Karya: Gutamining Saida
Udara masih segar tadi malam diguyur hujan. Embun belum
benar-benar mengering dari dedaunan yang menyambut sang matahari. Saya
melangkah ringan memasuki ruang guru, seperti biasa. Rutinitas pagi bukan hanya
soal absensi dan cek jadwal. Ada momen
berharga yang selalu kutunggu yaitu berjalan ke kursi belakang. Di sanalah,
tempat ibu-ibu guru berkumpul, saling menyapa, bertukar kabar, dan kadang
tertawa kecil dengan canda ringan yang menyemangati pagi kami.
Saya berjalan pelan, menyusuri
barisan meja. Beberapa guru sudah duduk, sibuk membuka handphone, menata meja,
atau sekadar menyeruput teh panas di gelas masing-masing. Saya mendekat ke
kursi belakang, tempat yang tak terlalu formal tapi selalu penuh cerita.
"Assalamu’alaikum," sapa
saya seperti biasa. Sembari mulai
menyalami satu per satu ibu guru yang ada.
"Wa’alaikumussalam,"
jawab mereka. Senyum mereka mengembang, menandakan pagi ini dimulai dengan hati
yang lapang.
Saya mengulurkan tangan kepada Bu
Putri yang duduk di sebelah kanan. Seperti biasa, ia membalas dengan senyum
ramahnya yang khas. Di sebelahnya duduk seorang ustadah, sosok yang selalu
terlihat anggun dengan balutan seragam sederhana dan kerudung lebar, yang kerap
kami panggil dengan sebutan "ustadah cantik." Ia orang yang lembut,
tutur katanya halus, dan seringkali menyapa dengan bahasa yang unik. Ibu Debby
Suciati Annisa Imami nama lengkapnya.
Saat tanganku menjabat tangannya,
tiba-tiba terdengar sapaan yang sedikit berbeda, mengejutkan tapi tidak
membuatku marah. Justru membuatku heran bercampur geli.
“Selamat pagi, Umigu,” katanya
sembari tersenyum.
Saya tercenung sejenak.
"Umigu?"
Spontan Saya menatap wajahnya,
ingin memastikan Saya tidak salah dengar. U-mi-gu.
Kata itu meluncur begitu saja
dari bibirnya. Umi-gu. Seketika pikiranku merangkai potongan-potongan makna.
“Umi” adalah sapaan yang sering terdengar di rumah kami, sapaan lembut yang
sering dipakai anak-anak saya. Tapi ditambah “gu”? Apakah itu maksudnya
singkatan dari “guru”? Jadi, Umi + Gu = Umigu?
Saya menahan senyum, mencoba
memahami logika sapaannya. Ternyata tidak salah. Memang terdengar lucu, unik,
dan jujur saja, cukup menggelitik.
Teman-teman di sekitar ikut
tertawa pelan, termasuk Bu Putri yang duduk di samping depan saya.
“Haha... Umigu! Sapaan baru nih!”
kata Bu Putri sambil terkekeh.
Saya tertawa kecil. Tidak
tersinggung sama sekali. Justru merasa ada kehangatan dari sapaan baru yang
lucu itu. Dalam hati Saya berkata, ’Wah, pagi ini Saya resmi mendapat gelar
baru!’
“Terima kasih ya, Bu,” ujarku
sambil menatap ustadah cantik itu. “Saya jadi dapat sapaan terbaru pagi ini.”
Beliau tertawa pelan, mungkin tak
menyangka sapaan spontan itu langsung menjadi sorotan. “Iya, saya spontan saja
tadi. Tapi kok kayaknya pas kalau ditambah 'gu'. Jadi kayak sapaan khas gitu.”
Saya mengangguk-angguk. Memang
benar. Sapaan sederhana itu membuat suasana pagi yang tadinya biasa saja
menjadi istimewa. Kadang kita tak butuh hal besar untuk merasa bahagia. Hanya
dengan sebuah kata sederhana, satu sapaan ringan, bisa membuat hati mekar dan
tawa pun mengalir.
Obrolan kami pun berlanjut,
dengan sedikit membahas hal-hal ringan seperti jalan-jalan sore hari, alamat
rumah, perumahan BRC Cepu. Tapi sapaan “Umigu” itu terus terngiang di kepala saya. Ada yang mengendap. Sebuah kesadaran
kecil bahwa betapa pentingnya suasana hati yang hangat dalam lingkungan kerja.
Seringkali kita lupa, bahwa
interaksi kecil antar rekan kerja bisa menjadi penguat untuk menjalani hari
yang panjang. Kita terlalu sibuk mengejar target, rapat ini-itu, atau
menyelesaikan tumpukan administrasi yang seolah tiada habis. Padahal, dalam
senyum dan sapaan pagi, ada energi yang tak bisa digantikan oleh secangkir kopi
sekalipun.
Saya jadi lebih bersemangat. Di
kelas pun, saya menjadi pengawas PSAJ (Penilaian Sumatif Akhir Jenjang) dengan aura
ringan yang menyenangkan. Bahkan ketika melihat ruang masih belum bersih, saya
tidak langsung memarahi, tetapi mencoba mendekatinya dengan nada yang lebih
bersahabat. Saya meminta tolong untuk disapu.
Saya sempat tersenyum sendiri di
ruang PSAJ. Kadang hidup itu sesederhana sapaan baru. Tidak perlu mewah. Tidak
perlu panjang. Cukup tulus, cukup menyentuh. Dan pagi itu, sapaan “Umigu”
menjadi bukti nyata bahwa kebahagiaan bisa datang dari hal yang paling tak
terduga. Siapa sangka, di balik sapaan kecil, tersembunyi tawa dan kehangatan
yang besar? Terimakasih ustadah Debby yang cantik.
Cepu, 7 Mei 2025