Karya :Gutamining Saida
Minggu pagi itu terasa berbeda. Saat banyak orang memilih beristirahat atau menghabiskan waktu dengan keluarga, kami justru memulai hari lebih awal untuk sebuah perjalanan spiritual. Pukul lima pagi, langit masih gelap, udara masih dingin, dan jalanan masih sepi. Kami melangkahkan kaki keluar rumah dengan niat yang sama yaitu mengikuti wisata rohani di Masjid Al Mujahidin, Balun, Cepu.
Berjalan kaki bersama ibu terasa menyenangkan. Obrolan ringan, senyuman yang tulus, serta semangat untuk memperbaiki diri membuat langkah terasa ringan. Jalanan masih lenggang, sesekali motor melintas pelan, dan cahaya lampu jalan menjadi penerang kami. Hanya butuh sekitar lima belas menit, dan kami pun sampai di masjid yang megah itu. Langkah pertama memasuki halaman masjid terasa sejuk dan damai. Suasana masih belum ramai. Kami bisa memilih tempat duduk yang nyaman di dalam masjid.
Dari kejauhan, suara hadroh sudah terdengar. Rupanya sejak usai salat Subuh, lantunan shalawat sudah mengalun dari grup hadroh di masjid. Suara rebana berpadu dengan vokal yang mendayu membawa suasana menjadi haru dan khusyuk. Tak lama kemudian, perhatian jamaah tertuju pada dua penari sufi yang tampil dengan gerakan berputar pelan penuh makna. Gerakan mereka lemah lembut, menyatu dengan irama shalawat. Satu penari mengenakan baju putih dengan jilbab marun, tampak bersih dan anggun. Sementara yang satu lagi memakai baju marun dengan jilbab hitam, menambah kesan kuat dan tegas. Keduanya menari bukan untuk pamer, melainkan sebagai bentuk ibadah menghibur, menghadirkan kekhusyukan melalui keindahan seni.
Semakin lama, jamaah yang hadir semakin banyak. Kaum ibu datang bergelombang, sebagian memilih duduk di serambi masjid karena ruang utama sudah penuh. Ada pula yang membawa anak-anak kecil yang tampak antusias mengikuti acara. Meski suasana ramai, tidak ada suara gaduh. Yang terdengar hanyalah suara hadroh, bisikan doa, dan sesekali sapaan lembut di antara para jamaah.
Tepat pukul enam, kajian pagi dimulai. Pembawa acara memulai dengan mengajak jamaah membaca surat Al-Fatihah bersama-sama. Bacaan ini menjadi pembuka yang khusyuk sebelum sang ustadz Minardi dari Jepon mulai menyampaikan tausiyahnya.
Materi kajian pagi itu sangat menyentuh hati. Salah satu inti pesan yang disampaikan adalah tentang makna syukur. Menurut ustaz, bersyukur bukan hanya dengan ucapan “alhamdulillah” semata, tapi juga harus dibuktikan melalui tindakan. Lisan bersyukur dengan dzikir, tangan digunakan untuk membuka dan membaca Al-Qur’an, kaki digunakan untuk melangkah ke masjid, dan kekayaan digunakan untuk berbagi dalam bentuk sedekah. Dengan cara itu, insya Allah hidup akan menjadi lebih berkah.
Kajian kemudian berlanjut pada pembahasan mengenai manusia yang beruntung mendapatkan syafaat dari Nabi Muhammad SAW. Menurut sang ustaz, syafaat itu akan diberikan kepada orang-orang yang mencintai Nabi, yaitu mereka yang gemar bershalawat, menyantuni anak yatim, serta rajin beribadah. Bahkan disebutkan pula bahwa benteng terbaik bagi manusia dari godaan setan adalah masjid, karena masjid adalah tempat turunnya malaikat. Selain itu, dzikir yang terus-menerus menjadi pelindung hati dari kerasnya dunia dan penyakit rohani.
Ustaz juga menjelaskan bahwa obat hati ada tiga yaitu pertama, dengan memperbanyak dzikir; kedua, dengan membaca Al-Qur’an; dan ketiga, dengan sering mengunjungi masjid. Hati yang kering karena urusan dunia akan menjadi lembut bila diisi dengan dzikir dan ilmu.
Ada pula penjelasan tentang jenis-jenis dzikir yaitu dzikir harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Dzikir harian misalnya seperti membaca tasbih, tahmid, dan takbir setiap selesai salat. Dzikir mingguan dapat berupa mengikuti pengajian rutin. Dzikir bulanan bisa dengan mengikuti kegiatan malam satu suro, istighotsah, atau pembacaan yasin bersama. Sementara dzikir tahunan misalnya memperbanyak takbir, tahlil, dan tahmid di hari raya Idul Fitri, bulan Dzulhijah, serta berkurban bila mampu.
Ustaz menekankan pentingnya ibadah qurban. Bagi yang mampu, hendaknya berqurban setiap tahun agar bisa berbagi daging dengan sesama, terutama mereka yang kurang mampu. “Dengan qurban, kita tidak hanya membagi daging, tetapi juga membagi kebahagiaan,” kata beliau.
Sekitar pukul 07.00 WIB, kajian ditutup dengan doa bersama. Semua jamaah mengangkat tangan, memanjatkan doa untuk keselamatan, keberkahan, dan keteguhan iman. Beberapa ibu tampak meneteskan air mata, mungkin karena merasa tersentuh atau mengingat dosa-dosa yang ingin mereka hapuskan.
Selesai acara, kami tidak langsung pulang. Beberapa ibu pengurus yatim dan duafa membagikan santunan kepada anak yatim. Ada beberapa pengurus yang bertugas membagi duduk melingkar sesuai kelompoknya. Ada pula yang masih berdiskusi tentang isi kajian tadi. Hati rasanya begitu penuh dengan rasa syukur, haru, dan semangat baru untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Wisata rohani ini bukan sekadar kegiatan keagamaan, tapi juga menjadi penyegar jiwa. Dalam kesibukan dan hiruk pikuk dunia, kami diberi ruang untuk mengingat Allah Subhanahu Wata'alla memperbaiki niat, dan memperkuat tali silaturahmi. Langkah kaki kami kembali pulang dengan hati yang jauh lebih ringan.
Cepu, 1 Juni 2025
Komentar
Posting Komentar