Minggu, 29 Juni 2025

Nikmat Sempat dan Nikmat Berkumpul




Karya : Gutamining Saida 
Di antara segala kesibukan dan jarak yang membentang, ada satu hal yang tak pernah berubah yaitu kerinduan untuk berkumpul. Saya sudah lama menyimpan harapan itu untuk duduk lesehan di lantai bersama anak-anak dan cucu, bukan hanya sekadar lepas rindu, tapi benar-benar menikmati kebersamaan yang utuh, tanpa tergesa, tanpa panggilan pekerjaan, tanpa keharusan kembali tergesa-gesa.

Kali ini harapan kecil saya menjadi nyata. Anak, menantu dan cucu dari Tegal sudah berusaha mengambil cuti, meski pekerjaan sedang padat. Anak laki-laki yang tinggal di Salatiga pun mengurus izin pulang lebih awal. Rumah yang biasanya sunyi di malam hari, kini berubah menjadi ruang hangat penuh tawa.

Sejak pagi saya sudah sibuk mempersiapkan. Dapur terasa hidup kembali. Bunyi irisan bawang, denting sendok di panci, dan aroma bumbu tumis memenuhi udara. Saya ingin malam ini istimewa. Bukan dari kemewahan hidangan, tapi dari kehangatan yang tersaji di atas daun pisang seujung yang sederhana.

Menu makan malam saya pilihkan dengan rasa hati yaitu telur bumbu bali yang gurih pedas, tempe yang dimasak sayur momoh hidangan favorit yang sering kami nikmati dulu saat anak-anak masih kecil, mie goreng sederhana yang dicampur potongan wortel  sayur, dan tentu saja ikan bakar . Semua saya tata dengan anak perempuan yang ketiga. Lelah memang, tapi rasa bahagia membuat tubuh ini kuat.

Menjelang malam, lantai di ruang tamu sudah diberi alas plastik di atasnya diberi daun pisang memanjang dari arah timur menuju barat. Wajah-wajah yang saya rindukan duduk bersisian. Anak saya membantu menyiapkan minuman di gelas menantu saya sibuk membantu juga. Cucu-cucu berlarian kecil sambil sesekali mengambil mie goreng.

“Mie goreng buatan Timmi ini memang nggak ada lawan!” seru cucu saya yang paling besar, sambil menyendok mie hangat.

“Telur balinya juga… kayak waktu kecil, Miii,” ucap anak saya sambil tersenyum. Matanya tampak berkaca-kaca. Mungkin karena rasa yang memanggil kenangan.

Saya hanya tersenyum. “Nggak ada yang berubah dari resepnya, cuma yang masak sudah lebih pelan sekarang,” seloroh saya, membuat mereka tertawa kecil.

Satu per satu daun pisang tiada sisa makanan, tapi cerita tak pernah habis. Kami bercerita tentang hari-hari yang lewat, pekerjaan, sekolah anak-anak, dan impian masa depan. Ada yang serius, ada yang lucu, dan kadang diselingi candaan khas keluarga.

Cucu saya yang paling besar, Zaskia tiba-tiba berkata dengan polos, “Kalau udah gede nanti, aku mau bikin rumah deket rumah Timmi biar bisa makan kayak gini tiap malam.”

Ucapan polos itu disambut gelak tawa dan tepuk tangan kecil. Tapi di dalam hati saya, kata-kata itu terasa seperti pelukan hangat.

Malam semakin larut. Setelah makan, kami duduk lesehan di ruang tengah. Ada yang duduk bersandar di dinding, ada yang merebahkan diri di karpet sambil memeluk anak-anak mereka. Saya memandangi mereka satu per satu. Di tengah rasa lelah setelah menyiapkan semuanya, hati saya terisi penuh oleh rasa syukur.

“Terima kasih, ya,” kata saya pelan, tapi cukup terdengar oleh semua.

Anak saya yang sulung menoleh, “Kenapa, Miii?”

“Terima kasih karena kalian semua meluangkan waktu untuk pulang ke Cepu . Saya  tahu nggak mudah ambil cuti, ijin pulang, ninggalin kerjaan. Tapi kalian tetap datang. Nikmat bisa berkumpul seperti ini… nggak bisa dibeli,” jawab saya.

Suasana seketika hening. Lalu terdengar suara pelan, “Kami yang terima kasih, Miii. Sudah masak, nyiapkan semuanya. Ini malam paling hangat selama tahun ini.”

Saya tersenyum sambil mengusap mata. Tak terasa, air mata menetes.

Malam itu adalah malam yang tak akan saya lupakan. Malam saat waktu berhenti sejenak, dan dunia terasa sangat kecil cukup diisi oleh keluarga, tawa, dan cerita. Sebuah malam yang tak mewah, tapi sangat mahal. Kebersamaan yang mengalahkan kepentingan pribadi. Perjumpaan yang lahir dari keinginan untuk saling menyapa bukan lewat layar, tapi lewat pelukan dan sentuhan tangan.

Di dalam hati, saya mulai menyusun rencana. “Lain kali, harus ada agenda khusus. Bukan tunggu libur panjang. Tapi dibuat waktu untuk berkumpul. Bukan karena momen, tapi karena memang ingin bersama.”

Nikmat sempat, nikmat berkumpul. Dua hal yang sering dilupakan, tapi malam itu, saya rasakan utuh keduanya.

Dan ketika malam benar-benar larut, dan anak-anak mulai masuk kamar, cucu-cucu tertidur di pelukan orang tuanya, saya duduk sendiri di teras. Menatap langit yang bersih. Hati saya penuh doa yaitu semoga ini bukan yang pertama, bukan yang terakhir. Semoga rumah ini, terus menjadi tempat mereka pulang.
Cepu, 29 Juni 2025 

2 komentar:

  1. Alhamdulillah.........Selamat berbahagia bersama keluarga, Bu SAida, SAya turut berbahagia meskipun hanya membaca karya bu Saida, serasa ikut merasakan kehangatan yang ada...

    BalasHapus