Jumat, 28 Februari 2025

Dua Korban

 


Karya: Gutamining Saida

Awal Ramadan tahun 2025 membawa suasana yang berbeda bagi para siswa dan guru. Siswa pembelajaran mandiri di lingkungan keluarga, tempat ibadah dan masyarakat selama satu minggu penuh untuk menyesuaikan diri dengan bulan puasa. Sementara guru dan tenaga tata usaha tetap menjalankan tugas seperti biasa. Meski tanpa siswa di sekolah, ruang guru tetap ada kehidupan. Suasana ruang guru cukup ramai dengan berbagai percakapan.

Beberapa guru berkumpul dalam kelompok kecil, berbagi cerita.  Guru disibukkan dengan berbagai aktivitas. Ada yang sibuk menyiapkan materi pembelajaran. Ada yang mengerjakan tugas administrasi. Ada pula yang sedang berdiskusi mengenai persiapan masak sahur nanti malam. Ada yang membahas rencana pembelajaran setelah libur selesai. Sebagian lagi sibuk mengetik di laptop, menyusun soal atau laporan yang harus segera diselesaikan. Meskipun menyongsong bulan puasa. Semangat kerja tetap tinggi, meskipun sesekali terdengar keluhan ringan tentang rasa kantuk yang mulai menyerang.

Di salah satu sudut ruangan, Bu Warti dan bu Ning sedang berdiskusi tentang masakan. “Menurut bu Ning bagaimana strategi masak yang enak dan cepat selesai?” tanya Bu Warti sambil membolak-balik buku catatannya.

Bu Indri terlihat sudah siap dengan tas tentengnya. Berjalan pelan menuju pintu keluar. Teman-teman yang duduk di dekatnya bertanya dalam hati tanpa memberikan komentar.  Sesekali dia menatap jam dinding yang terletak di atas pintu ruang sebelah.

“Bu Indri, mau kemana? Kenapa tidak nunggu sekalian?”tanya bu Warti.

“Pulanglah.”jawabnya singkat sambil melanjutkan langkah.

“Masih kurang satu jam bu Indri, sabaaar.”lanjut bu Warti.

Bu Endri akhirnya berbalik arah kembali duduk di kursinya dengan wajah yang masih sedikit malu. “Baiklah, aku duduk lagi. Semoga jam benar-benar menunjukkan angka 11.00 WIB dalam waktu yang  lebih cepat!” katanya, disambut gelak tawa dari rekan-rekannya.

Setelah kejadian itu, rekan-rekan guru kembali menyibukkan diri. Melanjutkan berbagai aktivitas. Di tengah suasana kerja yang penuh keseriusan itu. Pintu ruang guru tiba-tiba terbuka. Seorang guru dari luar yaitu Bu Ely masuk dengan langkah mantap.  “Waaah, saatnya pulang!” serunya dengan penuh keyakinan. Wajahnya menunjukkan ekspresi lega seakan hari kerja sudah selesai. Dia sambil menatap jam dinding di atas pintu ruang keuangan bendahara.

Sejenak, suasana ruang guru sunyi. Hanya dalam hitungan detik, tawa pecah dari berbagai sudut ruangan. Semua guru yang mendengar komentar bu Ely langsung tertawa terbahak-bahak.

Bu Ely yang masih belum menyadari apa yang terjadi. Dia ikut tersenyum bingung. “Kenapa kalian ketawa?” tanyanya mengerutkan kening sambil mendekat ke bu Lala.

Bu Lala yang masih menahan tawa menunjuk ke arah jam dinding. “Bu Ely  coba lihat jam dulu sebelum buru-buru pulang.”

Bu Ely langsung mengalihkan pandangannya ke jam dinding di ruang guru. Matanya membesar saat menyadari bahwa jarum pendek masih di angka 10.15 WIB, sementara jarum panjang mencapai angka tiga. Bu Ely menepuk dahinya. “Ya ampun! Aku kira sudah pukul 11.00 WIB. Pantas saja semua orang masih sibuk bekerja.”

Tawa di ruangan semakin menjadi. Bu Ely menepuk pundak bu Lala sambil terkekeh. Bu Ely menghela napas panjang. “Aku tadi lihat jam sekilas, eh… malah salah lihat.”

Suasana ruang guru menjadi lebih cair setelah kejadian lucu itu. Beberapa guru mulai mengingat kejadian-kejadian serupa yang pernah mereka alami saat hari-hari libur.

“Dulu aku pernah mengalami hal yang sama, tapi lebih parah. Aku pikir sudah waktunya berbuka, padahal baru jam tiga sore,” kata Bu Putri sambil terkikik.

Bu Ning ikut menimpali, “Aku pernah hampir minum karena lupa kalau sedang puasa. Untungnya sadar sebelum air sampai ke mulut.”

Percakapan ringan itu membuat semua guru semakin bersemangat. Semangat menyongsong datangnya bulan suci yang sebentar lagi datang. Esok hari sudah melaksanakan ibadah puasa. Suasana kebersamaan di ruang guru menjadi lebih hangat. Bulan ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang berbagi kebahagiaan dan kebersamaan.

Suasana di ruang guru tetap penuh semangat. Kejadian kecil seperti salah lihat jam menjadi hiburan tersendiri di tengah kesibukan. Ramadan memang selalu membawa cerita unik. Kisah bu Ely dan bu Indri hari ini pasti akan menjadi bahan candaan di hari-hari berikutnya. Candaan yang membuat orang lain tersenyum dan terhibur. Bukankah senyum termasuk ibadah. Asal jangan senyum-senyum sendirian. Semoga terhibur.

Cepu, 28 Februari 2025

 

 


Hilang Satu Tumbuh Seribu

 

Karya: Gutamining Saida

Suasana di ruang guru Jum’at siang masih penuh aktivitas meskipun jam pulang semakin dekat. Beberapa guru masih sibuk menyelesaikan tugas administrasi. Ada yang mendiskusikan rencana menghadapi bulan suci. Sementara yang lain mulai merapikan barang-barang di meja kerja masing-masing. Di antara mereka, ada satu sosok yang selalu punya cara untuk mencairkan suasana, terutama saat menjelang pulang.

Bu Wiwik dengan ide-idenya yang tak ada habisnya. Beliau tampak berdiri dari kursinya. Dengan langkah ringan, ia keluar dari ruangan. Dia berjalan menuju tempat duduk di ruang guru. Tangannya memegang dompet. Ekspresinya menunjukkan sesuatu sedang dipikirkannya. Para guru yang masih berada di dalam ruangan mulai memperhatikan gerak-geriknya termasuk saya.  Sudah menjadi kebiasaan bahwa menjelang pulang, Bu Wiwik pasti menemukan sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan. Saya tertarik dengan suasana ini. Ada hal yang menarik bagi saya. Kemudian saya abadikan dalam deretan kata-kata sebagai hiburan.

Tak lama kemudian, ia mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya. Sambil tersenyum, ia mengeluarkan uang ribuan dari antara lembaran-lembaran yang lain. Lalu, dengan suara khasnya yang penuh semangat, ia berkomentar, “Hilang satu tumbuh seribu!”

Sekejap suasana ruang guru yang awalnya hanya diisi percakapan ringan langsung berubah riuh. Beberapa guru tertawa, sementara yang lain mulai menimpali dengan berbagai komentar. Ada yang mendekat untuk melihat. Ada yang berkomentar lucu.

“Haha, Bu Wiwik ini memang selalu ada saja idenya!” kata Pak Budi sambil geleng-geleng kepala.

Bu Chusti yang duduk tak jauh dari tempat Bu Wiwik berdiri, ikut menimpali, “Kalau uang hilang, terus tumbuh seribu saya juga mau kehilangan terus nih!”

Tawa kembali pecah di ruangan itu. Bu Wiwik hanya terkekeh sambil tetap memainkan uang di tangannya. “Iya dong! Makanya jangan sedih kalau kehilangan, siapa tahu dapat gantinya lebih banyak,” katanya dengan nada bercanda.

Pak Budi, yang sejak tadi memperhatikan sambil tersenyum, akhirnya ikut bicara, “Kalau begitu, bila kehilangan semangat, nanti tumbuh seribu semangat lagi dong?”

Bu Sri, yang sedari tadi diam, akhirnya ikut bersuara, “Kalau kehilangan tugas administrasi, bisa nggak tumbuh seribu orang yang mau ganti mengerjakan?”

Suasana di ruang guru semakin riuh. Semua orang tertawa dan menikmati momen ringan sebelum akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Candaan-candaan kecil itu menjadi hiburan di tengah kesibukan.  Meskipun pekerjaan sebagai guru cukup berat, selalu ada cara untuk menikmati kebersamaan.

Melihat semua orang menikmati obrolan, Bu Wiwik kembali berkomentar, “Lihat kan? Padahal tadi semua serius kerja, sekarang jadi ramai. Ini namanya menciptakan kebahagiaan sebelum pulang.”

Pak Budi mengangguk sambil tersenyum. “Memang kalau sudah mendekati pulang, suasana harus dibuat lebih santai supaya sampai rumah nanti tetap bahagia.”

“Bu Wiwik ini luar biasa. Punya seribu ide untuk mencairkan suasana!” tambah Bu Warti.

Bu Wiwik hanya tertawa kecil. “Hidup ini harus dinikmati. Jangan cuma sibuk kerja terus. Sesekali harus ada momen yang menyenangkan.”

Percakapan ringan itu terus berlanjut beberapa menit lagi, sebelum akhirnya satu per satu guru mulai bersiap untuk pulang. Beberapa masih menyempatkan diri bercanda sebentar. Sementara yang lain mulai merapikan tas dan buku-buku mereka.

Saat akhirnya semua siap untuk beranjak. Bu Indri menatap jam dan berkomentar, “Nah, kali ini aku nggak salah lihat jam kan?”

Semua kembali tertawa, mengingat kejadian lucu sebelumnya di mana Bu Indri sempat mengira jam sudah menunjukkan waktu pulang padahal masih kurang satu jam.

Dengan suasana hati yang ringan dan bahagia. Para guru akhirnya meninggalkan ruang guru satu per satu. Obrolan ringan, canda tawa dan suasana kebersamaan itu menjadi bekal yang membuat hari terasa lebih menyenangkan.

Menjadi guru bukan hanya tentang mengajar di kelas atau menyelesaikan tugas administrasi, tetapi juga tentang menikmati kebersamaan dan menciptakan kenangan indah di tengah kesibukan. Dan hari ini berkat ide bu Wiwik yang sederhana, mereka semua pulang dengan senyum bahagia. Sampai ketemu esok pagi hari Sabtu di ruang guru SMPN 3 Cepu dengan ide terbaru.

Cepu, 28 Februari 2025

 


Kamis, 27 Februari 2025

Buah Anggur Hamzah dan Zaskia

 


Karya: Gutamining Saida

Suasana rumah begitu ceria hari ini. Saya mengajak cucu-cucu tercinta, Hamzah dan Zaskia. Mereka membuat sebuah karya seni dari tutup botol bekas. Ide ini muncul ketika saya melihat banyak tutup botol plastik berserakan di dapur. Sayang rasanya jika dibuang begitu saja. Dengan sedikit kreativitas, benda-benda kecil itu bisa disulap menjadi sesuatu yang indah dan bermakna. Saya pun menyuruh kepada Hamzah dan Zaskia untuk menata tutup botol tersebut menjadi sebuah rangkaian yang menyerupai buah anggur.

Kedua cucu saya tampak antusias. Mereka bersemangat mengumpulkan tutup botol yang sudah saya bersihkan sebelumnya. Beberapa tutup botol berwarna biru, oren dan merah. Untuk menambah keseruan, saya pun membuat tantangan kecil kepada mereka.  Siapa yang lebih cepat menyusun tutup botol menjadi bentuk buah anggur?

Hamzah yang lebih muda dari Zaskia, tampak langsung menyusun dengan penuh strategi. Ia mengambil tutup botol warna biru dan mulai merangkainya dengan pola yang sudah ada. Ia tampak serius, alisnya berkerut, seolah sedang memecahkan teka-teki yang sulit. Sementara itu Zaskia juga tak mau kalah. Dengan jemari kecilnya, ia mulai menyusun tutup botol oren dan merah dengan penuh semangat. Ia tidak hanya menggunakan warna oren, tetapi juga memadukannya dengan warna merah seolah-olah menciptakan buah anggur yang beraneka jenis.

Saya duduk di samping mereka, mengamati dengan penuh kebanggaan. Kreativitas mereka begitu luar biasa. Saya terkagum-kagum melihat bagaimana mereka mengatur tutup botol dengan cermat dan teliti. Sesekali, saya memberikan sedikit arahan agar susunan mereka lebih rapi. Namun, sebagian besar saya biarkan mereka berkreasi sendiri.

"Timi, lihat! Anggurku sudah hampir selesai!" seru Hamzah dengan mata berbinar.

Saya tersenyum dan mengangguk. "Bagus sekali! Coba beri sedikit jarak antara satu tutup botol dan yang lainnya agar terlihat lebih seperti buah anggur yang menggantung."

Zaskia menghela napas dalam. Ia merasa kesulitan menyusun tutup botol yang terkadang tergelincir. Saya pun membantunya sedikit, menahan beberapa tutup botol agar tidak jatuh. "Tidak apa-apa, Zaskia. Pelan-pelan saja. Yang penting sabar dan teliti."

Zaskia pun mengangguk dan kembali menyusun dengan lebih hati-hati. Saya bisa melihat tekad di matanya. Meskipun lebih tua, ia tidak ingin kalah dari Hamzah.

Setelah hampir beberapa menit berlalu, akhirnya kedua karya seni mereka mulai terlihat jelas. Hamzah berhasil menyusun tutup botol dengan bentuk yang nyaris sempurna menyerupai rangkaian buah anggur. Ia juga menambahkan tutup botol hijau di bagian atas sebagai daun dan batangnya. Karyanya tampak rapi dan simetris.

Zaskia, dengan gayanya yang lebih ekspresif, menciptakan buah anggur dengan warna-warni ceria. Ada merah, dan oren yang semuanya tersusun dengan unik. Meskipun tidak sesimetris karya mereka  memiliki daya tarik tersendiri, penuh warna dan keceriaan.

Saya bertepuk tangan dengan bangga. "Luar biasa! Kalian berdua sangat kreatif!"

Mereka tersenyum lebar, tampak puas dengan hasil karya masing-masing. Saya pun mengambil beberapa foto untuk mengenang momen ini. Sungguh menyenangkan melihat bagaimana mereka bisa mengolah benda-benda bekas menjadi sesuatu yang bernilai seni.

Setelah itu, saya mengajak mereka untuk menempelkan hasil karya mereka di papan kayu kecil agar lebih kokoh. Dengan sedikit lem, karya seni berbentuk buah anggur itu pun menjadi lebih permanen. Kami pun memutuskan untuk memajangnya di ruang tamu sebagai bukti kreativitas Hamzah dan Zaskia.

"Timi, lain kali kita buat karya apa lagi?" tanya Zaskia penuh antusias.

Saya tersenyum. "Kita bisa mencoba membuat bunga dari tutup botol atau mungkin hewan-hewan kecil. Kalian suka binatang, kan?"

Mereka mengangguk bersemangat. Saya merasa sangat bahagia bisa menghabiskan waktu bersama dengan cucu-cucu tercinta. Bukan hanya sekadar bermain, tetapi juga mengajarkan mereka untuk lebih kreatif dan peduli terhadap lingkungan dengan memanfaatkan barang bekas.

Hari itu menjadi salah satu hari yang berkesan. Dari sekadar tutup botol bekas, kami berhasil menciptakan sesuatu yang indah, penuh makna, dan tentu saja, mempererat ikatan batin. Saya pun menyadari bahwa kreativitas memang bisa datang dari mana saja. Bahkan dari benda-benda sederhana yang sering kali kita anggap tak berguna. Yang terpenting adalah bagaimana kita memanfaatkannya dengan penuh imajinasi dan kebersamaan.

Hamzah dan Zaskia telah membuktikan bahwa dengan sedikit usaha dan ketekunan. Sesuatu yang sederhana bisa berubah menjadi luar biasa. Saya tidak sabar untuk proyek berikutnya bersama mereka!

Cepu, 28 Februari 2025

 


Mimpi Yang Terwujud

Karya: Gutamining Saida

Sejak kecil saya selalu mengagumi para ustazah yang mengajar di musala kecil dekat rumah. Mereka tidak hanya membimbing dalam membaca Al-Qur’an tetapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan yang luhur. Dalam hati kecil saya terbersit sebuah impian, "Suatu hari, aku ingin dipanggil ustazah."

Kehidupan membawa saya ke jalur yang berbeda. Saya menjadi seorang guru yang mengabdikan diri di sekolah dengan mengajarkan ilmu dunia. Gelar yang melekat pada diri saya adalah Bu Guru.  Sebuah panggilan yang penuh kehormatan. Tetapi jauh di dalam hati ada sesuatu yang masih terasa kurang.

Waktu pun berlalu. Saya terus menjalani kehidupan sebagai seorang pendidik di SMP negeri. Saya membimbing generasi agar tumbuh menjadi pribadi yang berilmu dan berakhlak. Keinginan untuk mengajar ilmu agama tidak pernah padam. Setiap kali melihat anak-anak yang berangkat ke masjid untuk mengaji, hati saya bergetar. Mengapa aku tidak ikut memulai ?

Saya memutuskan untuk mengabdikan diri di masjid, mengajar anak-anak membaca iqra’.  Awalnya, hanya datang untuk menemani beberapa ustazah yang mengajar. Anak-anak yang ikut mengaji berjumlah banyak. Ustad dan ustazahnya hanya berjumlah enam. Anak-anak dikelompokkan sesuai usia dan kemampuan membaca. Peserta mengaji dari usia paud sampai usia anak SMP. Sedangkan mengaji Iqro dari jilid satu sampai enam dan kelompok membaca Al Qur’an.

Saya merasakan kebahagiaan yang berbeda. Jika di sekolah saya mengajarkan ilmu dunia. Di masjid saya menanamkan ilmu akhirat. Setiap kali melihat anak-anak mulai bisa membaca Iqro, Al-Qur’an dengan benar dan baik, hati saya penuh Syukur pada Allah Subhanahu Wata’alla. Ada satu hal yang membuat saya terkejut dan haru yaitu anak-anak mulai memanggil saya ustazah. 

Suatu hari, wakil kepala urusan kurikulum  menemui saya dan meminta saya untuk membantu mengajar pelajaran agama di kelas VIIA dan kelas VIIB. Anak-anak sangat membutuhkan bimbingan dan tidak ada gurunya. Guru agama islam hanya ada satu orang, kelas yang ada berjumlah 24 kelas.

Saya terdiam sejenak. Mimpi lama saya kembali berkelebat di benak. Apakah ini saatnya untuk berbagi ilmu agama? Saya tersenyum dan mengangguk, menerima amanah itu dengan penuh rasa syukur. Ada peluang kesempatan untuk membantu.

Sejak saat itu, saya bukan hanya mengajar ilmu umum tetapi juga ilmu agama. Saya membimbing siswa memahami akhlak, ibadah, dan nilai-nilai Islam yang dapat mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Di kelas, mereka mulai memanggil saya ustazah, sebuah panggilan yang dulu hanya ada dalam angan-angan.

Ada rasa yang berbeda ketika disebut bu guru dan ustazah. Keduanya sama-sama mulia, tetapi panggilan ustazah mengingatkan saya pada tanggung jawab yang lebih besar. Bukan hanya membimbing anak-anak dalam memahami dunia.  Berjuang mempersiapkan mereka menghadapi kehidupan setelahnya.

Di usia 55 tahun, mimpi saya akhirnya terwujud. Tidak ada kata terlambat untuk mencapai impian. Selama kita terus berusaha dan berdoa. Saya belajar bahwa Allah Subhanahu Wata’alla selalu memiliki cara terbaik untuk mengabulkan keinginan hamba-Nya. Terkadang dengan jalan yang tidak kita duga.

Mengajar ilmu agama tidak hanya bermanfaat bagi orang lain tetapi juga bagi diri saya sendiri. Saya merasa semakin dekat dengan Allah Subhanahu Wata’alla. Semakin memahami hakikat kehidupan, dan semakin yakin bahwa kebahagiaan sejati bukanlah sekadar meraih dunia.  Kita bisa memberikan manfaat bagi sesama.

Setiap kali mendengar seseorang memanggil saya ustazah, saya tersenyum penuh rasa syukur. Bukan karena gelarnya, tetapi karena panggilan itu mengingatkan bahwa saya masih memiliki tanggung jawab besar dalam menyebarkan ilmu hingga akhir hayat.

Saya hanya berharap, apa yang saya ajarkan dapat menjadi amal jariyah yang terus mengalir. Semua akan menjadi bekal yang menyertai perjalanan di kehidupan kemudian.

Cepu, 28 Februari 2025

 

 

 


 

Rabu, 26 Februari 2025

Makan Bergizi Gratis (MBG) di SMPN 3 Cepu


Karya: Gutamining Saida

Selama tiga hari berturut-turut sekolah SMPN 3 Cepu mendapatkan jatah program makan bergizi gratis untuk para siswa. Setiap hari makanan yang diberikan berbeda-beda. Nasi dengan lauk berprotein, sayuran segar, hingga buah-buahan serta susu. Para siswa pun tampak antusias menyambut kegiatan ini.

Senin saatnya jatah makan gratis terealisasi. Sejak pagi, siswa sudah menunggu dengan penuh antusias. Harapan yang minggu lalu hanya menggantung kini menjadi kenyataan. Tidak ada lagi perasaan ragu atau kecewa. Sebaliknya ada rasa syukur kepada Allah Subhanahu Wata’alla yang begitu dalam. Semua terucap dari setiap bibir yang menanti jatah makan siang. Mereka menantikan dengan penuh rasa bahagia, membayangkan setiap suapan yang akan mereka nikmati.

Mereka mengingat betul pesan yang disampaikan minggu lalu yaitu makanan gratis harus dimakan tanpa sisa. Tidak boleh ada yang terbuang. Aturan ini seolah menjadi bagian dari ritual yang mereka harus jalani. Siswa diharapkan membawa alat makan sendok dan garpu.

"Makanan bergizi gratis sudah tersedia di Gedung Sasana Krida. Semua siswa yang sudah terdaftar sebagai petugas silakan menuju ke sana."

Setiap kelas ada lima siswa yang bertugas mengambil. Mereka bergegas menuju Sasana Krida mengantri dengan tertib. Mata mereka berbinar. Tidak ada lagi kebingungan, tidak ada lagi rasa ragu. Tidak berapa lama petugas sudah kembali ke kelas dengan setumpuk box makan. Dipandu oleh wali kelas masing-masing. Dibagi satu-satu box dengan tertib. Setelah semua sudah menerima dilanjutkan berdoa makan. Makan bersama yang lama dinanti. Makanan yang sederhana namun terasa begitu istimewa. Satu per satu, mereka mulai menyantap hidangan tersebut dengan penuh rasa syukur. Tidak ada yang tersisa setiap butir nasi habis dimakan, setiap gigitan dinikmati dengan sepenuh hati. Pemandangan makan bersama begitu rapi dengan bahagia.

Saat makan siang selesai, beberapa siswa saling berbincang. Mereka tertawa, merasa lega bahwa hari ini bukan sekadar omong kosong. Namun, di balik keceriaan itu, ada pelajaran besar yang mereka sadari.

Hari pertama ada yang masih malu-malu untuk menikmati makan. Hari berikutnya mereka sudah lebih percaya diri dan menikmati kebersamaan. Guru-guru yang turut mendampingi merasa bahagia melihat anak-anak makan dengan lahap. Tidak ada yang terburu-buru, semuanya menikmati makanan dengan penuh Syukur kepada Allah Subhanahu Wata’alla.

Ini menu di hari pertama jatuh hari Senin. Nasi, sayur oseng manisa-wortel, tempe, telur ceplok, dan buah naga. Menu hari kedua berbeda yaitu nasi, boncis-wortel direbus dilengkapi saos, katsu, buah pisang, susu kotak. Menu hari ketiga adalah nasi, sayur asem, tahu goreng, telur dadar, sambal dan buah semangka.

Di hari keempat, siswa mendapat libur awal puasa. Meski begitu, kenangan tiga hari menikmati makanan bergizi bersama tetap melekat di hati mereka. Raut wajah bahagia masih terlihat saat mereka mengingat pengalaman tersebut.

Kebahagiaan memang tidak selalu berasal dari hal-hal besar. Dari satu box makanan bergizi yang diberikan dengan tulus, dari kebersamaan yang terjalin selama tiga hari, tercipta kenangan yang berharga. Momen sederhana ini menjadi bukti bahwa perhatian kecil bisa memberikan dampak besar bagi kebahagiaan seseorang.

Cepu, 28 Februari 2025

 


Kenangan yang Tak Pudar

Karya: Gutamining Saida

Saat jam istirahat tiba, Saya duduk sejenak di ruang guru, menikmati jeda waktu setelah beberapa jam mengajar. Sambil menyeruput air putih, tiba-tiba teringat sesuatu. Rasa kangen kepada siswa-siswa di sekolah lama. Sudah sebulan setengah saya mutasi ke sekolah baru. Kenangan bersama mereka masih melekat di hati.

Timbul keinginan untuk menyapa mereka. Saya membuka ponsel dan masuk ke grup mata pelajaran IPS yang dulu kami gunakan untuk berbagi materi dan diskusi. Dengan perasaan rindu, Saya mulai mengetik pesan:

"Assalamualaikum, anak-anak. Bagaimana kabarnya? Adakah yang kangen Bu Saida?"

Saya menekan tombol kirim dan menunggu. Awalnya hanya ada tanda centang dua, lalu satu per satu pesan mulai masuk. Hatiku berdebar membaca balasan mereka.

"Waalaikumsalam, Bu! Alhamdulillah baik, bu"

Lalu, tanpa ragu, Saya mengetik pertanyaan lain:

"Ada yang sudah kangen belum?"

"Wah, Bu Saida! Kangen banget, Bu!"
“Kuangen buanget bu.”

Saya tersenyum haru. Mereka masih merindukan. Saya pun membalas satu per satu pesan mereka.

Tak butuh waktu lama, balasan mengalir deras.

"Jelas kangen, Bu!"

"Kangen banget, Bu. Ibu masih ingat pas kita belajar IPS terus ada yang ketiduran?"

Saya tertawa kecil membaca pesan-pesan itu. Ada yang mengingat kejadian-kejadian lucu di kelas, ada yang mengenang bagaimana saya mengajar dan ada yang benar-benar berharap. Saya datang kembali.

Saya tidak menyangka bahwa kehadiran saya dulu memberikan kesan mendalam bagi mereka. Bagi seorang guru, tidak ada yang lebih membahagiakan selain mengetahui bahwa dirinya tetap diingat dan dirindukan oleh siswanya.

Saya pun membalas, "Terima kasih, anak-anak. Ibu juga kangen kalian. Semoga kalian tetap semangat belajar dan meraih mimpi. InsyaAllah, kalau ada waktu,kita ketemu."

Percakapan di grup itu terus berlanjut dengan tawa dan kenangan. Sekali lagi saya menyadari bahwa menjadi guru bukan sekadar mengajar, tetapi juga meninggalkan jejak di hati anak-anak. Saya merasa begitu bersyukur kepada Allah Subhanahu Wata’alla. Saya masih menjadi bagian dari kenangan indah mereka.

Saya cukup bahagia dengan perhatian kecil dari siswa-siswi. Kebahagiaan tidak selalu tentang materi, tetapi lebih kepada perasaan diperhatikan. Perhatian kecil dari mereka sering kali lebih bermakna daripada pemberian materi. Hanya dengan sekadar mendengarkan cerita seseorang dengan penuh perhatian bisa menjadi sumber kebahagiaan bagi saya. Saya bisa merasakan kebahagiaan yang luar biasa, meskipun itu hanya berupa kata-kata sederhana. Kita hanya perlu lebih peka dan menghargai setiap momen yang ada. Dengan begitu, hidup akan terasa lebih indah, lebih bermakna, dan penuh kebahagiaan yang sederhana tetapi tulus.

Cepu, 27 Februari 2025

 

Bottom of Form

 


 

Kreasi Zaskia dan Hamzah

Karya: Gutamining Saida

Saat Zaskia dan Hamzah berlibur di Cepu. Aku ingin mengajak mereka melakukan kegiatan yang menyenangkan. Sekaligus mengasah kreativitas mereka. Aku menyiapkan berbagai bahan untuk membuat karya seni sederhana. Sebuah karya penuh warna. Potongan-potongan sedotan es warna-warni dengan berbagai ukuran kucampur menjadi satu di atas lantai. Selain itu aku juga menyediakan kertas bergambar, lem dan dobel tip untuk membantu mereka menempelkan sedotan sesuai dengan imajinasi mereka.

Ketika semua bahan sudah siap, aku mengumpulkan mereka dan menjelaskan tantangan hari itu. Aku meminta mereka untuk menciptakan karya seni dengan cara menempelkan potongan-potongan sedotan ke atas kertas bergambar yang sudah kusediakan. Aku memberi mereka kebebasan penuh untuk berkreasi. Tidak ada aturan baku, mereka bisa menempelkan sedotan sesuka hati, membentuk pola atau mengikuti gambar di kertas sesuai imajinasi mereka.

Mereka terlihat antusias mendengar tantangan ini. Mata mereka berbinar-binar melihat warna-warni sedotan yang bertebaran di atas lantai. Tanpa banyak bertanya, mereka langsung mulai memilih potongan-potongan sedotan yang mereka sukai. Hamzah lebih cepat mengambil dan menempelkan sedotan ke kertasnya.

Sementara Zaskia tampak lebih teliti dalam memilih warna dan ukuran yang sesuai. Aku tersenyum melihat perbedaan cara mereka bekerja. Ini menunjukkan bahwa setiap anak memiliki cara berpikir dan berkreativitas yang unik.

Saat mereka sibuk dengan karya masing-masing, aku mengamati bagaimana mereka menggunakan bahan-bahan yang tersedia. Hamzah tampak spontan dan ekspresif, menempelkan sedotan dengan cepat tanpa terlalu memikirkan pola tertentu. Sebaliknya, Zaskia lebih hati-hati dan terstruktur dalam menyusun karyanya. Dia memilih warna yang senada dan mencoba membentuk pola yang indah.

Sesekali, mereka bertanya tentang cara terbaik menempelkan sedotan agar tidak mudah lepas. Aku memberi beberapa saran, tetapi tetap membiarkan mereka bereksperimen sendiri. Aku ingin mereka menemukan solusi sendiri, karena itulah bagian dari proses belajar yang menyenangkan. Aku senang melihat mereka begitu fokus dan menikmati setiap langkah dalam membuat karya mereka.

Tidak butuh waktu lama, mereka akhirnya menyelesaikan karya masing-masing. Hamzah dengan bangga menunjukkan hasil karyanya, meskipun pola yang ia buat tampak abstrak, tetapi tetap penuh warna dan menarik. Sementara itu, Zaskia tersenyum puas melihat hasil karyanya yang lebih rapi dan terstruktur. Aku memberi mereka apresiasi atas usaha dan kreativitas mereka. Aku tahu bahwa setiap karya memiliki keunikan tersendiri, mencerminkan kepribadian pembuatnya.

Setelah semua selesai aku ingin tahu bagaimana mereka memilih warna, bagaimana mereka menyusun potongan sedotan, dan apa yang mereka pikirkan saat membuat karya tersebut. Hamzah dengan semangat menceritakan bahwa ia hanya mengikuti gambar dan menempelkan sedotan yang menurutnya menarik. Sementara Zaskia menjelaskan bahwa ia mencoba membuat pola tertentu agar terlihat lebih indah.

Melihat kegembiraan mereka, aku merasa sangat bahagia. Aku menyadari bahwa kegiatan sederhana ini bukan hanya sekadar membuat karya seni, tetapi juga memberi mereka kesempatan untuk belajar dan bereksplorasi. Mereka belajar mengenal warna, bentuk, serta bagaimana menggabungkan elemen-elemen berbeda menjadi sebuah karya yang unik.

Setelah karya mereka selesai aku membantu mereka menempelkan hasilnya di dinding sebagai kenang-kenangan. Mereka terlihat bangga melihat karya mereka dipajang. Aku berharap pengalaman ini akan menjadi kenangan indah bagi mereka, sesuatu yang bisa mereka ingat saat kembali ke rumah.

Pengalaman bersama Zaskia dan Hamzah hari itu mengingatkanku bahwa kreativitas anak-anak tidak memiliki batas. Mereka hanya butuh sedikit dorongan dan kesempatan untuk mengekspresikan diri. Aku berharap di lain waktu, kami bisa kembali berkumpul dan melakukan kegiatan serupa, menciptakan momen berharga yang penuh warna dan kegembiraan.

Saat mereka bersiap pulang, Zaskia dan Hamzah masih sempat melihat kembali karya mereka yang sudah tertempel di dinding. Mereka tersenyum bangga dan aku pun merasa senang telah menghabiskan waktu yang berkualitas bersama mereka. Kegiatan kecil seperti ini mungkin tampak sederhana, tetapi aku yakin ini akan menjadi bagian dari kenangan indah mereka di Cepu.

Cepu, 26 Februari 2025

 


 

Lontong Pecel dan Lontong Tahu


 Karya: Gutamining Saida

Makan siang biasanya di rumah dengan menu sederhana yang disiapkan sendiri. Kali ini ada sesuatu yang berbeda. Keinginan untuk mencoba kuliner yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial membawa langkah ini ke Kapuan. Ada lontong pecel dan lontong sambel tahu yang konon katanya memiliki rasa yang enak dengan harga yang cukup terjangkau.

Perjalanan ke Kapuan tidak terlalu jauh, hanya sekitar beberapa belas menit dari rumah. Dengan semangat mencoba, perjalanan terasa lebih menyenangkan. Bayangan lontong yang lembut dengan bumbu kacang yang gurih dan pedas sudah memenuhi pikiran. Begitu juga dengan sambel tahu yang terkenal dengan perpaduan rasa gurih, pedas, dan sedikit manis yang menggugah selera.

Sesampainya di Kapuan, suasana warung terlihat masih sepi. Rupanya warung baru buka. Setelah duduk berdatangan para pembeli. Bukan hanya diri ini yang tergoda oleh kabar di media sosial. Beberapa pelanggan sudah duduk dengan khusyuk menikmati seporsi lontong dengan aneka tambahan gorengan yang tersedia. Aroma kacang yang diulek dan sambal yang menggoda sudah menyebar ke seluruh sudut warung, membuat perut semakin keroncongan.

Tanpa menunggu lama, segera memesan dua porsi makanan yang menjadi incaran yaitu lontong pecel dan lontong sambel tahu. Kami datang berdua dengan pesanan yang berbeda. Seorang ibu paruh baya dengan cekatan menyiapkan pesanan. Tangan terampilnya dengan cepat menyusun lontong di ataspincuk daun jati, sayuran rebus  kembang turi, kacang dan daun ketela yang masih segar lalu menuangkan bumbu kacang yang kental serta. Untuk lontong sambel tahu, lontong yang dipotong kecil-kecil ditambahkan tahu yang telah digoreng dengan diguyur sambal yang menggoda.

Saat lontong tersaji, tanpa ragu langsung mencicipi suapan pertama. Sensasi rasa kacang yang gurih dan sedikit manis langsung menyatu dengan lontong. Tak hanya rasa yang memuaskan, porsi yang diberikan juga cukup banyak untuk ukuran harga yang murah. Tempe goreng yang garing dengan rasa gurihnya memberikan sensasi renyah yang pas saat disantap bersama lontong. Ditambah dengan ote-ote panas yang baru saja diangkat dari wajan, rasanya semakin menggugah selera. Tekstur yang crispy di luar namun tetap lembut di dalam membuat gorengan ini menjadi pelengkap yang sempurna. Gorengan yang masih panas menambah kenikmatan tersendiri. Tidak heran jika warung ini menjadi perbincangan banyak orang. Selain itu, suasana warung yang sederhana namun nyaman membuat pengalaman makan siang kali ini terasa lebih spesial.

Keberadaan media sosial sangat membantu usaha kecil seperti ini. Banyak pelanggan baru yang datang karena penasaran dan akhirnya menjadi pelanggan setia karena ketagihan dengan rasa yang special.

Setelah selesai menikmati setiap suapan dengan penuh kebahagiaan, kini saatnya kembali pulang. Pengalaman makan siang kali ini sungguh berbeda dari biasanya. Tidak hanya sekadar kenyang, tetapi juga mendapatkan cerita dan pengalaman baru. Membuktikan sendiri bahwa kuliner yang ramai dibicarakan memang sepadan dengan pujian yang diterimanya.

Dengan perut kenyang dan hati puas, perjalanan pulang terasa lebih ringan. Di sepanjang jalan, pikiran melayang ke berbagai kemungkinan kuliner lainnya yang bisa dicoba di lain waktu. Karena, ternyata, sesekali keluar dari rutinitas makan siang di rumah dan mencoba hal baru bisa memberikan kebahagiaan tersendiri.

Cepu, 26 Februari 2025

 


Jumat, 21 Februari 2025

Apel Pagi Pasca Penilaian Tengah Semester

Karya: Gutamining Saida

Setelah pelaksanaan Penilaian Tengah Semester (PTS) seluruh siswa kelas 7 dan 9 kumpul di lapangan. Bersama para bapak dan ibu guru serta kepala sekolah berkumpul di lapangan sekolah.  Kegiatan apel pagi yang penuh khidmat. Kegiatan pagi menjadi momen penting bagi SMPN 3 Cepu. Sengaja semua bapak ibu guru memakai segaram batik corak Blora Lestari. Apel dalam rangka penyerahan penghargaan kepada para tenaga pendidik yang telah mengabdi dengan penuh dedikasi. Satya Lencana, sebuah penghargaan yang diberikan kepada guru-guru yang telah mengabdi selama bertahun-tahun dengan loyalitas dan tanggung jawab tinggi.

Satya Lencana merupakan tanda kehormatan yang diberikan oleh pemerintah kepada ASN. Termasuk para pendidik, sebagai bentuk penghargaan atas pengabdian mereka dalam dunia pendidikan. Kata "Satya" berarti setia, sedangkan "Lencana" berarti tanda kehormatan. Sehingga, secara harfiah, Satya Lencana dapat dimaknai sebagai tanda kesetiaan terhadap tugas dan tanggung jawab dalam mendidik serta membimbing generasi penerus bangsa.

Penganugerahan ini tidak hanya sekadar seremoni, tetapi juga sebagai bentuk apresiasi bagi mereka yang telah berkontribusi dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Guru-guru yang menerima penghargaan ini merupakan sosok yang telah membaktikan dirinya selama bertahun-tahun.

Tujuan utama dari penghargaan Satya Lencana adalah untuk memberikan penghargaan kepada tenaga pendidik yang telah mengabdi dengan setia dan bertanggung jawab dalam jangka waktu tertentu. Penghargaan ini juga bertujuan untuk:

1. Meningkatkan Motivasi dan Dedikasi Dengan adanya penghargaan ini, diharapkan para guru semakin termotivasi untuk terus meningkatkan kualitas pembelajaran serta memberikan pelayanan terbaik bagi peserta didik.

2. Memberikan Apresiasi atas Pengabdian Penghargaan ini merupakan bentuk penghormatan atas jasa dan kerja keras guru dalam mendidik generasi bangsa.

3. Meningkatkan Profesionalisme Guru. Dengan adanya penghargaan ini, guru semakin terdorong untuk terus mengembangkan kompetensinya sehingga dapat memberikan pembelajaran yang lebih baik dan inovatif.

4. Menanamkan Semangat Loyalitas Guru yang menerima penghargaan ini diharapkan tetap setia dalam menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.

Penghargaan Satya Lencana memiliki beberapa tingkatan yang diberikan berdasarkan lama pengabdian seorang guru, antara lain:

1. Satya Lencana Karya Satya 10 Tahun Diberikan kepada pegawai negeri sipil yang telah mengabdi selama 10 tahun dengan catatan kinerja yang baik dan tanpa pelanggaran disiplin.

2. Satya Lencana Karya Satya 20 Tahun Diberikan kepada pegawai yang telah bekerja selama 20 tahun dengan loyalitas serta dedikasi yang tinggi dalam dunia pendidikan.

3. Satya Lencana Karya Satya 30 Tahun Diberikan kepada pegawai yang telah mengabdi selama 30 tahun atau lebih dengan prestasi dan kinerja yang sangat baik.

Dalam apel pagi kali ini, SMPN 3 Cepu memiliki tiga orang guru yang menerima penghargaan Satya Lencana. Mereka adalah para pendidik yang telah menunjukkan dedikasi tinggi dalam membimbing serta membina siswa selama bertahun-tahun. Ketiga guru tersebut telah memberikan banyak kontribusi bagi sekolah, baik dalam aspek akademik maupun non-akademik.

Saat nama-nama penerima diumumkan, Lian Mesiani, S. Pd, Dwi Setyaningsih, S. Pd, Suwono, S. Pd. Raut wajah bahagia terpancar dari para penerima penghargaan. Mereka menerima penghargaan ini dengan penuh rasa Syukur kepada Sang Kuasa.  Sebagai bukti bahwa kerja keras dan kesetiaan mereka dalam dunia pendidikan diakui dan dihargai. Ucapan selamat dan doa pun mengalir dari bapak ibu guru serta seluruh siswa yang hadir dalam apel tersebut. Hal ini menjadi momen yang penuh haru dan kebanggaan, tidak hanya bagi penerima, tetapi juga bagi seluruh keluarga besar SMPN 3 Cepu.

Penghargaan yang diberikan kepada para guru dalam bentuk Satya Lencana merupakan bukti nyata bahwa usaha, kesabaran, dan dedikasi dalam dunia pendidikan pasti akan mendapatkan hasil yang sepadan. Filosofi "rezeki tak akan tertukar" sangat relevan dalam momen ini, karena setiap orang memiliki jalannya masing-masing dalam meraih penghargaan dan apresiasi. Penerima Satya Lencana kali ini mungkin telah melewati berbagai rintangan dalam perjalanan mereka sebagai pendidik, namun dengan kesabaran dan ketekunan, mereka akhirnya mendapatkan penghargaan yang layak.

Penghargaan ini juga menjadi inspirasi bagi guru-guru lain untuk terus berkarya dan memberikan yang terbaik bagi dunia pendidikan. Tidak hanya itu, siswa-siswa yang menyaksikan momen ini juga diharapkan dapat belajar tentang pentingnya kerja keras dan ketekunan dalam meraih kesuksesan.

Cepu, 22 Februari 2025

 


 

Wawancara Dengan Siswa Kelas 7H

Karya: Gutamining Saida

Beberapa hari yang lalu, siswa kelas 7H mendapatkan tugas wawancara dari guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tugas ini mengharuskan mereka mencari narasumber untuk diwawancarai sesuai dengan tema yang telah ditentukan. Narasumber dari satu guru dan Kepala Sekolah. Di antara mereka, ada beberapa siswa yang meminta izin untuk mewawancarai saya. Saya menerima tawaran tersebut dengan syarat bahwa wawancara tidak mengganggu jam pembelajaran saya. Saya memberi mereka waktu yaitu saat jam kosong, saat sebelum masuk kelas, saat jam istirahat atau setelah jam pulang sekolah.

Sesuai dengan kesepakatan, mereka menemui saya pada waktu yang telah ditentukan. Satu kelompok sudah menemui dan minta ijin wawancara beberapa hari yang lalu. Ternyata, tidak satu kelompok ada tambahan dua kelompok yang akan melakukan wawancara. Masing-masing kelompok telah memilih topik yang berbeda. Kelompok pertama memilih tema "Sarapan Pagi yang Dilaksanakan Hari Senin," kelompok kedua membahas "Senam Anak Hebat," dan kelompok ketiga membahas "Bahaya Narkoba." Saya merasa bahwa semua tema yang mereka pilih sangat menarik dan bermanfaat untuk dipelajari lebih dalam.

Saya memperhatikan bahwa setiap kelompok telah menyiapkan materi dan daftar pertanyaan dengan baik. Mereka tampak antusias dan penuh semangat dalam menjalankan tugas ini. Saya melihat mereka bekerja dengan sistematis. Ada yang bertugas sebagai penanya dan ada yang mencatat jawaban di buku. Cara mereka bertanya pun cukup baik, mereka bergantian berbicara sehingga tercipta suasana wawancara yang interaktif dan dinamis. Saya juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan pertanyaan berdasarkan jawaban yang saya berikan agar wawancara lebih mendalam.

Kelompok pertama, yang membahas tentang "Sarapan Pagi yang Dilaksanakan Hari Senin," bertanya tentang pentingnya sarapan sebelum belajar, manfaat yang didapat, serta contoh menu sarapan sehat. Saya menjelaskan bahwa sarapan sangat penting untuk menjaga energi dan konsentrasi saat belajar. Saya juga berbagi pengalaman mengenai kebiasaan sarapan di lingkungan sekolah dan bagaimana siswa bisa membiasakan diri untuk selalu sarapan sebelum beraktivitas.

Kelompok kedua membahas tentang "Senam Anak Hebat." Mereka bertanya mengenai tujuan diadakannya senam, manfaatnya bagi kesehatan siswa, serta bagaimana senam dapat meningkatkan semangat belajar. Saya menjelaskan bahwa senam di sekolah bertujuan untuk meningkatkan kebugaran tubuh, melatih koordinasi gerak dan membangun kebiasaan hidup sehat. Saya menekankan bahwa senam juga bisa menjadi ajang untuk meningkatkan kebersamaan dan keceriaan di sekolah.

Kelompok ketiga membahas "Bahaya Narkoba." Mereka mengajukan pertanyaan mengenai dampak narkoba terhadap kesehatan, bagaimana cara mencegah penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja, serta peran keluarga dan sekolah dalam memberikan edukasi tentang bahaya narkoba. Saya menjelaskan bahwa narkoba memiliki dampak yang sangat berbahaya bagi fisik, mental, dan masa depan seseorang. Saya juga menekankan pentingnya peran keluarga dan sekolah dalam memberikan pemahaman kepada anak-anak sejak dini agar tidak terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba.

Selama wawancara berlangsung saya merasa bangga dengan cara mereka bekerja. Mereka mampu membangun suasana yang serius namun tetap santai. Mereka juga menunjukkan kerja sama yang baik dalam kelompoknya. Salah satu hal yang menarik adalah bagaimana mereka meminta bantuan kelompok lain untuk mendokumentasikan wawancara. Mereka ingin memastikan bahwa semua anggota kelompok memiliki bukti dokumentasi sebagai pelengkap tugas. Saya melihat mereka berfoto bersama setelah sesi wawancara selesai, sebagai bagian dari laporan yang akan mereka serahkan kepada guru.

Saya merasa senang bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan mereka. Kegiatan ini tidak hanya memberikan mereka kesempatan untuk belajar teknik wawancara. Mereka melatih keterampilan komunikasi dan kerja sama tim. Saya berharap pengalaman ini memberikan mereka pemahaman yang lebih luas tentang pentingnya wawancara sebagai salah satu metode pembelajaran yang interaktif dan menyenangkan.

Saya menyempatkan diri untuk memberi mereka beberapa masukan. Saya menyarankan mereka untuk selalu melakukan persiapan yang matang sebelum melakukan wawancara, termasuk memahami lebih dalam topik yang akan dibahas. Saya juga mengingatkan mereka untuk selalu mencatat poin-poin penting agar tidak ada informasi yang terlewat.

Kegiatan ini menjadi pengalaman yang berkesan bagi saya. Saya melihat bagaimana mereka tumbuh dalam hal keberanian berbicara dan bekerja dalam kelompok. Saya berharap tugas ini tidak hanya menjadi sekadar kewajiban akademik tetapi juga menjadi pengalaman belajar yang menyenangkan dan bermanfaat bagi mereka. Semoga bermanfaat.

Cepu, 22 Februari 2025

 

 

Rabu, 19 Februari 2025

Dedikasi Tak Terbatas Ruang Dan Waktu

Karya: Gutamining Saida

Di suatu desa di pinggiran hutan, berdirilah Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang sering disebut warga sekitar sebagai "Sekolah melas," sebutan berasal dari istilah bahasa jawa mepet alas. Dalam Bahasa Indonesia, mepet alas berari dekat hutan. Bangunan sekolah sederhana, berada tepat di pinggir hutan pohon-pohon jati yang menjulang tinggi. Sekolah ini hanya terdiri dari dua puluh ruang kelas, ruang guru, ruang laboratorium, ruang kepala sekolah. Saat siang hari, hujan turun aktifitas pembelajaran terganggu kedatangan guru telat waktu. Ruang guru menuju kelas-kelas tiada atap. Jarak ruang guru dan kelas ada yang berjauhan. Sementara dindingnya dengan cat yang mulai memudar warnanya. Dibalik kesederhanaan fisiknya, sekolah itu menyimpan kisah perjuangan seorang guru  IPS bernama Bu Mining.

Bu Mining adalah seorang guru berusia lima puluh lima tahun yang penuh semangat. Meski tidak muda lagi, semangat dan cintanya pada dunia pendidikan tidak pernah pudar. Setiap pagi, ia memulai harinya dengan langkah tegap.  Ia selalu percaya bahwa seorang guru tidak hanya bertugas mengajar, tetapi juga terus belajar sepanjang hayat. Untuk sampai ke sekolah, ia harus menempuh perjalanan cukup panjang. Rumahnya berada di desa seberang, dan satu-satunya jalan menuju sekolah adalah jalan beraspal dengan lobang seribu. Di saat hujan turun di beberapa titik, jalan itu tertutup air, menciptakan suasana seperti dalam lukisan alam. Meski sering kali harus melangkah hati-hati karena licinnya jalan raya setelah hujan. Bu Mining tak pernah mengeluh. Baginya, setiap langkah menuju sekolah adalah bagian dari panggilan hatinya.

Sekolah melas, bukanlah tempat yang dilengkapi dengan fasilitas modern. Bangku-bangku kayu yang ada sudah mulai usang, dan beberapa di antaranya berlubang. Papan tulis yang digunakan di tiap kelas sudah penuh coretan lama yang sulit dihapus, sehingga Bu Mining harus mengajarkan materi menggunakan media seadanya. Buku pelajaran yang tersedia di perpustakaan sekolah tidak banyak mendukung kurikulum terbaru. Di mata Bu Mining, keterbatasan ini bukanlah penghalang, melainkan tantangan yang harus dihadapi dengan kreativitas.

Anak-anak yang bersekolah di sana kebanyakan berasal dari keluarga petani, anak-anak yang ditinggal orang tua merantau ke kota.  Anak-anak yang kurang perhatian orang tua dalam hal  pendidikan. Anak-anak dengan masalah keluarga yang kurang harmonis. Semangat belajar mereka aneka ragam. Ada yang semangat menimba ilmu, ada pula yang sekedar menggugurkan kewajiban datang ke sekolah. Setiap pagi, mereka dengan riang menyambut Bu Mining, berlomba-lomba menceritakan kejadian menarik yang mereka alami di rumah. Hal ini menjadi penyemangat bagi Bu Mining untuk memberikan yang terbaik.

Bu Mining tak hanya mengajar mata pelajaran IPS. Ia juga mengajarkan anak-anak nilai-nilai kehidupan. Dalam sela-sela pelajaran, ia sering berbagi cerita tentang pentingnya menjaga alam, berbagi dengan sesama, dan bermimpi besar meski hidup di tengah keterbatasan. Ia percaya bahwa pendidikan bukan hanya soal nilai di atas kertas, tetapi juga membentuk karakter dan kepribadian.

Ada kalanya rasa lelah dan keraguan menghampiri Bu Mining. Namun, setiap kali melihat senyuman siswa siswi yang tulus dan mendengar mereka memanggilnya dengan penuh semangat. Ia merasa bahwa semua pengorbanan dan perjuangannya tidak sia-sia. Ia percaya bahwa meskipun berada di pinggiran hutan, cahaya pendidikan tetap bisa bersinar, membawa harapan baru bagi anak-anak.

 

Bu Mining, seorang guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Ia menjalankan tugasnya dengan semangat yang luar biasa. Meski mata pelajaran yang ia ajarkan sering dianggap membosankan oleh sebagian besar siswa. Beberapa di antaranya menganggap IPS sebagai pelajaran yang kurang penting jika dibandingkan dengan mata pelajaran seperti Matematika, Bahasa Inggris, atau Ilmu Pengetahuan Alam. Bagi mereka, IPS hanyalah sekadar hafalan tanpa manfaat nyata. Pernyataan ini menjadi tantangan besar bagi Bu Mining. Ia yang selama ini sangat mencintai IPS. Ia percaya bahwa mata pelajaran ini adalah kunci untuk memahami dunia, sejarah, budaya, dan interaksi sosial.

Banyak siswa merasa bahwa IPS adalah mata pelajaran yang sulit dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Bu Mining selalu berusaha menghadirkan pembelajaran yang relevan dan menarik. Ia percaya bahwa setiap topik yang diajarkan dalam IPS memiliki kaitan erat dengan kehidupan nyata. Dalam setiap pertemuan, ia tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga membawa siswa pada perjalanan imajinasi yang hidup. Misalnya, saat membahas sejarah kerajaan di Nusantara, ia mengajak siswa membayangkan diri mereka sebagai bagian dari masyarakat pada masa itu. Ia sambil menghubungkannya dengan kebudayaan yang masih lestari hingga saat ini.

Ia tidak menyerah untuk membuktikan bahwa IPS adalah lebih dari sekadar hafalan tanggal, tahun atau teori belaka. Baginya, IPS adalah pintu gerbang bagi generasi muda untuk memahami dunia. Dan menjadi individu yang lebih peka. Setiap siswa memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan di Masyarakat. IPS adalah langkah awal untuk mencapainya.

Bu Mining juga menyadari pentingnya metode pembelajaran yang kreatif. Ia sering menggunakan pendekatan seperti bermain peran, diskusi kelompok, tebak-tebakan sejarah, hingga membuat peta potensi daerah. Salah satu kegiatan favorit siswa adalah ketika mereka diajak membuat puisi atau cerita pendek berdasarkan pelajaran IPS. Dengan cara ini, Bu Mining mampu menjadikan IPS sebagai pelajaran yang tidak hanya informatif, tetapi juga menghibur.

Meskipun ada tantangan, seperti kurangnya minat siswa terhadap mata pelajarannya. Bu Mining tetap optimis. Ia percaya bahwa dengan dedikasi, kreativitas, dan kesabaran, siswa akan melihat IPS dari sudut pandang yang berbeda. Bahkan, beberapa siswa yang awalnya menganggap IPS sebagai pelajaran yang membosankan mulai menunjukkan ketertarikan mereka. Mereka belajar untuk menghargai warisan budaya, memahami pentingnya peristiwa sejarah, dan mengenali potensi daerah mereka. Melalui kerja kerasnya, IPS bukan lagi pelajaran yang membosankan, melainkan jendela menuju dunia yang lebih luas.

Bu Mining adalah seorang guru dengan pengabdian panjang di dunia pendidikan. Selama bertahun-tahun, ia mengajar di sekolah yang sederhana, dikelilingi hutan, dengan fasilitas yang sangat terbatas. Namun, semangatnya untuk memberikan pendidikan terbaik kepada siswa-siswinya tidak pernah surut. Baginya, mendidik sebuah tugas mulia yang harus dijalankan sepenuh hati.

Dua bulan terakhir kehidupan Bu Mining mengalami tantangan yang tidak terduga. Dokter memvonis ada masalah pada tulangnya, membuat kondisi kesehatannya tidak sekuat dulu. Berita ini tentu menjadi pukulan berat, tetapi Ibu Mining memilih untuk bersikap tenang. Dalam hatinya, ia yakin bahwa setiap ujian yang diberikan Allah Subhanahu Wata’alla memiliki maksud dan hikmah yang indah. Di tengah rasa sakit yang terkadang datang, Ibu Mining tidak menyerah pada kesedihan. Ia berusaha untuk tetap bersyukur atas segala nikmat yang telah ia rasakan sebelumnya. Baginya, nafas yang masih mengalir, dan kekuatan untuk terus berdoa adalah bukti kasih sayang Allah Subhanahu Wata’alla. Meskipun maknanya belum sepenuhnya ia pahami.

Hari-harinya kini dipenuhi dengan senyuman, meski tidak selalu mudah. Setiap pagi, Ibu Mining menyambut hari dengan doa dan keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wata’alla tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuannya. Ia mengingatkan dirinya bahwa hidup tidak selalu tentang apa yang hilang, tetapi tentang mensyukuri apa yang masih dimiliki.

Dalam perjalanannya, Ibu Mining menemukan banyak pelajaran. Rasa sakit yang ia alami justru membuatnya semakin dekat dengan Sang Pencipta. Ia lebih sering merenung, beristighfar, dan memperbanyak ibadah. Bahkan, ia mulai berbagi cerita dengan orang-orang di sekitarnya, memberikan motivasi kepada mereka yang juga sedang diuji. Dengan lembut, ia mengingatkan bahwa setiap ujian adalah bentuk perhatian Allah Subhanahu Wata’alla kepada hamba-Nya, agar hati mereka semakin bersandar hanya kepada-Nya.

Dengan pertimbangan kesehatan dan saran dari keluarga, ia mengajukan mutasi untuk mengajar di sekolah dekat dengan lokasi rumah. Tepatnya di SMPN 3 Cepu, sebuah sekolah favorit yang memiliki fasilitas lengkap dan lebih mudah diakses. Ketika akhirnya ia menginjakkan kaki di SMPN 3 Cepu, perasaan Bu Mining bercampur aduk. Ada rasa syukur dan bahagia karena sekolah barunya memiliki gedung-gedung bertingkat dengan dinding bercat hijau yang tampak kokoh. Di tengah kompleks sekolah, sebuah masjid megah berdiri dengan arsitektur yang indah, sementara taman-taman yang tertata rapi memberikan suasana nyaman. Sudut-sudut sekolah dihias dengan ornamen yang menarik, menambah kesan modern dan tertib. Para siswa di sekolah ini juga terlihat rapi dengan seragam yang bersih dan beraturan.

Di balik rasa senangnya, terselip kebimbangan dan kecanggungan. Lingkungan di SMPN 3 Cepu jauh berbeda dari sekolah lamanya. Ia kini menghadapi babak baru, lingkungan baru  yang membawa tantangan sekaligus peluang bagi dirinya. Bu Mining melihat peluang emas untuk berkembang lebih jauh. Sebagai seorang guru yang berasal dari pinggiran hutan. Ia merasa seperti orang asing di tengah kemewahan dan keteraturan ini. Ia masih merasa dirinya, seorang guru desa yang terbiasa mengajar di ruang kelas dengan meja dan kursi yang terkadang sudah usang.

Meski begitu, semangat Bu Mining tidak berubah. Ia tetap membawa tekad dan nilai-nilai pengabdian yang sama seperti saat mengajar di sekolah sebelumnya. Ia percaya bahwa meskipun lingkungan berbeda, tugas seorang guru tetaplah sama yaitu mencerdaskan anak bangsa dengan penuh kasih dan dedikasi.

Perlahan tapi pasti, Bu Mining mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Ia belajar untuk menerima perubahan ini sebagai bagian dari perjalanan hidupnya. Baginya, tidak penting di mana ia mengajar di sekolah kecil di pinggiran hutan atau di sekolah favorit di kota. Yang terpenting adalah semangat untuk terus mendidik dan memberikan yang terbaik bagi para siswa. Ia sadar bahwa perubahan adalah hal yang tak terelakkan terutama di dunia pendidikan yang terus bergerak dinamis seiring perkembangan zaman.

Saat ia masuk ke kelas baru di SMPN 3 Cepu, Bu Mining menghadapi tantangan yang berbeda dari sebelumnya. Berbeda dengan siswa-siswa di sekolah lamanya. Siswa-siswa di sini tampak lebih percaya diri, kritis, dan berani menyampaikan pendapat. Mereka terbiasa mengutarakan ide tanpa ragu, menciptakan suasana kelas yang hidup namun penuh tantangan. Dengan penuh tekat, ia terus belajar dan meningkatkan kompetensinya.        

Tidak hanya berhenti di situ baginya, berbagi ilmu bukan hanya bentuk pengabdian, tetapi juga cara untuk terus belajar. Ia percaya bahwa melalui kolaborasi dan saling mendukung, sesama guru dapat menghadirkan pendidikan yang lebih baik bagi generasi akan datang.

Kisah Bu Mining adalah pengingat bahwa semangat untuk berkembang tidak mengenal batas usia. Dengan dedikasi, kerja keras, dan keinginan yang kuat, siapa pun dapat mengatasi tantangan dan terus memberikan dampak positif bagi orang-orang di sekitarnya. Bu Mining telah membuktikan bahwa cinta pada dunia pendidikan mampu menjadi bahan bakar yang tak pernah habis untuk terus melangkah maju.

Baginya melihat perubahan ini adalah kebahagiaan tersendiri. Ia merasa usahanya tidak sia-sia. Tantangan di kelas baru ini mengajarkannya untuk terus beradaptasi dan mencari cara kreatif untuk mengajar. Dengan kesabaran dan tekad yang kuat, ia tidak hanya mampu menghadapi tantangan, tetapi juga membangun hubungan yang lebih baik dengan siswa-siswanya.

Bu Mining percaya bahwa setiap siswa memiliki potensi besar, dan tugas seorang guru adalah membantu mereka melihat dan mengembangkan potensi tersebut. Meski berada di sekolah yang lebih maju dengan dinamika kelas yang berbeda, semangatnya untuk mengajar dan mencerdaskan generasi muda tetap tak tergoyahkan. Tantangan bukanlah penghalang, melainkan peluang untuk terus belajar dan bertumbuh.

Hari itu adalah salah satu momen yang tidak akan pernah dilupakan oleh Bu Mining. Seperti biasanya, ia mengajar mata pelajaran IPS di SMPN 3 Cepu. Kali ini, ia menggunakan metode interaktif dengan permainan tanya jawab yang dirancang untuk membangun semangat siswa. Permainan itu cukup sederhana siswa yang dapat menjawab pertanyaan dengan benar akan mendapat apresiasi berupa poin tambahan untuk nilai mereka.

Di tengah suasana kelas yang mulai riuh, perhatian Bu Mining tertuju pada seorang siswa bernama Alif. Alif adalah salah satu siswa yang dikenal pendiam dan jarang berpartisipasi aktif dalam kegiatan kelas. Sebagai guru yang memperhatikan setiap siswanya, Bu Mining sudah lama menyadari sikap pasif Alif. Ia jarang mengangkat tangan saat ada pertanyaan, sering terlihat termenung, dan tampak kurang percaya diri di antara teman-temannya yang lebih vokal.

Hari itu, sesuatu yang luar biasa terjadi. Ketika Bu Mining mengajukan sebuah pertanyaan tentang perubahan sosial di masyarakat. Alif tiba-tiba mengangkat tangan. Semua mata di kelas langsung tertuju padanya, termasuk Bu Mining yang sempat terkejut. Dengan penuh semangat, Alif memberikan jawabannya. Kata-katanya jelas, runtut, dan tepat sasaran. Jawaban Alif benar, bahkan lebih mendalam dari yang diharapkan oleh Bu Mining.

Seisi kelas terdiam sejenak, kemudian terdengar tepuk tangan dari beberapa siswa. Bu Mining merasa haru, matanya sedikit berkaca-kaca melihat momen ini. Ia tidak menyangka bahwa Alif, siswa yang selama ini jarang terlihat aktif, memiliki pemahaman yang begitu baik tentang materi yang diajarkan. Di depan kelas, Alif tersenyum malu-malu, tetapi ada rasa bangga yang terpancar dari wajahnya.

Momen itu menjadi pengingat bagi Bu Mining tentang pentingnya peran guru dalam menggali potensi siswa. Ia menyadari bahwa setiap anak memiliki keunikan dan kekuatannya masing-masing, meskipun terkadang potensi itu tersembunyi di balik sikap pendiam atau kurang percaya diri. Tugas guru bukan hanya mengajarkan materi, tetapi juga menciptakan lingkungan yang mendukung dan memberi ruang bagi setiap siswa untuk berkembang.

Setelah kelas selesai, Bu Mining mendekati Alif dan memberikan pujian atas keberaniannya menjawab pertanyaan tadi. Ia juga memberikan motivasi, mengatakan bahwa Alif memiliki kemampuan besar yang perlu terus diasah. Ucapan itu membuat Alif tersenyum lebar, sesuatu yang jarang dilihat oleh Bu Mining sebelumnya.

Sejak hari itu, Alif mulai menunjukkan perubahan. Ia menjadi lebih aktif di kelas, lebih sering bertanya, dan tidak ragu menjawab pertanyaan. Teman-temannya pun mulai mengapresiasi usahanya, membuat Alif semakin percaya diri.

Perubahan Alif adalah salah satu pencapaian terbesarnya sebagai seorang guru. Ia merasa bahwa tugasnya bukan hanya sekadar menyampaikan pelajaran, tetapi juga menyentuh hati dan pikiran siswa, membantu mereka menemukan potensi terbaik dalam diri mereka.

Ia percaya bahwa tidak ada siswa yang tidak bisa berkembang. Dengan perhatian, kesabaran, dan metode yang tepat, setiap anak bisa menemukan potensinya dan bersinar dengan caranya sendiri. Alif adalah bukti nyata bahwa perubahan kecil di kelas bisa menciptakan dampak besar dalam hidup seorang siswa.

Bottom of Form

Meski kini mengajar di SMPN 3 Cepu dengan fasilitas yang lengkap dan lingkungan yang serba modern, Bu Mining tidak pernah melupakan asal-usulnya. Ia berasal dari sekolah di pinggiran hutan, tempat ia menghabiskan bertahun-tahun mengajar siswa-siswa yang penuh keterbatasan. Bagi Bu Mining, pengalaman itu adalah bagian penting dari hidupnya, sebuah kenangan yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi.

Di SMPN 3 Cepu, ia sering membagikan kisah-kisah dari masa lalu kepada siswa-siswanya. Dengan nada hangat dan penuh emosi. Ia menceritakan tentang perjuangan siswa-siswa di desa, anak-anak yang rela menempuh perjalanan berkilometer-kilometer hanya untuk sampai ke sekolah. Mereka melewati jalan berlumpur saat musim hujan dan panas terik saat musim kemarau, namun semangat belajar mereka tak pernah surut.

Bu Mining juga menggambarkan kondisi sekolah lamanya yang jauh dari kata ideal. Ruang kelas yang sederhana dengan atap yang terkadang bocor, meja dan kursi yang usang, serta buku pelajaran yang terbatas. Dibalik semua itu, ada siswa-siswa dengan semangat luar biasa, yang meski tanpa fasilitas canggih tetap berusaha keras untuk menggapai impian mereka.

Kisah-kisah itu menjadi pengingat bagi siswa-siswa di kota tentang betapa berharganya kesempatan yang mereka miliki. Mereka mulai melihat pendidikan sebagai anugerah, sesuatu yang tidak boleh disia-siakan. Selain membagikan cerita, Bu Mining juga membawa pendekatan baru dalam mengajar yang ia pelajari dari pengalamannya di desa. Ia menekankan pentingnya rasa syukur, kerja keras, dan kepedulian terhadap orang lain.

Di sela-sela cerita dan pelajaran, Bu Mining sering menunjukkan foto-foto sederhana dari sekolah lamanya. Foto siswa-siswa yang belajar IPS dengan berbagai media. Selain bercerita, Bu Mining juga menggunakan permainan edukatif untuk membuat pembelajaran menjadi menyenangkan. Salah satu yang paling disukai siswa adalah kuis kelompok, di mana mereka berlomba menjawab pertanyaan-pertanyaan IPS dengan cara yang kreatif. Ia juga menggunakan metode simulasi, seperti bermain peran dalam situasi ekonomi pasar atau diskusi tentang kebijakan lingkungan, yang membuat siswa aktif berpartisipasi.

Diskusi interaktif menjadi salah satu andalan Bu Mining untuk membangun kepercayaan diri siswa sekaligus menunjukkan bahwa IPS memiliki relevansi yang kuat dengan kehidupan. Ia mengajak mereka berdiskusi tentang isu-isu sosial yang sedang terjadi, seperti perubahan iklim, pentingnya melestarikan budaya lokal, atau dampak teknologi pada masyarakat. Di sini, ia memberikan ruang bagi siswa untuk menyampaikan pendapat mereka, membangun argumen, dan saling berdialog.

Lambat laun, cerita-cerita Bu Mining mulai mengubah pandangan banyak siswa. Mereka menjadi lebih bersemangat dalam belajar, lebih menghormati guru, dan lebih peduli terhadap sesama. Perubahan ini adalah kebahagiaan yang luar biasa. Ia merasa bahwa meski ia sudah pindah ke sekolah kota, semangat perjuangan dari desa tetap hidup melalui cerita-ceritanya.

Pengalaman adalah pelajaran terbaik, dan melalui cerita, ia telah membuka hati dan pikiran siswa-siswanya. Ia berharap, suatu hari nanti, mereka akan menjadi generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga peduli dan berempati terhadap sesama. Menurutnya, pendidikan bukan hanya soal pengetahuan.  

Perjalanan hidupnya adalah bukti bahwa dedikasi seorang guru tidak mengenal batas ruang dan waktu. Di mana pun ia berada, Bu Mining terus menunjukkan bahwa pendidikan yang dilandasi ketulusan dapat mengubah hidup, tidak hanya bagi siswa-siswanya, tetapi juga bagi dirinya sendiri. Baginya, setiap langkah dalam perjalanan ini adalah bagian dari pengabdian panjang yang ia berikan untuk dunia pendidikan.

Cepu, Akhir Januari 2025

 

 

 

 

 

.

 

 


 

Jejak Kata di Tangga Masuk Masjid

Langkah kaki saya terayun ringan menuju ruang tes nomor 24. Suasana sekolah sudah lengang sebab siswa sudah masuk ruang tes Tengah semester . Cahaya matahari yang masuk melalui jendela-jendela besar menyapa. menciptakan siluet panjang yang indah. Saya bertugas mengawasi tes Tengah semester, sebuah rutinitas biasa. Ada sesuatu menarik perhatian saya.

Saat akan naik tangga menuju lantai atas, mata saya tertumbuk pada kata-kata yang tertulis di setiap anak tangga masjid. Bukan sekadar angka urutan atau tanda peringatan, melainkan rangkaian kalimat pendek yang menggugah.

“Saya Muslim”

Muslim adalah sebutan orang yang menyakini dan mengikuti ajaran agama islam. Muslim terdiri dari muslimin dan Muslimah.

Saya membaca kata-kata itu di anak tangga pertama. Langkah saya terhenti sejenak. Saya tatap kalimat itu dengan penuh rasa ingin tahu. Siapa yang menuliskannya? Apa tujuannya?

Saya melangkah ke anak tangga ke dua yaitu:

“SayaMukmin”

Mukmin adalah yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap Allah Subhanahu Wata’alla dan ajaran-ajaranNya. Mukmin menyakini adanya rukun iman. Iman yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Tangan saya refleks merogoh saku baju, mencari handphone. Saya harus mengabadikan dengan memfotonya. Kata-kata ini begitu sederhana, tetapi memiliki kesan yang luar biasa.

Langkah saya kembali berlanjut ke anak tangga ke tiga yaitu

“Saya Muhsin”

Muhsin dalam arti seseorang tidak hanya beriman dan beribadah tetapi juga berusaha untuk mencapai Tingkat kebaikan yang tertinggi dalam segala aspek kehidupan. Tingkat yang lebih tinggi dari mukmin dan muslim.

Saya mengangguk pelan, setuju dengan pesan itu. Betapa banyak siswa yang hanya membaca tanpa benar-benar memahami bahwa kata-kata, bukan sekadar kata atau kalimat.

Setiap kalimat yang saya baca membawa perasaan berbeda. Ada yang menyemangati, ada yang mengingatkan, dan ada yang menenangkan.

“Saya Mukhlisin”

Mukhlisin merupakan golongan orang yang memiliki tingkat keimanan dan ketaqwaan yang tinggi serta senantiasa menjaga keikhlasan dalam segala aspek kehidupan.

Saya sampai di anak tangga terakhir. Tulisan di sana begitu  maknanya:

“Saya Muttaqin”

Muttaqin adalah golongan orang yang memiliki tingkat ketakwaan tinggi kepada Allah dan berusaha untuk selalu menjaga diri dari segala sesuatu yang dapat mendatangkan murka-Nya.

Bagaimanakah cara mencapai derajat muttaqin? Ada beberapa langkah untuk mencapainya yaitu, Satu, memperkuat iman dan tauhid kepada Allah Subhanahu Wata’all. Memperkuat iman dengan jalan yaitu Menyakini rukun iman, menjauhi syirik. Kedua, melaksanakan ibadah dengan khusu, Ketiga, meningkatkan akhlaq, Keempat, Menjauhi larangan Allah Subhanahu Wata’aalla. Kelima, meningkatkan ilmu agama. Keenam yaitu istiqomah dan mujahadah.

Nah, dengan mengikuti langkah-langkah tersebut di atas, kita akan meraih derajat muttaqin dan mendapat ridho Allah Subhanahu Watta’alla.

Saya menarik napas dalam, merenungi setiap kata yang saya temui dalam perjalanan singkat ini. Seakan-akan tangga ini tidak hanya mengantarkan saya ke ruangan di lantai atas, tetapi juga ke pemahaman baru tentang arti perjalanan hidup seorang muslim.

Pikiran saya berkelana lebih jauh. Jika kata-kata di tangga itu bisa memberi penuntun kepada siapa pun yang membacanya. Bagaimana jika setiap sudut sekolah diisi dengan pesan-pesan inspiratif? Bagaimana jika setiap kelas memiliki kata-kata motivasi yang bisa menyentuh hati siswa?

Saya mengambil kertas catatan saya dan mulai menulis. Bukan hanya mencatat kalimat-kalimat tadi, tetapi juga menambahkan ide-ide baru. Saya ingin berbagi kisah ini, menuliskannya agar lebih banyak orang yang terinspirasi untuk menebar kebaikan lewat kata-kata.

Saya akan terus berbenah. Bukan hanya berhenti sebagai muslim, tetapi juga untuk berjuang ke arah muttaqin. Dan hari ini, saya akan mengabadikan kata-kata di tangga ini dalam sebuah tulisan. Agar lebih banyak orang yang tergerak untuk menebarkan semangat melalui kata-kata.

Cepu, 20  Februari 2025

 


 

Mengajar PAI di Luar Zona Nyaman

Karya: Gutamining Saida

Menjadi seorang guru adalah perjalanan yang penuh dengan tantangan dan pembelajaran. Tantangan terbesar dalam perjalanan mengajar saya kali ini adalah ketika saya diminta mengampu mata pelajaran yang bukan bidang saya yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI). Guru PAI hanya seorang, sedang rombongan belajar ada 24 kelas. Sehingga beberapa guru diberikan tambahan mata Pelajaran PAI.

Selama mengajar, saya terbiasa dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Saya sudah paham alur materi, terbiasa dengan soal-soalnya, dan tahu bagaimana menyampaikannya kepada siswa dengan cara yang menarik. Ketika tugas tambahan ini diberikan, saya sempat terdiam. Mengajar PAI? Mata pelajaran yang tidak hanya membutuhkan pemahaman konsep, tetapi juga praktik ibadah yang benar.

Awalnya, saya berpikir, “Ah, mungkin tidak sesulit itu. Saya juga belajar agama di sekolah dulu.” Ketika mulai membuka buku paket kelas 7, saya baru menyadari bahwa anggapan saya keliru. Materinya tidak sesederhana yang saya bayangkan. Ada bab tentang akidah, fikih, tarikh Islam, hingga hadits yang harus dijelaskan dengan pemahaman mendalam. Belum lagi soal tajwid dalam bacaan Al-Qur’an. Suatu hal yang tidak bisa sekadar diajarkan secara teori, tetapi juga harus dicontohkan dengan benar.

Saya tahu bahwa tidak bisa mengajar tanpa persiapan matang. Saya mulai dengan langkah pertama yaitu mempelajari materi yang akan saya ajarkan. Malam hari saya membuka buku PAI, membaca dengan saksama, mencatat poin-poin penting dan mencari penjelasan tambahan dari berbagai sumber.

Saya juga mulai mengerjakan latihan soal yang ada di buku. Bukan sekadar membaca jawabannya. Saya mencoba menjawab sendiri sebelum melihat kunci jawaban. Saya ingin memastikan bahwa saya benar-benar memahami konsepnya sebelum mengajarkannya kepada siswa. Saya merasa seperti siswa kembali. Ketika bingung mencari jawaban, salah memahami konsep, dan harus mengulang membaca beberapa kali.

Hari pertama mengajar PAI adalah pengalaman yang mendebarkan. Saya masuk kelas dengan rasa percaya diri yang bercampur dengan sedikit kegugupan. Saya membuka pelajaran dengan menyapa mereka. Materi apa yang menarik di semester gasal? Tanya saya singkat. Beberapa siswa langsung menjawab, “Belajar kisah nabi, Bu!” yang lain menimpali, “Belajar doa-doa.”

Jawaban mereka membuat saya sedikit lega. Setidaknya, ada antusiasme dalam diri mereka. Saya mulai menjelaskan materi, tetapi di tengah-tengah pelajaran, ada satu siswa yang bertanya tentang perbedaan antara penciptaan bumi dan penciptaan planet lain. Saya terdiam sejenak. Saya sudah membaca tentang ini tadi malam.  Menjelaskannya dengan tepat ternyata tidak semudah yang saya bayangkan.

“Saya coba jelaskan penciptaan bumi dengan beberapa masa.”

Siswa itu mengangguk-angguk, lalu berkata, “Oh, jadi ada beberapa tahap, ya, Bu?”

Saya merasa lega. “Betul sekali!”

Dari situ, saya sadar bahwa mengajar PAI bukan hanya soal menyampaikan materi, tetapi juga harus bisa menjawab pertanyaan siswa dengan baik. Saya pun semakin bersemangat untuk terus belajar. Saya mulai menonton video kajian tentang topik yang akan saya ajarkan. Berdiskusi dengan guru PAI di sekolah.  Bahkan tidak malu untuk bertanya kepada teman yang lebih paham.

Hari-hari berikutnya, saya semakin menikmati proses ini. Setiap kali saya belajar sesuatu yang baru, saya merasa bersyukur kepada Allah Subhanahu Wata’alla. Dahulu, saya hanya tahu dasar-dasar agama yang diajarkan sejak kecil. Sekarang, saya bisa memahami lebih dalam, termasuk bagaimana agama Islam mengatur kehidupan dengan begitu rinci dan penuh hikmah.

Suatu hari ketika kelas yang saya ajar mendapat giliran shalat. Saya mengajak siswa untuk ke masjid sholat berjama’ah. Salat dhuhur dan salah dhuha di masjid.

Momen itu membuat saya semakin yakin bahwa tugas ini bukan hanya tentang mengajar, tetapi juga tentang memperbaiki pemahaman, baik bagi siswa maupun bagi saya sendiri.

Hari-hari berlalu dan semakin banyak hal yang saya pelajari. Saya tidak lagi merasa tertekan karena mengajar di luar bidang saya, tetapi justru bersyukur atas kesempatan ini. Saya menyadari bahwa terkadang, kita perlu keluar dari zona nyaman untuk benar-benar berkembang.

Mengajar PAI telah memberi saya pengalaman berharga. Saya belajar bahwa ilmu agama bukan hanya untuk diajarkan, tetapi juga untuk diamalkan. Saya belajar bahwa tidak ada kata terlambat untuk memahami sesuatu yang dulu mungkin saya anggap sulit. Dan yang paling penting, saya belajar bahwa setiap tantangan dalam mengajar adalah peluang untuk menjadi lebih baik.

Ketika saya melihat siswa-siswa saya mulai memahami materi.  Saat mereka bisa menjawab pertanyaan dengan benar. Bahkan mereka bertanya dengan penuh rasa ingin tahu. Penilaian Tengah semester selesai saatnya saya koreksi. Nilai mereka sangat memuaskan. Saya merasa senang, bangga pada mereka. Saya merasa semua perjuangan ini terbayar saat melihat hasil tes mereka.

Setiap kali saya membuka buku PAI, saya tidak lagi merasa canggung. Sebaliknya saya merasa tertantang dan bersemangat untuk terus belajar. Karena di balik tugas tambahan ini, ada hikmah besar yang tidak pernah saya duga sebelumnya.

Cepu, 20 Februari 2025