Setiap perjalanan memiliki detik-detik yang tak bisa dilupakan. Ada langkah goyah, ada detak jantung yang dipenuhi cemas, ada lelah yang hampir membuat kita berhenti. Tetapi pada saat yang bersamaan, selalu ada cahaya-cahaya yang datang dalam wujud orang-orang baik yang dikirim Allah Subhanahu Wata'alla untuk menuntun langkah kita.
Perjalanan saya hingga akhirnya lolos seleksi naskah praktik baik menuju Solo bukanlah kisah tentang saya seorang diri. Bukan tentang kehebatan atau kemampuan saya menulis. Ini adalah kisah tentang dua sosok yang diam-diam menjadi kekuatan di balik setiap keputusan, setiap keberanian, setiap tetesan air mata, dan setiap helaan napas panjang saya. Mereka adalah Bu Rini dan anak saya dik Faiz.
Cahaya Pertama adalah Bu Rini
Dia orang yang tidak akan saya lupakan dalam perjalanan ini, Mbak Rini, begitu saya biasa memanggilnya. Dulu, dia siswa saya. Seorang remaja yang duduk di kelas, mendengarkan penjelasan saya tentang materi pelajaran. Tidak pernah terbayang oleh saya bahwa bertahun-tahun kemudian, dia justru akan menjadi guru yang bekerja satu sekolah dengan saya. Lebih dari itu, ia menjadi teman seperjalanan. Seseorang yang kehadirannya begitu berarti.
Informasi pertama kali tentang adanya seleksi naskah praktik baik, dialah yang memberitahu dan mengajak daftar. Saya tidak punya keberanian untuk ikut. Jangankan menyiapkan naskah, membayangkan syarat-syaratnya saja sudah membuat saya mundur. Namun Bu Rini berkata dengan suara lembut dan penuh keyakinan.
“Bu, coba saja. Rezeki tidak ada yang tahu. Saya yakin bu Saida bisa.”
Kalimat itu mungkin sederhana, tetapi justru di situlah kekuatannya. Dia menyalakan lilin kecil dalam hati saya. Lilin yang sebelumnya padam oleh rasa ragu dan takut. Sejak itu, saya mulai menulis. Dua hari saya habiskan menatap layar, menyusun kata demi kata, memperbaiki kalimat yang terasa janggal, dan memilih mana pengalaman yang paling tepat untuk dituliskan.
Ketika kesulitan datang mulai dari email yang tidak bisa mengirim, link yang tidak bisa dibuka, hingga file yang kembali gagal terunggah Bu Rini tetap menjadi tempat saya bertanya. Ia tidak bosan membantu, tidak lelah menjelaskan. Bahkan dalam kesibukannya sebagai guru, dia masih menyempatkan diri menenangkan saya. Tidak banyak orang yang seperti itu. Ketika seseorang menunjukkan bahwa dia peduli, sekecil apa pun kasihnya, itu terasa seperti tetesan hujan pertama setelah kemarau panjang.
Cahaya Kedua adalah dik Faiz Faiz, anak saya, adalah tangan yang menggenggam ketika saya hampir jatuh. Dia tidak banyak bicara, tetapi selalu ada. Kehadirannya adalah kekuatan yang tidak pernah saya minta, tetapi Allah Subhanahu Wata'alla titipkan kepada saya. Dia tulus, lembut, dan penuh bakti.
Selama proses penulisan dan pengiriman naskah, dik Faiz adalah satu-satunya yang selalu siap membantu urusan teknis. Saat email bermasalah, ia mencari cara. Ketika file tidak mau terkirim, dia mencoba ulang. Saat saya lelah dan hampir menyerah, ia berkata singkat,
“Sabar, umii. Kita coba pelan-pelan.” katanya singkat.
Satu kalimat itu seperti pintu kecil yang membuka kembali harapan saya. Puncak perjuangan datang ketika masa pengumpulan naskah hampir ditutup. Saya masih mengajar hingga jam terakhir, sementara batas waktu semakin dekat. Saya hanya bisa mengandalkan dik Faiz. Dia tetap tenang ketika saya sudah panik. Dia satukan file, dia kirimkan ulang, dia atur semuanya dengan cekatan. Hingga akhirnya, dua menit sebelum deadline berakhir, naskah itu berhasil terkirim.
Saat saya berkata, “Alhamdulillah…” suara saya bergetar. Rasanya seluruh perjuangan dua hari itu meleleh menjadi kelegaan yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Dik Faiz tersenyum kecil, senyum yang mengandung banyak makna diantaranya kasih sayang, kepedulian, dan bakti.
Sabtu malam, saya tidak bisa membuka Instagram untuk melihat pengumuman. Aplikasi saya error, layar hanya berputar-putar. Saya hanya bisa menunggu Faiz pulang. Begitu dia datang, dia langsung membantu, tanpa bertanya panjang.
Dan di sanalah, nama saya muncul. Saya terpaku beberapa detik, lalu air mata saya turun tanpa diminta. Tidak hanya karena saya lolos, tetapi karena saya sadar bahwa saya tidak sampai di titik itu sendirian. Ada tangan-tangan Allah yang bekerja melalui dua orang yang sangat saya sayangi.
Saya lalu membayangkan kembali seluruh prosesnya malam-malam yang saya habiskan menulis, detik-detik panik saat pengiriman gagal, perasaan pasrah ketika saya hampir tidak bisa mengumpulkan naskah. Ternyata Allah Subhanahu Wata'alla menghadiahkan kejutan yang begitu manis.
Untuk Bu Rini dulu siswa yang kini menjadi saudara sejiwa dan ibu, saya tidak akan lupa jasa njenengan. Njenengan menuntun saya ketulusan, dan kesabaran. Untuk dik Faiz anak saya, cinta saya dunia akhirat, terima kasih sudah menjadi penopang saat umi rapuh, menjadi kekuatan saat umi tidak berdaya.
Saya tidak bisa memberikan apa-apa kecuali doa, "Semoga Allah memudahkan jalan kalian, melapangkan rezeki kalian, menyejukkan hati kalian dengan iman, menguatkan langkah kalian dengan kebaikan, dan mengikat kalian dalam kebahagiaan dunia dan akhirat." Aamiin.
Cepu, 16 November 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar