Karya: Gutamining Saida
Ketika SK mutasi yang telah lama
kutunggu akhirnya tiba. Aku tak merasakan kegembiraan seperti yang kubayangkan
sebelumnya. SK ini adalah hasil dari permintaanku sendiri. Sebuah keputusan
yang kuambil dengan penuh pertimbangan, terutama karena alasan kesehatan. Aku
tahu mutasi ini adalah jalan terbaik untuk diriku, tetapi hati kecilku tak bisa
memungkiri bahwa perpisahan dengan tempat yang telah menjadi bagian hidupku
bertahun-tahun kurang lebih delapan tahun ini adalah sesuatu yang begitu berat.
Sabtu pagi, aku memutuskan untuk
datang ke sekolah. Rasanya ini adalah satu-satunya cara untuk mengungkapkan
rasa terima kasihku kepada siswa-siswa yang telah memberiku banyak pelajaran
tentang kesabaran, ketulusan, dan cinta tanpa syarat. Biasanya, aku adalah
orang yang penuh semangat, cerewet, bahkan sering dianggap terlalu banyak
bicara. Namun, pagi itu, semua terasa berbeda. Seperti ada beban tak terlihat
yang menekan dadaku, membuat setiap langkahku terasa berat.
Saat tiba di sekolah, suasana
seolah membawaku kembali ke hari-hari pertama mengajar di sini. Setiap sudut
ruangan, suara riuh siswa membawa kenangan yang begitu hidup. Aku mencoba
tersenyum kepada beberapa guru yang kutemui, tetapi senyumku terasa kaku.
Mereka menyambutku dengan hangat, namun aku hanya bisa membalas dengan anggukan
kecil.
Aku memasuki kelas Sembilan yang
kuajar. Kelas itu terasa begitu sunyi, padahal biasanya penuh dengan canda dan
tawa. Anak-anak menyambutku dengan wajah ceria, tetapi aku bisa melihat
kebingungan di mata mereka. Mungkin mereka heran melihat gurunya yang biasanya
penuh semangat, kini tampak begitu hening.
Aku mencoba berbicara.
"Anak-anak..." ucapanku tercekat. Tenggorokanku seperti terhimpit,
tak bisa mengeluarkan kata-kata. Aku menunduk, menahan air mata yang mulai
menggenang. Tetapi usahaku sia-sia. Setetes air mata jatuh, lalu disusul yang lainnya.
Aku mengusapnya cepat-cepat, berharap siswa-siswa tak menyadarinya, tetapi
mereka tentu saja melihat. Salah satu dari mereka bertanya dengan nada
khawatir, "Bu Saida kenapa?"
Pertanyaan sederhana itu justru
membuat air mataku semakin deras. Aku menggeleng, mencoba tersenyum meski
bibirku gemetar. "Ibu baik-baik saja. Ibu hanya ingin pamit," kataku
dengan suara bergetar. Anak-anak terdiam, beberapa dari mereka mulai ikut
menunduk. Mungkin mereka juga merasa berat melepas kepergianku.
Aku berusaha melanjutkan, "Mulai
hari Senin bu Saida pindah ke sekolah lain. Ini bukan karena Ibu tidak suka di
sini, tapi karena Ibu harus menjaga kesehatan." Kata-kataku
terputus-putus, seperti setiap kalimat yang keluar justru menyayat hatiku lebih
dalam. Aku ingin menjelaskan lebih panjang, tapi rasanya terlalu sulit.
Sebelum meninggalkan kelas, aku
meminta mereka untuk terus belajar dengan giat, menghormati guru, dan rajin
ibadah. Beberapa siswa mulai menangis, membuat suasana semakin haru. Aku merasa
seperti meninggalkan bagian dari diriku sendiri di kelas itu.
Setelah selesai bertemu dengan
siswa, aku pergi ke ruang guru. Di sana, aku mencoba minta pamit dan minta maaf
teman sejawatku. Biasanya, aku adalah orang yang pandai merangkai kata, tetapi
kali ini, mulutku gemetar. Setiap kata yang kuucap terasa seperti duri yang
menusuk. Aku berkata singkat, hanya beberapa ucapan maaf , berbeda dengan
teman-temanku yang sebelumnya berpamitan dengan pesan panjang lebar. Aku tahu
mereka pasti akan mengerti, tetapi aku tetap merasa tak puas. Bukan karena ucapan
itu kurang bermakna, tetapi karena aku mengucap dengan air mata yang terus
mengalir.
Aku merasa tubuhku begitu lelah bukan karena
fisik, tetapi karena perasaan yang campur aduk. Aku tak pernah menyangka bahwa
perpisahan ini akan begitu sulit. Aku bertanya pada diriku sendiri,
"Kenapa aku menangis? Kenapa aku jadi cengeng seperti ini?" Namun,
aku tak bisa menemukan jawabannya.
Mungkin aku menangis karena
kenangan indah yang kutinggalkan. Mungkin juga karena ikatan emosional yang
telah terjalin selama ini. Atau mungkin karena aku tahu bahwa perpisahan ini
bukanlah akhir, tetapi awal dari babak baru yang penuh ketidakpastian.
Hari itu, aku pulang dengan hati
yang berat tetapi juga penuh rasa syukur. Meski air mata terus mengalir, aku
tahu bahwa setiap tetesnya adalah bukti dari betapa berharganya tempat ini
bagiku. Mutasi ini adalah pilihanku, tetapi cinta terhadap sekolah ini adalah
sesuatu yang tak pernah bisa aku lepaskan. Dan meskipun aku pergi, kenangan ini
akan selalu melekat, menjadi bagian dari diriku selamanya. Maafkan aku anak-anakku
dan maafkan teman-teman. Semoga kita tetap dihati dan masih ada waktu untuk Bersama.
Aamiin.
Cepu, 5 Januari 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar