Rabu, 14 Mei 2025

Menyusuri Kota Kretek

Karya: Gutamining Saida 
Langit sore hari itu mulai meredup, sinar mentari yang sejak siang menyengat kini perlahan memudar digantikan semburat jingga yang lembut. Seusai salat Ashar, dengan langkah mantap kami berdua bersiap memulai perjalanan menuju kota kretek yaitu julukan akrab bagi Kudus, kota yang dikenal sebagai pusat industri rokok, kota santri, sekaligus kota yang menyimpan jejak sejarah dan spiritualitas yang kuat.Meski perjalanan yang akan kami tempuh cukup jauh, ada semangat tersendiri yang membuat badan ini ringan melangkah. Tujuan kami malam ini bukan sekadar berkunjung, tetapi menghadiri momen istimewa yaitu pemberangkatan calon jemaah haji, yang tak lain adalah keponakan suami.

Sebuah peristiwa sakral yang selalu menggetarkan hati, terlebih bagi siapa pun yang memendam kerinduan untuk datang ke Tanah Suci. Sebelum benar-benar memasuki jalan utama, kami memutuskan untuk singgah di Pati, kota yang terkenal dengan kuliner khasnya yaitu nasi gandul. Warung langganan kami tak jauh dari jalan besar. Di bawah cahaya lampu yang remang-remang, aroma kuah santan berbumbu menyeruak dari dapur terbuka. Biasanya saya selalu memesan nasi gandul dengan lauk daging sapi. Empuk, gurih, dan selalu memuaskan lidah. Namun malam itu, entah kenapa, hati saya tergerak untuk mencoba sesuatu yang berbeda.“Setengah porsi nasi gandul kikil, ya, Bu,” ucap saya kepada penjual yang sedang meracik pesanan. Kikil yang tersaji tampak menggoda. Potongannya besar, kenyal, dan disiram kuah kental berwarna coklat keemasan. Gigitan pertama langsung membawa sensasi baru yaitu teksturnya lembut, bumbunya meresap, dan rasanya begitu pas dengan nasi hangat. Makan malam sederhana ini terasa lebih istimewa karena dinikmati dalam perjalanan yang membawa misi spiritual.

Usai makan, kami melanjutkan perjalanan. Lampu-lampu jalan mulai menyala, dan arus kendaraan malam hari mulai ramai. Suasana dalam mobil tak banyak bicara, hanya sesekali percakapan ringan mengisi jeda. Namun dalam hati, banyak hal yang mengalir. Pikiran saya melayang pada mereka yang malam ini bersiap menuju Tanah Suci, menanggalkan status duniawi mereka dan datang sebagai hamba yang penuh harap dan cinta kepada Sang Khalik. Sesampainya di rumah keluarga di Kudus, suasana haru langsung menyambut.

Calon jemaah haji tampak bersahaja, mengenakan pakaian putih yang mencerminkan kesucian niat dan tekad. Wajahnya bercahaya, penuh kebahagiaan, dan sedikit gugup. Satu per satu keluarga datang menyalami, mengucapkan doa dan permohonan titip doa. Di antara suara lantunan doa dan dzikir, terdengar isak tangis pelan dari keluarga yang tak kuasa menahan haru.Saya ikut menyalami keponakan suami dengan tangan bergetar. “Semoga lancar, mabrur hajinya, dan sehat selama perjalanan. Titip doa ya, semoga kami juga bisa menyusul,” ucap saya pelan, mencoba menahan air mata. 

Menyaksikan pemberangkatan ini membawa rasa hangat sekaligus rindu yang sulit dijelaskan. Rasa senang karena mereka yang berangkat telah dipanggil oleh Allah untuk menjadi tamu-Nya, namun di sisi lain, ada rasa ingin yang menggebu dalam hati. Ingin merasakan tawaf di pelataran Ka'bah, ingin berdiri di Padang Arafah, ingin menyusuri jejak Rasulullah di Madinah. Semua itu bukan hanya cita-cita, melainkan kerinduan yang sejak lama saya simpan dalam doa.Perjalanan panjang malam itu tak terasa melelahkan. Justru ada ketenangan dan kebahagiaan yang memenuhi relung hati. Duduk di antara orang-orang yang akan berangkat haji membuat saya merasa dekat dengan harapan, dekat dengan surga. Meski saya belum memiliki kesempatan itu saat ini, saya percaya bahwa Allah telah menuliskan waktu terbaik untuk setiap hamba-Nya.

Dalam perjalanan pulang, di tengah sunyinya malam dan deru angin yang masuk melalui celah jendela, saya memejamkan mata sejenak. Hati saya berdoa dalam diam. "Ya Allah, Engkau telah memanggil mereka malam ini. Maka panggillah juga aku suatu hari nanti. Berilah aku kesempatan untuk menyaksikan Ka'bah dengan mata kepalaku sendiri. Permudahlah jalanku, bukalah pintu rezeki, dan kuatkan niatku."Setibanya di rumah, tubuh memang terasa lelah, namun hati begitu ringan.

Malam itu sebelum tidur, saya mengambil air wudu dan menunaikan salat dua rakaat. Dalam sujud yang panjang, saya sampaikan seluruh harapan yang belum tercapai. Saya tahu, impian untuk beribadah di Tanah Suci bukanlah perkara kecil, tetapi juga bukan sesuatu yang mustahil. Selama harapan dan doa terus hidup, maka peluang itu akan selalu ada.Malam itu saya tidur dengan senyum. Rindu ini belum terobati, tapi telah tersalurkan lewat doa. Dan saya percaya, Allah Maha Mendengar. Suatu hari, saya pun akan menjejakkan kaki di Tanah Suci, memenuhi panggilan yang kini masih saya tunggu dengan sabar.
Kudus, 15 Mei 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar