Karya :, Gutamining Saida
Di Esmega, ada satu aturan yang tak pernah berubah sejak beberapa tahun terakhir yaitu semua siswa tidak diperbolehkan membawa handphone ke sekolah. Aturan ini dibuat bukan tanpa alasan. Pihak sekolah ingin memastikan bahwa siswa benar-benar fokus belajar, tidak terganggu oleh game online, notifikasi yang berdering, atau keinginan berfoto setiap saat yang sering kali membuat perhatian buyar.
Justru karena aturan itu, ada satu kebiasaan unik yang tumbuh di kalangan siswa Esmega, kebiasaan yang diam-diam menjadi warna tersendiri dalam kehidupan sekolah adalah momen berburu foto. Aturan tanpa handphone membuat siswa “haus dokumentasi”. Di era serba digital ini, ketika setiap peristiwa ingin diabadikan, ketika setiap wajah ingin ditampilkan di media sosial, larangan membawa handphone membuat momen mereka terbatas. Bahkan, kesempatan berfoto saat mengenakan seragam sekolah menjadi sesuatu yang sangat langka, bernilai, dan membahagiakan.
Semuanya bermula dari keseharian sekolah. Ketika siswa baru saja hendak menuju kelas masing-masing, sering kali ada beberapa dari mereka yang tiba-tiba memanggil seorang guru yang lewat. “Bu… Bu… fotoin kami ya, Bu… sekali saja!” Nada mereka memelas, tapi mata mereka berbinar penuh antusias. Guru yang lewat mungkin hanya ingin menuju ruang guru atau kelas, tetapi keinginan siswa yang datang secara tiba-tiba biasanya membuat guru tidak tega menolak. Apalagi ketika melihat mereka begitu ceria dan bersemangat.
Maka, jadilah guru tersebut mengeluarkan handphone miliknya. Para siswa segera berlari kecil menempati tempat terbaik ada yang berjongkok di depan, ada yang berdiri di belakang, ada yang merapikan kerudung cepat-cepat, ada pula yang memperbaiki dasi atau merapikan rambut sambil tertawa malu-malu.
“Bu, bentar Bu, aku belum siap…!”
“Bu, yang banyak ya, Bu…!”
Para guru biasanya hanya tersenyum melihat kelakuan siswanya. Dalam hitungan detik, mereka berubah dari siswa yang polos menjadi model amatir penuh gaya. Setelah foto diambil, mereka langsung menunjuk-nunjuk sambil bertanya:
“Bagus nggak, Bu? Kirim lewat washatshap nanti pulang ya Bu, tolong kirim ke grup kelas!”
Entah mereka berada di depan taman kelas, di dekat lapangan besar, Yang menarik adalah alasan di balik antusiasme mereka. Ternyata banyak siswa yang jarang foto memakai seragam sekolah. Karena tanpa handphone, mereka tidak punya dokumentasi harian. Maka ketika ada guru lewat sambil membawa handphone seolah-olah kesempatan itu adalah pintu surga kecil yang tidak boleh dilewatkan
“Bu, kami difoto dulu!”
“Bu, aku di tengah ya Bu, biar kelihatan!”
Kadang guru hanya tersenyum sambil berkata, “Sabar… sabar… satu-satu…” karena ternyata satu kelompok sudah antre di belakang kelompok sebelumnya.
Apa yang membuat momen ini berharga bagi siswa? Ternyata jawabannya sederhana yaitu seragam sekolah adalah identitas yang ingin mereka kenang.
Bagi sebagian siswa, memakai seragam adalah kebanggaan bukti bahwa mereka masih menjalani masa remaja yang penuh warna. Kelak ketika mereka lulus, foto-foto berseragam itulah yang akan membuka kembali kenangan tentang masa belajar, masa bermain, masa bertumbuh, dan masa penuh persahabatan.
Tanpa disadari, larangan membawa handphone justru membuat momen itu jauh lebih bermakna. Karena ketika sesuatu menjadi langka, ia menjadi lebih berharga. Siswa Esmega merasakan hal itu. Foto bersama yang sederhana terasa lebih istimewa. Mereka tidak bisa melakukannya setiap hari, jadi setiap kesempatan menjadi cerita. Di tengah dunia digital yang penuh kecanggihan, siswa-siswa Esmega justru belajar tentang makna kesederhanaan. Mereka bukan generasi yang memotret setiap detik tanpa makna mereka menjadi generasi yang menghargai momen.
Justru dalam keterbatasan, tumbuh kreativitas dan rasa syukur. Mereka belajar menunggu, belajar meminta izin, belajar mengatur pose bersama teman, dan belajar menghargai hasil foto yang tidak bisa diulang-ulang.
Bahkan sering saya melihat siswa yang setelah difoto langsung berkata pelan.“Alhamdulillah… akhirnya punya foto pakai seragam lagi.” Kalimat sederhana itu menunjukkan betapa berharganya sebuah jepretan kamera bagi mereka.
Satu hal yang saya pelajari dari kebiasaan ini adalah kebahagiaan tidak selalu rumit. Kadang hanya berupa foto sederhana di halaman sekolah, diambil oleh guru yang lewat, lalu dikirim ke grup kelas. Bagi siswa, itu adalah kenangan masa remaja yang tidak akan terulang.
Di esmega, potret-potret kecil itu menjadi bukti bahwa keteraturan dan kedisiplinan tidak mematikan kreativitas, justru membuat siswa menemukan cara baru untuk menikmati kehidupan sekolah yang indah dan penuh warna.
Cepu, 27 November 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar