Sabtu, 04 Januari 2025

Kata Pamit Yang Tak Terucap

 Karya: Gutamining Saida

Minggu pagi yang redup, hatiku terasa begitu berat. Hari ini adalah hari yang tak bisa dihindari hari ketika aku harus mengucapkan perpisahan dengan grup whatshap sekolah SMPN 1 Kedungtuban. Aku sudah memutuskan untuk segera keluar grup. Senin besok aku akan mulai mengajar di sekolah yang baru. Ada perasaan haru, cemas, dan sedikit rasa bersalah dalam hatiku, karena alasan mutasi  aku tak bisa lagi menetap di grup yang sudah menjadi bagian hidupku selama ini.

Ketika membuka ponsel dan melihat grup whatshap sekolah, hati kecilku ingin segera keluar dari grup itu. Aku tahu ini adalah langkah yang tepat, karena aku harus tahu diri. Tidak mungkin aku tetap bergabung dalam percakapan mereka setelah aku tidak lagi menjadi bagian dari SMPN 1 Kedungtuban. Meskipun aku tahu ini adalah keputusan yang harus kuambil, kenyataan itu tak mudah untuk kuterima. Rasa berat itu membuatku ragu, dan aku tahu, sekali aku menekan tombol "keluar", segalanya akan berubah.

Aku duduk, jari-jariku mulai bergerak di layar ponsel, mencoba mengetik kalimat untuk pamit. Seperti biasa, aku bisa merangkai kata-kata dengan mudah.  Kali ini setiap kata terasa begitu berat. Aku menatap layar ponselku sejenak, kemudian mulai mengetik: "Assalamualaikum, saya ingin pamit..."

Begitu kalimat itu terucap, air mataku mulai merembes keluar tanpa bisa kutahan. Biasanya aku mudah tertawa, berbicara panjang lebar, dan mengungkapkan perasaan dengan kata-kata yang ringan. Tapi kali ini, entah mengapa, kata-kata terasa begitu sulit. Mengetikkan pesan ini bahkan lebih berat daripada yang kuperkirakan. Baru saja aku menulis satu kalimat, air mataku semakin deras. Kenapa harus sesedih ini? Aku merasa canggung, bingung, dan tak mampu menjelaskan mengapa perpisahan ini begitu menghantui hatiku.

Aku berhenti sejenak, mencoba menenangkan diri. Aku tahu bahwa mutasi ini adalah jalan yang terbaik untuk diriku. Aku harus menjaga kesehatan dan melanjutkan langkah hidupku di tempat baru. Kenapa perpisahan ini terasa begitu dalam? Kenapa setiap kalimat yang kutulis untuk pamitan membuatku semakin merasa kehilangan?

Lama aku menatap layar ponselku, jari-jariku gemetar. Bagaimana bisa aku mengatakan selamat tinggal dengan kata-kata yang indah seperti yang dilakukan oleh teman-teman yang sudah lebih dulu pindah? Mereka bisa menulis pesan panjang, mengungkapkan rasa terima kasih dan harapan, sementara aku, aku hanya bisa menulis kalimat singkat yang terasa kering dan hambar. "Mohon maaf, saya pamit keluar grup terimakasih semuanya," tulisku dengan singkat, tanpa bisa merangkai kata-kata lebih panjang.

Begitu aku menekan tombol kirim, aku merasakan hati yang kosong. Perpisahan ini sudah terjadi, tetapi aku tak bisa menghindari rasa cemas yang datang. Mengapa aku merasa seperti ini? Mengapa aku tak bisa mengucapkan perpisahan dengan kata-kata yang lebih baik, dengan lebih banyak harapan dan pesan? Aku mencoba menjawab pertanyaan itu dalam hati, tetapi tidak ada jawaban yang memuaskan. Aku hanya merasa bingung dengan diriku sendiri.

Sementara  di dalam grup, beberapa teman sudah mengirimkan pesan panjang lebar, mengungkapkan rasa terima kasih dan kenangan indah selama bekerja bersama. Mereka bisa menulis dengan lancar, dengan hati yang penuh semangat. Aku merasa seperti berbeda, seperti tak mampu mengikuti jejak mereka. Rasanya seperti ada yang hilang dalam diriku, sesuatu yang membuatku tidak bisa berbicara lebih banyak. Bahkan ketika mengetik, air mataku masih terus mengalir. Aku tak bisa menjelaskan perasaan ini, bahkan kepada diriku sendiri.

Aku merasa berat meninggalkan tempat yang sudah menjadi bagian dari hidupku, tempat yang penuh kenangan dan pengalaman berharga. Meskipun aku tahu bahwa keputusan ini adalah yang terbaik untukku, perpisahan tetap saja menyakitkan. Ada ikatan yang begitu dalam dengan sekolah ini, dengan teman-teman sejawat, dengan siswa-siswa yang sudah kuajarkan selama ini. Semua itu terasa seperti sebuah kenangan yang sulit dilepaskan.

Aku memutuskan untuk pergi ke luar rumah, bernafas sejenak, mencoba menenangkan perasaan yang semakin terhimpit. Namun, meskipun aku berjalan jauh, perasaan cemas dan bingung tetap menghantuiku. Kenapa aku tak bisa berkata dengan tegas dan jelas? Mengapa setiap perpisahan terasa begitu menyakitkan?

Aku tahu, perpisahan adalah bagian dari hidup. Aku juga tahu bahwa aku harus siap menghadapi langkah baru di sekolah yang baru. Tetapi, kenapa berat sekali? Semua kenangan itu akan tetap ada dalam hatiku, meskipun aku sudah pergi. Aku hanya berharap, semoga perpisahan ini bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari perjalanan yang lebih baik. Aamiin.

Cepu, 5 Januari 2025

 


2 komentar: