Karya : Gutamining Saida
Malam sebelumnya, suasana rumah di Cepu berubah ramai. Setelah beberapa hari hanya ada Zaskia, kini dua adik laki-laki dan perempuan tiba. Mereka datang dengan wajah riang, suara ramai, dan langkah kecil yang tak pernah diam. Hamzah, si anak tengah yang suka menjelajah, serta adiknya Elmira namanya, seolah membawa angin segar yang menghidupkan kembali semangat liburan di rumah Timmi.
Saya sudah mempersiapkan satu permainan seru sejak semalam. Pagi ini, selesai makan pagi, saya langsung mengajak mereka berkumpul di ruang tamu yang telah saya singkirkan dari kursi-kursi. Di pojok ruangan, saya menaruh bola tenis berwarna hijau. Di sisi satunya, ada dua mangkok dari plastik, dan di antara keduanya, saya letakkan dua buah enthong nasi dari bahan plastik.
“Permainannya sederhana,” kata saya sambil tersenyum kepada Zaskia dan Hamzah yang sudah duduk antusias. “Kalian harus memindahkan bola tenis dari tempatnya ke mangkok, hanya dengan menggunakan enthong ini. Tidak boleh pakai tangan, dan tidak boleh dipegang!”
Mata mereka berbinar, tanda permainan ini cukup menarik perhatian. Zaskia langsung berdiri dan mengambil satu enthong. Hamzah, tentu tidak mau kalah. Mereka pun menggenggam yang satunya.
“Siapa duluan, siapa duluan?” tanya Zaskia tak sabar.
“Kalian berjalan bareng, siapa yang paling banyak memindahkan bola ke mangkok kosong, dia yang menang,” jawab saya.
Saya menghitung mundur, “Tiga… dua… satu… mulai!”
Zaskia dan Hamzah langsung bergerak cepat. Zaskia tampak hati-hati, berusaha menjaga agar bola tidak jatuh dari enthong-nya. Ia berjalan pelan-pelan dari tempat bola membawa menuju ke mangkok yang berjarak kira-kira tiga meter. Sementara Hamzah, tampil penuh semangat. Ia mencoba meniru gaya kakaknya, tapi tak lama kemudian, ia mulai frustrasi karena bolanya terus jatuh.
“Susah, Timm! Bolanya loncat terus!” seru Hamzah dengan suara setengah kesal.
“Pelan-pelan, Hamzah. Jangan buru-buru,” kata saya memberi semangat.
Anak laki-laki itu punya ide lain. Saat Zaskia sedang sibuk memindahkan bola di mangkok, Hamzah diam-diam mengambil satu bola dan memegangnya dengan tangan, lalu cepat-cepat meletakkannya di mangkok.
“Ehhh! Curang! Itu pakai tangan!” teriak Zaskia sambil menunjuk adiknya. “Timm, adik Hamzah curang! Tadi dia pegang bolanya pakai tangan, lho!”
Saya menoleh ke arah Hamzah. Bocah itu tampak salah tingkah, tapi tetap tersenyum geli. “Cuma satu, kok,” jawabnya santai.
“Namanya juga aturan, kalau curang, berarti nggak seru lagi mainnya,” ucap saya dengan nada lembut tapi tegas.
Hamzah mengangguk kecil. Beberapa saat setelah ia mencoba lagi, bolanya jatuh, dan ia kembali terlihat tak sabar. Kali ini, ia mencoba menyiasati dengan menahan bola dengan jari di ujung enthong.
“Hamzah, itu juga nggak boleh! Tanganmu nyentuh bola!” teriak kakak Zaskia lagi.
“Kakak cerewet banget sih! Biarin aja,” balas Hamzah dengan kesal.
“Aku cuma pengen adil!” Zaskia membela diri, lalu menoleh ke saya. “Timm, tolong bilangin dong. Kalau kayak gitu, nggak asyik mainnya.”
Saya tertawa kecil. “Baiklah, biar Timm kasih tambahan aturan. Kalau sampai tiga kali ketahuan curang, dikurangi satu bola yang sudah kamu pindah, ya.”
Hamzah mendengus, tapi akhirnya mengangguk. Ia mulai mencoba lebih hati-hati, meski ekspresinya menunjukkan bahwa ia harus menahan diri untuk tidak mengambil jalan pintas.
Permainan pun berlanjut dengan semangat yang makin seru. Kakak Zaskia terus menyemangati dirinya sendiri, bahkan sesekali berteriak, “Ayo, semangat! Yang penting jujur!” sambil berjalan mantap.
Hamzah pun pelan-pelan mengikuti gaya kakaknya. Ia mulai merasa senang saat bisa memindahkan bola dengan sukses, tanpa jatuh dan tanpa curang. Sorak-sorai kecil pun terdengar setiap kali satu bola berhasil masuk mangkok.
Tak terasa, permainan berlangsung hampir 30 menit. Bola di tempat pun habis. Saya menghitung jumlah bola di mangkok masing-masing. Hasilnya, Zaskia menang dengan selisih dua bola.
“Yeayyy! Aku menang karena nggak curang!” sorak Zaskia.
Hamzah meringis, tapi tetap tersenyum. “Iya, iya… lain kali aku nggak curang lagi deh.”
Saya memeluk keduanya. “Yang penting kalian bermain dengan senang hati dan belajar untuk jujur. Kadang kalah itu tidak apa-apa, asal kalian tahu mana yang benar dan mana yang tidak.”
Keringat masih mengalir, tapi wajah mereka bahagia. Suasana rumah semakin hidup, bukan hanya karena suara tawa, tapi permainan pagi itu sangat menyenangkan.
Cepu, 26 Juni 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar