Minggu, 22 Juni 2025

Jejak Roda Sepeda Pertama

Karya :Gutamining Saida 
Liburan semester kali ini terasa lebih bermakna di rumah kami di Cepu. Seperti biasa, rumah yang biasanya sepi oleh rutinitas sehari-hari, kini kembali ramai dengan suara tawa dan langkah kaki kecil Zaskia cucu says yang datang berlibur. Di antara mereka, Zaskia cucu sulung kami yang baru saja menginjak usia tujuh tahun membawa semangat dan cerita baru yang membanggakan: ia ingin belajar naik sepeda.

Keinginan ini datang tiba-tiba. Suatu pagi, saat melihat anak-anak tetangga berkeliling menggunakan sepeda kecil, Zaskia menatap penuh minat. Matanya berbinar, dan dengan suara pelan ia berkata, “Aku juga ingin bisa naik sepeda sendiri, Timmi…”

Saya tersenyum. Diam-diam hati saya terharu. Karena di rumah ini, sebenarnya kami masih menyimpan sebuah sepeda lama bukan sembarang sepeda, tapi sepeda penuh kenangan. Sepeda itu dulu milik uminya Zaskia saat masih kecil. Setelah umi tumbuh remaja, sepeda itu diwariskan ke adiknya, lalu ke amah Faiz. Sepeda itu tidak dijual meski sudah berusia tua. Sebaliknya, disimpan dan dirawat. Ketika Zaskia berusia enam tahun, akungnya mengambil keputusan untuk merenovasi sepeda itu. Dengan mengganti sadel, memperbaiki rem, melapisi cat yang sudah mengelupas, dan memastikan rodanya tetap kuat.

“Sepeda ini harus tetap hidup,” kata akungnya. “Kelak akan ada lagi anak kecil yang belajar naik dengan sepeda ini.”

Zaskia sangat antusias. Saya keluarkan sepeda itu dari gudang, dan matanya langsung menyala saat melihatnya. “Ini sepeda Umi?” tanyanya sambil menatap heran. “Iya, ini juga sepeda Om Ya, dan sepeda Amah dulu. Sekarang, ini giliran Zaskia.”

Hari pertama belajar dimulai di dalam rumah, lalu bergeser ke halaman dan  jalan kecil di depan rumah yang tidak terlalu ramai. Zaskia belajar mengenali setang, pedal, dan keseimbangan. Awalnya, dia hanya bisa menaiki dan mendorong sepeda pelan-pelan. Saya memegang bagian belakang sadel, membantu menyeimbangkan saat dia mencoba mengayuh. Beberapa kali kaki kecilnya terpeleset dari pedal. Beberapa kali ia nyaris terjatuh.

Namun tak ada tangis. Tak ada keluhan. Hanya desahan pelan dan kalimat, “Coba lagi ya, Timmi...”

Saya tahu, keberhasilan tak datang dalam sekejap. Hari itu kami berlatih cukup lama. Sekali-dua kali Zaskia berhasil mengayuh satu-dua putaran pedal. Itu pun sudah membuat kami bersorak kecil. Ia juga tampak senang, meski belum bisa seimbang. “Pelan-pelan saja, ya. Yang penting jangan takut jatuh,” ujar saya menyemangati.

Keesokan harinya, semangatnya makin menyala. Sebelum sarapan, ia sudah minta belajar lagi. Kali ini, kami tak perlu memegangi terus. Ia mulai belajar menyeimbangkan sendiri. Kakinya mulai mantap mengayuh pedal. Sekali dua kali melaju, lalu berhenti. Lalu dicoba lagi.

Tiba-tiba, ia berhasil melaju beberapa meter. Melewati dua rumah tetangga dengan roda yang terus berputar tanpa berhenti. Saya teriak kegirangan, sambil tepuk tangan. Zaskia pun tertawa bahagia, wajahnya berseri-seri. “Aku bisa! Aku bisa, Timmi!” katanya sambil menoleh, meskipun akhirnya hampir oleng karena menoleh terlalu cepat. Kami tertawa bersamaan.

Momen itu menjadi titik balik. Zaskia menemukan kepercayaan diri. Ia mulai mencoba sendiri, memutar arah sepeda, bahkan berlatih mengerem. Saat sudah cukup bisa, ia berkata, “Videoin dong, Timmi… Aku mau kirim ke Abah, Umi, sama Uti!”

Saya mengangguk. Saya ambil ponsel dan merekam perjuangannya yang kini membuahkan hasil. Dalam video itu, tampak Zaskia mengayuh sepeda kecil berwarna merah tua dengan percaya diri. Ia tertawa saat berhasil berbelok. Ia berhenti tepat di depan saya, lalu melambaikan tangan sambil berseru, “Zaskia sudah bisa naik sepeda!”

Video itu langsung saya kirim ke keluarganya di Tegal. Tak lama, balasan pesan dan emoji bangga berdatangan. Uminya langsung menelepon dan berkata, “Wah, Zaskia hebat! Nanti kalau pulang, boleh keliling komplek sama Umi ya!”

Zaskia tersenyum puas. “Aku mau naik sepeda tiap hari di sini,” katanya, sambil memeluk saya. Saya memeluknya balik, menahan haru.

Bahwa untuk mencapai sesuatu, butuh keberanian dan ketekunan. Zaskia tak menyerah. Ia belajar dengan sabar, dan dengan dukungan kecil dari orang-orang tercinta, ia bisa menaklukkan rasa takut dan meraih keberhasilan pertamanya di atas dua roda.

Sepeda tua itu, yang pernah menjadi saksi perjalanan masa kecil tiga generasi, kini kembali hidup dan berputar. Sepeda ini membawa Zaskia melaju di jalanan, juga membawa kenangan indah yang akan terus bergulir dalam hati dan kelak dalam cerita masa dewasa Zaskia.
Cepu, 23 Juni 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar