Karya : Gutamining Saida
Perjalanan saya di dunia pendidikan bukan sekadar tentang tempat saya mengajar, tetapi juga tentang bagaimana saya belajar menjadi manusia yang lebih kuat, lebih sabar, dan lebih bijak. Semua bermula dari pengabdian awal saya di SMAN 2 tempat pertama saya mengenakan seragam sebagai pendidik, tempat pertama saya berdiri di depan kelas menyampaikan ilmu, dan tempat pertama saya merasakan campur aduknya emosi dalam dunia nyata pendidikan.
Di SMAN 2, saya menempa diri dari nol. Ada cerita-cerita yang tidak bisa saya lupakan yaitu wajah-wajah antusias siswa yang haus ilmu, kawan-kawan sejawat yang saling menyemangati, hingga tantangan mengelola kelas besar dengan beragam karakter. Ada hari-hari yang membuat saya ingin pulang cepat karena letih fisik dan hati, tapi tak jarang pula saya menunda kepulangan hanya karena tak ingin beranjak dari obrolan ringan bersama rekan guru yang sudah saya anggap seperti keluarga. Semua kisah itu membentuk mozaik pengabdian yang penuh warna kadang kelabu, kadang cerah, tapi selalu bermakna.
Sebagaimana hidup yang tak pernah stagnan, datanglah saat di mana saya harus berpindah. SK baru saya arahkan ke SMPN 1 Cepu, sebuah peralihan yang tidak hanya mengubah lingkungan kerja, tetapi juga menuntut saya untuk menyesuaikan diri dengan cepat. Dari suasana SMA yang penuh dinamika remaja menjelang dewasa, saya kini harus mengayomi siswa usia pra-remaja yang masih labil, polos, dan kadang tak terduga.
Perpindahan ini membuat saya banyak belajar ulang. Saya harus menyesuaikan cara bicara, metode pembelajaran, hingga pendekatan emosional. Di sini, saya tidak hanya menjadi guru mata pelajaran, tapi juga sosok pendengar, penenang, dan pembimbing dalam setiap celah waktu.
SMPN 1 Cepu adalah sekolah besar. Saya melihat betapa kompleksnya dunia pendidikan tingkat SMP. Gedung megah, deretan kelas, lalu lalang siswa yang ramai, serta tantangan-tantangan administratif dan sosial yang lebih besar dari yang saya bayangkan. Di balik itu semua, saya juga menemukan kehangatan. Dalam dua tahun saya di sana, saya menambah banyak teman baru, membangun relasi yang baik dengan guru lain, dan belajar memahami cara berpikir anak-anak usia SMP yang unik.
Di sinilah saya benar-benar belajar tentang kesabaran karena mendidik murid usia belasan adalah seni tersendiri. Ada yang suka membantah, ada yang sangat pendiam, dan ada pula yang penuh semangat tapi sulit fokus. Namun satu hal yang pasti: mereka semua membutuhkan kehadiran seorang guru, bukan hanya untuk mengajar, tapi untuk hadir dan peduli. Saya belajar menerima bahwa keberhasilan seorang guru tidak diukur dari seberapa banyak materi yang tersampaikan, tetapi seberapa dalam pengaruh baik yang ditinggalkan.
Waktu berjalan, dan saya terus mengalir seperti air, mengikuti arus yang ditentukan oleh tugas negara. Dua tahun di SMPN 1 Cepu terasa singkat, tapi padat makna. Setiap pagi saya datang dengan semangat, meski kadang tubuh lelah. Setiap jam istirahat saya duduk di ruang guru, berbagi cerita ringan, sambil sesekali menyeka peluh atau menahan tawa karena tingkah siswa yang tak terduga.
Tak semua hari berjalan mulus. Ada hari-hari penuh ujian, baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan pribadi. Ada masa di mana saya harus menelan kekecewaan, menghadapi salah paham, atau menguatkan diri saat merasa tidak dihargai. Tapi saya sadar, itu semua adalah bagian dari proses menjadi seorang pendidik sejati. Cobaan dan ujian akan selalu datang, tapi selama saya masih memiliki niat baik untuk mengabdi, maka saya akan tetap melangkah, satu hari ke hari berikutnya.
Ketika saya menengok ke belakang, saya tidak hanya melihat jarak antar kota dan sekolah yang pernah saya tempuh. Saya melihat jejak perjuangan, perubahan, dan pertumbuhan diri. Saya bukan lagi guru yang sama seperti saat pertama mengajar di SMAN 2. Saya telah menjadi versi baru dari diri saya yaitu lebih dewasa, lebih sabar, dan lebih siap menghadapi berbagai dinamika dunia pendidikan.
Pengabdian ini belum selesai. Mungkin ke depan saya akan kembali mendapat tugas baru, tempat baru, wajah baru, dan cerita baru. Tapi satu yang pasti, ke mana pun saya melangkah, saya akan selalu membawa semangat yang sama yaitu mengajar dengan hati, mendidik dengan cinta.
Karena bagi saya, menjadi guru bukan sekadar profesi namun sebagai panggilan jiwa.
Cepu, 24 Mei 2025
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar