Kamis, 27 Februari 2025

Mimpi Yang Terwujud

Karya: Gutamining Saida

Sejak kecil saya selalu mengagumi para ustazah yang mengajar di musala kecil dekat rumah. Mereka tidak hanya membimbing dalam membaca Al-Qur’an tetapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan yang luhur. Dalam hati kecil saya terbersit sebuah impian, "Suatu hari, aku ingin dipanggil ustazah."

Kehidupan membawa saya ke jalur yang berbeda. Saya menjadi seorang guru yang mengabdikan diri di sekolah dengan mengajarkan ilmu dunia. Gelar yang melekat pada diri saya adalah Bu Guru.  Sebuah panggilan yang penuh kehormatan. Tetapi jauh di dalam hati ada sesuatu yang masih terasa kurang.

Waktu pun berlalu. Saya terus menjalani kehidupan sebagai seorang pendidik di SMP negeri. Saya membimbing generasi agar tumbuh menjadi pribadi yang berilmu dan berakhlak. Keinginan untuk mengajar ilmu agama tidak pernah padam. Setiap kali melihat anak-anak yang berangkat ke masjid untuk mengaji, hati saya bergetar. Mengapa aku tidak ikut memulai ?

Saya memutuskan untuk mengabdikan diri di masjid, mengajar anak-anak membaca iqra’.  Awalnya, hanya datang untuk menemani beberapa ustazah yang mengajar. Anak-anak yang ikut mengaji berjumlah banyak. Ustad dan ustazahnya hanya berjumlah enam. Anak-anak dikelompokkan sesuai usia dan kemampuan membaca. Peserta mengaji dari usia paud sampai usia anak SMP. Sedangkan mengaji Iqro dari jilid satu sampai enam dan kelompok membaca Al Qur’an.

Saya merasakan kebahagiaan yang berbeda. Jika di sekolah saya mengajarkan ilmu dunia. Di masjid saya menanamkan ilmu akhirat. Setiap kali melihat anak-anak mulai bisa membaca Iqro, Al-Qur’an dengan benar dan baik, hati saya penuh Syukur pada Allah Subhanahu Wata’alla. Ada satu hal yang membuat saya terkejut dan haru yaitu anak-anak mulai memanggil saya ustazah. 

Suatu hari, wakil kepala urusan kurikulum  menemui saya dan meminta saya untuk membantu mengajar pelajaran agama di kelas VIIA dan kelas VIIB. Anak-anak sangat membutuhkan bimbingan dan tidak ada gurunya. Guru agama islam hanya ada satu orang, kelas yang ada berjumlah 24 kelas.

Saya terdiam sejenak. Mimpi lama saya kembali berkelebat di benak. Apakah ini saatnya untuk berbagi ilmu agama? Saya tersenyum dan mengangguk, menerima amanah itu dengan penuh rasa syukur. Ada peluang kesempatan untuk membantu.

Sejak saat itu, saya bukan hanya mengajar ilmu umum tetapi juga ilmu agama. Saya membimbing siswa memahami akhlak, ibadah, dan nilai-nilai Islam yang dapat mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Di kelas, mereka mulai memanggil saya ustazah, sebuah panggilan yang dulu hanya ada dalam angan-angan.

Ada rasa yang berbeda ketika disebut bu guru dan ustazah. Keduanya sama-sama mulia, tetapi panggilan ustazah mengingatkan saya pada tanggung jawab yang lebih besar. Bukan hanya membimbing anak-anak dalam memahami dunia.  Berjuang mempersiapkan mereka menghadapi kehidupan setelahnya.

Di usia 55 tahun, mimpi saya akhirnya terwujud. Tidak ada kata terlambat untuk mencapai impian. Selama kita terus berusaha dan berdoa. Saya belajar bahwa Allah Subhanahu Wata’alla selalu memiliki cara terbaik untuk mengabulkan keinginan hamba-Nya. Terkadang dengan jalan yang tidak kita duga.

Mengajar ilmu agama tidak hanya bermanfaat bagi orang lain tetapi juga bagi diri saya sendiri. Saya merasa semakin dekat dengan Allah Subhanahu Wata’alla. Semakin memahami hakikat kehidupan, dan semakin yakin bahwa kebahagiaan sejati bukanlah sekadar meraih dunia.  Kita bisa memberikan manfaat bagi sesama.

Setiap kali mendengar seseorang memanggil saya ustazah, saya tersenyum penuh rasa syukur. Bukan karena gelarnya, tetapi karena panggilan itu mengingatkan bahwa saya masih memiliki tanggung jawab besar dalam menyebarkan ilmu hingga akhir hayat.

Saya hanya berharap, apa yang saya ajarkan dapat menjadi amal jariyah yang terus mengalir. Semua akan menjadi bekal yang menyertai perjalanan di kehidupan kemudian.

Cepu, 28 Februari 2025

 

 

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar