Sabtu, 04 Januari 2025

Hari Sabtu Yang Menggetarkan Hati

 Karya: Gutamining Saida

Ketika SK mutasi yang telah lama kutunggu akhirnya tiba. Aku tak merasakan kegembiraan seperti yang kubayangkan sebelumnya. SK ini adalah hasil dari permintaanku sendiri. Sebuah keputusan yang kuambil dengan penuh pertimbangan, terutama karena alasan kesehatan. Aku tahu mutasi ini adalah jalan terbaik untuk diriku, tetapi hati kecilku tak bisa memungkiri bahwa perpisahan dengan tempat yang telah menjadi bagian hidupku bertahun-tahun kurang lebih delapan tahun ini adalah sesuatu yang begitu berat.

Sabtu pagi, aku memutuskan untuk datang ke sekolah. Rasanya ini adalah satu-satunya cara untuk mengungkapkan rasa terima kasihku kepada siswa-siswa yang telah memberiku banyak pelajaran tentang kesabaran, ketulusan, dan cinta tanpa syarat. Biasanya, aku adalah orang yang penuh semangat, cerewet, bahkan sering dianggap terlalu banyak bicara. Namun, pagi itu, semua terasa berbeda. Seperti ada beban tak terlihat yang menekan dadaku, membuat setiap langkahku terasa berat.

Saat tiba di sekolah, suasana seolah membawaku kembali ke hari-hari pertama mengajar di sini. Setiap sudut ruangan, suara riuh siswa membawa kenangan yang begitu hidup. Aku mencoba tersenyum kepada beberapa guru yang kutemui, tetapi senyumku terasa kaku. Mereka menyambutku dengan hangat, namun aku hanya bisa membalas dengan anggukan kecil.

Aku memasuki kelas Sembilan yang kuajar. Kelas itu terasa begitu sunyi, padahal biasanya penuh dengan canda dan tawa. Anak-anak menyambutku dengan wajah ceria, tetapi aku bisa melihat kebingungan di mata mereka. Mungkin mereka heran melihat gurunya yang biasanya penuh semangat, kini tampak begitu hening.

Aku mencoba berbicara. "Anak-anak..." ucapanku tercekat. Tenggorokanku seperti terhimpit, tak bisa mengeluarkan kata-kata. Aku menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang. Tetapi usahaku sia-sia. Setetes air mata jatuh, lalu disusul yang lainnya. Aku mengusapnya cepat-cepat, berharap siswa-siswa tak menyadarinya, tetapi mereka tentu saja melihat. Salah satu dari mereka bertanya dengan nada khawatir, "Bu Saida kenapa?"

Pertanyaan sederhana itu justru membuat air mataku semakin deras. Aku menggeleng, mencoba tersenyum meski bibirku gemetar. "Ibu baik-baik saja. Ibu hanya ingin pamit," kataku dengan suara bergetar. Anak-anak terdiam, beberapa dari mereka mulai ikut menunduk. Mungkin mereka juga merasa berat melepas kepergianku.

Aku berusaha melanjutkan, "Mulai hari Senin bu Saida pindah ke sekolah lain. Ini bukan karena Ibu tidak suka di sini, tapi karena Ibu harus menjaga kesehatan." Kata-kataku terputus-putus, seperti setiap kalimat yang keluar justru menyayat hatiku lebih dalam. Aku ingin menjelaskan lebih panjang, tapi rasanya terlalu sulit.

Sebelum meninggalkan kelas, aku meminta mereka untuk terus belajar dengan giat, menghormati guru, dan rajin ibadah. Beberapa siswa mulai menangis, membuat suasana semakin haru. Aku merasa seperti meninggalkan bagian dari diriku sendiri di kelas itu.

Setelah selesai bertemu dengan siswa, aku pergi ke ruang guru. Di sana, aku mencoba minta pamit dan minta maaf teman sejawatku. Biasanya, aku adalah orang yang pandai merangkai kata, tetapi kali ini, mulutku gemetar. Setiap kata yang kuucap terasa seperti duri yang menusuk. Aku berkata singkat, hanya beberapa ucapan maaf , berbeda dengan teman-temanku yang sebelumnya berpamitan dengan pesan panjang lebar. Aku tahu mereka pasti akan mengerti, tetapi aku tetap merasa tak puas. Bukan karena ucapan itu kurang bermakna, tetapi karena aku mengucap dengan air mata yang terus mengalir.

Aku merasa tubuhku begitu lelah bukan karena fisik, tetapi karena perasaan yang campur aduk. Aku tak pernah menyangka bahwa perpisahan ini akan begitu sulit. Aku bertanya pada diriku sendiri, "Kenapa aku menangis? Kenapa aku jadi cengeng seperti ini?" Namun, aku tak bisa menemukan jawabannya.

Mungkin aku menangis karena kenangan indah yang kutinggalkan. Mungkin juga karena ikatan emosional yang telah terjalin selama ini. Atau mungkin karena aku tahu bahwa perpisahan ini bukanlah akhir, tetapi awal dari babak baru yang penuh ketidakpastian.

Hari itu, aku pulang dengan hati yang berat tetapi juga penuh rasa syukur. Meski air mata terus mengalir, aku tahu bahwa setiap tetesnya adalah bukti dari betapa berharganya tempat ini bagiku. Mutasi ini adalah pilihanku, tetapi cinta terhadap sekolah ini adalah sesuatu yang tak pernah bisa aku lepaskan. Dan meskipun aku pergi, kenangan ini akan selalu melekat, menjadi bagian dari diriku selamanya. Maafkan aku anak-anakku dan maafkan teman-teman. Semoga kita tetap dihati dan masih ada waktu untuk Bersama. Aamiin.

Cepu, 5 Januari 2025

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar