Karya :Gutamining Saida
Pukul 14.00 WIB, udara siang terasa begitu terik. Matahari masih tinggi, meski bayangan mulai condong ke barat. Ketika Abah berkata dengan nada tenang, “Ayo siap-siap, kita takziah ke Blora. Suami Bu Titik meninggal dunia.”
Mendengar kabar kepergian suaminya seolah tak percaya. Tak ada kabar sakit, tak ada keluhan berarti. Begitulah hidup yaitu ajal datang bukan karena sakit, melainkan karena memang sudah waktunya.
Tanpa banyak bicara, saya segera bersiap. Di perjalanan menuju Blora bersama Abah, saya duduk diam, memandangi jalanan yang perlahan kami lewati. Pikiran melayang pada almarhum, pada keluarga yang ditinggalkan, dan pada misteri kehidupan yang tak bisa kita pahami sepenuhnya.
Menurut informasi yang kami terima, almarhum meninggal saat berada di kamar mandi. Tidak dalam kondisi sakit parah, hanya merasa sedikit kelelahan setelah pulang dari Semarang mengunjungi anaknya yang sedang menyelenggarakan acara sunatan untuk cucu mereka. Mungkin rasa lelah itu sekadar penanda bahwa tubuh telah sampai pada batas.
Tragisnya, kamar mandi terkunci dari dalam. Saat dicurigai terlalu lama tak keluar, keluarga mulai gelisah. Mereka mengetuk, memanggil, lalu akhirnya mendobrak. Di situlah mereka menemukan kenyataan yaitu suami Bu Titik telah pergi. Tanpa suara. Tanpa pamit. Malaikat maut telah menunaikan tugasnya, tepat di tempat yang tak pernah disangka-sangka.
Saya menghela napas panjang. Ajal memang rahasia Allah. Tak bisa ditunda, tak bisa dimajukan, tak bisa dihindari walau sehelai rambut. Bahkan di tempat paling pribadi dan sunyi seperti kamar mandi, bila waktunya telah tiba, maka manusia harus berserah.
Setibanya di rumah duka, suasana haru langsung menyelimuti. Para pelayat sudah berdatangan, duduk bersimpuh di ruang tamu dan halaman. Tangis tertahan terdengar dari beberapa sudut. Wajah Bu Titik tampak sayu, namun tabah. Ia menyambut kami dengan lirih, lalu menunduk, memeluk saya erat.
Saya hanya bisa membalas pelukan itu sambil berbisik, “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Sabar ya, Bu. Semoga husnul khatimah.”
Kami duduk bersama para pelayat lainnya, membaca doa-doa untuk almarhum. Suara lantunan tahlil mengalun pelan, berpadu dengan isak tangis yang sesekali pecah. Di tengah suasana duka itu, saya kembali merenung.
Takziah, lebih dari sekadar menghadiri kematian. Ia adalah pengingat bagi yang hidup. Saat melihat jenazah terbujur kaku, saya merasa disentuh dalam-dalam. Manusia yang tadi masih bercanda, tertawa, bercengkerama, kini hanya terbaring diam. Betapa fana dunia ini. Betapa cepat waktu berlalu.
Ada banyak manfaat takziah, terutama untuk diri saya sendiri. Di antaranya adalah
1. Menguatkan ukhuwah.
Mengunjungi orang yang berduka adalah wujud kepedulian dan kasih sayang antarsesama. Kita datang untuk menunjukkan bahwa mereka tidak sendiri.
2. Mendapatkan pahala
Dalam Islam, takziah termasuk amal yang berpahala besar karena menghibur hati orang yang sedang dalam kesedihan.
3. Belajar bersyukur
Saat melihat kematian, kita disadarkan untuk lebih bersyukur atas waktu yang kita miliki saat ini.
4. Mengingatkan akan kematian.
Ini yang paling dalam. Takziah membuka mata bahwa hidup ini sementara. Kita tak tahu kapan giliran kita.
Saya teringat sabda Rasulullah, “Cukuplah kematian itu sebagai nasihat.” Dan hari ini, nasihat itu nyata. Menyeruak begitu dalam, di tengah rumah yang dipenuhi duka.
Dalam perjalanan pulang, Abah berkata, “Ajal manusia itu tidak memilih tempat. Bisa di kamar mandi, bisa di atas sajadah, bisa juga di jalan. Yang penting, kita siap.”
Saya mengangguk pelan. Siang itu, takziah telah mengajarkan saya lebih dari sekadar berempati. Saya merenung tentang makna hidup, tentang pentingnya menyayangi orang terdekat selagi masih bersama, dan tentang bagaimana kita seharusnya menyiapkan bekal untuk akhir perjalanan ini.
Ya Allah, terima kasih masih Kau beri waktu untuk membersamai mereka. Terima kasih telah Kau izinkan saya belajar tentang hidup dari peristiwa hari ini.
Cepu, 27 Juni 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar