Karya : Gutamining Saida
Ada detik-detik dalam hidup yang tak pernah saya lupakan. Detik ketika saya sadar sepenuhnya bahwa manusia boleh menilai, tetapi Allah-lah yang menentukan. Saya berdiri tepat di titik, titik ketika logika manusia seharusnya berkata tidak mungkin, tapi kuasa Allah justru berkata maka jadilah.
Hari-hari sebelum pengumuman seleksi naskah, saya tidak pernah merasa paling hebat, tidak merasa paling layak, bahkan… tidak merasa pantas untuk berharap terlalu banyak. Bagaimana mungkin saya bisa lolos, sedangkan saya bukan kepala sekolah, bukan pengawas, bukan guru penggerak, bukan pula seseorang yang sering tampil di depan?
Saya hanyalah seorang guru biasa, yang bekerja dengan hati, yang berusaha tulus setiap hari di kelas, yang sering merasa kecil di tengah begitu banyak guru kota dengan fasilitas lengkap serta kiprahnya jauh lebih mengkilap dari saya.
Adakalanya saya bertanya dalam hati: “Ya Allah… apakah mungkin nama saya Engkau letakkan di antara deretan peserta seminar internasional se Jawa Tengah ?” Saya tidak pernah berani meminta secara muluk. Yang saya minta hanya satu yaitu “Ya Allah, jika ini baik menurut-Mu, maka dekatkanlah sertakan saya menjadi peserta seminar internasional. Jika tidak, jauhkan dengan cara yang paling lembut.” Doa itu saya ucapkan berulang-ulang.
Hari pengumuman tiba. Saya menarik napas dalam-dalam bukan untuk menyiapkan kemenangan, tapi untuk menguatkan diri jika hasilnya tidak sesuai mimpi. Tangan saya gemetar ketika membuka dan membaca hasil seleksi. Saya bahkan harus berhenti sejenak karena jantung terasa berdetak terlalu cepat.
Ketika nama saya muncul ada di deretan peserta Kabupaten Blora. Nomor urut 61, saya tidak langsung percaya. Saya menatap layar handphone lama sekali, tak bergerak, tak bersuara, seperti baru saja tertimpa hujan rahmat dari langit.
Air mata pertama jatuh perlahan. Saya menutup mulut dengan tangan, tak ingin suara tangis saya terdengar oleh siapa pun. Dada saya penuh sesak oleh rasa haru yang tidak bisa ditahan. Di antara isak yang pecah, hanya satu kalimat yang keluar dari bibir saya: “Ya Allah… Alhamdulillah Engkau pilih saya?”
Saya menangis karena saya tahu benar . Lolosnya saya bukan karena kehebatan saya, bukan karena kekuatan, bukan karena kedudukan, bukan karena gelar atau jabatan. Saya lolos karena qodarullah. Karena kasih sayang Allah Subhanahu Wata'alla yang memilih untuk turun dan memeluk hamba-Nya yang penuh kekurangan ini.
Di detik itu, saya merasakan dengan sangat jelas bahwa rezeki tak pernah salah alamat. Jika Allah sudah menuliskannya, maka semua pintu yang tampak tertutup akan dibuka-Nya. Semua tembok yang terlihat tinggi akan diruntuhkan-Nya. Semua ketidakmungkinan menjadi mungkin oleh satu kalimat: KUN FAYAKUN.
Sejak saat itu, setiap kali saya merasa kecil, setiap kali saya merasa tidak mampu, setiap kali suara ragu berbisik di dalam dada, saya selalu kembali mengingat momen itu momen ketika Allah Subhanahu Wata'alla menunjukkan bahwa tidak perlu menjadi siapa-siapa untuk dipilih-Nya.
Karena kuasa Allah Subhanahu Wata'alla, telah berpihak kepada saya. Saya bersujud dengan hati yang luluh oleh rasa syukur: “Ya Allah… Engkaulah sebaik-baik Penulis Takdir. Terima kasih telah memilih saya, di saat saya sendiri tidak yakin pada diri ini.” Ampuni kesalahan hambaMu ini. Aamiin
Cepu, 23 November 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar