Senin, 30 Juni 2025

Rumah Impian Hamzah.

 


Karya: Gutamining Saida

Mentari mulai merunduk di ufuk barat. Cahaya jingga yang lembut masuk ke dalam rumah lewat celah jendela ruang keluarga. Lantai masih dipenuhi jejak-jejak kertas, sisa permainan belajar berhitung yang seru di pagi hari bersama Timmi. Di pojok ruangan, tertata rapi beberapa stik es krim dan  tutup botol plastik. Semua itu adalah karya Zaskia siangnya tadi.

Zaskia memang senang membuat kerajinan. Siang tadi, dia berhasil membuat bentuk rumah mungil dari stik es krim dan menambahkan tutup botol sebagai pintunya. Beberapa tutup botol lainnya ia tempel sebagai hiasan jendela. Setelah jadi, ia memamerkan kepada saya dengan bangga. Saya tentu memujinya sambil mencium pipi dan mengabadikan karyanya.

Setelah puas bermain dan berkarya, Zaskia beristirahat di kamar. Sementara itu, Hamzah yang sedari tadi mengamati karya kakaknya dalam diam, tiba-tiba bergerak perlahan mendekati bahan-bahan yang masih berserakan di lantai.

Hamzah jongkok pelan-pelan, mengambil satu, lalu dua, tiga stik e krim dan mulai menatanya. Tangannya kecil tapi cukup lincah untuk menyusun potongan-potongan sederhana. Sorot matanya penuh rasa ingin tahu, seolah mencoba memahami bagaimana kakaknya tadi membentuk rumah kecil itu.

Lalu ia memanggil saya dengan suara khasnya yang lembut namun mantap, “Tiimmmi… Hamzah mau buat seperti kakak, boleh?”

Saya tersenyum lebar dan langsung menjawab, “Boleh banget, sayang. Silakan.”

Hamzah tampak senang sekali. Ia duduk bersila di lantai, memandangi bahan-bahan di hadapannya. Beberapa stik ia susun menjadi bentuk persegi, lalu menambahkan bagian atas seperti segitiga, tanda atap rumah. Tutup botol ia ambil dan ditaruh di bawah, lalu ia mengambil dua tutup botol dirangkai dengan stik ditaruh di bawah rumah. Dibentuklah seperti orang pemilik rumah.

“Ini orangnya, Timm, di depan rumah,” katanya sambil tersenyum.

Sesekali matanya melirik ke arah saya, seolah meminta dukungan diam-diam. Saya hanya membalasnya dengan senyuman lembut dan anggukan, membiarkannya bereksplorasi dengan imajinasinya sendiri.

Hamzah melanjutkan dengan serius. Ia menempelkan tutup botol di sisi kiri dan kanan rumah sebagai jendela. Lalu ia meletakkan stik dan tutup botol di depan rumah. Ia menyebut orang itu sebagai abah dan umi, meskipun hanya berupa bulatan dan garis-garis untuk tangan dan kaki.

Sekitar dua puluh menit kemudian, ia berdiri dan menghampiri saya dengan karyanya yang sudah selesai ia menunjuk karya yang ada di lantai.

“Nih, Timm, sudah! Ini rumah... dan ini orangnya,” ujarnya sambil menunjuk setiap bagian dengan bangga.

Saya tersenyum haru. Meski sederhana, karya itu adalah hasil dari hati dan imajinasi seorang anak kecil yang tulus. Karya itu bukan hanya tentang stik dan tutup botol, tapi tentang niat belajar dan meniru sesuatu yang ia kagumi.

“Sungguh bagus, Hamzah hebat,” puji saya sambil mengelus rambutnya.

Wajah Hamzah bersinar bahagia. Ia duduk di samping saya dan memandangi hasil karyanya lagi. Sesekali ia menunjuk-nunjuk bagian yang ia buat, menjelaskan apa maksudnya dengan bahasa polos dan penuh semangat. Saya biarkan ia bercerita, sambil mendengarkan dengan hati yang penuh syukur.

Dalam hati saya merasa sangat terharu. Anak kecil itu yang pagi tadi masih bingung menghitung angka- angka kini dengan percaya diri menunjukkan rumah kecil kreasinya. Rasa takutnya berganti dengan rasa percaya diri. Keraguan berubah menjadi kreativitas.

Saya pun diam-diam mengangkat kedua tangan ke atas. Saya menutup mata dan berdoa dalam hati, “Ya Allah, terima kasih atas nikmat yang Engkau titipkan lewat cucu-cucuku. Ya Rabb, mudahkanlah jalan mereka. Bimbing mereka untuk tumbuh menjadi anak yang kreatif, cerdas, dan tetap rendah hati. Lapangkan hati mereka untuk menuntut ilmu dan tuntunlah langkah mereka dalam mencapai ridho-Mu…”

Sore itu menjadi salah satu sore yang indah. Bukan karena langit cerah, atau udara sejuk, tetapi karena ada kebahagiaan sederhana yang datang dari kebersamaan dan proses tumbuhnya seorang anak. Saya tahu, kelak rumah dari stik itu akan rusak, atau mungkin hilang terbuang. Tapi momen ini, semangat Hamzah, dan doa saya akan abadi di dalam hati.

Saya ambil handphone dan mengabadikan karya Hamzah. Saya ingin mereka tahu, betapa berharga setiap usaha mereka, sekecil apa pun. Saya ingin mereka selalu percaya bahwa belajar itu menyenangkan, dan rumah ini akan selalu menjadi tempat yang menyemangati mereka untuk mencoba lagi dan lagi. Semoga bermanfaat dan menjadi inspirasi pembaca saya. Aamiin

Cepu, 29 Juni 2025


Tidak ada komentar:

Posting Komentar