Minggu, 25 Mei 2025

Sejumput Bahagia


Karya : Gutamining Saida 
Langit masih malu-malu menampakkan cahayanya. Matahari belum sepenuhnya bersinar, dan embun sisa hujan semalam masih menempel di dedaunan. Hari Senin kembali datang setelah libur akhir pekan yang singkat, namun cukup menenangkan. Saya melangkah memasuki gerbang sekolah dengan langkah tenang, berusaha membawa semangat baru untuk pekan ini. Ruang guru perlahan mulai ramai. Suara tawa, percakapan ringan, dan aroma sarapan pagi mengisi udara.

Saat saya menaruh tas dan duduk di kursi kerja, langkah kaki ringan menghampiri saya. Seorang teman, dengan wajah bersinar dan senyum hangat, menyapa lebih dahulu.

“Assalamu’alaikum, Bu…” sapanya lembut, dengan mata yang memancarkan ketulusan.

Saya menoleh dan membalas salamnya. “Wa’alaikumsalam… wah, salam njenengan membuat pagi makin adem…”

Ia hanya tertawa kecil. Namun sebelum sempat berkata banyak, tangannya dengan ringan meletakkan sesuatu di atas meja. Sebuah benda kecil, terlipat rapi. Warnanya coklat. Saya menatapnya sejenak, sedikit bingung. Tangan saya meraihnya perlahan.

“Ini… kaos kaki?” tanya saya  cepat, separuh bingung, separuh penasaran. Lalu, tanpa bisa menahan rasa ingin tahu, saya bertanya, “Kaos kaki siapa ini?”

Ia hanya tersenyum. Lalu, dengan santai menjawab, “Buat njenengan, Bu.”

Saya terdiam. Hati seperti tersentak oleh kejutan kecil yang tak disangka-sangka. “Lho… njenengan jualan kaos?” tanya saya lebih lanjut, berusaha memahami maksud kebaikan mendadak ini.

Ia menggeleng pelan. “Enggak, Bu. Sudah, dipakai saja. Rezeki njenengan pagi ini…”

Saya tak bisa berkata-kata sejenak. Hati ini terasa hangat, bukan karena benda itu, tapi karena niat tulus di balik pemberian sederhana tersebut. Bibir ini perlahan berucap, “Alhamdulillah…”

Ucapan syukur itu keluar begitu saja, dari lubuk hati yang dalam. Rasanya seperti diberi pelukan hangat oleh semesta, melalui tangan seorang teman. Siapa sangka, pagi-pagi seperti ini, Allah menitipkan rezeki dalam bentuk sepasang kaos kaki coklat? Bukan soal nilainya. Tapi kejutannya, keikhlasannya, dan pelajarannya.

Saya mengangkat wajah dan menatap teman itu. Senyumnya masih terjaga, penuh keikhlasan. Sungguh, berbagi itu indah. Memberi sesuatu pada orang lain, bahkan yang sederhana, bisa membawa kebahagiaan tak hanya bagi penerima, tapi juga bagi pemberi.

Pikiran ini terus mengalir. Kita terlalu sering menunggu hal besar untuk merasa cukup, terlalu menanti hadiah besar untuk merasa bahagia. Tapi pagi ini, saya belajar, bahwa sesuatu sekecil sepasang kaos kaki pun bisa menjadi pengingat tentang cinta Allah Subhanahu Wata'alla yang tak pernah putus. Melalui tangan manusia, Dia menggerakkan hati untuk berbagi.

Saya meraba-raba kembali hal-hal kecil yang pernah  saya terima, yang kadang tak sempat bersyukur. Mungkin ini cara Allah Subhanahu Wata'alla untuk mengingatkan, bahwa rezeki tak selalu berbentuk uang atau barang mahal. Kadang ia datang dalam bentuk perhatian, senyuman, atau sepasang kaos kaki berwarna coklat.

Saya pun menghela napas panjang, menyambut hari ini dengan lebih ringan. Pagi ini, saya merasa ditampar lembut oleh kebaikan. Hati ini  mengembang. Saya ingin menjadi seperti dia. Yang ringan tangan, ringan hati, dan ringan dalam berbagi.

Pagi-pagi sudah dapat rezeki. Bukankah itu indah? Rezeki itu bukan soal isi, tapi rasa. Saya merasa disapa oleh Allah Subhanahu Wata'alla lewat cara yang begitu sederhana namun membekas.

Hari-hari ini, hidup terasa semakin cepat. Kita diburu waktu, dituntut produktif, dan seringkali lupa untuk sekadar peduli. Tapi pagi ini membuktikan bahwa perhatian kecil bisa menjadi kekuatan besar. Menyenangkan sesama, mempermudah urusan teman—itu bukan hanya soal hubungan sosial, tapi juga wujud ibadah kepada Sang Kuasa .

Saya percaya, ketika kita mempermudah urusan orang lain, Allah akan mempermudah urusan kita. Ketika kita berbagi tanpa pamrih, Allah akan memberi berkah tanpa henti. Dan semua itu bukan tentang seberapa banyak yang kita beri, tapi seberapa tulus hati yang menyertai.

Di ruang guru itu, di antara tumpukan tugas dan percakapan hangat, saya duduk tenang. Sepasang kaos kaki coklat itu masih tergeletak di meja.  Kini, ia bukan sekadar benda. Ia menjadi simbol pelajaran pagi yaitu tentang syukur, tentang berbagi, dan tentang kebaikan yang menular.

Saya menatap jendela. Matahari sudah mulai tinggi. Cahaya masuk menerobos sela-sela tirai, hangat dan damai. Semoga pagi ini menjadi awal dari banyak kebaikan yang akan terus mengalir. Semoga nikmat ini bertambah, bukan karena jumlahnya, tapi karena rasa syukur yang terus  saya jaga.

Terima kasih teman… dan terima kasih ya Allah. Kau kirimkan cinta-Mu lewat cara yang tak terduga. Pagi ini saya belajar, bahwa setiap kebaikan, sekecil apa pun, akan selalu memiliki tempat istimewa di hati yang bersyukur. Semoga kisah ini menjadi inspirasi. 
Cepu, 26 Mei 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar