannya aset milik TNI Angkatan Darat dan dimanfaatkan sebagai basis militer. Namun seiring berjalannya waktu, benteng ini mulai dikenal masyarakat sebagai situs sejarah yang harus dilestarikan. Selain sebagai tempat wisata sejarah, benteng ini juga menjadi lokasi edukatif bagi pelajar dan masyarakat umum yang ingin mengenal lebih dalam tentang perjuangan bangsa.

Saya duduk di salah satu sudut benteng, mengamati bangunan yang menghitam dimakan waktu. Meski diam, bangunan ini seolah berbicara. Ia menyampaikan suara para pejuang yang dulu berteriak “Merdeka!” di tengah gemuruh tembakan dan deru peluru. Ia menyampaikan duka mereka yang ditawan, dipenjara, bahkan disiksa demi mempertahankan harga diri bangsa.

Benteng ini, meski tak lagi digunakan untuk peperangan fisik, tetap menjadi medan perjuangan. Perjuangan melawan lupa. Lupa akan sejarah, akan pengorbanan, dan akan nilai-nilai luhur bangsa. Mengunjungi Benteng Pendem Van Den Bosch bukan hanya tentang menjejak tempat bersejarah, tetapi juga menyusuri kembali ingatan kolektif bangsa.

Saat matahari mulai condong ke barat, saya bersama rombongan esmega melangkah meninggalkan benteng dengan hati yang penuh syukur kepada Allah Subhanahu Wata'alla. Di tengah derasnya arus modernisasi, keberadaan benteng ini menjadi pengingat bahwa kemerdekaan tidak datang dengan mudah. Ia dibayar dengan darah, air mata, dan nyawa. Dan kini, tugas kita adalah menjaga warisan itu agar tak terkikis oleh waktu.

Benteng Pendem peringatan yang hidup, berdiri di tengah kota Ngawi untuk mengingatkan bahwa kemerdekaan adalah anugerah, dan perjuangan tak boleh dilupakan. 
Cepu, 25 Juni 2025 

U - empat Enak dan Gurih

Karya :Gutamining Saida 
Sore ini pelataran Masjid Al Mujahidin suasana sejuk menyapa kami yang mulai datang untuk rapat santunan yatim piatu yang akan membahas agenda tanggal 10 Muharom yang akan datang. Mbak Dewi datang lebih awal. Tak lama kemudian saya. 

Tampak beberapa ibu-ibu datang. Mereka ada yang berjalan kaki, naik motor. Seperti sudah menjadi kebiasaan, setiap rapat selalu diselingi dengan canda an ringan. Kali ini ada yang membawa  jajanan tradisional yang langsung mencuri perhatian. Jajanan tersebut dari ketela parut dicampur kelapa parut, gula, dan sedikit garam, dibungkus daun pisang, dan dikukus hingga matang. Ada juga versi yang diisi potongan pisang di tengahnya atau potongan gula jawa. Hangat, lembut, manis gurih benar-benar mengundang selera.

Salah satunya Bu Bedjo, datang dengan senyum sumringah sambil meletakkan kresek berisi air gelas mineral dan jajanan bungkus daun pisang. “Ini ibu-ibu saya bawa ‘U-empat’,” ucapnya singkat. Saya  dan Mbak Dewi yang duduk tak jauh dari sana, saling pandang penuh tanya. U-Empat? Rasanya baru pertama kali kami mendengar nama itu.

Mbak Dewi pun menyahut sambil tersenyum, “Lho Bu Bedjo, bukannya ini namanya U-Tri?”

Saya mengangguk setuju. “Iya, setahu saya namanya begitu. Jajanan ketela parut ini biasa disebut Utri atau U-Tri.”

Bu Bedjo hanya tersenyum geli, seolah bisa membaca isi kepala kami. “Biasa orang memang bilang U-Tri, tapi kali ini saya sengaja menamainya U-Empat. Kan isinya lebih banyak, ada pisangnya juga, biar naik pangkat satu tingkat,” katanya sambil tertawa kecil. Kami pun ikut tergelak. Ada-ada saja Bu Bedjo ini, selalu ada celotehan unik yang keluar dari mulutnya. Entah bagaimana, gurauannya selalu berhasil mencairkan suasana dan membuat semua orang merasa hangat.

Saya langsung mengambil ponsel dari tas, berniat mengabadikan momen unik ini. "Bu Bedjo, saya  ijin memfoto jajanan “U-Empat” ya." ucap saya. 
Di tengah kesibukan rapat, momen kecil seperti ini begitu berarti. Mengajarkan bahwa dalam setiap kegiatan sosial, tak hanya kerja keras dan niat baik yang dibutuhkan, tetapi juga keceriaan dan kehangatan antar sesama.

Rapat berjalan lancar. Agenda dibacakan, dana dikalkulasi, dan penyaluran santunan direncanakan dengan rinci. Meski kadang diselingi canda, semuanya tetap tertib dan penuh rasa tanggung jawab. Saya memandangi wajah-wajah ibu-ibu yang sudah sepuh namun masih semangat berkegiatan untuk membantu sesama. Termasuk Bu Diran,  aktif hadir, membawa semangat untuk cerminan yang lebih muda.

Di sela-sela rapat, pikiran saya melayang. Betapa sederhana namun berharganya kegiatan hari ini. Tak ada sorotan media, tak ada panggung atau penghargaan. Hanya sekelompok orang biasa yang ingin memberi manfaat bagi anak-anak yatim dan kaum dhuafa. Kegiatan seperti inilah sering lahir rasa syukur yang tulus. Apalagi dengan kehadiran jajanan hangat bernama “U-Empat” yang meski hanya jajanan sederhana, mampu membuat kami tertawa dan menikmati sore dengan rasa penuh makna.

Sebelum bubar, saya sempat berbincang lagi dengan Mbak Dewi. “Besok kalau ada acara, kita bawa U-Lima ya?” canda saya

“Boleh, tapi syaratnya harus ada isi keju dan kacang hijau sekalian,” jawab Mbak Dewi sambil tertawa.

Kami pun pulang dengan hati ringan. Sore ini aku pulang membawa cerita, bukan hanya untuk dibagikan tapi juga untuk dikenang. Cerita tentang kebersamaan, keikhlasan, dan tentu saja tentang “U-Empat” yang manis, gurih, dan sarat tawa.

Barakallah, Bu Bedjo. Semoga selalu sehat dan dilimpahkan rezeki. Terima kasih untuk ‘U-Empat’-nya yang bukan hanya lezat di lidah, tapi juga hangat di hati.
Cepu, 24 Juni 2025