Menjadi seorang guru adalah
perjalanan yang penuh dengan tantangan dan pembelajaran. Tantangan terbesar
dalam perjalanan mengajar saya kali ini adalah ketika saya diminta mengampu
mata pelajaran yang bukan bidang saya yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI). Guru
PAI hanya seorang, sedang rombongan belajar ada 24 kelas. Sehingga beberapa
guru diberikan tambahan mata Pelajaran PAI.
Selama mengajar, saya terbiasa
dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Saya sudah paham alur
materi, terbiasa dengan soal-soalnya, dan tahu bagaimana menyampaikannya kepada
siswa dengan cara yang menarik. Ketika tugas tambahan ini diberikan, saya
sempat terdiam. Mengajar PAI? Mata pelajaran yang tidak hanya membutuhkan
pemahaman konsep, tetapi juga praktik ibadah yang benar.
Awalnya, saya berpikir, “Ah,
mungkin tidak sesulit itu. Saya juga belajar agama di sekolah dulu.” Ketika
mulai membuka buku paket kelas 7, saya baru menyadari bahwa anggapan saya
keliru. Materinya tidak sesederhana yang saya bayangkan. Ada bab tentang
akidah, fikih, tarikh Islam, hingga hadits yang harus dijelaskan dengan
pemahaman mendalam. Belum lagi soal tajwid dalam bacaan Al-Qur’an. Suatu hal
yang tidak bisa sekadar diajarkan secara teori, tetapi juga harus dicontohkan
dengan benar.
Saya tahu bahwa tidak bisa
mengajar tanpa persiapan matang. Saya mulai dengan langkah pertama yaitu
mempelajari materi yang akan saya ajarkan. Malam hari saya membuka buku PAI,
membaca dengan saksama, mencatat poin-poin penting dan mencari penjelasan
tambahan dari berbagai sumber.
Saya juga mulai mengerjakan
latihan soal yang ada di buku. Bukan sekadar membaca jawabannya. Saya mencoba
menjawab sendiri sebelum melihat kunci jawaban. Saya ingin memastikan bahwa
saya benar-benar memahami konsepnya sebelum mengajarkannya kepada siswa. Saya
merasa seperti siswa kembali. Ketika bingung mencari jawaban, salah memahami
konsep, dan harus mengulang membaca beberapa kali.
Hari pertama mengajar PAI adalah
pengalaman yang mendebarkan. Saya masuk kelas dengan rasa percaya diri yang
bercampur dengan sedikit kegugupan. Saya membuka pelajaran dengan menyapa
mereka. Materi apa yang menarik di semester gasal? Tanya saya singkat. Beberapa
siswa langsung menjawab, “Belajar kisah nabi, Bu!” yang lain menimpali,
“Belajar doa-doa.”
Jawaban mereka membuat saya
sedikit lega. Setidaknya, ada antusiasme dalam diri mereka. Saya mulai
menjelaskan materi, tetapi di tengah-tengah pelajaran, ada satu siswa yang
bertanya tentang perbedaan antara penciptaan bumi dan penciptaan planet lain.
Saya terdiam sejenak. Saya sudah membaca tentang ini tadi malam. Menjelaskannya dengan tepat ternyata tidak
semudah yang saya bayangkan.
“Saya coba jelaskan penciptaan
bumi dengan beberapa masa.”
Siswa itu mengangguk-angguk, lalu
berkata, “Oh, jadi ada beberapa tahap, ya, Bu?”
Saya merasa lega. “Betul sekali!”
Dari situ, saya sadar bahwa
mengajar PAI bukan hanya soal menyampaikan materi, tetapi juga harus bisa
menjawab pertanyaan siswa dengan baik. Saya pun semakin bersemangat untuk terus
belajar. Saya mulai menonton video kajian tentang topik yang akan saya ajarkan.
Berdiskusi dengan guru PAI di sekolah. Bahkan
tidak malu untuk bertanya kepada teman yang lebih paham.
Hari-hari berikutnya, saya
semakin menikmati proses ini. Setiap kali saya belajar sesuatu yang baru, saya
merasa bersyukur kepada Allah Subhanahu Wata’alla. Dahulu, saya hanya tahu
dasar-dasar agama yang diajarkan sejak kecil. Sekarang, saya bisa memahami
lebih dalam, termasuk bagaimana agama Islam mengatur kehidupan dengan begitu
rinci dan penuh hikmah.
Suatu hari ketika kelas yang saya
ajar mendapat giliran shalat. Saya mengajak siswa untuk ke masjid sholat
berjama’ah. Salat dhuhur dan salah dhuha di masjid.
Momen itu membuat saya semakin
yakin bahwa tugas ini bukan hanya tentang mengajar, tetapi juga tentang
memperbaiki pemahaman, baik bagi siswa maupun bagi saya sendiri.
Hari-hari berlalu dan semakin
banyak hal yang saya pelajari. Saya tidak lagi merasa tertekan karena mengajar
di luar bidang saya, tetapi justru bersyukur atas kesempatan ini. Saya
menyadari bahwa terkadang, kita perlu keluar dari zona nyaman untuk benar-benar
berkembang.
Mengajar PAI telah memberi saya
pengalaman berharga. Saya belajar bahwa ilmu agama bukan hanya untuk diajarkan,
tetapi juga untuk diamalkan. Saya belajar bahwa tidak ada kata terlambat untuk
memahami sesuatu yang dulu mungkin saya anggap sulit. Dan yang paling penting,
saya belajar bahwa setiap tantangan dalam mengajar adalah peluang untuk menjadi
lebih baik.
Ketika saya melihat siswa-siswa
saya mulai memahami materi. Saat mereka
bisa menjawab pertanyaan dengan benar. Bahkan mereka bertanya dengan penuh rasa
ingin tahu. Penilaian Tengah semester selesai saatnya saya koreksi. Nilai
mereka sangat memuaskan. Saya merasa senang, bangga pada mereka. Saya merasa
semua perjuangan ini terbayar saat melihat hasil tes mereka.
Setiap kali saya membuka buku
PAI, saya tidak lagi merasa canggung. Sebaliknya saya merasa tertantang dan
bersemangat untuk terus belajar. Karena di balik tugas tambahan ini, ada hikmah
besar yang tidak pernah saya duga sebelumnya.
Cepu, 20 Februari 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar