Karya : Gutamining Saida
Minggu sore udara terasa sejuk setelah gerimis kecil yang turun sejak siang. Embusan angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang tertiup lembut di halaman rumah. Saat saya sedang santai di dalam rumah, terdengar suara motor berhenti dan tawa riang dari anak-anak. Terdengarlah sapaan ceria yang membuat hati bergetar, “Assalamualaikum, Bu Saidaaa!”
Delapan anak muncul di depan pagar dengan wajah berseri. Mereka adalah Ayu, Ajeng, Citra, Zahwa, Kukuh, Nico, Erik dan Vino. Seketika saya tertegun, lalu tersenyum lebar. Ternyata mereka adalah alumni siswa siswi Spensaba. Anak-anak yang dulu pernah saya bimbing di kelas. Sudah hampir sepuluh bulan kami tidak bertemu sejak saya mutasi. Kini mereka datang bersama-sama, membawa rindu yang tidak bisa disembunyikan.
Rasa haru dan bahagia menyelimuti hati. Saya persilakan mereka masuk, satu per satu menyalami saya dengan hormat, namun dengan tawa yang khas seperti dulu. “Bu, kami kangen banget,” ucap salah satu dari mereka sambil tersenyum malu-malu. “Kami tadi janjian mau silaturahmi ke rumah Bu Saida. Sudah lama banget enggak ngobrol sama bu Saida. ”
Ruang tamu yang biasanya sepi mendadak ramai. Mereka duduk ada yang bersandar di dinding, ada yang memainkan bantal kecil, ada juga yang sibuk makan jajanan. Saya menatap satu per satu wajah mereka ada yang makin tinggi, makin dewasa, dan beberapa mulai tampak berbeda dari terakhir kali saya melihat mereka.
Rasanya baru kemarin saya menegur mereka karena tidak mengerjakan PR IPS, atau menasihati karena berbicara saat pelajaran berlangsung. Sore itu, kenakalan masa lalu justru menjadi bahan tawa yang menular.
“Bu, ingat enggak waktu saya pura-pura izin ke toilet tapi malah jajan di kantin?” ujar salah satu anak laki-laki sambil tertawa.
Saya tertawa geli, “Oh, jadi kamu yang waktu itu hilang setengah jam? Ibu kira kamu pingsan di jalan.”
Mereka semua tertawa, suaranya bergema di ruang tamu, membuat suasana semakin hangat.
Obrolan berlanjut dengan cerita masa-masa di kelas. Mereka mengenang bagaimana dulu setiap kali ada ulangan IPS, beberapa dari mereka selalu berbisik-bisik mencari jawaban, dan saya pura-pura tidak tahu.
Kami tertawa lagi. Rasa canggung antara guru dan murid itu sudah hilang sama sekali. Tidak ada jarak. Yang ada hanya kehangatan, nostalgia, dan kebersamaan yang manis. Mereka bercerita tentang sekolah barunya, teman baru, dan perjuangan beradaptasi di lingkungan yang berbeda. Ada yang di SMK Migas, SMAN 2 Cepu, SMAN Ngraho.
“Waktu awal masuk, saya minder. Tapi saya ingat kata-kata bu Saida bahwa ‘Percaya diri itu awal dari keberhasilan.’ Itu yang membuat saya kuat.”
Si pendiam itu kini berbicara dengan penuh keyakinan, matanya berkilat tanda semangat hidup yang tumbuh. Dalam hati saya berdoa, semoga setiap kata yang pernah saya ucapkan dulu menjadi bekal untuk masa depan mereka.
Sore semakin temaram. Langit mulai berwarna jingga keemasan. Mereka masih asyik bercanda dan bercerita.
Saya memperhatikan cara mereka berbicara, cara mereka tertawa. Ada sesuatu yang berubah. Mereka bukan lagi anak-anak kecil yang dulu saya tegur karena lupa membawa buku. Mereka kini remaja yang mulai memahami kehidupan. Wajah-wajah mereka tampak lebih matang, dan dalam tatapan mereka ada harapan besar untuk masa depan.
Saya bangga. Bangga karena pernah menjadi bagian kecil dalam perjalanan mereka.
Ketika jarum jam menunjukkan pukul 15.00 WIB, satu per satu mulai berpamitan. Mereka tahu hari sudah menjelang malam dan harus pulang sebelum magrib. Suasana haru mulai terasa. Yang perempuan mendekat dan memeluk saya erat. “Bu, kami kangen sekali. Rasanya enggak mau lepas,” ucap salah satu diantara mereka. "
Pelukan itu tulus, penuh kasih, tanpa jarak guru dan murid. Saya membalas pelukan itu dengan hangat. Dalam hati saya berdoa lirih, Ya Allah, lindungilah anak-anak ini. Jadikan mereka anak-anak yang sukses, berakhlak, dan bahagia dunia akhirat.
Setelah mereka semua pergi, rumah kembali sepi. Hati saya justru terasa penuh. Di ruang tamu yang kini kosong, masih terbayang tawa mereka, masih terasa kehangatan kebersamaan yang sederhana tapi begitu berarti.
Ternyata kebersamaan itu tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya beralih bentuk menjadi kenangan yang tersimpan di hati.
Saya belajar bahwa menjadi guru bukan sekadar mengajar di kelas, tetapi juga menanam cinta dan membangun kenangan yang kelak tumbuh menjadi rindu. Ketika mereka datang, membawa senyum dan cerita, itu adalah hadiah paling indah yang bisa diterima seorang guru di usia pengabdiannya. Sukses buat kalian semua. Selamat berjuang.
Cepu, 2 November 2025