Minggu, 19 Januari 2025

Hikmah Di Balik Keinginan

Karya: Gutamining Saida

Beberapa bulan terakhir, ada keinginan kecil yang kerap muncul di hati saya. Saya ingin memiliki bantal kotak-kotak yang terlihat nyaman dan cantik untuk melengkapi koleksi bantal di rumah. Selain itu, saya juga ingin memiliki mukena kecil yang ringan dan cocok untuk traveling. Keinginan ini bukanlah hal yang mendesak.  Akan tetapi sering kali terlintas ketika saya beristirahat atau saat hendak bepergian.

Setiap kali keinginan itu muncul, selalu ada pertimbangan lain yang membuat saya menundanya. Membeli bantal adalah hal penting untuk kenyamanan, rasanya masih bisa ditunda. Saya lebih memilih menggunakan uang untuk kebutuhan lain yang lebih prioritas. Begitu pula dengan mukena. Meski mukena yang saya miliki saat ini sudah ada dan sedikit besar untuk dibawa bepergian. Saya tetap merasa belum terlalu perlu menggantinya.

Hari demi hari berlalu, dan keinginan itu tetap ada di sudut hati. Saya membiarkan begitu saja. Saya tidak pernah terlalu memikirkannya.  Apalagi sampai memaksakan diri untuk segera memilikinya. Jika memang sesuatu itu baik untuk saya. Allah Subhanahu Wata’alla pasti akan memberikan jalan, entah bagaimana caranya.

Sabtu siang semuanya berjalan seperti biasa. Tidak ada hal istimewa yang saya rencanakan. Namun, ada rasa damai yang menyelimuti hati saya, seperti firasat akan sesuatu yang indah. Setelah menyelesaikan beberapa tugas mengajar, tiba-tiba seorang teman menelphone. Suaranya terdengar jelas meminta saya untuk datang ke suatu tempat. Dan beberapa teman telah menunggu.

Selesai pertemuan, dua sahabat meminta saya untuk tidak langsung pulang. Masih ada beberapa hal yang ingin dibicarakan dengan santai di teras. Tiba-tiba, dia menyodorkan sesuatu di dalam tas biru. Saya terkejut sekaligus bingung. Tidak pernah terlintas dalam pikiran saya bahwa dia akan membawa sesuatu untuk saya. “Apa ini?” tanya saya dengan nada penasaran.

“Jangan dilihat barangnya bu, semoga bermanfaat,” ucapnya singkat.

Mata saya berkaca-kaca, air mata hampir menetes saat menyentuh tas itu. Subhanallah, Allah Subhanahu Wata’alla mengirimkan sesuatu melalui tangan hamba-Nya.

“Terima kasih, barokallah.” jawab saya singkat. Kami bertiga berpelukan. Seakan tidak mau terpisahkan. Suara rintik-rintik membuyarkan pelukan kami. Seakan mengingatkan untuk segera melanjutkan perjalanan pulang. Kami akhirnya berpisah saya ke arah timur dan kedua sahabat saya ke  arah barat.

Saat sampai di rumah, dengan hati-hati saya membukanya. Saya benar-benar merasa kecil di hadapan Allah Subhanahu Wata’alla. Dia Maha Mengetahui segala yang tersembunyi dalam hati hamba-Nya. Bahkan untuk keinginan kecil seperti bantal dan mukena, Allah Subhanahu Wata’alla tetap mendengar dan mengabulkannya dengan cara yang tak terduga. Subhanallah, Allah Subhanahu Wata’alla mengirimkan sesuatu melalui tangan hamba-Nya. Tak terasa, bulir-bulir bening menetes sampai di tangan. Saya bersyukur, berucap Alhamdulillah berulang kali. Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wata’alla yang telah mengabulkan keinginan saya melalui cara yang begitu indah. Saya berdoa semoga setiap orang yang terlibat dalam kebaikan ini mendapatkan balasan terbaik dari-Nya.

Saya teringat momen-momen sebelumnya. Ketika saya menahan diri untuk tidak membeli bantal di Miniso. Saat itu saya melihat dan memegang-megang. Akhirnya saya urungkan untuk membeli. Bukan karena tidak mampu, tetapi karena saya ingin memprioritaskan hal lain. Dalam hati saya, saya selalu berdoa agar Allah Subhanahu Wata’alla memberikan yang terbaik, apa pun bentuknya.

Nikmat mana yang bisa saya dustakan? Allah telah menunjukkan kasih sayang-Nya yang begitu besar. Bahkan dalam hal-hal kecil yang sering kali luput dari perhatian. Keinginan yang sederhana itu terkabul tanpa saya harus berjuang mengeluarkan biaya apa pun.

Sore itu saya mengambil waktu sejenak untuk merenung. Kejadian ini mengajarkan saya banyak hal. Pertama, Allah Subhanahu Wata’alla adalah Maha Pemberi. Dia tahu kebutuhan dan keinginan kita, bahkan sebelum kita mengungkapkannya. Kedua, bersabar dan bersyukur adalah kunci. Ketika kita bersyukur atas apa yang sudah kita miliki, Allah Subhanahu Wata’alla akan menambahkan nikmat-Nya dengan cara yang tak terduga.

Bantal kotak itu kini menjadi tambahan indah dalam koleksi saya. Setiap kali melihatnya, saya teringat betapa besar cinta Allah Subhanahu Wata’alla kepada hamba-Nya. Sementara bantal dan mukena kecil itu, menjadi teman setia saat saya bepergian. Ukurannya yang ringan dan praktis membuatnya begitu nyaman digunakan.

Saya tidak pernah menyangka bahwa sesuatu yang saya anggap kecil bisa membawa dampak yang begitu besar dalam hidup saya. Kejadian ini memperkuat keyakinan saya bahwa setiap hal dalam hidup adalah bagian dari rencana Allah Subhanahu Wata’alla.

Bantal dan mukena itu bukan hanya barang, tetapi simbol dari kasih sayang Allah Subhanahu Wata’alla yang tak pernah berhenti mengalir. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga bahwa apa pun yang kita inginkan, jika memang baik untuk kita. Allah Subhanahu Wata’alla pasti akan mengabulkannya pada waktu yang tepat dan melalui cara yang indah.

Cepu, 19 Januari 2025

 

Jumat, 17 Januari 2025

Perpisahan Yang Sarat Emosi

Karya: Gutamining Saida

Saat mentari pagi menyelinap di sela-sela pepohonan, saya melangkah menuju halaman sekolah dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Acara perpisahan yang diadakan oleh pihak sekolah SMPN 1 Kedungtuban untuk saya begitu berarti.  Namun bagi saya juga meninggalkan beban berat di hati. Mutasi ini memang pilihan saya, untuk meninggalkan tempat yang telah menjadi bagian hidup selama bertahun-tahun tetaplah bukan hal yang mudah.

Saat memasuki ruang guru, suasana begitu syahdu. Ruangan yang sederhana, kursi yang tertata rapi, dan wajah-wajah yang sudah sangat saya kenal membuat dada saya sesak. Saya tahu ini adalah momen perpisahan, tetapi kenyataan itu tetap sulit diterima sepenuhnya.

Acara perpisahan dilaksanakan dilapangan upacara. Dihadiri oleh seluruh siswa mulai kelas tujuh, delapan, Sembilan, seluruh bapak ibu guru, karyawan dan bapak Kepala Sekolah. Upacara hari Senin dilaksanakan dengan tertib sebagai pembina upacara Ibu Rini Setyaningsih. Setelah upacara selesai barulah acara perpisahan dan pamit dari saya berlangsung.

Kemudian tibalah giliran saya diberikan waktu untuk berbicara. Pembawa acara, memberikan waktu untuk saya berpamitan. Saya melangkah terasa berat menuju podium. Sesaat, saya berdiri di depan mikrofon, menatap semua siswa dari kelas tujuh, delapan dan sembilan yang saya cintai, rekan guru, serta seluruh keluarga besar SMPN 1 Kedungtuban. Napas saya terasa sesak, seolah ribuan emosi menyeruak dari dalam dada.

Dengan suara bergetar, saya memulai ucapan, “Bapak Ibu, dan anak-anakku sekalian. Hari ini adalah momen yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Lapangan ini sebagai saksi dimana sudah saya goreskan beribu kisah, kenangan, kebahagian bersama.  Perpisahan ini adalah awal baru bagi saya, tetapi juga akhir dari perjalanan yang begitu indah di tempat ini.”

Saya berhenti sejenak, menarik napas lagi, karena tenggorokan saya terasa tercekat. “Tidak ada kata yang cukup untuk menggambarkan rasa terima kasih saya kepada kalian semua. Kalian telah menjadi keluarga kedua bagi saya. Setiap momen di sini, baik suka maupun duka, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup saya.”

Air mata mulai mengalir di pipi dan saya berusaha menghentikannya. “Meninggalkan tempat ini bukanlah hal yang mudah. Sekolah ini, kalian semua, adalah rumah yang selama ini saya huni. Dan rumah itu tidak hanya membangun saya sebagai seorang guru, tetapi juga sebagai manusia yang lebih baik.”

Saya melanjutkan dengan ucapan terima kasih kepada Kepala sekolah, rekan-rekan guru, staf, dan siswa-siswa yang telah memberikan warna dalam kehidupan saya. Kata-kata sederhana, tetapi setiap ucapan berasal dari hati yang terdalam. Ketika saya selesai berbicara, suasana lapangan terasa begitu hening. Beberapa rekan kerja menunduk, sementara siswa-siswa menatap saya dengan mata penuh emosi.

Dilanjutkan dengan kata sambutan dari kepala sekolah SMPN 1 Kedungtuban yaitu bapak Prasetyo Cahyo Nugroho, S. Pd, M.M. Kata-kata beliau menyentuh hati saya. Beliau menceritakan bagaimana perjalanan saya di sekolah ini, mulai dari hari pertama mengajar hingga momen-momen penting yang telah kami lalui bersama. Waktu mulai saya datang di tahun 2017 di bulan September sampai detik ini Januari 2025. Mendengar itu semua, mata saya mulai berkaca-kaca. Saya menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi, hati ini tetap terasa bergejolak. Jika seseorang bertanya bagaimana perasaan saya saat itu, saya pun tidak tahu harus menjawab apa. Bahagia, sedih, bangga, dan berat hati bercampur menjadi satu. Mutasi ini memang keputusan saya, tetapi rasa kehilangan tetap menghantui.

Salah satu siswa maju ke depan, mewakili OSIS untuk memberikan pidato singkat. Suaranya penuh semangat, tetapi juga terdengar ada nada berat hati di sana. “Ibu, kami tahu ini adalah keputusan yang terbaik untuk Ibu. Tapi kami ingin Ibu tahu bahwa kami semua akan merindukan Ibu. Terima kasih atas ilmu dan kasih sayang yang telah Ibu berikan.”

Kata-kata itu seperti menghujam hati saya. Saya merasa berat meninggalkan mereka, anak-anak yang selama ini telah menjadi sumber semangat saya setiap hari. Ilmu dan pengalaman menyertai Langkah saya untuk melangkah ke tempat baru.

Acara dilanjutkan dengan sesi pemberian kenang-kenangan. Saya menerima bingkisan yang dibungkus dengan rapi. Salah satu bingkisan disampaikan oleh bapak Kepala Sekolah. Bingkisan yang lain disampaikan perwakilan OSIS.

Setelah itu, acara dilanjutkan dengan sesi foto-foto bersama di lapangan upacara. Setiap orang ingin mengabadikan momen terakhir saya. Ada yang memeluk saya sambil menahan tangis, ada pula yang memberikan doa dan harapan untuk saya di tempat baru.

Di akhir acara, ketika saya berjalan keluar, hati saya terasa begitu berat. Saya menoleh ke belakang, menatap sekolah itu untuk terakhir kalinya. Ruang guru yang selama ini penuh tawa, cerita, dan kenangan kini menjadi saksi perpisahan saya dengan tempat yang telah menjadi rumah kedua.

Saya sadar, perjalanan ini adalah bagian dari kehidupan. Setiap akhir adalah awal baru. Meskipun berat, saya harus melangkah maju. Saya membawa kenangan ini sebagai penguat untuk babak baru yang menanti.

Dengan mata yang masih basah oleh air mata, saya berbisik pada diri sendiri, “Terima kasih untuk segalanya, sekolahku SMPN 1 Kedungtuban. Kalian akan selalu ada di hati saya, selamanya.” Teriring doa semoga SMPN 1 Kedungtuban semakin maju, semua keluarga besar diberikan nikmat sehat dan tambah sukses. Sampai jumpa di lain kesempatan.

Cepu, 17 Januari 2025

 


 

Tantangan dan Keceriaan yang Menginspirasi

 

Karya: Gutamining Saida

Kelas 7B bagi saya, adalah kelas yang paling spesial. Tidak ada yang bisa menandingi keberagaman karakter mereka. Di kelas ini, saya menemukan segalanya diantaranya yaitu ramai, kalem, cerewet, kreatif, cantik, ganteng, hingga yang cuek. Setiap sudut kelas ini membawa cerita unik yang menjadi tantangan sekaligus motivasi bagi saya. Mengajar mereka bukan hanya tentang menyampaikan materi IPS, tetapi juga tentang memahami, menyemangati, dan mendampingi mereka untuk berkembang.

Hari itu, saya masuk ke kelas 7B dengan membawa rencana pembelajaran yang telah saya kemas secara berbeda. Saya tahu, untuk membuat mereka mencintai IPS, saya harus keluar dari cara-cara konvensional. Saya ingin menciptakan suasana belajar yang menyenangkan tetapi tetap fokus pada tujuan pembelajaran.

Ketika saya memasuki kelas, suasana sudah mulai bergemuruh. Anak-anak yang cerewet sedang bercanda di pojokan, sementara beberapa anak kalem duduk diam membaca buku. Ada juga yang sibuk menggambar di buku catatan, dan beberapa lainnya masih asyik dengan obrolan mereka. Saya tersenyum, karena inilah ciri khas 7B.

“Baik, teman-teman, hari ini kita akan belajar IPS dengan cara yang berbeda,” ujar saya sambil menatap mereka. “Ada yang suka bermain game di sini?”

Serentak hampir seluruh siswa mengangkat tangan. Beberapa dari mereka langsung bersorak, “Wah, main game! Seru, Bu!”

“Tapi ini bukan game biasa,” lanjut saya, “Ini adalah game IPS. Kalian akan menghadapi tantangan dari level mudah, naik ke level sedang, dan akhirnya ke level sulit. Siapa yang siap?”

Sorakan semakin riuh. Anak-anak mulai duduk rapi, penasaran dengan apa yang akan saya lakukan. Saya membagikan kertas soal yang telah saya buat. Ada 10 soal yang saya susun dengan hati-hati: tiga soal mudah, empat soal sedang, dan tiga soal sulit.

Di bagian awal, soal-soal cukup sederhana—tentang pengenalan peta, arah mata angin, dan fungsi simbol pada peta. Sebagian besar siswa bisa menjawab dengan mudah. Tapi ketika masuk ke level sedang, mulai terdengar gumaman dan keluhan kecil.

“Bu, ini kok mulai susah?” tanya seorang siswa dengan nada cemas.

“Iya, ini seperti kembali ke TK, Bu,” celetuk siswa lainnya, disambut tawa teman-temannya.

Saya hanya tersenyum. “Iya, kan seru. Tapi jangan remehkan soal-soal ini, ya. Di sinilah kalian bisa melatih cara berpikir kritis.”

Ketika tiba di level sulit, suasana kelas mulai berubah. Beberapa siswa yang biasanya cuek, terlihat serius mengerjakan soal. Ada juga yang mulai berbisik-bisik, mencoba berdiskusi dengan teman di sebelahnya. Saya berjalan mengelilingi kelas, memperhatikan setiap ekspresi mereka.

“Bu, ini soal terakhir benar-benar bikin bingung,” ujar seorang siswa yang biasanya cerewet.

“Sama, Bu. Saya nggak ngerti,” tambah yang lain.

Saya tersenyum lagi. “Tenang, ini memang soal sulit. Kalau mudah terus, kalian nggak akan belajar apa-apa.”

Setelah waktu habis, saya meminta mereka untuk mengumpulkan jawaban. Kemudian, saya mulai membahas soal satu per satu. Ketika saya menjelaskan jawaban dari soal terakhir yang sulit, ada yang berteriak, “Ohhh, jadi gitu, Bu!” Wajah mereka berubah dari bingung menjadi paham.

Di akhir sesi, saya memberikan evaluasi. “Kalian hebat. Walaupun ada yang merasa kesulitan, tapi saya bangga karena kalian sudah berusaha keras.”

Salah satu siswa, yang biasanya cuek, tiba-tiba angkat tangan. “Bu, ternyata IPS itu nggak sesulit yang saya kira. Kalau belajarnya kayak gini, jadi lebih seru.”

Hati saya langsung hangat mendengar ucapan itu. Momen seperti inilah yang membuat saya merasa semua usaha saya tidak sia-sia.

Ketika bel berbunyi, tanda jam pelajaran berakhir, beberapa siswa mendekati saya. “Bu, kapan kita main game lagi?” tanya mereka dengan antusias.

“Kalau kalian rajin belajar, kita bisa lakukan ini lagi minggu depan,” jawab saya sambil tersenyum.

Mengajar di kelas 7B adalah pengalaman yang penuh tantangan, tetapi juga penuh kebahagiaan. Setiap hari, mereka mengajarkan saya untuk terus berusaha menjadi guru yang bermanfaat, yang mampu membawa perubahan bagi mereka yang “kurang” menjadi lebih baik. Saya percaya, dengan semangat dan pendekatan yang tepat, mereka bisa mencintai IPS dan belajar dengan gembira.

Meninggalkan kelas 7B hari itu, saya merasa seperti baru saja menyelesaikan sebuah petualangan. Saya tahu, perjalanan masih panjang, tetapi saya siap menghadapi apa pun yang akan datang. Karena bagi saya, tidak ada yang lebih indah daripada melihat siswa-siswa saya bahagia dan berkembang. Perjuangan tidak akan menghianati hasil. Semoga bermanfaat.

Cepu, 17 Januari 2025

Minggu, 12 Januari 2025

Kajian Minggu Wage


Karya: Gutamining Saida

Selepas subuh, udara terasa segar menyapa. Langit masih gelap, tetapi cahaya remang-remang mulai terlihat di ufuk timur. Aku melangkahkan kaki menuju Masjid Al Mujahidin, mengikuti agenda kajian rutin minggu wage. Pukul 05.00 WIB, jalanan masih lengang. Langkahku perlahan tapi pasti. Ku  telelusuri jalan kecil yang sudah kuhafal lekuk-lekuknya. Dalam keheningan pagi itu, suara alunan musik hadroh dari masjid mulai terdengar samar-samar. Suara yang menenangkan hati, seakan memanggilku untuk segera sampai.

Ketika tiba di halaman masjid, suasana sudah ramai. Ibu-ibu dengan berbagai usia telah berdatangan. Ada yang membawa anak kecil, ada pula yang datang bersama teman-teman mereka. Senyuman hangat panitia menyambutku di pintu masuk. Satu paket sarapan diserahkan ke tanganku dengan penuh keramahan. Rasanya seperti sebuah hadiah kecil yang berarti besar. Sebuah tanda bahwa kami semua dihargai atas niat baik kami untuk menuntut ilmu di pagi yang penuh berkah ini.

Aku memilih duduk di salah satu sudut masjid. Tempat yang nyaman untuk bersandar ditembok. Dari sini, aku bisa melihat tarian sufi, hiburan hadroh berlangsung. Di tengah seorang penari sufi mulai meliukkan tubuhnya. Dia seorang muslimah dengan gaun putih yang anggun, berjilbab oranye. Tarian  tampak memancarkan kedamaian. Putaran tubuhnya yang anggun mengikuti irama hadroh membuat suasana masjid semakin khusyuk.  Seakan membawa kami semua dalam harmoni keindahan dan kebersahajaan.

Di dalam masjid, warna-warni jilbab dan gamis para jamaah menambah semarak suasana. Motif-motif cantik berpadu dengan senyum hangat menciptakan pemandangan yang begitu hidup. Anak-anak yatim dan duafa duduk di bagian depan, sebagian ditemani ibu-ibu yang sabar menenangkan mereka. Di bagian lain, nenek-nenek duduk bersandar sambil merapikan kerudung mereka. Semua berkumpul dengan satu tujuan yaitu menuntut ilmu sebagai bekal menuju akhirat.

Kajian pagi itu disampaikan oleh KH. Innama Muhsin, seorang ustaz dari kota Pati. Kajian ini diumumkan jauh-jauh hari. Aku ingat pengumuman itu disampaikan lewat musala, masjid dan media sosial. Tujuannya agar lebih banyak yang hadir. Beliau adalah teman salah satu pengurus masjid, yang dengan senang hati mengundangnya untuk berbagi ilmu. Kehadirannya menjadi daya tarik tersendiri bagi jamaah.

KH. Innama Muhsin memulai kajian dengan pesan penting: “Dekat-dekatlah dengan kyai. Orang yang dekat dengan kyai akan tertular kebaikannya, dan hidupnya akan memiliki nilai lebih.” Beliau mengibaratkan, seperti kerikil yang tercampur dengan beras atau kedelai. Kerikil yang awalnya tak bernilai akan memiliki harga mahal saat berada di antara yang berharga. Begitu pula manusia, akan mulia jika berada di lingkungan yang baik.

Beliau juga mengingatkan tentang keistimewaan bulan Rajab. “Rajab adalah bulan istimewa,” katanya. “Semoga kita tidak hanya dipertemukan dengan bulan Rajab di tahun-tahun berikutnya, tetapi juga diberikan kesehatan dan mampu meraih husnul khotimah.” Kata-katanya menusuk hati, membuatku merenung akan perjalanan waktu yang begitu cepat.

Di tengah kajian, suasana kembali semarak dengan penampilan tari sufi. Iringan hadroh mengiringi setiap gerakan sang penari, menciptakan harmoni yang memukau. Sesaat aku terhanyut dalam keindahan seni yang sederhana namun penuh makna. Suara alat musik berpadu dengan lantunan shalawat, membawa kami semua dalam suasana khusyuk yang berbeda.

Kemudian, KH. Innama Muhsin berbicara tentang kematian. “Kematian adalah peristiwa yang pasti terjadi pada semua makhluk. Bedanya hanya pada waktu dan caranya. Hari, tanggal, dan tahun yang berbeda untuk setiap kita,” katanya dengan nada lembut, tetapi tegas. Beliau mengingatkan bahwa tanda-tanda peringatan telah diberikan Tuhan kepada manusia. Contohnya seperti penglihatan yang mulai kabur, rambut semakin hari yang memutih, gigi mulai ompong. Semua itu adalah peringatan bahwa waktu kita di dunia ini terbatas.

Aku teringat saat-saat takziah, melihat mayat yang terbujur kaku. Pesan sang ustad terasa begitu nyata. “Sekarang kita memikul jenazah, besok kita yang akan dipikul. Sekarang kita mendoakan, besok kita yang didoakan. Sekarang kita menangis besok kita ditangisi. Kehidupan ini hanyalah giliran.” Hati kecilku tergugah, mengingatkan betapa pentingnya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.

Di akhir kajian, beliau menyampaikan pesan harapan. “Jadilah manusia yang bermanfaat, meski hanya sedikit yang bisa kita lakukan. Karena sekecil apa pun amal baik kita, itu akan menjadi tabungan di akhirat nanti.” Kata-katanya membuatku merasa bersyukur berada di sini pagi itu, mendengar nasihat yang begitu mendalam.

Pukul tujuh pagi kajian sudah selesai. suasana masjid mulai berangsur sepi. Satu per satu jamaah pulang ke rumah masing-masing. Aku melangkah pulang dengan hati yang lebih tenang. Langit sudah terang, mentari pagi menyapa lembut. Rasanya, kajian pagi ini bukan sekadar rutinitas. Ia adalah pengingat, penguat, dan penghibur hati di tengah hiruk-pikuk kehidupan.

Di perjalanan pulang, aku memikirkan kembali pesan-pesan sang ustad. Betapa pentingnya menghargai setiap detik yang kita miliki. Betapa berharganya menuntut ilmu, berkumpul dengan orang-orang baik, dan bersiap menghadapi hari yang pasti tiba. Aku merasa lebih dekat denganAllah Subhanahu Wata’alla, lebih dekat dengan tujuan hidup yang sesungguhnya.

Aku tiba di rumah dengan perasaan ringan. Suara hadroh masih terngiang di telinga, dan bayangan tari sufi masih terpatri di benak. Aku bersyukur telah melangkahkan kaki ke masjid pagi ini. Sebuah langkah kecil yang memberi dampak besar untuk jiwaku. Semoga bermanfaat.

Cepu, 12 Januari 2025

 

 

Jumat, 10 Januari 2025

Bahagiaku Di Hari Sabtu

Karya: Gutamining Saida

Sabtu 11 Januari 2025, menjadi hari yang tak terlupakan bagi saya. Kebahagiaan mengisi hati itu begitu meluap-luap hingga terasa menyentuh relung hati terdalam. Peristiwa tersebut tidak hanya menjadi bukti nyata dari skenario indah Allah Subhanahu Wata’alla, tetapi juga menjadi momentum penuh makna dalam perjalanan hidup dan karier menulis saya.

Beberapa hari sebelumnya, saya mendapatkan kesempatan berharga untuk bertemu dengan seorang narasumber hebat, Bapak Gunawan Trihantoro. Beliau adalah seorang ahli di bidang teknologi yang memiliki reputasi luar biasa. Kehadiran beliau di SMPN 3 Cepu sebagai narasumber dalam kegiatan In-House Training (IHT) benar-benar memberikan kesan mendalam bagi saya. Hal ini terasa istimewa karena saya baru saja mutasi ke SMPN 3 Cepu, bahkan belum genap sepuluh hari berada di lingkungan baru ini.

Pertemuan ini bukanlah suatu kebetulan. Setiap kejadian dalam hidup adalah bagian dari rencana Allah Subhanahu Wata’alla yang sempurna. Pertemuan dengan Bapak Gunawan telah menjadi salah satu bukti betapa Allah Subhanahu Wata’alla menghadirkan kesempatan dan pelajaran di waktu yang tepat. Saya merasa sangat bersyukur karena dapat belajar langsung dari beliau, seorang yang bukan hanya berpengalaman, tetapi juga sangat terbuka dan rendah hati.

Saat itu, IHT berlangsung dengan suasana penuh semangat dan antusiasme. Bapak Gunawan tidak hanya menyampaikan materi dengan lugas dan jelas. Beliau juga mampu menginspirasi kami untuk terus belajar dan berkembang. Beliau mendorong kami untuk lebih berani memanfaatkan teknologi dalam dunia pendidikan, terutama dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas.

Yang membuat saya semakin terkesan adalah sikap beliau yang sangat ramah dan terbuka terhadap peserta. Dalam sesi tersebut, beliau bahkan memberikan nomor handphonenya kepada kami semua. Bukan sekadar formalitas, beliau dengan tegas menyatakan bahwa setiap pesan atau pertanyaan yang dikirimkan kepadanya pasti akan ditanggapi. “Kalau ada hal yang perlu didiskusikan atau butuh bantuan, jangan ragu untuk menghubungi saya,” kata beliau dengan senyum yang tulus. Pernyataan itu membuat saya merasa dihargai dan didukung untuk terus belajar.

Selepas kegiatan, saya pulang ke rumah dengan hati yang dipenuhi rasa syukur dan semangat baru. Malam itu, saya memberanikan diri untuk mengirimkan pesan kepada Bapak Gunawan. Dalam pesan tersebut, saya menyampaikan rasa terima kasih atas ilmu yang telah beliau bagikan, sekaligus bertanya tentang beberapa hal yang masih saya rasa perlu dipahami lebih dalam. Ternyata benar, beliau segera membalas pesan saya dengan tanggapan yang sangat positif. Tidak hanya menjawab pertanyaan saya, beliau juga memberikan beberapa saran dan masukan yang sangat berharga.

Salah satu saran beliau yang membuat saya semakin termotivasi adalah untuk mencoba menulis dan mengirimkan naskah ke platform bernama Suara Anak Negeri. “Coba kirim tulisan ke sana. Kalau ada yang butuh revisi, nanti saya bantu. Kalau sudah siap, langsung saya bantu publikasikan,” katanya. Saya yang sejak lama ingin lebih aktif menulis merasa ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan. Malam itu juga, saya mulai menyiapkan naskah yang berisi pengalaman dan gagasan saya seputar dunia pendidikan.

Sabtu pagi, 11 Januari 2025, saya akhirnya mengirimkan naskah tersebut kepada Bapak Gunawan. Meski awalnya sempat ragu, saya mencoba untuk tetap percaya diri. Dua jam setelah saya mengirimkan naskah, sebuah pesan masuk dari beliau yang memberitahukan bahwa tulisan saya telah berhasil tayang di Suara Anak Negeri. Betapa bahagianya saya saat itu. Tidak pernah terlintas dalam pikiran bahwa tulisan saya bisa langsung diterima dan dipublikasikan dalam waktu singkat.

Saya segera membuka platform tersebut dan menemukan tulisan saya telah terpampang dengan rapi, siap untuk dinikmati oleh para pembaca di luar sana. Perasaan haru, bangga, dan syukur bercampur menjadi satu. Ini adalah pertama kalinya tulisan saya mendapatkan tempat di sebuah platform yang memiliki jangkauan luas. Saya merasa seperti mendapatkan suntikan semangat baru untuk terus menulis dan berbagi melalui karya-karya berikutnya.

Saya menyadari bahwa kebahagiaan sejati datang dari rasa syukur atas nikmat yang Allah Subhanahu Wata’alla berikan. Pertemuan dengan Bapak Gunawan bukan hanya membawa ilmu baru. Tetapi juga membuka jalan bagi saya untuk terus berkembang. Beliau adalah sosok yang tidak hanya berbagi ilmu. Beliau juga memberikan dorongan dan dukungan nyata kepada orang lain.

Pengalaman ini juga mengajarkan saya tentang pentingnya berani mengambil langkah pertama. Kadang-kadang, kita hanya perlu sedikit keberanian untuk memulai sesuatu yang baru. Ternyata hasilnya bisa jauh melampaui ekspektasi. Dengan dukungan dari orang-orang seperti Bapak Gunawan, saya merasa lebih percaya diri untuk mengejar mimpi-mimpi saya.  Termasuk mimpi saya menjadi seorang penulis yang karya-karyanya dapat memberikan manfaat bagi banyak orang.

Semoga tulisan ini menjadi awal dari perjalanan panjang saya dalam dunia menulis. Saya berharap dapat terus belajar. Saya dapat menghasilkan karya-karya yang tidak hanya bermanfaat bagi saya. Tetapi juga menginspirasi pembaca di luar sana. Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wata’alla yang telah memberikan nikmat-Nya yang tiada terhingga. Semoga saya selalu diberi kekuatan untuk terus bersyukur dan berkarya. Aamiin.

Cepu, 11 Januari 2025

 

 

Elmi Kabur

Karya: Gutamining Saida

Setiap kali anakku Bilta, pulang kampung bersama keluarganya.  Ada satu kebiasaan yang tidak pernah terlewatkan sebelum mereka kembali ke kota Tegal. Bilta memanggil tukang pijat khusus anak-anak. Tukang pijat ini sudah menjadi langganan Bilta. Ia seorang perempuan ramah yang ahli memijat anak-anak. Ia bisa membuat tubuh kecil mereka rileks dan siap menghadapi perjalanan jauh.

Tukang pijat langganan Bilta datang ke rumah tepat sesuai janji yaitu pukul 10.00 WIB pijit dimulai. Dengan membawa minyak pijat dan senyum hangat, ia memulai tugasnya. Bilta mengatur agar ketiga anaknya dipijat bergiliran, dimulai dari yang terbesar Zaskia namanya. Dilanjut anak kedua dan terakhir Elmira.

Anak pertama yang sudah duduk sekolah di SD tampak santai. Ia berbaring tenang di kasur kecil yang disiapkan oleh uminya. Umi sapaan Bilta yang dipakai anak-anaknya. Proses pijatnya berjalan lancar, tanpa banyak drama. Setelah selesai, ia bangkit dengan wajah puas. Lantas melangkah ke meja makan untuk mengambil segelas air dan pisang.

Berikutnya giliran anak kedua, yaitu Hamzah. Ia lebih tenang dan percaya diri. Sambil memainkan mainan kecil di tangannya, ia membiarkan tukang pijat menyelesaikan pekerjaannya. Semua berjalan mulus hingga tiba waktunya giliran si kecil, Elmira.

Elmira cucuku yang paling kecil, baru berusia dua setengah tahun. Ia masih dalam fase penuh tingkah yang menggemaskan. Tingkahnya sering kali sulit ditebak. Saat tiba gilirannya, ia dengan ragu-ragu mendekat, menggenggam tangan Uminya erat-erat.

"Elmi, ayo dipijit dulu. Biar nanti nggak capek di kreta," ujar Bilta lembut, mencoba meyakinkannya.

Elmira mengangguk kecil, lalu perlahan naik ke kasur. Awalnya, semuanya tampak baik-baik saja. Tukang pijat mulai mengoleskan minyak ke punggungnya sambil berbicara dengan nada menenangkan. Elmira hanya sesekali menggeliat, mungkin merasa geli. Namun, ketika giliran memijat bagian kaki, wajah kecilnya mulai berubah. Dari sudut matanya, Elmira melihat kakak-kakaknya sedang makan pisang. Dengan wajah penuh harap, Elmira mulai merengek. "Miii, sudah ya. Elmi mau makan pisang seperti Kakak."

Bilta tersenyum sabar. "Nanti kalau sudah selesai, Elmi boleh makan pisang. Sekarang dipijit dulu, ya." Elmira tidak puas dengan jawaban itu. Ia semakin gelisah, lalu tiba-tiba bangkit dari kasur dan melompat turun. "Kabur!" katanya lantang, lalu berlari.

"Elmi kabur!" teriak Bilta dengan nada setengah panik. Suara itu terdengar sampai ke kamar, aku  langsung bergegas keluar untuk melihat apa yang terjadi. Pikiranku Elmi kabur ke halaman depan rumah.

Elmira sudah berada di ruang makan, berdiri di depan meja sambil mengambil pisang. Drama Elmira dimulai. Ia memegang sebuah pisang, buah favoritnya. Saat saya mendekatinya, ia langsung memeluk saya, seolah mencari perlindungan. "Timi, Elmi nggak mau pijit lagi. Mau pisang aja," katanya manja.

Saya tertawa kecil, lalu mengajak kembali ke kasur. "Elmi, nanti kalau dipijit selesai, Timi kasih pisang lagi. Tapi sekarang Elmi harus balik pijit"

Elmira terlihat berpikir sejenak. "Tapi nggak mau lama-lama, Timi. Cepet aja ya."

Saya tersenyum dan mengangguk. "Oke, cepet aja. Yuk, kita balik."

Dengan sedikit bujukan dan janji, Elmira akhirnya setuju untuk kembali ke kasur kecil itu. Dia makan pisang sambil dipijat. Mbak tukang pijit sudah terbiasa menghadapi anak-anak kecil hanya tersenyum sambil menyiapkan minyak lagi. Proses pijatan pun dilanjutkan dengan hati-hati, sementara Elmira memegang pisangnya. Elmi kembali dipijit sambil makan pisang.

Suasana berubah menjadi lebih tenang. Elmira tetap menikmati pisangnya sambil sesekali memalingkan wajah. Ia seolah memastikan proses pijatan cepat selesai. Kami yang menyaksikan tidak bisa menahan tawa melihat tingkah lakunya yang selalu berhasil mencuri perhatian. Ia memegang sebuah pisang, buah favoritnya. Ia menggigit pisangnya perlahan, mengunyah dengan santai seolah dunia berhenti berputar. Setelah pisangnya habis, ia tidak ingin terus-menerus dipijit. Bukan karena pijatannya tidak enak, tapi ia merasa harus mengambil kendali atas situasi. Ketika gigitan terakhir pisang masuk ke mulutnya, “Sudah habis, nih,” katanya sambil menunjuk kulit pisang yang kosong.
“Kalau mau lagi, biar diambilkan Umi,” tawar si pemijat sambil tetap melanjutkan pijatannya. Elmira menggeleng cepat. “Nggak mau. Elmira ambil sendiri aja.” “Kenapa harus sendiri? Sini, biar cepat.” Elmira tersenyum kecil, tapi matanya penuh tekad. Elmira tiba-tiba bergerak gelisah. Elmira memang memiliki gaya unik dia selalu tahu bagaimana mendapatkan perhatian

Elmira langsung melompat turun dengan riang. "Sudah kan, Mi? Elmi pintar ya," katanya sambil tersenyum lebar. "Ya, Elmi memang pintar. Tapi kalau nggak kabur tadi, pasti lebih cepat selesai," jawab saya sambil tertawa. Elmira hanya terkikik kecil dan kembali melahap pisangnya.

Saat ini menjadi momen yang penuh keceriaan. Tingkah Elmira yang spontan dan menggemaskan selalu menjadi hiburan bagi kami sekeluarga. Meski proses pijatan sempat terhenti, pada akhirnya semua selesai dengan baik.  Tubuh kecilnya kini lebih rileks untuk perjalanan panjang ke kota Tegal. Elmira berhasil membuat suasana rumah menjadi heboh, tetapi penuh kebahagiaan.

Cepu, 11 Januari 2025

 

 

 


 

Pembiasaan Di SMPN 3 Cepu

Karya: Gutamining Saida

Sebagai seorang guru baru di SMPN 3 Cepu, saya mendapati sebuah pembiasaan yang belum pernah saya temui di sekolah sebelumnya. Hal ini menarik perhatian saya karena pembiasaan tersebut memiliki nilai yang sangat positif. Manfaatnya untuk siswa maupun untuk perkembangan karakter mereka sebagai generasi penerus bangsa. Rasa penasaran ini membawa saya untuk menggali informasi lebih dalam. Caranya dengan bertanya kepada beberapa guru yang sudah lebih lama mengabdi di sekolah ini.

Awalnya, saya merasa kurang memahami esensi dari pembiasaan ini. Proses pengenalannya pun tidak berlangsung instan. Namun, melalui diskusi dan pengamatan yang intens. Saya mulai memahami bahwa pembiasaan ini bukan sekadar rutinitas. Namun sebuah upaya nyata untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan di dalam diri siswa. Pembiasaan ini berfokus pada peningkatan rasa cinta tanah air, nasionalisme, dan patriotisme yang kuat.

Kegiatan yang dimaksud adalah upacara bendera setiap Senin yang dilaksanakan dengan sangat tertib dan khidmat. Berbeda dengan pengalaman saya sebelumnya. Di SMPN 3 Cepu upacara ini tidak hanya menjadi ajang formalitas. Tetapi benar-benar dipenuhi dengan semangat kebangsaan. Para siswa dilatih untuk memahami makna dari setiap elemen upacara. Mulai dari pengibaran bendera, pembacaan teks Pancasila, hingga amanat pembina upacara. Semua dilakukan dengan penuh kesungguhan. Pembiasaan di dalam kelas adalah berdoa yang dipimpin salah satu siswa dengan membaca teks yang disediakan sekolah. Siswa yang lain mendengarkan dengan khusuk. Dilanjutkan dengan pembacaan shalawat nariyah bersama dan pembacaan asmaul husna.

Yang membuat saya terkesan, setiap hari sekitar pukul 09.30 WIB siswa juga diajarkan untuk memahami arti dari lagu kebangsaan Indonesia Raya. Mereka tidak hanya menyanyikan lagu tersebut, tetapi juga diajak untuk meresapi makna setiap baitnya. Hal ini adalah sesuatu yang baru bagi saya. Di sekolah lama tempat saya mengajar, kegiatan serupa belum dilaksanakan dengan pendekatan yang mendalam seperti ini. Semua aktifitas saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan berhenti. Saat pembelajaran, semua siswa dan guru berdiri sikap sempurna mendengarkan lagu. Saat siswa olah raga di lapangan juga berhenti dengan sikap siap. Apabila saat berjalanpun, diharapkan berhenti sikap sempurna sampai lagu selesai dinyanyikan.

Tentu saja, pembiasaan seperti ini membutuhkan proses. Tidak seperti membalikkan telapak tangan, hasilnya tidak bisa langsung terlihat. Penanaman karakter memerlukan kesabaran, ketekunan, dan konsistensi. Saya yakin bahwa dengan pembiasaan ini, siswa akan tumbuh menjadi individu yang memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme yang kokoh. Mereka akan memahami bahwa menghargai negara adalah bagian dari tanggung jawab mereka sebagai warga negara Indonesia.

Saya juga semakin sadar betapa pentingnya menanamkan nilai-nilai kebangsaan sesuai pedoman bangsa, yaitu Pancasila. Nilai-nilai dalam Pancasila, seperti persatuan, keadilan, dan kemanusiaan, menjadi dasar yang kuat untuk membentuk karakter siswa. Dengan memahami dan menerapkan nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari, siswa akan tumbuh menjadi generasi yang mampu menjaga persatuan dan keharmonisan di tengah keberagaman.

Saya merasa bersyukur dapat menjadi bagian dari SMPN 3 Cepu yang begitu peduli dengan penanaman nilai-nilai kebangsaan. Hidup di bumi Indonesia adalah sebuah anugerah yang patut disyukuri. Di sini, masyarakatnya memiliki rasa kekeluargaan yang kuat dan selalu siap untuk membantu satu sama lain. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa pembiasaan seperti ini penting untuk dilaksanakan. Tujuannya agar generasi muda tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.

Selain itu, pembiasaan ini juga menjadi pengingat bagi saya pribadi untuk selalu menghargai dan mencintai tanah air. Melihat semangat para siswa saat mengikuti kegiatan ini membuat saya terinspirasi untuk terus memberikan yang terbaik dalam tugas saya sebagai seorang pendidik. Saya percaya bahwa melalui pendidikan, kita dapat membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan cinta terhadap bangsa dan negara.

Dalam proses adaptasi saya di SMPN 3 Cepu, pembiasaan ini memberikan pelajaran berharga bahwa setiap kebiasaan positif yang ditanamkan di sekolah akan berdampak besar pada pembentukan karakter siswa. Meskipun membutuhkan waktu dan usaha, hasilnya akan sangat berarti bagi masa depan mereka dan bagi bangsa ini. Saya berharap pembiasaan ini terus dilaksanakan dan menjadi contoh bagi sekolah-sekolah lain untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan kepada siswa sejak dini.

Sebagai guru baru, saya merasa bangga bisa menjadi bagian dari upaya ini. Saya akan terus mendukung dan berkontribusi dalam pelaksanaan pembiasaan ini agar semakin banyak siswa yang merasakan manfaatnya. Dengan menanamkan jiwa nasionalisme dan patriotisme yang kuat, kita turut mempersiapkan generasi yang siap menjaga dan meneruskan perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia. Semoga pembiasaan ini menjadi langkah awal menuju masa depan yang lebih baik untuk bangsa kita.

Cepu, 11 Januari 2025

 

 

Rabu, 08 Januari 2025

Perkenalan Di Kelas 7A di SMPN 3 Cepu


Karya: Gutamining Saida

Hari Rabu tanggal 8 Januari 2025 di jam ke 3-4, saya masuk ke ruang kelas 7A. Seperti biasa, saya memulai dengan ucapan salam dan menatap wajah-wajah ceria mereka satu per satu. Kelas ini adalah kelas terakhir dari seluruh kelas 7 yang saya ajar. Di setiap pertemuan awal, saya selalu melakukan perkenalan, tapi entah kenapa hari ini saya merasa cukup dengan rutinitas yang sama. Saya berpikir, "Kenapa setiap hari harus berkenalan terus? Bukankah lebih baik langsung masuk ke materi pelajaran?"

Saat saya hendak memulai pelajaran, tiba-tiba ada beberapa siswa yang nyeletuk, “Kenalan dulu dong, Bu!” Nada mereka terdengar ceria dan antusias. Saya tertegun sejenak. Mereka menatap saya penuh harap, seolah-olah perkenalan adalah hal yang sangat penting bagi mereka. Tersenyum kecil, saya akhirnya menyerah pada permintaan mereka.

"Baiklah," kata saya sambil mengangguk, “Ini saatnya perkenalan terakhir di kelas 7, khususnya untuk 7A.”

Wajah mereka langsung berseri-seri. Saya merasa ada kehangatan yang terpancar dari siswa-siswa ini. Saya pun mulai berbicara tentang diri saya. Ditengah-tengah perkenalan, saya tiba-tiba berpikir mungkin lebih baik jika saya memberi mereka kesempatan untuk bertanya apa saja yang ingin mereka ketahui tentang saya.

"Sekarang giliran kalian. Silakan bertanya apa saja yang ingin kalian tahu tentang saya," ujar saya sambil tersenyum.

Satu per satu tangan mulai terangkat. Pertanyaannya sederhana namun menggelitik, mulai dari "Bu, nama lengkapnya siapa?" hingga "Bu, sebelum ini mengajar di mana?" Saya menjawab setiap pertanyaan dengan sabar. Lalu, seorang siswa bertanya, “Bu, rumahnya di mana?”

Saya menjawab dengan menyebutkan alamat lengkap saya. Saat itu, dua anak perempuan di bagian bangku Tengah saling berpandangan dan senyum-senyum. Salah satu dari mereka angkat bicara, “Bu, rumahnya yang ada tempat terapinya itu, ya?”

Saya mengangguk. “Betul. Itu rumah saya.”

Ternyata, kedua anak itu tinggal di belakang rumah saya. Mereka mulai menceritakan bahwa mereka salah satu cucu bu Yayuk dan melihat orang-orang yang datang untuk terapi. Saya tersenyum mendengar cerita mereka. Hal ini membuat suasana kelas semakin hangat, seperti ada ikatan yang lebih erat antara kami.

“Kok kita baru tahu, ya, kalau itu rumah Ibu?” tanya salah satu dari mereka sambil tertawa kecil.

Saya pun ikut tertawa. “Nah, makanya penting untuk saling mengenal,” jawab saya.

Sesi tanya jawab ini berlangsung cukup lama. Beberapa anak mulai mengajukan pertanyaan yang lebih personal.  Seperti makanan favorit saya, hobi, bahkan film yang saya suka. Saya merasa seperti sedang berbicara dengan teman-teman kecil, bukan sekadar siswa.

Di akhir sesi, saya menyampaikan sesuatu yang menurut saya penting. “Anak-anak, Ibu ingin kalian tahu, meskipun Ibu adalah guru kalian, Ibu juga manusia biasa seperti kalian. Kita semua belajar bersama di sini. Jadi, jangan ragu untuk bertanya atau berbicara dengan Ibu jika kalian butuh sesuatu. Ibu selalu ada untuk membantu kalian.”

Wajah-wajah mereka terlihat serius mendengarkan. Saya bisa melihat bahwa mereka mulai memahami maksud saya. Bagi saya, hubungan antara guru dan siswa tidak hanya sebatas belajar-mengajar di kelas. Perkenalan ini adalah jembatan untuk membangun rasa percaya dan saling memahami.

Setelah perkenalan selesai, saya pun memulai materi pelajaran. Namun, suasana di kelas terasa berbeda. Ada keakraban yang muncul, membuat saya lebih semangat mengajar. Beberapa siswa yang biasanya pendiam mulai aktif bertanya dan ikut berdiskusi. Bahkan, anak yang tinggal di belakang rumah saya sempat bercanda, “Bu, kalau pas libur, kita main ke rumah Ibu, boleh ya?”

Saya tertawa kecil dan menjawab, “Boleh, tapi jangan lupa bawa buku kalian, ya!”

Ketika bel berbunyi menandakan akhir pelajaran, saya menutup kelas dengan ucapan terima kasih. Sebelum keluar, seorang siswa mendekati saya. Saya tersenyum sambil menjawab, “Terima kasih. Ibu juga senang bisa kenal kalian lebih dekat.”

Saya pulang dengan perasaan hangat. Meski awalnya merasa bosan dengan perkenalan, saya menyadari bahwa mengenal siswa-siswa adalah langkah penting untuk membangun hubungan yang baik. Perkenalan terakhir di kelas 7A menjadi momen yang akan selalu saya ingat. Saya merasa telah menemukan sesuatu yang berharga.  Pedekatan dengan siswa-siswa saya, yang pada akhirnya akan membuat proses belajar-mengajar menjadi lebih bermakna.

Cepu, 9 Januari 2025

 


 

Pelatihan Dasar Penggunaan AI dan Coding



Karya: Gutamining Saida

Pada hari Rabu yang cerah, suasana di SMPN 3 Cepu tampak lebih semarak. Sekitar pukul 10.00 WIB Seluruh guru berkumpul di ruang guru. Sekolah mengadakan kegiatan In House Training (IHT) bertema Pelatihan Dasar Penggunaan AI dan Coding. Acara ini diadakan untuk meningkatkan kompetensi para guru dalam menghadapi tantangan pendidikan berbasis teknologi yang semakin berkembang pesat.

Ruang guru telah dipasang benner sederhana namun elegan. Sebuah benner sudah terpasang di depan ruangan. Hal ini menambah suasana antusias para peserta. Kegiatan dimulai pukul 10.15 WIB dengan para guru duduk rapi di kursi yang telah disediakan. Semangat mereka terlihat jelas dari senyuman dan obrolan ringan sambil menunggu acara dimulai.

Pembawa acara membuka kegiatan dengan penuh semangat. Petugas mengawali dengan mengajak semua yang hadir untuk membaca Shalawat Nariyah bersama-sama. Suara lantang para guru memenuhi aula, menciptakan suasana khusyuk dan penuh berkah. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan doa untuk memohon kelancaran pelatihan.

Para peserta diajak berdiri untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Suasana khidmat terasa saat lagu berkumandang. Nyanyian penuh semangat dari para guru menggema di ruangan, mengingatkan akan tanggung jawab besar sebagai pendidik bangsa. Dipimpin salah satu guru Perempuan. Maklum saya belum mengetahui dan hafal namanya.

Kepala SMPN 3 Cepu, bapak Suyitno, S. Pd, M.Pd memberikan sambutan yang hangat. Dalam pidatonya, beliau menekankan pentingnya peningkatan kompetensi guru, terutama dalam bidang teknologi dan kreativitas. “Hari ini kita akan belajar bersama tentang teknologi AI dan coding. Saya harap bapak dan ibu guru dapat memanfaatkan ilmu yang diperoleh untuk menciptakan pembelajaran yang lebih menarik dan bermakna bagi siswa,” ungkap beliau dengan penuh semangat. Sambutan itu diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari peserta, dan beliau secara resmi membuka acara tersebut.

Acara inti pun dimulai. Narasumber yang diundang adalah Bapak Gunawan Trihantoro, seorang ahli di bidang teknologi pendidikan. Beliau memperkenalkan materi dengan cara yang menarik, membangun antusiasme para peserta sejak awal.

Materi pertama yang disampaikan adalah tentang seni music. Bapak Gunawan mengajarkan cara membuat lirik lagu, genre musik, hingga aransemen sederhana menggunakan aplikasi berbasis AI. Para guru diajak untuk mempraktikkan langsung, dengan sebagian menggunakan laptop dan yang lainnya memakai ponsel. Kreativitas para guru mulai terlihat saat mereka mencoba menciptakan lirik lagu bertema pendidikan.

Berlanjut ke materi berikutnya, Bapak Gunawan menunjukkan cara menggunakan AI untuk membuat materi ajar. Dari materi dilanjut pembuatan presentasi PowerPoint yang menarik hingga modul pembelajaran yang interaktif. Para guru diajarkan bagaimana memanfaatkan alat bantu seperti ChatGPT, aplikasi Suno,  dan D-iD untuk mendesain materi yang relevan dengan kebutuhan siswa.

“Coba bapak dan ibu buat satu slide pembelajaran, lalu tambahkan elemen visual atau animasi untuk menarik perhatian siswa,” ujar Bapak Gunawan sambil berkeliling membantu peserta. Para guru dengan semangat mencoba praktik langsung, dan suasana di ruang guru menjadi penuh diskusi. Banyak pertanyaan yang terlontar, mulai dari cara memindah file hingga bagaimana menambahkan fitur-fitur interaktif.

Semangat para guru semakin terlihat saat sesi praktik berlangsung. Ada yang sibuk mengetik di laptop, ada pula yang serius mengamati layar ponsel mereka. Beberapa guru saling berdiskusi dan berbagi ide untuk menghasilkan karya yang terbaik. “Pak Gunawan, bagaimana cara menambahkan suara di modul pembelajaran?” tanya salah satu guru yang langsung dijawab dengan sabar oleh narasumber.

Tidak hanya teori, Bapak Gunawan juga memberikan simulasi pembuatan bahan ajar interaktif. Guru-guru merasa kagum melihat hasil akhirnya, dan banyak yang langsung ingin mencoba di kelas mereka. “Wah, ini sangat membantu untuk membuat siswa lebih tertarik belajar,” ujar seorang guru dengan wajah antusias.

Menjelang akhir sesi, Bapak Gunawan memberikan motivasi kepada para peserta. “Teknologi bukanlah pengganti peran guru, tetapi alat untuk membantu kita menjadi lebih kreatif dan efektif dalam mengajar. Jangan takut mencoba hal baru,” ujarnya. Para guru memberikan tepuk tangan sebagai bentuk apresiasi atas ilmu yang telah disampaikan.

Pelatihan ini memberikan inspirasi kepada peserta lain, sekaligus membuktikan bahwa semua ilmu yang didapatkan dapat langsung diterapkan. Acara ditutup dengan rasa puas dari semua peserta. Banyak guru yang mengungkapkan rasa terima kasih mereka kepada narasumber dan panitia. “Pelatihan ini sangat bermanfaat, kami jadi lebih percaya diri menggunakan teknologi di kelas,” ungkap salah seorang peserta.

Dengan selesainya IHT hari ini, diharapkan para guru SMPN 3 Cepu dapat semakin kreatif dan inovatif dalam memberikan pembelajaran. Semangat mereka menjadi bekal untuk menciptakan generasi yang siap menghadapi tantangan zaman.

Cepu, 9 Januari 2024

 

 


 

Selasa, 07 Januari 2025

Sebuah Proses Adaptasi

Karya: Gutamining Saida

Minggu pertama di tempat baru adalah sebuah perjalanan yang penuh makna. Sejak hari pertama saya menginjakkan kaki di lingkungan sekolah baru ini, tekad saya sudah bulat. Dengan niat adaptasi dengan baik agar bisa menjadi bagian dari keluarga besar sekolah ini. Adaptasi bukan hanya soal mengenal tempat, tetapi juga tentang membangun koneksi dan memahami dinamika lingkungan baru.

Hal pertama yang saya lakukan adalah mengenal lokasi-lokasi penting di sekolah. Saya berjalan ke area sekolah dengan panduan seorang guru senior yang ramah yang Bernama ibu Suwarti. Beliau menunjukkan kamar kecil, musala, ruang guru, ruang kepala sekolah, hingga kelas-kelas yang akan saya ajar. Peta tentang lokasi-lokasi tersebut saya tanamkan di benak saya agar saya tidak kebingungan keesokan harinya. Khusus untuk musala, saya merasakan ketenangan saat melangkah. Saya yakin akan menjadi ruang istirahat spiritual saya di tengah kesibukan mengajar.

Langkah berikutnya adalah mengenal warga sekolah. Ini adalah bagian yang tak kalah penting dalam adaptasi saya. Saya memulai dengan para guru, karena mereka adalah rekan sejawat yang akan berbagi suka duka di dunia pendidikan. Mereka menyambut saya dengan hangat. Ada beberapa guru yang langsung berbagi tips mengenai karakteristik siswa di sekolah ini.

Kesan ramah juga saya temui saat berinteraksi dengan karyawan sekolah. Penjaga sekolah, dengan senyum lebarnya menyapa saya saat akan absen pinjer. Suasana kekeluargaan membuat saya merasa diterima dengan baik.

Bagian terpenting dari adaptasi saya adalah mengenal siswa, terutama yang ada di kelas-kelas yang saya ajar. Pada hari pertama mengajar, saya memulai setiap pertemuan dengan sesi perkenalan. Saya memakai cara yang berbeda. Menggambar telapak tangan dengan ditulis beberapa hal yang saya perintahkan. Memancing mereka untuk menuangkan segala rasa, potensi yang dimiliki. satu hal yang mereka sukai, entah itu makanan, ciri fisik, Impian masa depan, hobi, atau cita-cita. Dengan cara ini, saya tidak hanya mengetahui nama mereka, tetapi juga sedikit tentang dunia mereka.

Keberagaman mereka membuat saya semakin yakin bahwa setiap siswa adalah unik, dan tugas saya adalah menemukan cara terbaik untuk mendukung mereka. Tidak hanya siswa, suasana kelas juga memberi kesan yang beragam. Di satu kelas, saya melihat dinding penuh dengan karya seni siswa yang membuat saya kagum. Di kelas lain, suasananya lebih sederhana, tetapi saya merasakan kehangatan dari antusiasme siswa dalam belajar.

Dalam proses adaptasi ini, saya tidak memaksakan diri untuk langsung memahami semua hal. Saya menyadari bahwa perubahan memerlukan waktu, dan saya harus sabar menjalani prosesnya. Meski begitu, kehangatan dan penerimaan dari warga sekolah menjadi sumber energi positif bagi saya.

Minggu pertama ini juga mengajarkan saya bahwa adaptasi bukan hanya soal menerima lingkungan baru, tetapi juga memberikan kontribusi. Saya mencoba memberikan kesan baik melalui profesionalisme saya dalam mengajar. Saya menyiapkan materi dengan sungguh-sungguh, menghadirkan metode belajar yang interaktif, dan mendengarkan setiap masukan dari siswa maupun rekan kerja.

Saya merasa bahwa langkah-langkah kecil yang saya ambil membuahkan hasil. Saya tidak lagi merasa seperti orang asing di tempat ini. Lingkungan sekolah yang semula terasa asing kini mulai menjadi bagian dari diri saya. Adaptasi adalah perjalanan yang penuh dengan pembelajaran. Dari minggu pertama ini, saya memahami bahwa keberhasilan dalam beradaptasi tidak hanya bergantung pada usaha saya sendiri, tetapi juga pada kebaikan hati orang-orang di sekitar saya. Lingkungan yang hangat dan mendukung di tempat ini membantu saya merasa nyaman dan diterima.

Dengan semangat ini, saya yakin bahwa perjalanan saya di sekolah baru ini akan penuh dengan pengalaman berharga. Minggu pertama mungkin hanya awal, tetapi fondasi yang saya bangun di minggu ini akan menjadi pijakan kuat untuk langkah-langkah selanjutnya. Saya bersyukur telah memulai perjalanan ini dengan baik, dan saya siap menghadapi tantangan dan peluang yang akan datang di masa depan. Semoga bermanfaat.

Cepu. 8 Januari 2025

 

 

Senin, 06 Januari 2025

Sarapan Di Indoor

Karya: Gutamining Saida

Suasana di SMPN3 terasa luar biasa bagiku. Hari ini adalah momen spesial bagi seluruh siswa dan guru, yaitu kegiatan sarapan pagi di hari pertama masuk. Kegiatan ini diadakan sesuai anjuran pemerintah memberikan edukasi tentang pentingnya memulai hari dengan sarapan sehat.

Kelas 9 mendapatkan kehormatan untuk berkumpul di indoor.  Sementara kelas 7 dan 8 sarapan di kelas masing-masing. Indoor yang luas dan bersih telah disiapkan sedemikian rupa untuk menampung seluruh siswa kelas 9 beserta wali kelas mereka. Saat siswa memasuki indoor mereka terlihat membawa bekal di kotak makan dengan antusias. Laki-laki, Perempuan membawa kotak makan ada yang hanya ditenteng dilengkapi air minum, ada yang ditaruh di tas bekal dan ada yang berupa nasi bungkus.

Para wali kelas sudah menunggu di indoor. Siswa duduk rapi di lantai dengan alas seadanya, namun kenyamanan tetap terjaga. Duduk bersama seperti ini menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesederhanaan yang jarang dirasakan dalam keseharian. Sebelum mulai, salah satu guru memandu doa makan, mengingatkan siswa bahwa setiap makanan yang masuk ke tubuh adalah berkah yang harus disyukuri.

Ketika doa selesai, siswa membuka bekal yang mereka bawa dari rumah. Berbagai jenis makanan terlihat, mulai dari nasi dengan lauk sederhana seperti telur dadar, ayam goreng, mie, hingga nugget. Ada juga yang membawa roti isi atau mi goreng. Namun, satu hal menarik perhatian kami, sebagian besar siswa tidak membawa sayur. Mungkin ribet membawanya atau takut tumbah. Membawa sayur terlalu merepotkan, atau mungkin belum terbiasa memasukkan sayur dalam menu sehari-hari.

Sambil makan, suasana di indoor terasa begitu hangat. Siswa saling berbagi cerita, sesekali terdengar tawa kecil di antara mereka. Ada yang berbagi bekal pada teman sebelahnya. Para wali kelas ikut di antara siswa, mendampingi dan sesekali bertanya tentang menu yang mereka bawa. Kehadiran guru di tengah-tengah mereka membuat siswa merasa lebih dekat dan nyaman. Meski duduk di lantai, tidak ada yang mengeluh. Mereka tampak menikmati momen kebersamaan ini. Saya mengamati siswa mampu menjaga sikap santun dan tetap tertib selama acara berlangsung.

Setelah selesai makan, guru memberi pengumuman agar semua siswa memastikan tempat duduk mereka bersih seperti semula. Siswa bergerak dengan sigap, memungut sampah dan sisa makanan yang ada. Sebagian membawa sampah ke tempat yang telah disediakan. Kebersihan menjadi salah satu poin utama yang ditekankan dalam kegiatan ini. Saya melihat bagaimana anak-anak berusaha menjaga ruangan tetap bersih, sebuah kebiasaan baik yang harus terus dilatih.

Setelah semuanya beres, guru menginstruksikan siswa untuk kembali ke kelas masing-masing. Mereka meninggalkan indoor dengan tertib, membawa semangat baru setelah sarapan bersama. Sarapan pagi adalah sebuah langkah kecil namun penting untuk mendukung kesehatan.

Kegiatan sarapan pagi bersama ini adalah salah satu langkah sederhana namun bermakna untuk mendukung program pemerintah. Harapannya siswa dapat memahami pentingnya sarapan sebagai sumber energi untuk menjalani aktivitas belajar.

Lebih dari itu, sarapan bersama ini juga menjadi momen untuk mempererat hubungan antara guru dan siswa, serta antar siswa sendiri. Kebersamaan yang terjalin akan menciptakan lingkungan sekolah yang lebih harmonis dan menyenangkan serta sehat.

Dengan tubuh yang sehat dan pikiran yang segar, anak-anak diharapkan dapat belajar dengan lebih baik. Mereka menjadi generasi yang kuat secara fisik maupun mental. Alhamdulillah, pagi itu adalah salah satu agenda penuh berkah di SMPN 3 Cepu. Semoga menginspirasi.

Cepu, 7 Januari 2025

 


 

Kembali Ke Sekolah Usai Liburan Semester

 Karya: Gutamining Saida

Hari Senin tanggal 6 Januari 2025 sinar matahari tampak menyambut hangat perjalanan saya menuju sekolah. Liburan semester telah usai, dan kini saatnya kembali menjalankan tugas sebagai seorang pendidik. Hati ini dipenuhi campuran rasa bahagia dan sedikit gugup, terutama karena saya baru saja pindah ke sekolah baru. Dan meninggalkan tempat lama yang sudah begitu akrab di hati.

Saat memasuki gerbang sekolah, suasana pagi di SMPN 3 Cepu terasa segar. Saya mengamati beberapa siswa berjalan menuju kelas, membawa tas mereka dengan penuh semangat. Mereka yang berpapasan dengan saya memberikan senyum tulus. Sapaan kecil seperti “Selamat pagi, Bu Guru!” terdengar menghangatkan hati. Betapa sederhana, namun dampaknya begitu besar. Senyum mereka seakan membisikkan, “Semoga ibu guru akan baik-baik saja di sini.”

Langkah kaki saya terhenti sesaat di depan taman kecil di halaman sekolah. Di sana, bunga-bunga bermekaran seolah turut menyambut awal baru saya. Rasa tentram perlahan menyelimuti hati, membayangi kekhawatiran yang sempat hadir. Dengan keyakinan yang tumbuh kembali, saya melanjutkan perjalanan menuju ruang absensi.

Selanjutnya menuju ruang guru, saya berkesempatan berbincang dengan beberapa guru lainnya. Saya mengira, sebagai orang baru, mungkin akan ada rasa canggung di antara kami. Namun ternyata, mereka semua menyambut saya dengan hangat. Beberapa bahkan menawarkan bantuan jika saya membutuhkan sesuatu. Saya merasa diterima dengan tangan terbuka, jauh dari bayangan awal yang membuat saya khawatir.

“Selamat datang, Bu! Semoga betah di sini,” ucap Bu Ning sambil menyodorkan makanan kecil.. Kehangatan mereka membuat rasa canggung yang tersisa perlahan menghilang. Hari itu, saya mulai percaya bahwa saya tidak sendirian. Meski baru sehari, saya sudah merasa menjadi bagian dari keluarga besar SMPN 3 Cepu.

Kemudian beralih ke ruang Kepala Sekolah, rasa gugup saya masih tersisa. Namun, kepala sekolah menyambut saya dengan ramah. Dalam percakapan singkat kami, beliau memberikan nasihat yang sangat berarti. “Ibu tidak perlu minder, meskipun berasal dari sekolah pinggiran,” ucap beliau sambil tersenyum. “Setiap guru punya kelebihan dan caranya sendiri untuk berkontribusi di sekolah ini.”

Kata-kata itu menyentuh hati saya. Rasa ragu yang sempat hadir perlahan sirna. Kepala sekolah tidak hanya memberikan saran, tetapi juga meyakinkan bahwa saya layak berada di sini, bersama para pendidik lainnya. Percakapan itu meninggalkan jejak kebahagiaan kecil di hati saya, seperti pelita yang mulai menyala terang.

Di tengah kebahagiaan itu, ada sedikit rasa haru yang tiba-tiba menyeruak. Ketika membuka ponsel di sela waktu istirahat, saya menerima pesan dari teman-teman dan siswa di SMPN 1 Kedungtuban. Beberapa pesan berisi harapan agar saya sukses di tempat baru, sementara yang lain mengungkapkan rasa rindu mereka kepada saya.

Salah satu pesan dari seorang siswa berbunyi, “Bu, kami di sini merindukan Ibu. Terima kasih atas bimbingannya selama ini.” Membaca itu, tak terasa mata saya mulai berkaca-kaca. Ada rasa cengeng yang muncul, namun juga bahagia. Siswa-siswa yang pernah saya ajar ternyata begitu menghargai keberadaan saya. Kenangan bersama mereka terputar kembali di benak, seperti film pendek yang menyentuh hati.

Saya mencoba menyeka air mata sebelum kembali ke kelas. Meskipun hati ini masih merasa rindu, saya sadar bahwa setiap perjalanan memiliki tujuannya masing-masing. Hari pertama di sekolah baru ini adalah awal dari babak baru dalam hidup saya.

Hari itu berakhir dengan perasaan syukur yang mendalam. Meski ada tantangan yang menanti di depan, saya merasa lebih siap untuk menghadapinya. Kepala sekolah yang bijak, teman-teman guru yang ramah, serta siswa-siswa yang penuh semangat menjadi alasan saya untuk terus maju.

Dengan penuh keyakinan, saya menutup hari pertama ini dengan senyuman. Hari ini menjadi bukti bahwa perubahan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Justru, ia adalah kesempatan untuk menemukan makna baru dalam hidup. Saya percaya, perjalanan ini akan membawa banyak kebahagiaan, pelajaran, dan kesempatan untuk menjadi pendidik yang lebih baik. Aamiin

Cepu, 6 Januari 2024

 

 


Setelah Kutinggalkan Grup Whatshap

Karya: Gutamining Saida 

Setelah beberapa hari yang penuh dengan kejutan, aku masih mencoba menenangkan hati. Aku baru saja keluar dari grup WhatsApp SMPN 1 Kedungtuban, sekolah yang telah menjadi rumah keduaku selama beberapa waktu. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah. Bagaimanapun, tempat itu telah memberiku begitu banyak kenangan, baik suka maupun duka.

Ketika aku mengetikkan kata-kata pamitan di grup sebelum keluar, hatiku diliputi berbagai perasaan. Aku berusaha menyusun kata-kata terbaik, mengucapkan terima kasih atas kebersamaan yang pernah ada, dan memohon maaf atas segala kekurangan. Namun, ketika pesan itu terkirim dan aku akhirnya keluar dari grup.

Ada rasa hampa yang sulit dijelaskan. Mungkin seperti yang pernah kualami. Aku tidak bisa dan tidak ingin tahu komentar teman-teman. Aku ingat, ketika mendengar berita mutasi rekan kerja lain sebelumnya, aku juga tidak segera memberikan tanggapan karena tidak tahu harus berkata apa. Kali ini, aku berada di posisi yang sama, hanya sebagai pihak yang pergi.

Sejujurnya, aku tidak menyangka mutasi ini akan terjadi secepat ini. Proses pengusulan yang sempat terkendala karena adanya Pilkada membuatku sempat kehilangan harapan. Aku berpikir usulanku akan tertunda hingga waktu yang tidak ditentukan, bahkan sampai tahun ajaran baru 2025. Aku pun tidak mempersiapkan mental untuk meninggalkan SMPN 1 Kedungtuban secepat ini.

Ketika kabar itu akhirnya datang, aku berusaha menerima. Dalam hati, aku berkata pada diri sendiri untuk ikhlas. Mungkin ini adalah bagian dari rencana Allah SubhanahuWata’alla yang lebih baik. Meski berat, aku tahu bahwa waktu selalu berjalan, dan aku harus melangkah maju.

Beberapa saat setelah keluar dari grup, salah seorang teman dekatku mengirim pesan pribadi. Ia memberitahuku bahwa beberapa teman sebenarnya ingin memberikan komentar di grup, tetapi mungkin merasa bingung atau tidak tahu harus berkata apa. Aku mencoba memahami itu.

Aku membalas pesan tersebut dengan tenang, meyakinkannya bahwa aku tidak menyimpan perasaan negatif. Aku tahu, situasi seperti ini selalu menghadirkan berbagai emosi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Setelah percakapan itu, perasaan hampa tetap ada. Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan melakukan hal lain, tetapi pikiranku terus melayang ke kenangan di SMPN 1 Kedungtuban.

Setelah bangun tidur, aku membuka ponsel untuk memeriksa pesan. Di grup sekolah baru, tidak ada chat baru. Ada chat pribadi beberapa yang masuk. Dengan rasa penasaran, aku mulai membuka dan membacanya. Chat dari waka kesiswaan kucoba buka dan baca.

Hanya dalam beberapa detik, mataku mulai berkaca-kaca. Kata-kata yang dituliskan itu begitu menyesakkan. Air mata mulai menetes. Aku mencoba menghentikan diri untuk tidak terlalu larut dalam emosi, tetapi semakin aku membaca, semakin deras air mata itu mengalir. Tidak kubaca aku penasaran sampai titik terakhir. Sebuah dilemma. Aku mohon maaf bila tak bisa membalas chat dengan Panjang lebar. Maafkan aku kawan, kuucapkan dalam hati. Ada rasa syukur yang kuterima, tetapi di sisi lain ada perasaan kehilangan yang sulit dilukiskan.

Kenangan di SMPN 1 Kedungtuban kembali membanjiri pikiranku. Teman-teman yang sudah seperti keluarga, siswa-siswa yang selalu memberikan warna dalam hari-hariku, hingga momen-momen kecil yang selama ini mungkin terlihat biasa tetapi ternyata sangat berarti.

Aku mencoba menenangkan diri. Aku berkata pada diri sendiri bahwa ini adalah jalan yang telah Allah Subhanahu Wata’alla tentukan. Aku harus kuat. Rasa penasaran membawaku kembali membaca chat yang belum selesai. Setiap kata terasa menusuk hati, mengingatkanku pada dua dunia yang kini berbeda. Yaitu dunia lama yang harus kutinggalkan, dan dunia baru yang harus kupijaki.

Aku masih merasakan kehilangan yang begitu besar. Aku hanya bisa berharap, teman-teman di SMPN 1 Kedungtuban tidak merasakan kehilangan yang sama seperti yang aku rasakan. Aku sadar, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Namun, perpisahan ini terasa begitu tiba-tiba, bahkan sebelum aku sempat benar-benar mempersiapkan hati. Dalam hati, aku memohon maaf kepada teman-teman jika kepergianku ini meninggalkan kesan yang tidak diharapkan.

Aku percaya bahwa semua ini adalah bagian dari takdir Allah Subhanahu Wata’alla yang harus kujalani. Meski tak sesuai harapan, aku yakin bahwa rencana-Nya selalu lebih indah dari apa yang mampu kupikirkan. Aku berdoa agar teman-temanku di SMPN 1 Kedungtuban selalu dalam lindungan Allah, diberikan kesehatan, keberkahan, dan kebahagiaan. Aku juga berdoa agar aku mampu menjalani tugas baru ini dengan baik, membawa manfaat bagi siswa-siswa dan lingkungan yang baru.

Perjalanan ini memang berat, tetapi aku percaya setiap langkah yang diiringi doa dan keikhlasan akan membawa kebaikan di akhir cerita. Semoga kita semua selalu diberikan kekuatan untuk menerima setiap takdir dengan hati yang lapang. Aamiin

Cepu, 6 Januari 2025

 


Minggu, 05 Januari 2025

Semangat Baru

 Karya: Gutamining Saida

Mentari bersinar lembut, membangkitkan semangatku untuk memulai hari. Hari Minggu ini terasa berbeda. Meskipun tidak ada aktivitas besar seperti pergi ke pasar atau menghadiri pertemuan keluarga, ada getaran baru dalam hatiku. Aku mempersiapkan mental untuk bergabung dengan keluarga baru di SMPN 3 Cepu. Perasaan bercampur antara gugup, semangat dan harapan memenuhi pikiranku.

Sejak pagi, aku memanfaatkan waktu untuk merenung, berdoa dan merencanakan langkah-langkah ke depan. Aku yakin, Allah Subhanahu Wata’alla selalu memberikan jalan terbaik bagi hamba-Nya yang berserah dan berusaha. Bergabung dengan sekolah baru ini adalah babak baru dalam perjalanan hidupku. Meski aku berasal dari sekolah di pinggiran, dekat hutan, aku percaya bahwa setiap pengalaman membawa pelajaran dan keberkahan tersendiri.

Tepat pukul 15.30 WIB, ponselku berdering. Sebuah pesan masuk dari Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum. Dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya, aku membuka pesan itu. "Ada perubahan jadwal mengajar," demikian isi pesannya. Seketika, pikiranku dipenuhi berbagai kemungkinan. Perubahan ini tentu memerlukan penyesuaian, tetapi aku tahu bahwa perjalanan ini adalah bagian dari rencana Allah Subhanahu Wata’alla yang lebih besar.

Tanpa ragu, aku mengucap syukur di dalam hati. Setiap perubahan baik atau buruk, selalu mengandung hikmah. Aku yakin bahwa Allah  Subhanahu Wata’alla tidak pernah memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. Dengan pikiran positif, aku membaca ulang pesan itu, mencoba memahami detailnya dengan lebih baik.

Sambil merenungkan pesan tersebut, aku teringat akan bekalku yaitu rasa syukur. Syukur adalah kunci kebahagiaan. Syukur membuatku melihat segala sesuatu dengan perspektif yang lebih cerah. Aku menenangkan diriku, mengingatkan hati bahwa segala sesuatu pasti bisa diatasi jika kita menjalaninya dengan ikhlas dan doa.

“Bismillah,” gumamku pelan, sambil menghela napas panjang. Dengan ucapan itu, aku memantapkan hati untuk menerima perubahan ini dengan lapang dada. Aku percaya, setiap langkah yang diawali dengan niat baik dan doa pasti akan membawa keberkahan.

Salah satu hal yang membuatku bersyukur adalah jarak sekolah baru ini yang dekat dengan rumah. Tidak seperti sebelumnya, di mana aku harus menempuh perjalanan panjang, kali ini aku merasa lebih ringan. Dengan jarak yang dekat, aku berharap bisa memanfaatkan waktu lebih baik untuk mempersiapkan materi ajar, mengevaluasi pekerjaan siswa, atau bahkan sekadar mengisi energi dengan istirahat yang cukup.

Namun, jarak dekat bukanlah alasan untuk bersantai. Justru ini adalah kesempatan untuk berbuat lebih baik. Aku harus lebih semangat, lebih giat dan lebih kreatif. Tanggung jawab sebagai seorang pendidik bukanlah hal yang ringan. Mendidik adalah tentang membentuk karakter, bukan sekadar menyampaikan pelajaran.

Aku berjanji pada diriku sendiri untuk memberikan yang terbaik bagi siswa-siswaku. Meskipun aku masih harus beradaptasi dengan lingkungan baru, aku yakin proses ini akan berjalan lancar. Aku percaya, setiap tantangan akan memberikan pelajaran berharga.

Aku yakin, kebahagiaan bukan berasal dari apa yang kita miliki, melainkan dari rasa syukur atas apa yang telah Allah Subhanahu Wata’alla titipkan. Dengan bersyukur, aku merasa lebih ringan menjalani hidup. Tidak ada beban yang terlalu berat, tidak ada masalah yang terlalu rumit. Semua terasa lebih mudah ketika hati dipenuhi rasa syukur.

Aku tersenyum, membayangkan hari-hari yang akan datang. Dengan semangat dan doa, aku siap menyongsong babak baru ini. Aku tahu, perjalanan ini tidak akan selalu mulus. Akan ada tantangan, kesulitan, bahkan mungkin kekecewaan. Tetapi aku percaya, semua itu adalah bagian dari proses menuju keberhasilan.

Aku menyadari, hidup ini adalah perjalanan yang penuh kejutan. Terkadang kita tidak tahu apa yang ada di depan, tetapi dengan bekal keyakinan, kita bisa menghadapi apa pun dengan lebih baik. Aku berharap, perjalanan di SMPN 3 Cepu ini akan membawa keberkahan tidak hanya bagiku, tetapi juga bagi siswa-siswaku. Aku ingin menjadi guru yang tidak hanya mengajar, tetapi juga menginspirasi. Guru yang mampu melihat potensi siswa, membimbing mereka, dan membantu mereka meraih mimpi.

Dengan ucapan bismillah, aku menutup hari itu. Aku merasa siap untuk menghadapi hari esok dengan semangat baru. Dengan jarak yang dekat, aku tidak hanya ingin lebih semangat, tetapi juga ingin memberikan dampak positif yang lebih besar. Aku percaya, hasilnya pasti akan lebih baik.

Dengan penuh harapan. Aku yakin, dengan bekal syukur, doa, dan usaha, aku bisa melewati hari-hari ke depan dengan bahagia. Terima kasih Ya Allah, atas segala nikmat yang telah Engkau berikan. Aamiin.

Cepu, 5 Januari 2025

 

 

 


Sabtu, 04 Januari 2025

Tangis di Hari Sabtu

 Karya: Gutamining Saida

Hari itu Sabtu yang terasa berbeda. Langkah kakiku terasa berat ketika menuju kelas 9C. Ada perasaan ganjil di hati, campuran antara kesedihan dan keraguan. Ruangan itu masih seperti biasanya, tapi suasana di dalamnya terasa lebih hidup karena anak-anak baru saja kembali dari liburan panjang. Mereka santai duduk di bangku berkelompok, ada yang asyik mengobrol, tertawa lepas, dan beberapa tampak sibuk dengan ponsel mereka.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Saat sampai di depan pintu, semua aktivitas mereka sejenak terhenti, menoleh ke arahku. Aku mencoba tersenyum, meskipun hatiku penuh dengan rasa yang sulit kuungkapkan.

"Ayo, Bu Saida minta waktu satu menit saja," ucapku singkat dengan nada setenang mungkin. Anak-anak tampak saling memandang, sebagian dari mereka terlihat bingung, sebagian lagi penasaran. "Duduk mendekat saja, ya," lanjutku sambil melambaikan tangan, mengisyaratkan mereka untuk lebih dekat. Suara seorang siswa memecah keheningan.

"Bu, itu masih ada yang di luar."

"Iya, boleh dipanggil," jawabku sambil tersenyum kecil.

Perlahan, mereka mulai berkumpul. Sebagian duduk di depanku, ada yang di samping, bahkan beberapa memilih duduk tepat di sebelahku. Yang laki-laki duduk di barisan belakang. Mereka tampak serius, menunggu apa yang akan aku sampaikan. Aku tahu, di balik ekspresi penasaran mereka, ada kehangatan dan perhatian yang tulus. Namun, lidahku seperti terkunci. Kata-kata yang sudah kupersiapkan seolah lenyap begitu saja. Hatiku memberontak, ingin berbicara, tetapi bibirku hanya mampu mengeluarkan sedikit kalimat.

"Anak-anak, Bu Saida mau pamit," akhirnya aku berkata, namun suara itu hampir seperti bisikan. Mataku mulai memanas. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya tumpah, mengalir tanpa bisa kuhentikan. Reaksi mereka sungguh tak terduga. Ada yang terdiam membeku, ada yang menjerit pelan, dan beberapa bahkan tampak tak percaya dengan apa yang baru saja didengar.

"Bu, serius? Kok mendadak banget?" tanya seorang siswi dengan nada setengah berteriak.

Aku hanya mengangguk pelan sambil mencoba menenangkan diriku. Namun, suasana di ruangan itu semakin larut dalam kesedihan. Ketika sudah selesai menyampaikan maksudku, aku bangkit berdiri, mendekati mereka satu per satu untuk bersalaman. Tanganku gemetar saat menjabat tangan mereka. Aku berusaha memberikan senyuman, meskipun dalam hati terasa perih yang mendalam.

Tiba-tiba, pintu kelas terbuka. Seorang guru masuk dengan ekspresi serius.

"Ayo, segera bersih-bersih! Jangan gerombol saja di sini," serunya dengan nada tegas.

Ucapannya seperti pukulan yang menyakitkan. Anak-anak yang tadinya berkumpul terdiam, menoleh ke arahku dengan ekspresi kecewa. Aku berusaha tetap tenang, meskipun dalam hati terasa remuk.

"Ayo, bubar, bubar. Itu ada perintah bersih-bersih," kataku sambil berjalan perlahan ke kursi paling belakang. Aku mencoba menyelinap di antara kerumunan anak-anak, berharap tak terlalu mencolok terlihat aku di sana. Setelah anak-anak bubar dan akan melakukan bersih-bersih. Gurunya keluar setelah memastikan semuanya mematuhi perintahnya.

Namun, saat suasana sedikit mereda, terdengar suara lirih dari salah satu siswa. "Bu, boleh peluk?"

Aku berhenti sejenak, menoleh ke arah mereka. Ada sorot mata penuh harap di wajah mereka. Aku tidak bisa menolak. Tanpa berkata apa-apa, aku membuka tangan, dan seketika mereka berhamburan ke arahku. Pelukan itu menjadi pelukan terakhir yang begitu penuh makna. Tangis mereka pecah, membuat suasana menjadi semakin haru. Aku merasakan kehangatan dan rasa kehilangan yang begitu besar dari mereka.

Momen itu terasa abadi. Air mata kami bercampur, tetapi tidak ada kata yang mampu menggambarkan betapa berharganya kenangan ini. Aku memeluk mereka satu per satu, mencoba memberikan kekuatan meskipun hatiku sendiri terasa lemah. Anak-anak ini, dengan segala keunikan dan keceriaan mereka, telah memberikan warna dalam hidupku.

Ketika waktu beranjak, aku tahu bahwa perpisahan ini harus segera berakhir. Dengan berat hati, aku mengucapkan salam terakhirku. "Tetap semangat, ya. Bu Saida selalu mendoakan kalian," ucapku sambil melangkah keluar dari ruangan itu.

Sabtu yang terasa sedih. Langit di luar tampak mendung, seolah ikut merasakan apa yang aku rasakan. Namun, aku tahu bahwa setiap perpisahan adalah awal dari perjalanan baru, baik untukku maupun untuk mereka. Aku melangkah pergi, membawa kenangan indah ini sebagai bagian dari perjalanan hidupku. Sampai jumpa.

Cepu, 5 Januari 2025

 


Hari Sabtu Yang Menggetarkan Hati

 Karya: Gutamining Saida

Ketika SK mutasi yang telah lama kutunggu akhirnya tiba. Aku tak merasakan kegembiraan seperti yang kubayangkan sebelumnya. SK ini adalah hasil dari permintaanku sendiri. Sebuah keputusan yang kuambil dengan penuh pertimbangan, terutama karena alasan kesehatan. Aku tahu mutasi ini adalah jalan terbaik untuk diriku, tetapi hati kecilku tak bisa memungkiri bahwa perpisahan dengan tempat yang telah menjadi bagian hidupku bertahun-tahun kurang lebih delapan tahun ini adalah sesuatu yang begitu berat.

Sabtu pagi, aku memutuskan untuk datang ke sekolah. Rasanya ini adalah satu-satunya cara untuk mengungkapkan rasa terima kasihku kepada siswa-siswa yang telah memberiku banyak pelajaran tentang kesabaran, ketulusan, dan cinta tanpa syarat. Biasanya, aku adalah orang yang penuh semangat, cerewet, bahkan sering dianggap terlalu banyak bicara. Namun, pagi itu, semua terasa berbeda. Seperti ada beban tak terlihat yang menekan dadaku, membuat setiap langkahku terasa berat.

Saat tiba di sekolah, suasana seolah membawaku kembali ke hari-hari pertama mengajar di sini. Setiap sudut ruangan, suara riuh siswa membawa kenangan yang begitu hidup. Aku mencoba tersenyum kepada beberapa guru yang kutemui, tetapi senyumku terasa kaku. Mereka menyambutku dengan hangat, namun aku hanya bisa membalas dengan anggukan kecil.

Aku memasuki kelas Sembilan yang kuajar. Kelas itu terasa begitu sunyi, padahal biasanya penuh dengan canda dan tawa. Anak-anak menyambutku dengan wajah ceria, tetapi aku bisa melihat kebingungan di mata mereka. Mungkin mereka heran melihat gurunya yang biasanya penuh semangat, kini tampak begitu hening.

Aku mencoba berbicara. "Anak-anak..." ucapanku tercekat. Tenggorokanku seperti terhimpit, tak bisa mengeluarkan kata-kata. Aku menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang. Tetapi usahaku sia-sia. Setetes air mata jatuh, lalu disusul yang lainnya. Aku mengusapnya cepat-cepat, berharap siswa-siswa tak menyadarinya, tetapi mereka tentu saja melihat. Salah satu dari mereka bertanya dengan nada khawatir, "Bu Saida kenapa?"

Pertanyaan sederhana itu justru membuat air mataku semakin deras. Aku menggeleng, mencoba tersenyum meski bibirku gemetar. "Ibu baik-baik saja. Ibu hanya ingin pamit," kataku dengan suara bergetar. Anak-anak terdiam, beberapa dari mereka mulai ikut menunduk. Mungkin mereka juga merasa berat melepas kepergianku.

Aku berusaha melanjutkan, "Mulai hari Senin bu Saida pindah ke sekolah lain. Ini bukan karena Ibu tidak suka di sini, tapi karena Ibu harus menjaga kesehatan." Kata-kataku terputus-putus, seperti setiap kalimat yang keluar justru menyayat hatiku lebih dalam. Aku ingin menjelaskan lebih panjang, tapi rasanya terlalu sulit.

Sebelum meninggalkan kelas, aku meminta mereka untuk terus belajar dengan giat, menghormati guru, dan rajin ibadah. Beberapa siswa mulai menangis, membuat suasana semakin haru. Aku merasa seperti meninggalkan bagian dari diriku sendiri di kelas itu.

Setelah selesai bertemu dengan siswa, aku pergi ke ruang guru. Di sana, aku mencoba minta pamit dan minta maaf teman sejawatku. Biasanya, aku adalah orang yang pandai merangkai kata, tetapi kali ini, mulutku gemetar. Setiap kata yang kuucap terasa seperti duri yang menusuk. Aku berkata singkat, hanya beberapa ucapan maaf , berbeda dengan teman-temanku yang sebelumnya berpamitan dengan pesan panjang lebar. Aku tahu mereka pasti akan mengerti, tetapi aku tetap merasa tak puas. Bukan karena ucapan itu kurang bermakna, tetapi karena aku mengucap dengan air mata yang terus mengalir.

Aku merasa tubuhku begitu lelah bukan karena fisik, tetapi karena perasaan yang campur aduk. Aku tak pernah menyangka bahwa perpisahan ini akan begitu sulit. Aku bertanya pada diriku sendiri, "Kenapa aku menangis? Kenapa aku jadi cengeng seperti ini?" Namun, aku tak bisa menemukan jawabannya.

Mungkin aku menangis karena kenangan indah yang kutinggalkan. Mungkin juga karena ikatan emosional yang telah terjalin selama ini. Atau mungkin karena aku tahu bahwa perpisahan ini bukanlah akhir, tetapi awal dari babak baru yang penuh ketidakpastian.

Hari itu, aku pulang dengan hati yang berat tetapi juga penuh rasa syukur. Meski air mata terus mengalir, aku tahu bahwa setiap tetesnya adalah bukti dari betapa berharganya tempat ini bagiku. Mutasi ini adalah pilihanku, tetapi cinta terhadap sekolah ini adalah sesuatu yang tak pernah bisa aku lepaskan. Dan meskipun aku pergi, kenangan ini akan selalu melekat, menjadi bagian dari diriku selamanya. Maafkan aku anak-anakku dan maafkan teman-teman. Semoga kita tetap dihati dan masih ada waktu untuk Bersama. Aamiin.

Cepu, 5 Januari 2025