Karya: Gutamining Saida
Siang di musala Dinas Pendidikan Blora awan menggantung redup, waktu istirahat telah tiba. Setelah duduk sejak pagi mengikuti rangkaian bimbingan teknis yang padat materi, tubuh ini rasanya ingin direbahkan sejenak. Tapi ada kewajiban yang jauh lebih penting yaitu menunaikan salat dhuhur. Saya pun melangkah menuju musala dengan langkah tenang, sambil sesekali merenggangkan jari-jari dan bahu yang terasa kaku karena duduk terlalu lama.
Musala tempat kami istirahat dan musala itu tak terlalu besar, tapi cukup bersih dan nyaman. Di bagian samping musala, beberapa peserta bintek tampak sudah mengambil air wudu. Saya mengikuti langkah mereka, membasuh wajah dan tangan dengan air dingin yang menyegarkan. Saat kaki selonjor duduk di serambi musala tiba-tiba saya mendengar suara lembut memanggil.
"Bu Ida, saya murid njenengan."ucapnya singkat
Saya menoleh cepat. Seorang perempuan muda dengan wajah cantik dan senyum tulus berdiri di hadapan saya. Matanya menatap penuh kehangatan. Kerudung yang ia kenakan membingkai wajahnya dengan manis berwarna merah. Ia mengulurkan tangan, mengajak berjabat tangan.
“Wijayanti, Bu. Saya murid panjenengan tahun 2004,” ujarnya singkat. Teman-teman yang duduk di sekitarnya saling memandang kami berdua. Bahkan ada yang bertanya, memangnya murid di mana?
"Di SMA."jawab saya.
"Lho lho kok bisa?"tanya bu Pun
"Bisalah!"jawab saya
"Berarti njenengan ki gak pinter!"lanjut bu Pun sambil tertawa.
"Kalau saya pinter, kan tidak perlu ikut bintek!"jawab saya sambil tertawa juga.
"Maksud saya, dulu ngajar di SMA lha sekarang kok ngajar di SMP, gitu?"
"Ya begitulah!"
Sekejap saya terdiam. Wajah itu… ya, saya mengingatnya. Meski waktu telah bergulir dua dekade lebih, ingatan saya tidak salah. Wijayanti adalah salah satu siswi saya yang pandai, rajin, dan memiliki tatapan mata yang cerdas. Ia tak pernah banyak bicara di kelas, tapi setiap ulangan nilainya bagus. Hari ini, takdir mempertemukan kami kembali di tempat yang tidak pernah saya bayangkan yaitu di musala, saat rehat bintek.
Saya menyambut tangannya dan senyum saya mengembang tanpa bisa ditahan. Rasanya seperti menemukan kepingan masa lalu yang selama ini diam-diam saya simpan.
“Masya Allah, Wijayanti. Ibu masih ingat. Kamu dulu selalu bisa menjawab pertanyaan dari saya, ya? "
Ia tersenyum malu dan senyumnya makin lebar. Saya senang pelajaran panjenengan. IPS jadi mata pelajaran favorit saya.
Kalimat itu begitu sederhana, namun sangat berarti bagi saya. Menjadi guru bukan tentang berapa banyak materi yang diajarkan, tapi tentang bekas yang tertinggal di hati siswa. Dan hari ini, saya merasa bekas itu masih ada. Masih hidup. Masih membekas di diri seseorang yang pernah saya ajar dua puluh tahun lalu.
Kami berbincang sejenak, saling menanyakan kabar dan pekerjaan. Ternyata Wijayanti juga mengikuti bintek hari ini, ia mengajar mata pelajaran matematika di SMPN 4 Cepu.
Ia kini sudah menjadi guru, meneruskan jejak dalam dunia pendidikan. Ada rasa haru yang tak bisa saya sembunyikan.
Setelah salat, sebelum kami kembali ke ruang bintek masing-masing, saya mengajaknya berfoto.
“Boleh ya, kita foto bareng. Buat kenang-kenangan,” pinta saya.
“Wah, tentu saja Bu."
" Ini pertemuan bersejarah,” lanjut saya dengan senang hati.
Kami pun duduk berdampingan, dan salah satu peserta bintek membantu mengambilkan foto dengan ponsel saya. Klik. Momen itu terekam bukan hanya dalam kamera, tapi juga dalam hati saya.
Foto itu bukan sekadar gambar dua orang perempuan. Tapi ia adalah potret perjalanan waktu. Antara seorang guru dan siswi. Antara masa lalu dan masa kini. Antara ilmu yang dulu ditanam dan kini telah tumbuh menjadi pohon yang rindang.
Saya berjalan kembali ke ruangan bintek dengan hati yang ringan. Kaki saya melangkah lebih ringan dari sebelumnya. Mungkin karena pertemuan tak terduga itu memberi saya semangat baru. Di tengah tugas dan rutinitas sebagai pendidik, ada kebahagiaan yang tidak ternilai saat melihat buah dari kerja keras puluhan tahun lalu tumbuh dengan baik.
Hari itu saya belajar lagi, bahwa menjadi guru bukanlah pekerjaan biasa. Ada nilai abadi di dalamnya. Dan salah satu hadiah terindah adalah saat seorang siswa menyapa dengan penuh hormat, mengakui bahwa saya pernah menjadi bagian penting dari hidupnya.
Pertemuan dengan Wijayanti di musala bukan hanya kebetulan. Ia adalah bagian dari skenario Allah Subhanahu Wata'alla. Sebuah pengingat bahwa setiap hari yang kita jalani sebagai guru, walau kadang terasa berat dan biasa-biasa saja, sebenarnya tengah menulis kisah besar dalam hidup orang lain.
Cepu, 23 Mei 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar