Senin, 30 Juni 2025

Jejak Anak-anak Saya

Karya : Gutamining Saida 
Saya adalah seorang ibu dari tiga anak yaitu Bilta, Abid, dan Faiz. Satu lelaki di tengah-tengah dua putri. Dalam benak, setiap nama mereka adalah doa yang saya tanam sejak mereka lahir ke dunia. Mereka tumbuh dengan karakter dan jalan hidup masing-masing. Dalam satu keluarga, satu cinta yang tak pernah berubah yaitu cinta seorang ibu.

Anak pertama saya , Bilta, adalah perempuan yang kini telah menjadi ibu dari tiga anak yaitu Zaskia, Hamzah, dan Emira. Mereka tinggal di kota Tegal, menjalani hari-hari dalam perannya sebagai ibu rumah tangga. Setiap kali saya mengingat Bilta, kenangan masa kecilnya seperti film yang diputar ulang di benak saya. Ketekunannya, kepandaiannya membantu di rumah, dan kelembutannya masih terasa hingga kini ia menjadi ibu bagi anak-anaknya.

Menariknya, jarak antara anak pertama dan kedua saya sama seperti jarak antara Zaskia dan Hamzah, cucu-cucu saya. Seperti pengulangan waktu, Tuhan mengatur ritmenya dengan indah. Saya melihat cermin masa lalu dalam kehidupan mereka sekarang. Seolah saya diingatkan kembali akan masa-masa mendidik dan membersamai anak-anak saya, namun kali ini dalam wujud cucu-cucu yang menggemaskan.

Abid, anak kedua dan satu-satunya putra dalam keluarga, memiliki jalan hidup yang berbeda. Sejak lulus dari Madrasah Ibtidaiyah, dia sudah melanglang buana. Belajar dan mencari pengalaman dari kota ke kota. Dari Gresik ke Kudus, lalu ke Semarang, Bali, hingga ke Salatiga. Ia seperti burung petualang yang tidak bisa diam di satu dahan terlalu lama. Sering kali saya tak tahu pasti di mana ia sekarang.  Saya  percaya, anak saya sedang mengejar cita-cita, menimba ilmu, dan mengasah kemampuannya untuk masa depan.

Tak jarang saya mendengar kabar darinya melalui pesan singkat atau telepon cepat. Hanya sekadar menyampaikan bahwa dia baik-baik saja, sedang sibuk ini dan itu. Kadang saya tersenyum sendiri, membayangkan betapa sibuk dan dinamis hidupnya, lalu saya berdoa dalam hati, “Ya Allah, jagalah dik Abid di setiap perjalanannya. Jadikan langkah-langkahnya berkah, dan tunjukkan dia jalan yang terbaik.”

Faiz, si bungsu, adalah anak perempuan saya yang kini tinggal satu rumah di Cepu. Dia memilih untuk membuka usaha terapi di rumah. Sejak awal saya mengarahkan tetap berada di rumah. Ada keinginan dalam hati saya untuk memiliki seorang anak yang tetap dekat, yang bisa menemani saya di masa tua. Tidak banyak permintaan saya sebagai seorang ibu, hanya ingin ditemani, disapa setiap hari, dan bisa melihat wajah anak ketika pagi dan malam menjelang. Faiz memenuhi keinginan saya dengan tinggal bersama. 

Dia membuka usaha kecil-kecilan yang lambat laun mulai dikenal banyak orang. Sekarang sudah memiliki banyak pasien. Kadang saya membantunya sebisa mungkin, atau sekadar menemani saat dia lelah. Meski sibuk, Faiz tetap menyempatkan diri menyiapkan kebutuhan, bercerita tentang pelanggan, dan kadang terapi saya saat kelelahan. Ia adalah penyejuk di usia saya yang tak lagi muda.

Ketiga anak-anak saya Bilta, Abid, dan Faiz sekarang sudah menjalani hidup masing-masing. Mereka bukan lagi anak kecil yang merengek atau berlarian di halaman. Mereka sudah dewasa. Sudah menjalani kehidupan dengan cara mereka. Di dalam doa saya, mereka tetap anak-anak kecil yang saya jaga dan saya peluk dalam setiap sujud saya.

Waktu dan jarak membuat mereka jarang berkumpul. Rumah kami yang biasanya sunyi mendadak riuh oleh tawa anak-anak, cucu-cucu, percakapan antar saudara, dan hidangan yang disantap bersama. Kesibukan masing-masing membawa mereka kembali ke kota dan kehidupan mereka. Tapi saya selalu menanti, mungkin di lain waktu, kami akan kembali duduk bersama.

Dalam hati, saya berdoa, “Ya Allah, bahagiakanlah anak-anak saya. Jadikan mereka anak-anak yang sholeh dan sholehah, yang berbakti kepada orang tua, dan senantiasa menyembah kepadaMu. Jadikan mereka cahaya bagi sekelilingnya, manfaat bagi lingkungannya.”

Saya tahu, tugas saya sebagai ibu belum selesai, meski mereka sudah tumbuh dewasa. Doa saya tidak akan pernah berhenti. Setiap detik, setiap tarikan napas, adalah bentuk cinta dan pengharapan untuk mereka.

Jika suatu hari nanti saya tidak lagi bisa menemani, saya ingin mereka tetap mengingat bahwa saya mencintai mereka dalam diam, dalam doa, dan dalam setiap kenangan yang pernah kita bagi. Karena bagi seorang ibu, anak-anak adalah dunia yang tak tergantikan, bagian dari jiwa yang akan selalu melekat di hati, di doa, dan di akhir hayat.
Cepu, 30 Juni 2025 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar