Karya: Gutamining Saida
Pagi itu langit cukup cerah, angin tidak terlalu kencang, dan mentari pun belum terlalu terik saat saya bersiap berangkat dari rumah. Waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB. Saya berboncengan dengan anak saya menuju Wado Kedungtuban. Ada satu niat baik yang ingin saya tunaikan hari itu yaitu memberikan doa dan dukungan kepada salah satu calon jamaah haji, seorang suami dari mbak Rika pernah menjadi rekan kerja saya. Kami cukup dekat dan kabar keberangkatannya ke Tanah Suci menggugah saya untuk menyampaikan doa secara langsung.
Saya tak mengabari mereka terlebih dahulu. Saya ingin ini menjadi kejutan, sebuah kunjungan sederhana yang diharapkan membawa kehangatan. Dalam hati saya berkata, “Kalau niatnya baik, pasti jalannya dimudahkan.” Maka kami melaju dengan semangat dan harapan.
Sepanjang jalan, saya mengingat kembali kebersamaan saya dengan mbak Rika dulu saat masih satu kantor. Banyak kenangan baik. Mungkin sudah lama tidak berjumpa secara langsung, tapi rasa hormat dan kekeluargaan itu tetap ada. Sebab itu, kunjungan ini bukan hanya tentang mendoakan, tapi juga menyambung tali silaturahmi.
Saat kami sudah mendekati kawasan Kapuan tepat sebelum bandara udara, anak saya tiba-tiba menyarankan, “Umi, coba chat atau telpon dulu deh, takutnya mereka nggak di rumah.” Awalnya saya ragu, karena merasa sudah cukup dekat, dan berharap mereka akan kaget bahagia saat tahu kami tiba-tiba datang.
Tapi, untuk menghargai saran anak, saya pun membuka ponsel dan mulai mengirimkan chat. Satu pesan. Tak ada balasan. Lalu pesan kedua. Masih hening. Saya coba menelepon. Terdengar nada sambung, tapi tidak diangkat. Dalam hati mulai tumbuh sedikit rasa cemas, tapi saya tetap melanjutkan perjalanan, sambil sesekali melirik layar HP berharap ada notifikasi balasan.
Tak lama setelah motor kami melewati jalanan yang mulai ramai, akhirnya sebuah pesan masuk. Saya segera membukanya, dan saat membaca isinya, hati saya terasa seperti diteteskan air dingin.
"Mbak Rika di rumah?"
"Mboten bu, pripun?"
"Saya menuju rumah njen."
“Maaf, kami lagi di Bravo, lagi belanja.”
Saya sempat membacanya dua kali.Ternyata, orang yang ingin saya beri kejutan justru sedang pergi. Bahkan bukan sekadar ke luar rumah sebentar, tapi sedang belanja ke Bravo, pusat perbelanjaan yang jaraknya lumayan jauh dari rumahnya dan masih butuh waktu lama.
Motor kami melambat. Saya suruh menepikan sebentar. Anak saya menoleh dengan ekspresi bingung, menanti keputusan. Saya menghela napas, mencoba menelan kekecewaan dengan tenang.
“Balik saja ya. Nggak jadi ke Wado. ” kata saya lirih.
Anak saya mengangguk pelan. Mungkin dia juga bisa merasakan perubahan suasana hati saya. Perjalanan yang penuh semangat tadi, kini berubah menjadi perjalanan pulang dengan kepala sedikit tertunduk. Jalanan yang sama, tapi rasanya berbeda.
Sesekali saya menoleh ke belakang, bukan untuk memastikan jalan, tapi seperti ingin memastikan apakah benar tadi saya sudah berusaha. Apakah niat baik ini harus berakhir dengan rasa kecewa? Saya tidak marah kepada mereka sama sekali tidak. Mereka tentu tidak salah. Saya juga tidak menyesali niat saya. Justru saya bersyukur kepada Allah Subhanahu Wata'alla masih punya hati yang ingin menyambung silaturahmi.
Rasa kecewa itu tetap ada. Tidak karena mereka tak di rumah, tapi lebih kepada harapan yang tidak tercapai. Saya sudah membayangkan momen-momen kecil yang hangat yaitu membuka pagar, memberi salam, mereka keluar dengan wajah terkejut, lalu kami duduk sebentar dan saya bisa menyampaikan doa dengan tulus. Tapi semua itu tak jadi nyata.
Di tengah perjalanan pulang, saya mencoba menenangkan diri. Saya berkata dalam hati bahwa niat baik itu tetap bernilai meski tak sampai ke tujuan. Tuhan Maha Tahu. Barangkali, ini cara Tuhan mengajarkan saya tentang ikhlas dan kesabaran. Tentang bagaimana kita bisa berniat, bisa merencanakan, tapi tetap harus siap dengan segala kemungkinan. Bahkan saat niat kita adalah sesuatu yang sederhana dan penuh ketulusan.
Sesampainya di rumah, saya menyimpan kembali helm dan jaket. Duduk sejenak di ruang tamu, membiarkan semua perasaan reda perlahan-lahan. Saya pun akhirnya mengirimkan doa lewat pesan, tetap dengan tulus: “Semoga sehat selalu, diberikan kelancaran ibadah haji, kembali ke tanah air sebagai haji yang mabrur. Mohon maaf tak jadi ke Wado karena situasi.”
Tak ada balasan panjang dari mereka. Tapi saya yakin, Tuhan mencatat semuanya. Mungkin, lain waktu, saya bisa bersilaturahmi lagi yaitu dengan cara yang lebih baik, lebih tepat, dan mungkin benar-benar menjadi kejutan yang mengejutkan.
Cepu, 13 Mei 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar