Rabu, 26 November 2025

Dua Kopiko

 

Karya : Gutamining Saida

Suasananya kelas ada kehangatan yang saya rasakan meski sebagian siswa terlihat mulai letih setelah belajar beberaja jam berlalu. Saya memulai pelajaran pada jam terakhir, dengan ringan, sedikit cerita, dan sedikit candaan agar anak-anak tetap fokus. Alhamdulillah, mereka menikmati pembelajaran  IPS dengan baik.

Ketika bel tanda jam pelajaran berakhir berbunyi, saya pun mulai berkemas. Mengambil buku catatan, spidol, dan menutup absensi. Anak-anak mulai merapikan meja, memasukkan buku ke tas, dan saling berpamitan. Suasana kelas yang tadi riuh perlahan berubah menjadi tenang.

Saat saya beberes dua siswi tiba-tiba maju ke depan. Langkah mereka ragu-ragu, wajahnya tersenyum malu, namun mata mereka berbinar. Mereka adalah Nesa dan Frisca. Seperti ada sesuatu yang ingin mereka katakan tetapi mereka belum yakin apakah sebaiknya disampaikan atau tidak.

“Bu Saida…” salah satu dari mereka memanggil pelan.
Saya menoleh. “Ya? Ada apa?” Mereka saling pandang sebentar, mungkin memastikan siapa yang akan bicara lebih dulu. Lalu dengan gerakan pelan, mereka mengulurkan tangan, masing-masing memegang satu buah permen. Permen itu kecil, sederhana permen Kopiko. 

Awalnya saya bingung. Saya bahkan sempat : Ada apa ini? Kenapa mereka memberikan permen?

“Ini, Bu… khusus buat Ibu Saida,” kata mereka hampir bersamaan sambil sedikit menunduk. Ada raut malu-malu yang justru membuat suasana terasa manis.

Saya mengernyit, memastikan saya tidak salah dengar. “Buat bu Saida? Kenapa?”

Mereka tersenyum lebih lebar. “Iya Bu… pokoknya buat Ibu. Tolong diterima ya.”

Salah satu tangan kecil itu kemudian meletakkan permen Kopiko di telapak tangan saya, disusul oleh yang satunya lagi. Saya terdiam sejenak, bukan karena permen itu, tetapi karena ketulusan mereka. Hadiah sederhana, tetapi dengan hati yang tidak sederhana.

Saya tersenyum senyum yang datang dari rasa haru yang tidak bisa saya jelaskan.
“Terima kasih ya,” kata saya tulus.

Mereka terlihat lega, lalu kembali ke tempat duduknya sambil saling menahan tawa malu. Saya pun melangkah keluar kelas dengan permen kecil yang terasa seperti hadiah besar. 

Perjalanan menuju ruang guru, saya kembali teringat detik-detik tadi. Betapa seringnya kita sebagai orang dewasa mengira bahwa kebaikan harus besar dan tampak. Padahal, Allah sering menitipkan kebahagiaan dalam hal-hal kecil, melalui tangan-tangan kecil yang niatnya murni. Permen itu mungkin harganya tidak seberapa. Tapi perhatian mereka, keberanian mereka maju mendekati gurunya, dan niat baik yang mereka sisipkan itulah hadiah sesungguhnya.

Dalam hati saya berkata:
Ya Allah, terima kasih Engkau masih menitipkan kasih sayang melalui murid-muridku. Terima kasih Engkau mengizinkan  merasakan manisnya dihargai, walau dalam bentuk sekecil sebiji permen.

Saya teringat sebuah nasihat lama bahwa,
“Ikhlaslah mengajar, nanti Allah yang akan menggerakkan hati manusia untuk membalas dengan cara-Nya.”

Sesampainya di ruang guru, saya duduk sebentar. Perhatian saya teralihkan ke dua butir permen di atas meja. Betapa hal kecil bisa menjadi penghibur setelah hari yang panjang. Betapa sering seorang guru merasa lelah bukan hanya fisik, tetapi juga batin. Tugas yang menumpuk, administrasi yang tidak ada habisnya, dinamika kelas yang kadang sulit, dan berbagai tuntutan lainnya. Allah selalu tahu kapan hamba-Nya butuh disapa, kapan seorang guru butuh diingatkan bahwa pekerjaannya tidak sia-sia.

Saya merasakan kembali alasan saya mencintai dunia pendidikan yaitu karena setiap harinya, selalu ada kejutan-kejutan kecil yang membuat hati bertaut dengan siswa-siswi yang Allah titipkan kepada saya. Apapun alasannya, bagi saya itu adalah tanda bahwa hati mereka bersentuhan dengan hati saya, walau hanya sebentar. Kebaikan hadir tanpa aba-aba, tanpa perayaan, tanpa drama. Datang sederhana, tetapi meninggalkan jejak yang lama.
Cepu, 27 November 2025



Tidak ada komentar:

Posting Komentar