Karya :Gutamining Saida
Tepat Hari Guru, sekitar pukul 06.00 WIB, ketika cahaya fajar baru menyapu langit dengan lembut. Di luar, embun masih setia bergantung di ujung-ujung daun, seakan menunggu matahari untuk datang menjemput. Dalam hati saya sendiri pun ada yang mengembun sesuatu yang halus, lembut, dan menunggu untuk disingkap.
Seperti biasa, saya meraih handphone untuk mengecek apakah ada pesan penting dari grup sekolah. Tanggung jawab sebagai guru membuat saya terbiasa memulai hari dengan kesiapan. Pagi ini Allah rupanya hendak menghadiahkan sesuatu yang berbeda yaitu sesuatu yang tak saya duga, tapi sangat saya butuhkan.
Setelah grup sekolah saya lihat, perhatian saya justru tertarik pada satu notifikasi kecil, dari seorang anak didik yang sekaligus teman, inspirator, motivator, dan sosok muda yang Allah titipkan sebagai pengingat kebaikan bagi saya. Dia bukan sekadar murid; dia adalah salah satu jawaban doa saya tentang ketenangan dan keikhlasan dalam mendidik.
Jari saya menekan pesan itu. Saya membaca perlahan. Satu kalimat. Dua kalimat. Kemudian kalimat berikutnya.Entah mengapa, tanpa peringatan apa pun, air mata jatuh. Tidak menetes perlahan melainkan langsung mengalir, seakan ada bendungan di dalam dada yang tiba-tiba dibukakan oleh Allah.
Saya terdiam.Tidak ada kata keluar dari mulut, hanya isakan pelan yang bahkan saya sendiri tak mampu menghentikan. Saya tidak tahu apa yang sebenarnya menggugah perasaan saya. Apakah kata-kata lembut itu? Apakah perhatian yang begitu tulus? Apakah doa yang terselip di dalamnya? Ataukah Allah sedang menunjukkan sesuatu kepada hati saya tentang makna menjadi guru, menjadi manusia, menjadi hamba?
Saya merasa disentuh oleh sesuatu yang tidak kasat mata. Seperti ada tangan halus yang menepuk lembut bahu saya dan berbisik:
"Lihatlah, engkau tak sendiri. Ada hati yang mendoakanmu." Di antara isak, saya menarik napas panjang. Bukan sedih yang saya rasakan tetapi haru yang rasanya menyapu seluruh hati. Haru karena Allah masih memberi saya kelembutan hati. Haru karena saya masih diberi nikmat untuk mudah tersentuh oleh kebaikan. Haru karena Allah menghadirkan insan-insan yang menjadi pelembut langkah saya dalam mendidik.
Menjadi guru sering kali membuat saya merasa harus kuat setiap saat. Kuat menghadapi murid yang malas. Kuat menghadapi tugas yang menumpuk. Kuat menghadapi tantangan, komentar, tekanan, juga ketidakpastian. Pesan pagi itu membuat saya sadar bahwa Allah juga mengizinkan saya untuk rapuh. Rapuh yang justru menandakan bahwa hati ini masih hidup.
Dalam pesan itu, anak didik saya menuliskan ucapan syukur, doa, dan penghargaan yang begitu tulus. Kata-katanya bukan hanya rangkaian huruf. ia terasa seperti doa yang meluncur dari hati yang bersih. Ia seakan berkata bahwa kehadiran saya berarti baginyabahwa ada yang ia pelajari, ada yang menguatkan, ada yang menginspirasi.
Saya hanyalah seorang hamba Allah yang berusaha menjalankan amanah-Nya lewat profesi sederhana yaitu mendidik. Saya menyadari satu hal yaitu Allah tidak menilai hasil, tetapi menilai usaha. Tidak menuntut saya menjadi sempurna, tetapi menjadi tulus. Ketulusan, rupanya, selalu menemukan jalannya untuk kembali meskipun sering lewat cara yang tak pernah kita duga.
“Ya Allah, terima kasih Engkau kirimkan penguat ini. Terima kasih Engkau jaga hati saya agar tidak keras. Terima kasih Engkau izinkan saya merasakan indahnya menjadi guru lewat cara yang begitu lembut.”
Saya mengusap air mata, lalu membaca kembali pesan itu. Setiap kalimatnya seperti mengalirkan energi baru ke dalam diri saya. Semangat yang tadinya biasa saja berubah menjadi berkali lipat. Rasanya seperti Allah berkata bahwa tugas saya bukan hanya mengajar, tetapi menginspirasi. Bukan sekadar memberi materi, tetapi menghadirkan kasih sayang. Bukan hanya menuntun siswa, tetapi juga belajar dari mereka.
Penuh kesadaran bahwa nikmat terbesar dalam profesi ini bukanlah penghargaan, bukan sertifikat, bukan pujian. Nikmat terbesar adalah ketika Allah menggerakkan hati seseorang untuk mendoakan kita. Ketika kebaikan kita kembali dalam bentuk yang tidak pernah kita perkirakan. Ketika kita merasa lelah, tetapi Allah mengirimkan pengingat bahwa tugas ini tidak sia-sia.
Saya memulai Hari Guru itu… dengan hati yang baru. Tapi dengan jiwa yang jauh lebih lapang. Terima kasih, anakku. Lewat pesanmu, Allah telah menguatkan gurumu lebih dari yang biasa.
Cepu, 25 November 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar