Karya: Gutamining Saida
Hari itu Sabtu yang terasa
berbeda. Langkah kakiku terasa berat ketika menuju kelas 9C. Ada perasaan
ganjil di hati, campuran antara kesedihan dan keraguan. Ruangan itu masih
seperti biasanya, tapi suasana di dalamnya terasa lebih hidup karena anak-anak
baru saja kembali dari liburan panjang. Mereka santai duduk di bangku berkelompok, ada yang asyik mengobrol, tertawa lepas, dan beberapa tampak
sibuk dengan ponsel mereka.
Aku menarik napas dalam-dalam
sebelum melangkah masuk. Saat sampai di depan pintu, semua aktivitas mereka sejenak
terhenti, menoleh ke arahku. Aku mencoba tersenyum, meskipun hatiku penuh
dengan rasa yang sulit kuungkapkan.
"Ayo, Bu Saida minta waktu satu menit saja," ucapku singkat dengan nada setenang mungkin. Anak-anak tampak saling memandang, sebagian dari mereka terlihat bingung, sebagian lagi penasaran. "Duduk mendekat saja, ya," lanjutku sambil melambaikan tangan, mengisyaratkan mereka untuk lebih dekat. Suara seorang siswa memecah keheningan.
"Bu, itu masih ada yang di
luar."
"Iya, boleh dipanggil,"
jawabku sambil tersenyum kecil.
Perlahan, mereka mulai berkumpul.
Sebagian duduk di depanku, ada yang di samping, bahkan beberapa memilih duduk
tepat di sebelahku. Yang laki-laki duduk di barisan belakang. Mereka tampak serius, menunggu apa yang akan aku sampaikan.
Aku tahu, di balik ekspresi penasaran mereka, ada kehangatan dan perhatian yang
tulus. Namun, lidahku seperti terkunci. Kata-kata yang sudah kupersiapkan
seolah lenyap begitu saja. Hatiku memberontak, ingin berbicara, tetapi bibirku
hanya mampu mengeluarkan sedikit kalimat.
"Anak-anak, Bu Saida mau
pamit," akhirnya aku berkata, namun suara itu hampir seperti bisikan.
Mataku mulai memanas. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya tumpah,
mengalir tanpa bisa kuhentikan. Reaksi mereka sungguh tak terduga. Ada yang terdiam
membeku, ada yang menjerit pelan, dan beberapa bahkan tampak tak percaya dengan
apa yang baru saja didengar.
"Bu, serius? Kok mendadak
banget?" tanya seorang siswi dengan nada setengah berteriak.
Aku hanya mengangguk pelan sambil
mencoba menenangkan diriku. Namun, suasana di ruangan itu semakin larut dalam
kesedihan. Ketika sudah selesai menyampaikan maksudku, aku bangkit berdiri,
mendekati mereka satu per satu untuk bersalaman. Tanganku gemetar saat menjabat
tangan mereka. Aku berusaha memberikan senyuman, meskipun dalam hati terasa
perih yang mendalam.
Tiba-tiba, pintu kelas terbuka.
Seorang guru masuk dengan ekspresi serius.
"Ayo, segera bersih-bersih!
Jangan gerombol saja di sini," serunya dengan nada tegas.
Ucapannya seperti pukulan yang
menyakitkan. Anak-anak yang tadinya berkumpul terdiam, menoleh ke arahku dengan
ekspresi kecewa. Aku berusaha tetap tenang, meskipun dalam hati terasa remuk.
"Ayo, bubar, bubar. Itu ada
perintah bersih-bersih," kataku sambil berjalan perlahan ke kursi paling belakang. Aku mencoba menyelinap di antara kerumunan anak-anak, berharap tak
terlalu mencolok terlihat aku di sana. Setelah anak-anak bubar dan akan melakukan bersih-bersih. Gurunya keluar setelah memastikan semuanya
mematuhi perintahnya.
Namun, saat suasana sedikit mereda, terdengar suara lirih dari salah satu siswa. "Bu, boleh peluk?"
Aku berhenti sejenak, menoleh ke
arah mereka. Ada sorot mata penuh harap di wajah mereka. Aku tidak bisa
menolak. Tanpa berkata apa-apa, aku membuka tangan, dan seketika mereka
berhamburan ke arahku. Pelukan itu menjadi pelukan terakhir yang begitu penuh
makna. Tangis mereka pecah, membuat suasana menjadi semakin haru. Aku merasakan
kehangatan dan rasa kehilangan yang begitu besar dari mereka.
Momen itu terasa abadi. Air mata
kami bercampur, tetapi tidak ada kata yang mampu menggambarkan betapa
berharganya kenangan ini. Aku memeluk mereka satu per satu, mencoba memberikan
kekuatan meskipun hatiku sendiri terasa lemah. Anak-anak ini, dengan segala
keunikan dan keceriaan mereka, telah memberikan warna dalam hidupku.
Ketika waktu beranjak, aku tahu
bahwa perpisahan ini harus segera berakhir. Dengan berat hati, aku mengucapkan
salam terakhirku. "Tetap semangat, ya. Bu Saida selalu mendoakan
kalian," ucapku sambil melangkah keluar dari ruangan itu.
Sabtu yang terasa sedih. Langit
di luar tampak mendung, seolah ikut merasakan apa yang aku rasakan. Namun, aku
tahu bahwa setiap perpisahan adalah awal dari perjalanan baru, baik untukku
maupun untuk mereka. Aku melangkah pergi, membawa kenangan indah ini sebagai
bagian dari perjalanan hidupku. Sampai jumpa.
Cepu, 5 Januari 2025
see you back bu saida, semoga disana bu saida sehat selalu, dilancarkan rejekinya dan selalu di beri kesehatan olh allah SWT.
BalasHapusjangan lupakan kita ya bu
sayang bu saida banya²🥰💗
Terimakasih, tetap semangat. Saya selalu dihatimu. Aamiin
BalasHapus