Kamis, 27 November 2025

Satu Jam Di Depan Alfamart



Karya : Gutamining Saida 
Siapa yang tak kenal Alfamart? Nama yang begitu akrab di telinga masyarakat Indonesia, dari kota besar penuh gedung tinggi, hingga pelosok desa yang jalannya masih berbatu. Di mana ada peradaban kecil berkembang, di situ biasanya berdiri sebuah Alfamart. Bahkan terkadang ia berdampingan erat dengan saingannya, Indomaret dua raksasa toko modern yang seolah tak pernah tidur, berlomba menarik hati masyarakat dengan berbagai promo, lampu terang, dan tata ruang yang rapi.

Entah mengapa, saya selalu bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat masyarakat sangat menyukai berbelanja di toko modern seperti ini? Mengapa pasar tradisional perlahan mulai sepi, sementara toko-toko ritel terus ramai dari hari ke hari? Mungkin karena kemajuan zaman, mungkin karena kepraktisan, atau mungkin karena gaya hidup yang berubah secara perlahan tanpa kita sadari. Semua pertanyaan itu membawa saya pada sebuah pengalaman sederhana namun penuh makna kebetulan saya ada janji menunggu teman di Alfamart. Duduk selama satu jam di depan Alfamart. Saya manfaatkan waktu untuk mengamati kehidupan kecil yang terus bergerak.

Mulai pukul 06.15 - 07.15 WIB saya sengaja duduk di depan Alfamart dekat jembatan perbatasan Jatim -, Jateng, duduk di sebuah bangku kecil dekat tempat parkir. Dari tempat saya duduk, saya bisa melihat pintu otomatis yang terus terbuka dan tertutup, seolah menjadi mulut raksasa yang tak henti menerima dan mengeluarkan orang. Waktu satu jam itu, saya melihat berbagai wajah, berbagai usia, berbagai cerita yang datang dan pergi, menjadikan Alfamart semacam panggung kecil dinamika kehidupan masyarakat.

Yang pertama saya lihat adalah sekelompok anak berseragam sekolah dasar yang dijemput angkot, sebagian memakai peci yang laki-laki dan yang perempuan berjilbab menunjukkan bila sekolah mereka islami. Mereka berjalan berkelompok, riang sekali, seolah tidak memikirkan nilai ulangan atau PR semalam. Mereka masuk sambil bercanda, dan tak sampai lima menit kemudian keluar sambil membawa aneka snack. Ada yang membawa chiki, cokelat, roti, bahkan minuman berwarna-warni. Uang jajan seribu dua ribu pun sudah cukup membuat mereka bahagia. Mereka kemudian masuk ke angkot duduk sambil makan, tertawa, dan bercerita. Angkot meluncur ke jurusan arah timur berarti sekolah mereka di Jawa Timur. Saya tersenyum masa kecil yang sederhana memang selalu membawa kebahagiaan.

Beberapa menit kemudian datang seorang remaja laki-laki naik motor NMAX yang suaranya cukup nyaring. Ia tampak tergesa-gesa. Dengan langkah cepat, masuk ke dalam dan keluar hanya membawa satu botol kopi literan. Dari gerak-geriknya, saya menduga ia sedang kelelahan atau mengantuk, mungkin butuh suntikan kafein untuk melanjutkan aktivitas. Remaja zaman sekarang, pikir saya, hidupnya cepat, dinamis, selalu berpacu dengan waktu.

Setelah itu datang seorang bapak tua, memakai kaos lusuh dan sandal tipis. Ia memarkir motornya yang sudah tua, bahkan lampunya pun sedikit retak. Dengan langkah pelan, ia masuk ke dalam. Tak lama kemudian ia keluar membawa sikat gigi dan sabun mandi. Benda yang tampak sepele, tapi jika dipikir-pikir, itulah kebutuhan dasar setiap manusia. Wajahnya terlihat tenang. Mungkin ia baru menerima uang pensiun, atau baru gajian dari kerja serabutan. Saya bisa merasakan bahwa barang-barang sederhana itu membawa kepuasan tersendiri baginya.

Tidak ketinggalan para ibu-ibu, tokoh penting dalam setiap rumah tangga. Ada yang datang sambil membawa anak kecil, ada yang naik motor bebek, ada pula yang datang dengan mobil. Mereka biasanya berbelanja lebih lama dari pembeli lain. Ada ibu yang keluar membawa deterjen, ada yang membeli minyak goreng sambil menghela napas ketika melihat harga, ada pula yang membeli sabun mandi, pewangi pakaian, dan tisu gulung. Dari wajah-wajah mereka terlihat kesibukan, tanggung jawab, dan kadang kelelahan. Menjadi ibu memang bukan pekerjaan enteng, pikir saya. Bahkan ke Alfamart pun bisa dikategorikan “tugas penting”.

Kendaraan yang datang pun bermacam-macam, menjadi simbol keberagaman kehidupan di desa kecil ini. Ada pejalan kaki dari kampung sebelah, ada motor butut peninggalan tahun 90-an, ada juga motor matic terbaru, hingga mobil keluarga. Semuanya berhenti, parkir, masuk, keluar, dan pergi. Polanya seperti gelombang ombak yang tak pernah berhenti.

Setiap kali satu pelanggan keluar, pelanggan lain pasti langsung masuk. Seolah ada irama tak terlihat yang menjaga toko itu tetap hidup. Lampu-lampu di dalam toko membuat suasana terlihat hangat, sementara kipas angin yang berputar membuat siapa pun betah berlama-lama. Musik kecil yang diputar menambahkan nuansa modern. Saya membatin: “Tidak heran orang suka belanja di sini.”

Satu jam itu terasa lama, namun juga terasa singkat. Karena dari tempat saya duduk, saya seperti membaca buku tanpa halaman, buku kehidupan masyarakat kecil yang terus berkembang. Saya melihat bagaimana modernisasi mengubah cara belanja, mengubah ritme hidup, dan mengubah interaksi sosial masyarakat. Pasar tradisional mungkin tetap ada, tapi toko modern menghadirkan kenyamanan yang sulit ditolak.

Dari semua yang saya lihat, saya menyadari satu hal bahwa  Alfamart bukan sekadar tempat berbelanja. Ia adalah tempat bertemunya berbagai cerita. Cerita anak sekolah, remaja, orang tua, hingga ibu-ibu rumah tangga. Di balik keranjang belanja itu, setiap orang membawa tujuan, harapan, dan rutinitas hidup yang berbeda.

Dari satu jam yang sederhana itu, saya belajar satu hal yaitu  kehidupan, walaupun sederhana, selalu bergerak.  Di depan toko bernama Alfamart, saya menjadi saksi betapa warna-warni kehidupan masyarakat terus berputar tanpa henti.
Cepu, 27 November 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar