Selepas subuh, udara terasa segar
menyapa. Langit masih gelap, tetapi cahaya remang-remang mulai terlihat di ufuk
timur. Aku melangkahkan kaki menuju Masjid Al Mujahidin, mengikuti agenda
kajian rutin minggu wage. Pukul 05.00 WIB, jalanan masih lengang. Langkahku
perlahan tapi pasti. Ku telelusuri jalan
kecil yang sudah kuhafal lekuk-lekuknya. Dalam keheningan pagi itu, suara
alunan musik hadroh dari masjid mulai terdengar samar-samar. Suara yang
menenangkan hati, seakan memanggilku untuk segera sampai.
Ketika tiba di halaman masjid,
suasana sudah ramai. Ibu-ibu dengan berbagai usia telah berdatangan. Ada yang
membawa anak kecil, ada pula yang datang bersama teman-teman mereka. Senyuman
hangat panitia menyambutku di pintu masuk. Satu paket sarapan diserahkan ke
tanganku dengan penuh keramahan. Rasanya seperti sebuah hadiah kecil yang
berarti besar. Sebuah tanda bahwa kami semua dihargai atas niat baik kami untuk
menuntut ilmu di pagi yang penuh berkah ini.
Aku memilih duduk di salah satu
sudut masjid. Tempat yang nyaman untuk bersandar ditembok. Dari sini, aku bisa
melihat tarian sufi, hiburan hadroh berlangsung. Di tengah seorang penari sufi
mulai meliukkan tubuhnya. Dia seorang muslimah dengan gaun putih yang anggun,
berjilbab oranye. Tarian tampak
memancarkan kedamaian. Putaran tubuhnya yang anggun mengikuti irama hadroh
membuat suasana masjid semakin khusyuk. Seakan
membawa kami semua dalam harmoni keindahan dan kebersahajaan.
Di dalam masjid, warna-warni
jilbab dan gamis para jamaah menambah semarak suasana. Motif-motif cantik
berpadu dengan senyum hangat menciptakan pemandangan yang begitu hidup.
Anak-anak yatim dan duafa duduk di bagian depan, sebagian ditemani ibu-ibu yang
sabar menenangkan mereka. Di bagian lain, nenek-nenek duduk bersandar sambil
merapikan kerudung mereka. Semua berkumpul dengan satu tujuan yaitu menuntut
ilmu sebagai bekal menuju akhirat.
Kajian pagi itu disampaikan oleh
KH. Innama Muhsin, seorang ustaz dari kota Pati. Kajian ini diumumkan jauh-jauh
hari. Aku ingat pengumuman itu disampaikan lewat musala, masjid dan media
sosial. Tujuannya agar lebih banyak yang hadir. Beliau adalah teman salah satu
pengurus masjid, yang dengan senang hati mengundangnya untuk berbagi ilmu.
Kehadirannya menjadi daya tarik tersendiri bagi jamaah.
KH. Innama Muhsin memulai kajian
dengan pesan penting: “Dekat-dekatlah dengan kyai. Orang yang dekat dengan
kyai akan tertular kebaikannya, dan hidupnya akan memiliki nilai lebih.”
Beliau mengibaratkan, seperti kerikil yang tercampur dengan beras atau kedelai.
Kerikil yang awalnya tak bernilai akan memiliki harga mahal saat berada di
antara yang berharga. Begitu pula manusia, akan mulia jika berada di lingkungan
yang baik.
Beliau juga mengingatkan tentang
keistimewaan bulan Rajab. “Rajab adalah bulan istimewa,” katanya. “Semoga
kita tidak hanya dipertemukan dengan bulan Rajab di tahun-tahun berikutnya,
tetapi juga diberikan kesehatan dan mampu meraih husnul khotimah.”
Kata-katanya menusuk hati, membuatku merenung akan perjalanan waktu yang begitu
cepat.
Di tengah kajian, suasana kembali
semarak dengan penampilan tari sufi. Iringan hadroh mengiringi setiap gerakan
sang penari, menciptakan harmoni yang memukau. Sesaat aku terhanyut dalam
keindahan seni yang sederhana namun penuh makna. Suara alat musik berpadu
dengan lantunan shalawat, membawa kami semua dalam suasana khusyuk yang
berbeda.
Kemudian, KH. Innama Muhsin
berbicara tentang kematian. “Kematian adalah peristiwa yang pasti terjadi
pada semua makhluk. Bedanya hanya pada waktu dan caranya. Hari, tanggal, dan
tahun yang berbeda untuk setiap kita,” katanya dengan nada lembut, tetapi
tegas. Beliau mengingatkan bahwa tanda-tanda peringatan telah diberikan Tuhan
kepada manusia. Contohnya seperti penglihatan yang mulai kabur, rambut semakin
hari yang memutih, gigi mulai ompong. Semua itu adalah peringatan bahwa waktu
kita di dunia ini terbatas.
Aku teringat saat-saat takziah,
melihat mayat yang terbujur kaku. Pesan sang ustad terasa begitu nyata. “Sekarang
kita memikul jenazah, besok kita yang akan dipikul. Sekarang kita mendoakan,
besok kita yang didoakan. Sekarang kita menangis besok kita ditangisi. Kehidupan
ini hanyalah giliran.” Hati kecilku tergugah, mengingatkan betapa
pentingnya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.
Di akhir kajian, beliau
menyampaikan pesan harapan. “Jadilah manusia yang bermanfaat, meski hanya
sedikit yang bisa kita lakukan. Karena sekecil apa pun amal baik kita, itu akan
menjadi tabungan di akhirat nanti.” Kata-katanya membuatku merasa bersyukur
berada di sini pagi itu, mendengar nasihat yang begitu mendalam.
Pukul tujuh pagi kajian sudah
selesai. suasana masjid mulai berangsur sepi. Satu per satu jamaah pulang ke
rumah masing-masing. Aku melangkah pulang dengan hati yang lebih tenang. Langit
sudah terang, mentari pagi menyapa lembut. Rasanya, kajian pagi ini bukan
sekadar rutinitas. Ia adalah pengingat, penguat, dan penghibur hati di tengah
hiruk-pikuk kehidupan.
Di perjalanan pulang, aku
memikirkan kembali pesan-pesan sang ustad. Betapa pentingnya menghargai setiap
detik yang kita miliki. Betapa berharganya menuntut ilmu, berkumpul dengan
orang-orang baik, dan bersiap menghadapi hari yang pasti tiba. Aku merasa lebih
dekat denganAllah Subhanahu Wata’alla, lebih dekat dengan tujuan hidup yang
sesungguhnya.
Aku tiba di rumah dengan perasaan
ringan. Suara hadroh masih terngiang di telinga, dan bayangan tari sufi masih
terpatri di benak. Aku bersyukur telah melangkahkan kaki ke masjid pagi ini.
Sebuah langkah kecil yang memberi dampak besar untuk jiwaku. Semoga bermanfaat.
Cepu, 12 Januari 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar