Rabu, 19 Februari 2025

Mengajar PAI di Luar Zona Nyaman

Karya: Gutamining Saida

Menjadi seorang guru adalah perjalanan yang penuh dengan tantangan dan pembelajaran. Tantangan terbesar dalam perjalanan mengajar saya kali ini adalah ketika saya diminta mengampu mata pelajaran yang bukan bidang saya yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI). Guru PAI hanya seorang, sedang rombongan belajar ada 24 kelas. Sehingga beberapa guru diberikan tambahan mata Pelajaran PAI.

Selama mengajar, saya terbiasa dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Saya sudah paham alur materi, terbiasa dengan soal-soalnya, dan tahu bagaimana menyampaikannya kepada siswa dengan cara yang menarik. Ketika tugas tambahan ini diberikan, saya sempat terdiam. Mengajar PAI? Mata pelajaran yang tidak hanya membutuhkan pemahaman konsep, tetapi juga praktik ibadah yang benar.

Awalnya, saya berpikir, “Ah, mungkin tidak sesulit itu. Saya juga belajar agama di sekolah dulu.” Ketika mulai membuka buku paket kelas 7, saya baru menyadari bahwa anggapan saya keliru. Materinya tidak sesederhana yang saya bayangkan. Ada bab tentang akidah, fikih, tarikh Islam, hingga hadits yang harus dijelaskan dengan pemahaman mendalam. Belum lagi soal tajwid dalam bacaan Al-Qur’an. Suatu hal yang tidak bisa sekadar diajarkan secara teori, tetapi juga harus dicontohkan dengan benar.

Saya tahu bahwa tidak bisa mengajar tanpa persiapan matang. Saya mulai dengan langkah pertama yaitu mempelajari materi yang akan saya ajarkan. Malam hari saya membuka buku PAI, membaca dengan saksama, mencatat poin-poin penting dan mencari penjelasan tambahan dari berbagai sumber.

Saya juga mulai mengerjakan latihan soal yang ada di buku. Bukan sekadar membaca jawabannya. Saya mencoba menjawab sendiri sebelum melihat kunci jawaban. Saya ingin memastikan bahwa saya benar-benar memahami konsepnya sebelum mengajarkannya kepada siswa. Saya merasa seperti siswa kembali. Ketika bingung mencari jawaban, salah memahami konsep, dan harus mengulang membaca beberapa kali.

Hari pertama mengajar PAI adalah pengalaman yang mendebarkan. Saya masuk kelas dengan rasa percaya diri yang bercampur dengan sedikit kegugupan. Saya membuka pelajaran dengan menyapa mereka. Materi apa yang menarik di semester gasal? Tanya saya singkat. Beberapa siswa langsung menjawab, “Belajar kisah nabi, Bu!” yang lain menimpali, “Belajar doa-doa.”

Jawaban mereka membuat saya sedikit lega. Setidaknya, ada antusiasme dalam diri mereka. Saya mulai menjelaskan materi, tetapi di tengah-tengah pelajaran, ada satu siswa yang bertanya tentang perbedaan antara penciptaan bumi dan penciptaan planet lain. Saya terdiam sejenak. Saya sudah membaca tentang ini tadi malam.  Menjelaskannya dengan tepat ternyata tidak semudah yang saya bayangkan.

“Saya coba jelaskan penciptaan bumi dengan beberapa masa.”

Siswa itu mengangguk-angguk, lalu berkata, “Oh, jadi ada beberapa tahap, ya, Bu?”

Saya merasa lega. “Betul sekali!”

Dari situ, saya sadar bahwa mengajar PAI bukan hanya soal menyampaikan materi, tetapi juga harus bisa menjawab pertanyaan siswa dengan baik. Saya pun semakin bersemangat untuk terus belajar. Saya mulai menonton video kajian tentang topik yang akan saya ajarkan. Berdiskusi dengan guru PAI di sekolah.  Bahkan tidak malu untuk bertanya kepada teman yang lebih paham.

Hari-hari berikutnya, saya semakin menikmati proses ini. Setiap kali saya belajar sesuatu yang baru, saya merasa bersyukur kepada Allah Subhanahu Wata’alla. Dahulu, saya hanya tahu dasar-dasar agama yang diajarkan sejak kecil. Sekarang, saya bisa memahami lebih dalam, termasuk bagaimana agama Islam mengatur kehidupan dengan begitu rinci dan penuh hikmah.

Suatu hari ketika kelas yang saya ajar mendapat giliran shalat. Saya mengajak siswa untuk ke masjid sholat berjama’ah. Salat dhuhur dan salah dhuha di masjid.

Momen itu membuat saya semakin yakin bahwa tugas ini bukan hanya tentang mengajar, tetapi juga tentang memperbaiki pemahaman, baik bagi siswa maupun bagi saya sendiri.

Hari-hari berlalu dan semakin banyak hal yang saya pelajari. Saya tidak lagi merasa tertekan karena mengajar di luar bidang saya, tetapi justru bersyukur atas kesempatan ini. Saya menyadari bahwa terkadang, kita perlu keluar dari zona nyaman untuk benar-benar berkembang.

Mengajar PAI telah memberi saya pengalaman berharga. Saya belajar bahwa ilmu agama bukan hanya untuk diajarkan, tetapi juga untuk diamalkan. Saya belajar bahwa tidak ada kata terlambat untuk memahami sesuatu yang dulu mungkin saya anggap sulit. Dan yang paling penting, saya belajar bahwa setiap tantangan dalam mengajar adalah peluang untuk menjadi lebih baik.

Ketika saya melihat siswa-siswa saya mulai memahami materi.  Saat mereka bisa menjawab pertanyaan dengan benar. Bahkan mereka bertanya dengan penuh rasa ingin tahu. Penilaian Tengah semester selesai saatnya saya koreksi. Nilai mereka sangat memuaskan. Saya merasa senang, bangga pada mereka. Saya merasa semua perjuangan ini terbayar saat melihat hasil tes mereka.

Setiap kali saya membuka buku PAI, saya tidak lagi merasa canggung. Sebaliknya saya merasa tertantang dan bersemangat untuk terus belajar. Karena di balik tugas tambahan ini, ada hikmah besar yang tidak pernah saya duga sebelumnya.

Cepu, 20 Februari 2025

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar