Sabtu, 04 Januari 2025

Tangis di Hari Sabtu

 Karya: Gutamining Saida

Hari itu Sabtu yang terasa berbeda. Langkah kakiku terasa berat ketika menuju kelas 9C. Ada perasaan ganjil di hati, campuran antara kesedihan dan keraguan. Ruangan itu masih seperti biasanya, tapi suasana di dalamnya terasa lebih hidup karena anak-anak baru saja kembali dari liburan panjang. Mereka santai duduk di bangku berkelompok, ada yang asyik mengobrol, tertawa lepas, dan beberapa tampak sibuk dengan ponsel mereka.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Saat sampai di depan pintu, semua aktivitas mereka sejenak terhenti, menoleh ke arahku. Aku mencoba tersenyum, meskipun hatiku penuh dengan rasa yang sulit kuungkapkan.

"Ayo, Bu Saida minta waktu satu menit saja," ucapku singkat dengan nada setenang mungkin. Anak-anak tampak saling memandang, sebagian dari mereka terlihat bingung, sebagian lagi penasaran. "Duduk mendekat saja, ya," lanjutku sambil melambaikan tangan, mengisyaratkan mereka untuk lebih dekat. Suara seorang siswa memecah keheningan.

"Bu, itu masih ada yang di luar."

"Iya, boleh dipanggil," jawabku sambil tersenyum kecil.

Perlahan, mereka mulai berkumpul. Sebagian duduk di depanku, ada yang di samping, bahkan beberapa memilih duduk tepat di sebelahku. Yang laki-laki duduk di barisan belakang. Mereka tampak serius, menunggu apa yang akan aku sampaikan. Aku tahu, di balik ekspresi penasaran mereka, ada kehangatan dan perhatian yang tulus. Namun, lidahku seperti terkunci. Kata-kata yang sudah kupersiapkan seolah lenyap begitu saja. Hatiku memberontak, ingin berbicara, tetapi bibirku hanya mampu mengeluarkan sedikit kalimat.

"Anak-anak, Bu Saida mau pamit," akhirnya aku berkata, namun suara itu hampir seperti bisikan. Mataku mulai memanas. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya tumpah, mengalir tanpa bisa kuhentikan. Reaksi mereka sungguh tak terduga. Ada yang terdiam membeku, ada yang menjerit pelan, dan beberapa bahkan tampak tak percaya dengan apa yang baru saja didengar.

"Bu, serius? Kok mendadak banget?" tanya seorang siswi dengan nada setengah berteriak.

Aku hanya mengangguk pelan sambil mencoba menenangkan diriku. Namun, suasana di ruangan itu semakin larut dalam kesedihan. Ketika sudah selesai menyampaikan maksudku, aku bangkit berdiri, mendekati mereka satu per satu untuk bersalaman. Tanganku gemetar saat menjabat tangan mereka. Aku berusaha memberikan senyuman, meskipun dalam hati terasa perih yang mendalam.

Tiba-tiba, pintu kelas terbuka. Seorang guru masuk dengan ekspresi serius.

"Ayo, segera bersih-bersih! Jangan gerombol saja di sini," serunya dengan nada tegas.

Ucapannya seperti pukulan yang menyakitkan. Anak-anak yang tadinya berkumpul terdiam, menoleh ke arahku dengan ekspresi kecewa. Aku berusaha tetap tenang, meskipun dalam hati terasa remuk.

"Ayo, bubar, bubar. Itu ada perintah bersih-bersih," kataku sambil berjalan perlahan ke kursi paling belakang. Aku mencoba menyelinap di antara kerumunan anak-anak, berharap tak terlalu mencolok terlihat aku di sana. Setelah anak-anak bubar dan akan melakukan bersih-bersih. Gurunya keluar setelah memastikan semuanya mematuhi perintahnya.

Namun, saat suasana sedikit mereda, terdengar suara lirih dari salah satu siswa. "Bu, boleh peluk?"

Aku berhenti sejenak, menoleh ke arah mereka. Ada sorot mata penuh harap di wajah mereka. Aku tidak bisa menolak. Tanpa berkata apa-apa, aku membuka tangan, dan seketika mereka berhamburan ke arahku. Pelukan itu menjadi pelukan terakhir yang begitu penuh makna. Tangis mereka pecah, membuat suasana menjadi semakin haru. Aku merasakan kehangatan dan rasa kehilangan yang begitu besar dari mereka.

Momen itu terasa abadi. Air mata kami bercampur, tetapi tidak ada kata yang mampu menggambarkan betapa berharganya kenangan ini. Aku memeluk mereka satu per satu, mencoba memberikan kekuatan meskipun hatiku sendiri terasa lemah. Anak-anak ini, dengan segala keunikan dan keceriaan mereka, telah memberikan warna dalam hidupku.

Ketika waktu beranjak, aku tahu bahwa perpisahan ini harus segera berakhir. Dengan berat hati, aku mengucapkan salam terakhirku. "Tetap semangat, ya. Bu Saida selalu mendoakan kalian," ucapku sambil melangkah keluar dari ruangan itu.

Sabtu yang terasa sedih. Langit di luar tampak mendung, seolah ikut merasakan apa yang aku rasakan. Namun, aku tahu bahwa setiap perpisahan adalah awal dari perjalanan baru, baik untukku maupun untuk mereka. Aku melangkah pergi, membawa kenangan indah ini sebagai bagian dari perjalanan hidupku. Sampai jumpa.

Cepu, 5 Januari 2025

 


2 komentar:

  1. see you back bu saida, semoga disana bu saida sehat selalu, dilancarkan rejekinya dan selalu di beri kesehatan olh allah SWT.
    jangan lupakan kita ya bu
    sayang bu saida banya²🥰💗

    BalasHapus
  2. Terimakasih, tetap semangat. Saya selalu dihatimu. Aamiin

    BalasHapus