Senin, 30 Juni 2025

Bermain Dakon Bersama Zaskia

Karya: Gutamining Saida 
Liburan sekolah Zaskia kali ini terasa lebih istimewa. Dia memilih menghabiskan waktu di Cepu, bersama saya, neneknya. Sejak tiba di rumah, saya sudah menyusun rencana kecil-kecilan untuk mengenalkan berbagai permainan tradisional yang dulu begitu akrab saat masa kecil saya. Salah satunya dakon adalah permainan sederhana yang penuh strategi dan hitung-hitungan.

Zaskia, cucu pertama saya, saat ini duduk di kelas satu SD. Usianya tujuh tahun, namun rasa ingin tahunya sangat besar. Saya yakin, permainan dakon bisa menjadi jembatan antara kebahagiaan masa kecil saya dan dunia masa kini yang serba digital. Saya ingin memperkenalkan bahwa bermain tak selalu harus dengan gawai atau menonton layar. Ada cara-cara sederhana yang bisa memunculkan tawa, tantangan, dan rasa senang yang tulus.

Saya mengeluarkan papan dakon yang sudah saya siapkan. Benda itu kini terbuat dari plastik, berwarna-warni menarik. Berbeda dengan masa kecil saya dulu. Waktu kecil, kami tidak punya papan dakon yang mewah. Kami menggali tanah membentuk dua baris lubang yang masing-masing berjumlah tujuh. Biji-biji asam, kerikil kecil, atau biji sawo kami kumpulkan sebagai pengganti biji dakon. Sederhana, tapi penuh kenangan.

Zaskia memandang papan dakon itu dengan mata berbinar.

“Ini apa, Timmi?” tanyanya sambil mengelus bagian atas papan.

“Namanya dakon, kakak. Ini permainan yang timmi dulu sering mainkan waktu kecil.”

Zaskia mendekat. “Caranya gimana?”

Saya mulai menjelaskan aturan dasar. Setiap lubang diisi tujuh biji, kecuali tempat penyimpanan di kedua ujung papan. Saya mengambil giliran pertama untuk menunjukkan cara memindahkan biji satu per satu, berputar ke arah kanan. Setiap biji yang dijatuhkan ke lubang harus dilakukan dengan hati-hati, hingga giliran berakhir ketika biji terakhir masuk ke lubang kosong di area sendiri. Jika berhasil, biji lawan di lubang seberangnya bisa “diserbu” dan dipindahkan ke tempat penyimpanan kita.

Saya ulangi gerakan itu dua kali. Zaskia mengangguk-angguk, mencoba memahami. Saya tahu, baginya ini tantangan baru, berbeda dari permainan-permainan yang biasa ia mainkan di rumah.

Kami mulai bermain. Awalnya saya membiarkannya mencoba dulu tanpa lawan. Saya dampingi dengan sabar, memperhatikan bagaimana ia menghitung biji dengan teliti. Kadang dia bingung, kadang menghitung terbalik. Tapi saya tidak menyela. Membiarkan dia belajar dari kesalahan kecilnya.

“Ini masukin satu-satu ya, Timmi?”

“Iya, kakak Zaskia. Satu biji untuk satu lubang. Kalau sudah habis, terusin dari lubang terakhir yang kamu isi.”

Beberapa kali Zaskia kebingungan, lalu tertawa sendiri. Tapi wajahnya tetap semangat. Saya tahu, dia tertantang. Matanya berkonsentrasi penuh, tangannya telaten memindah biji demi biji.

Setelah beberapa kali mencoba, saya ajak dia bermain sungguhan melawan saya. Kali ini, kami berhadapan. Dia duduk bersila di seberang saya, siap dengan tangan kecilnya.

“Siap kalah ya?” saya menggoda.

“Siap menang dong!” jawabnya mantap.

Permainan dimulai. Beberapa ronde pertama saya mainkan dengan santai, memberi ruang agar dia bisa mengamati pola permainan saya. Namun, semakin lama, Zaskia mulai menunjukkan strategi sendiri. Dia memilih lubang dengan biji paling banyak, menghitung langkah ke depan, dan mulai menantikan saat bijinya jatuh di lubang kosong di wilayahnya.

Sampai akhirnya, di ronde ketiga, dia berhasil menang. Jumlah bijinya lebih banyak daripada saya. Ketika saya mengumumkan kemenangannya, Zaskia langsung melompat kecil, berteriak senang.

“Yaaaay! Aku menang! Timmi kalah!” serunya sambil tertawa riang.

Saya tertawa ikut senang. Melihat cucu saya bisa menikmati permainan tradisional seperti dakon adalah kebahagiaan tersendiri. Dalam sorak kemenangannya, saya melihat semangat belajar, ketelitian berhitung, serta rasa percaya diri yang tumbuh. Tidak hanya bermain, Zaskia telah belajar banyak hal dari permainan ini menghitung dengan cermat, bersaing dengan sportif, dan tentu saja, sabar menunggu giliran.

Setelah menang, ia tidak langsung berhenti. “Main lagi, Timmi!” pintanya.

Kami pun bermain kembali, kali ini lebih seru karena Zaskia sudah memahami strategi. Ia mulai mengecoh, mencoba menebak langkah saya, bahkan tertawa senang saat berhasil mengambil banyak biji dari lubang saya. Sore itu kami habiskan dengan bermain dakon. 

Saya senang bukan main. Melihat cucu saya terhibur tanpa perlu ponsel, tanpa perlu internet, hanya dengan papan dakon dan segenggam biji plastik. Warisan permainan tradisional ini ternyata masih mampu memunculkan tawa dan keceriaan.

Saya berharap, kelak Zaskia akan mengingat momen ini. Ketika dia sudah dewasa, semoga dia juga akan mengajarkan dakon kepada anak-anaknya. Karena permainan sederhana seperti ini bukan hanya hiburan, tapi juga sarana belajar, mempererat hubungan keluarga, dan mengenalkan warisan budaya yang tak ternilai. Semoga menginspirasi. 
Cepu, 30 Juni 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar