Karya :Gutamining Saida
Sore ini pelataran Masjid Al Mujahidin suasana sejuk menyapa kami yang mulai datang untuk rapat santunan yatim piatu yang akan membahas agenda tanggal 10 Muharom yang akan datang. Mbak Dewi datang lebih awal. Tak lama kemudian saya.
Tampak beberapa ibu-ibu datang. Mereka ada yang berjalan kaki, naik motor. Seperti sudah menjadi kebiasaan, setiap rapat selalu diselingi dengan canda an ringan. Kali ini ada yang membawa jajanan tradisional yang langsung mencuri perhatian. Jajanan tersebut dari ketela parut dicampur kelapa parut, gula, dan sedikit garam, dibungkus daun pisang, dan dikukus hingga matang. Ada juga versi yang diisi potongan pisang di tengahnya atau potongan gula jawa. Hangat, lembut, manis gurih benar-benar mengundang selera.
Salah satunya Bu Bedjo, datang dengan senyum sumringah sambil meletakkan kresek berisi air gelas mineral dan jajanan bungkus daun pisang. “Ini ibu-ibu saya bawa ‘U-empat’,” ucapnya singkat. Saya dan Mbak Dewi yang duduk tak jauh dari sana, saling pandang penuh tanya. U-Empat? Rasanya baru pertama kali kami mendengar nama itu.
Mbak Dewi pun menyahut sambil tersenyum, “Lho Bu Bedjo, bukannya ini namanya U-Tri?”
Saya mengangguk setuju. “Iya, setahu saya namanya begitu. Jajanan ketela parut ini biasa disebut Utri atau U-Tri.”
Bu Bedjo hanya tersenyum geli, seolah bisa membaca isi kepala kami. “Biasa orang memang bilang U-Tri, tapi kali ini saya sengaja menamainya U-Empat. Kan isinya lebih banyak, ada pisangnya juga, biar naik pangkat satu tingkat,” katanya sambil tertawa kecil. Kami pun ikut tergelak. Ada-ada saja Bu Bedjo ini, selalu ada celotehan unik yang keluar dari mulutnya. Entah bagaimana, gurauannya selalu berhasil mencairkan suasana dan membuat semua orang merasa hangat.
Saya langsung mengambil ponsel dari tas, berniat mengabadikan momen unik ini. "Bu Bedjo, saya ijin memfoto jajanan “U-Empat” ya." ucap saya.
Di tengah kesibukan rapat, momen kecil seperti ini begitu berarti. Mengajarkan bahwa dalam setiap kegiatan sosial, tak hanya kerja keras dan niat baik yang dibutuhkan, tetapi juga keceriaan dan kehangatan antar sesama.
Rapat berjalan lancar. Agenda dibacakan, dana dikalkulasi, dan penyaluran santunan direncanakan dengan rinci. Meski kadang diselingi canda, semuanya tetap tertib dan penuh rasa tanggung jawab. Saya memandangi wajah-wajah ibu-ibu yang sudah sepuh namun masih semangat berkegiatan untuk membantu sesama. Termasuk Bu Diran, aktif hadir, membawa semangat untuk cerminan yang lebih muda.
Di sela-sela rapat, pikiran saya melayang. Betapa sederhana namun berharganya kegiatan hari ini. Tak ada sorotan media, tak ada panggung atau penghargaan. Hanya sekelompok orang biasa yang ingin memberi manfaat bagi anak-anak yatim dan kaum dhuafa. Kegiatan seperti inilah sering lahir rasa syukur yang tulus. Apalagi dengan kehadiran jajanan hangat bernama “U-Empat” yang meski hanya jajanan sederhana, mampu membuat kami tertawa dan menikmati sore dengan rasa penuh makna.
Sebelum bubar, saya sempat berbincang lagi dengan Mbak Dewi. “Besok kalau ada acara, kita bawa U-Lima ya?” canda saya
“Boleh, tapi syaratnya harus ada isi keju dan kacang hijau sekalian,” jawab Mbak Dewi sambil tertawa.
Kami pun pulang dengan hati ringan. Sore ini aku pulang membawa cerita, bukan hanya untuk dibagikan tapi juga untuk dikenang. Cerita tentang kebersamaan, keikhlasan, dan tentu saja tentang “U-Empat” yang manis, gurih, dan sarat tawa.
Barakallah, Bu Bedjo. Semoga selalu sehat dan dilimpahkan rezeki. Terima kasih untuk ‘U-Empat’-nya yang bukan hanya lezat di lidah, tapi juga hangat di hati.
Cepu, 24 Juni 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar