Kamis, 26 Juni 2025

Sarapan Nasi Goreng


Karya : Gutamining Saida 
Sayup-sayup suara azan subuh berkumandang dari musala di ujung gang. Udara terasa sejuk menembus jendela yang sedikit terbuka. Di dalam rumah, suasana masih tenang, tapi ada satu dua suara yang mulai terdengar yaitu langkah kaki kecil menuju kamar mandi.

Zaskia dan Hamzah sudah bangun. Dua cucu kesayangan itu memang dibiasakan untuk melaksanakan salat Subuh sejak dini. Walaupun matanya kadang masih berat, mereka tetap berusaha. Zaskia dengan kerudung mungilnya yang sering miring, dan Hamzah yang biasanya masih mengucek-ucek mata saat berdiri di samping saya  mengangkat takbir.

Setelah salat, mereka duduk sejenak membaca dzikir pendek. Kadang dengan suara yang masih pelan dan terbata, tapi hati ini selalu hangat mendengarnya. Sementara itu, saya bergegas ke dapur. Sarapan spesial yaitu nasi goreng tempe goreng.

Sebenarnya bukan sesuatu yang mewah. Tapi bagi saya, nasi goreng yang dimasak dengan sepenuh hati bisa jadi hidangan terbaik di dunia..Saya ambil bumbu-bumbu sederhana yaitu bawang merah, bawang putih, cabai, sedikit garam, dan kecap manis. Saya siapkan nasi. 

Tempenya juga sudah dipotong-potong. Amah Faiz  bantu menggoreng dengan minyak yang baru. Suara gemericik minyak saat irisan tempe masuk ke dalam wajan terdengar seperti musik pagi yang menyenangkan. Aroma tempe goreng perlahan menyebar ke seluruh rumah.

“Goreng tempe Mah!” seru Hamzah yang tiba-tiba muncul di ambang pintu dapur.

“Laper ya?” tanya saya sambil tersenyum.

Hamzah mengangguk cepat. “Aku mau tempe dua ya, Mah!”

Zaskia menyusul tak lama kemudian. "Timmi, nasi gorengnya dibanyakin ya, aku suka yang cuma pakai nasi aja,” pintanya.
Zaskia memang tidak terlalu suka lauk. Dia lebih senang dengan rasa nasi yang manis gurih. Sedangkan Hamzah kebalikannya lauk adalah segalanya baginya.

Tak lama kemudian, kami semua duduk di ruang makan sederhana. Saya  menyendokkan nasi goreng ke mangkok-mangkok mereka, menambahkan tempe goreng di atasnya, lalu membagikan sendok sesuai favorit mereka. Anak-anak memang punya kebiasaan unik mangkok biru untuk Hamzah, mangkok merah muda untuk Zaskia.

Mereka mulai makan dengan lahap. Suara sendok beradu dengan mangkok, diselingi obrolan kecil dan tawa riang. Suasana pagi yang damai benar-benar terasa lengkap.

Ada satu yang belum bergabung. Si bungsu, cucu terkecil, masih duduk diam di lantai. Wajahnya tampak mengantuk, dan ketika disodorkan mangkok kecil berisi nasi goreng, dia hanya menggeleng pelan.

“Masih ngantuk? ” kata uminya sambil menepuk-nepuk punggung anaknya pelan.
Saya mencoba lagi, dengan nada ceria, “Ayo… ini pesawatnya mendarat di bandara mulut!” Tapi tetap saja, mulut mungil itu tak kunjung terbuka. Saya menghela napas pelan, tidak kecewa, hanya mencoba bersabar. Saya tahu, kadang anak kecil butuh waktu dan suasana hati yang pas untuk bisa makan.

Sementara itu, Zaskia sudah hampir menghabiskan nasinya.
“Timmi, ini nasi gorengnya kok enak banget sih?” tanyanya sambil memiringkan kepala penasaran.

Saya tertawa kecil. “Soalnya Timmi masak pakai bumbu cinta.”

“Cinta itu yang kayak apa?”

“Cinta itu…Timmi masak sambil mikirin kalian. Sambil berdoa semoga kalian sehat, kenyang, dan jadi anak yang baik.”

Hamzah langsung berseru, “Berarti tempenya juga cinta dong? Nambah lagi ya, Timmi”
Saya senang sekali melihat mereka menghargai makanan, tanpa banyak pilih-pilih. Meski lauknya hanya tempe goreng, mereka tetap makan dengan gembira. Tidak ada yang protes, tidak ada yang minta diganti. Semua menerima apa adanya.

Jam mulai menunjukkan pukul tujuh. Waktu sarapan hampir usai. Anak-anak mulai beranjak dari meja, satu demi satu. Saya  masih duduk, membersihkan nasi yang tercecer di meja kecil itu. Dalam hati, saya bersyukur luar biasa.

Bukan soal mewah atau tidaknya sarapan kami. Bukan soal lauk yang berlimpah atau peralatan makan yang cantik. Tapi soal kebersamaan. Soal rasa syukur. Soal cinta yang mengalir dalam setiap sendok nasi goreng yang saya buat pagi itu.

Mungkin tak semua anak di luar sana bangun Subuh, salat, lalu makan dengan penuh syukur. Zaskia dan Hamzah sudah belajar dari kecil. Belajar mengenal Allah , belajar menghargai makanan, dan belajar menerima hidup dengan sederhana.
Cepu, 27 Juni 2025 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar