Minggu, 29 Juni 2025

Sore Penuh Tawa Dan Angka

Karya :Gutamining Saida 
Sore ini di ruang tamu saya ubah menjadi arena bermain. Angin bertiup lembut, membawa kesejukan setelah panas siang yang menyengat. Cahaya matahari yang mulai condong ke barat menciptakan bayangan panjang di tanah. Saya selesai menyusun satu media permainan berhitung untuk cucu-cucu saya. Dua cucu saya, Zaskia dan Hamzah, sudah sejak siang terlihat tak sabar ingin bermain.

Saya memang sudah menyiapkan media sederhana,  penuh manfaat. Di lantai ruang tamu, saya menempelkan kertas-kertas besar bertuliskan soal penjumlahan: 2+3, 4+2, 4+5, dan sebagainya. Di sisi lain, saya siapkan dua angka pilihan untuk setiap soal satu jawaban benar, satu lagi pengecoh. Misalnya, untuk soal 2+3, pilihan angkanya adalah 5 dan 6. Soal 4+2,pilihsn angkanya adalah 6 dan 7 dan seterusnya. 

Permainan dimulai dengan  berdiri di dekat soal. Mereka membaca soal, menghitung, lalu berjalan menuju angka hasil penjumlahan yang menurut mereka benar. Kalau jawabannya betul, mereka boleh lanjut ke soal berikutnya. Kalau salah, harus kembali ke awal.

Zaskia, cucu pertama saya yang kini sudah duduk di kelas satu SD, tentu lebih percaya diri. Ia sudah bisa menghitung tanpa bantuan jari. “Timmi, ini gampang! 2 tambah 3 itu lima, aku pasti bisa!” katanya penuh semangat.

Zaskia berjalan mantap ke angka lima, dan saya tersenyum senang. “Betul, Kak! Lanjut ya…”

Giliran berikutnya, Hamzah. Bocah lelaki yang kini masih duduk di TK A itu maju perlahan. Ia tampak semangat, namun juga sedikit tegang. Saya tahu, bagi anak seusia Hamzah, menghitung masih bergantung pada jari jemari mungilnya.

“Dua tambah tiga,” ucapnya pelan sambil menunduk. Tangannya mulai bergerak. Satu jari... dua... lalu tambah tiga lagi.

“Hayoo, jangan salah ya, Hamzah!” tiba-tiba terdengar suara menggoda dari belakang.

Itu suara Om Abid, adik dari orang tua Hamzah (uminya Hamzah) yang ikut menonton bersama Amah Faiz, Umi Bilta, Timmi, dan Ayut Tatik. Mereka semua duduk di kursi di sisi tempat permainan, mereka menjadi penonton dadakan permainan berhitung sore itu.

“Kalau salah, nanti tak suruh pulang ke Tegal!” celetuk Om Abid lagi sambil tertawa.

Wajah Hamzah langsung berubah. Ia berhenti menghitung, matanya menatap sekitar, lalu menunduk lagi. Tangannya ragu-ragu mengangkat jari, lalu menurunkannya. “Aku… aku nggak mau pulang ke Tegal…” gumamnya sambil tetap memandangi soal.

“Liburanku masih panjang…” lanjutnya lirih, membuat semua yang menonton tertawa geli, bukan mengejek, tapi karena ekspresi polos dan jujur dari Hamzah.

Saya segera mendekat, menenangkan Hamzah. “Nggak apa-apa. Santai saja. Hitung pelan-pelan. Nggak ada yang marah kalau salah. Yang penting kamu mencoba.”

Zaskia pun ikut menyemangati, “Ayo, dik! Pakai jarimu aja. Tadi aku juga sempat ragu, tapi ternyata bisa.”

Hamzah menarik napas panjang, lalu mulai lagi menghitung. “Dua,” katanya sambil mengangkat dua jari, “tambah tiga…” ia menambah tiga jari lagi. “Satu, dua, tiga, empat, lima!” serunya sambil menunjuk angka lima di depan.

Ia melangkah ke angka lima. Saya tersenyum lega. “Betul, Hamzah! Pinter! Lanjut, ya.”

Semua penonton memberi tepuk tangan. Hamzah tertawa lepas, merasa percaya diri kembali. “Aku nggak jadi pulang ke Tegal!” katanya sambil berlari ke soal berikutnya.

Permainan berlangsung seru. Meski media yang saya buat sederhana, namun suasananya penuh semangat dan keceriaan. Zaskia dan Hamzah bergantian menyelesaikan soal. Kadang mereka saling bantu, kadang saling menggoda. Tapi yang paling penting, mereka belajar bukan hanya berhitung, tapi juga belajar percaya diri, sabar, dan menyelesaikan masalah dengan tenang.

Setiap kali satu soal diselesaikan, mereka akan menoleh ke arah saya atau orang-orang yang menonton, seolah ingin memastikan bahwa usahanya dihargai.

“Aku sekarang bisa semua soal, Timmi!” kata Zaskia bangga.

“Aku udah nggak takut salah,” sambung Hamzah.

Saya memeluk mereka berdua. “Timmi bangga. Kalian bukan cuma belajar angka, tapi juga belajar berani dan jujur. Hebat!”

Senja mulai merambat turun. Cahaya oranye lembut membalut wajah-wajah ceria itu. Permainan ditutup dengan foto bersama di dekat media berhitung. Semua tampak bahagia. Saya, sebagai nenek, merasa sangat bersyukur.

Betapa luar biasanya nikmat sore ini. Satu waktu sederhana, satu permainan kecil, tapi memberi arti besar. Bukan hanya membuat cucu-cucu senang, tapi juga menanamkan cinta belajar sejak dini.

“Lain kali,” bisik saya dalam hati, “saya akan siapkan permainan baru. Agar cucu-cucu saya selalu belajar sambil bahagia.” Semoga menginspirasi dan bermanfaat. 
Cepu, 29 Juni 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar