Minggu, 12 Januari 2025

Kajian Minggu Wage


Karya: Gutamining Saida

Selepas subuh, udara terasa segar menyapa. Langit masih gelap, tetapi cahaya remang-remang mulai terlihat di ufuk timur. Aku melangkahkan kaki menuju Masjid Al Mujahidin, mengikuti agenda kajian rutin minggu wage. Pukul 05.00 WIB, jalanan masih lengang. Langkahku perlahan tapi pasti. Ku  telelusuri jalan kecil yang sudah kuhafal lekuk-lekuknya. Dalam keheningan pagi itu, suara alunan musik hadroh dari masjid mulai terdengar samar-samar. Suara yang menenangkan hati, seakan memanggilku untuk segera sampai.

Ketika tiba di halaman masjid, suasana sudah ramai. Ibu-ibu dengan berbagai usia telah berdatangan. Ada yang membawa anak kecil, ada pula yang datang bersama teman-teman mereka. Senyuman hangat panitia menyambutku di pintu masuk. Satu paket sarapan diserahkan ke tanganku dengan penuh keramahan. Rasanya seperti sebuah hadiah kecil yang berarti besar. Sebuah tanda bahwa kami semua dihargai atas niat baik kami untuk menuntut ilmu di pagi yang penuh berkah ini.

Aku memilih duduk di salah satu sudut masjid. Tempat yang nyaman untuk bersandar ditembok. Dari sini, aku bisa melihat tarian sufi, hiburan hadroh berlangsung. Di tengah seorang penari sufi mulai meliukkan tubuhnya. Dia seorang muslimah dengan gaun putih yang anggun, berjilbab oranye. Tarian  tampak memancarkan kedamaian. Putaran tubuhnya yang anggun mengikuti irama hadroh membuat suasana masjid semakin khusyuk.  Seakan membawa kami semua dalam harmoni keindahan dan kebersahajaan.

Di dalam masjid, warna-warni jilbab dan gamis para jamaah menambah semarak suasana. Motif-motif cantik berpadu dengan senyum hangat menciptakan pemandangan yang begitu hidup. Anak-anak yatim dan duafa duduk di bagian depan, sebagian ditemani ibu-ibu yang sabar menenangkan mereka. Di bagian lain, nenek-nenek duduk bersandar sambil merapikan kerudung mereka. Semua berkumpul dengan satu tujuan yaitu menuntut ilmu sebagai bekal menuju akhirat.

Kajian pagi itu disampaikan oleh KH. Innama Muhsin, seorang ustaz dari kota Pati. Kajian ini diumumkan jauh-jauh hari. Aku ingat pengumuman itu disampaikan lewat musala, masjid dan media sosial. Tujuannya agar lebih banyak yang hadir. Beliau adalah teman salah satu pengurus masjid, yang dengan senang hati mengundangnya untuk berbagi ilmu. Kehadirannya menjadi daya tarik tersendiri bagi jamaah.

KH. Innama Muhsin memulai kajian dengan pesan penting: “Dekat-dekatlah dengan kyai. Orang yang dekat dengan kyai akan tertular kebaikannya, dan hidupnya akan memiliki nilai lebih.” Beliau mengibaratkan, seperti kerikil yang tercampur dengan beras atau kedelai. Kerikil yang awalnya tak bernilai akan memiliki harga mahal saat berada di antara yang berharga. Begitu pula manusia, akan mulia jika berada di lingkungan yang baik.

Beliau juga mengingatkan tentang keistimewaan bulan Rajab. “Rajab adalah bulan istimewa,” katanya. “Semoga kita tidak hanya dipertemukan dengan bulan Rajab di tahun-tahun berikutnya, tetapi juga diberikan kesehatan dan mampu meraih husnul khotimah.” Kata-katanya menusuk hati, membuatku merenung akan perjalanan waktu yang begitu cepat.

Di tengah kajian, suasana kembali semarak dengan penampilan tari sufi. Iringan hadroh mengiringi setiap gerakan sang penari, menciptakan harmoni yang memukau. Sesaat aku terhanyut dalam keindahan seni yang sederhana namun penuh makna. Suara alat musik berpadu dengan lantunan shalawat, membawa kami semua dalam suasana khusyuk yang berbeda.

Kemudian, KH. Innama Muhsin berbicara tentang kematian. “Kematian adalah peristiwa yang pasti terjadi pada semua makhluk. Bedanya hanya pada waktu dan caranya. Hari, tanggal, dan tahun yang berbeda untuk setiap kita,” katanya dengan nada lembut, tetapi tegas. Beliau mengingatkan bahwa tanda-tanda peringatan telah diberikan Tuhan kepada manusia. Contohnya seperti penglihatan yang mulai kabur, rambut semakin hari yang memutih, gigi mulai ompong. Semua itu adalah peringatan bahwa waktu kita di dunia ini terbatas.

Aku teringat saat-saat takziah, melihat mayat yang terbujur kaku. Pesan sang ustad terasa begitu nyata. “Sekarang kita memikul jenazah, besok kita yang akan dipikul. Sekarang kita mendoakan, besok kita yang didoakan. Sekarang kita menangis besok kita ditangisi. Kehidupan ini hanyalah giliran.” Hati kecilku tergugah, mengingatkan betapa pentingnya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.

Di akhir kajian, beliau menyampaikan pesan harapan. “Jadilah manusia yang bermanfaat, meski hanya sedikit yang bisa kita lakukan. Karena sekecil apa pun amal baik kita, itu akan menjadi tabungan di akhirat nanti.” Kata-katanya membuatku merasa bersyukur berada di sini pagi itu, mendengar nasihat yang begitu mendalam.

Pukul tujuh pagi kajian sudah selesai. suasana masjid mulai berangsur sepi. Satu per satu jamaah pulang ke rumah masing-masing. Aku melangkah pulang dengan hati yang lebih tenang. Langit sudah terang, mentari pagi menyapa lembut. Rasanya, kajian pagi ini bukan sekadar rutinitas. Ia adalah pengingat, penguat, dan penghibur hati di tengah hiruk-pikuk kehidupan.

Di perjalanan pulang, aku memikirkan kembali pesan-pesan sang ustad. Betapa pentingnya menghargai setiap detik yang kita miliki. Betapa berharganya menuntut ilmu, berkumpul dengan orang-orang baik, dan bersiap menghadapi hari yang pasti tiba. Aku merasa lebih dekat denganAllah Subhanahu Wata’alla, lebih dekat dengan tujuan hidup yang sesungguhnya.

Aku tiba di rumah dengan perasaan ringan. Suara hadroh masih terngiang di telinga, dan bayangan tari sufi masih terpatri di benak. Aku bersyukur telah melangkahkan kaki ke masjid pagi ini. Sebuah langkah kecil yang memberi dampak besar untuk jiwaku. Semoga bermanfaat.

Cepu, 12 Januari 2025

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar