Karya: Gutamining Saida
Hari Sabtu selalu menjadi hari
yang dinanti oleh banyak orang. Bagi Sebagian orang, Sabtu adalah waktu
beristirahat, berkumpul bersama keluarga, atau sekadar melepas penat setelah
lima hari penuh aktivitas. Bagi saya sebagai seorang guru, Sabtu memiliki makna
yang berbeda. Hari itu adalah kesempatan terakhir di akhir pekan untuk
menanamkan ilmu, menyemai nilai, sekaligus menutup minggu dengan suasana
belajar yang menyenangkan bersama para siswa.
Siang itu, langit mendung tipis menyelimuti Kecamatan Cepu. Semangat saya tidak surut. Justru saya ingin memastikan bahwa meskipun Sabtu adalah akhir pekan. Anak-anak di kelas 7G tetap bisa menikmati pelajaran dengan hati yang gembira. Jadwal saya mengajar jatuh di jam terakhir, sebuah waktu yang biasanya penuh tantangan. Pada jam-jam seperti itu, anak-anak sering merasa lelah, pikirannya sudah berandai-andai pulang, atau sekadar ingin bermain bersama teman.
Saya melangkah ke kelas dengan
sebuah tekad yaitu bagaimana pun juga, pelajaran hari ini harus meninggalkan
kesan positif. Ketika saya memasuki kelas, para siswa tampak duduk dengan
beragam ekspresi. Ada yang masih bersemangat, ada yang terlihat menguap, bahkan
ada yang sibuk menggambar di buku catatannya. Saya tersenyum, lalu menyapa
mereka dengan suara hangat.
“Assalamualaikum, anak-anak! Hari ini hari apa?” tanya saya.
“Sabtu, Buuu!” jawab mereka
serempak.
“Nah, Sabtu itu istimewa. Kita
belajar sambil berbahagia, ya. Kalian siap?”
“Siap, Buuuuu!” teriak mereka
riuh, meski sebagian masih tampak setengah hati.
Hari itu saya mengajar mata pelajaran IPS. Bagi mereka, IPS adalah sesuatu yang baru. Saya pun menjelaskan dengan sederhana. “Anak-anak, hari ini saya membicarakan tentang iklim, cuaca. Mulai dari pengertian, faktor penyebab, dampak iklim terhadap kehidupan manusia dan manfaat iklim. Beserta contoh di kehidupan sehari-hari.
Mereka mendengarkan, beberapa
tampak manggut-manggut, meski ada yang sudah mulai gelisah. Saya tahu, di jam
terakhir materi sepadat apa pun tidak akan sepenuhnya masuk ke dalam kepala
mereka. Maka saya sudah menyiapkan cara untuk menjaga semangat mereka. Sebuah ice
breaking sederhana yang saya beri nama Tiga Cinta.
Saya berdiri di depan kelas
dengan ekspresi penuh rahasia, lalu berkata, “Anak-anak, sekarang kita akan
bermain sebentar. Namanya permainan Tiga Cinta.”
Begitu mendengar kata cinta,
ruangan langsung riuh. Beberapa siswa berteriak, sebagian saling pandang dan
tertawa geli, ada juga yang bersiul nakal.
“Eeeee… jangan ge-er dulu,” saya
menimpali sambil terkekeh. “Tiga Cinta ini bukan untuk pacar. Cinta kita yang
paling penting itu ada tiga yaitu cinta untuk teman, cinta untuk orang tua, dan
cinta untuk Tuhan.”
Kelas mendadak hening sejenak,
lalu terdengar suara, “Ooooh…” bercampur tawa kecil. Saya tahu, mereka mulai
penasaran.
“Caranya begini,” saya lanjutkan
sambil memberi contoh. “Kalau saya bilang cinta kecil, kalian buat tanda
saranghae dengan jari tangan. Kalau saya bilang cinta sedang,
kalian gunakan kedua tangan membentuk lambang cinta untuk orang tua. Dan kalau
saya bilang cinta besar, kalian harus berpasangan dengan teman sebelah
lalu bersama-sama membentuk tanda cinta besar. Mengerti?”
“Ngertiiii, Buuuu!” jawab mereka
penuh semangat.
Permainan pun dimulai. Saya
berteriak, “Cinta kecil!” dan serentak mereka membuat simbol saranghae dengan
jari. Ada yang benar, ada yang salah arah, sehingga kelas pun pecah dengan
tawa.
Kemudian saya mengubah perintah,
“Cinta sedang!” Anak-anak buru-buru membentuk tanda cinta dengan kedua tangan.
Beberapa tampak masih kikuk, ada yang kebablasan masih menggunakan jari kecil,
hingga kembali terdengar gelak tawa.
Saat saya berteriak, “Cinta
besar!” suasana semakin riuh. Mereka saling berebut mencari pasangan, lalu
berpose membentuk tanda cinta besar. Ada yang berhasil, ada yang terlambat,
bahkan ada yang saling dorong karena berebut teman sebangku.
Salah seorang siswa salah kaprah,
ketika saya berkata “cinta kecil” malah membuat tanda “cinta besar” dengan
temannya. Spontan kelas meledak tertawa. Saya pun ikut tertawa, lalu berkata,
“Nah, kalau salah begitu, tandanya kalian masih butuh latihan cinta!”
Tawa mereka pecah, lepas tanpa
beban. Saya melihat wajah-wajah polos itu begitu ceria, jauh dari rasa kantuk
atau jenuh. Di momen itu saya merasa berhasil. Anak-anak bisa menikmati
pelajaran tanpa tekanan, meski jam terakhir di hari Sabtu.
Setelah beberapa putaran
permainan, saya menutup dengan refleksi. “Anak-anak, permainan tadi sederhana,
tapi ada maknanya. Cinta kecil untuk teman artinya kita harus selalu menyayangi
sesama, saling menolong, dan tidak boleh iri. Cinta sedang untuk orang tua
artinya kita harus berbakti, mendengarkan nasihat, dan membuat mereka bahagia.
Dan cinta besar untuk Tuhan artinya kita harus selalu bersyukur, taat
beribadah, dan menjaga hati.”
Mereka mendengarkan dengan
serius, meski masih menyeka air mata karena terlalu banyak tertawa. Saya bisa
melihat bahwa pesan itu tersampaikan dengan cara yang menyenangkan.
Waktu hampir habis, saya pun
menutup pelajaran dengan senyum. “Sabtu ini kita sudah belajar IPS dengan
bahagia. Ingat, ilmu itu bukan hanya untuk dihafal, tapi juga untuk dihidupi.
Dan jangan lupa, tiga cinta tadi harus kalian bawa ke rumah.”
Mereka bertepuk tangan, beberapa
masih bercanda tentang siapa yang salah saat permainan tadi. Di balik canda
itu, saya yakin ada nilai yang tertanam di hati mereka.
Bagi saya, hari itu adalah bukti
bahwa belajar bisa menyenangkan, bahkan di jam terakhir sekalipun,
asalkan kita mampu mengemasnya dengan hati. Anak-anak bukan hanya butuh ilmu,
tetapi juga butuh pengalaman belajar yang membuat mereka tersenyum. Saya
bahagia bisa menjadi bagian dari senyum itu. Semoga menginspirasi pembaca.
Cepu, 23 Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar