Senin, 18 Agustus 2025

Ayam Alas


Karya : Gutamining Saida 
Pada zaman dahulu kala, di sebuah kerajaan yang terletak di tepian hutan lebat, hiduplah seekor ayam jantan berwarna indah. Bulunya hitam mengilap dengan kilau kehijauan, ekornya panjang melengkung anggun, dan matanya tajam seperti cahaya bintang. Warga desa menyebutnya Ayam Alas karena ia tinggal di tepi hutan (alas dalam bahasa Jawa berarti hutan).

Ayam ini bukan ayam biasa. Konon, ia bisa mengerti bahasa manusia dan memiliki keberanian luar biasa. Setiap fajar menyingsing, kokoknya terdengar lantang hingga ke istana, seolah membangunkan raja dari tidurnya.

Pertemuan dengan Pangeran

Suatu hari, seorang pangeran muda bernama Arya tersesat di hutan ketika berburu. Malam mulai gelap, dan suara binatang buas terdengar di kejauhan. Saat ketakutan mulai menguasainya, terdengarlah kokok nyaring Ayam Alas. Suara itu membimbing pangeran menuju sebuah gubuk tua di tepi hutan, tempat tinggal seorang kakek bijak yang memelihara Ayam Alas.

“Ayam ini selalu tahu arah pulang,” kata sang kakek sambil tersenyum. “Jika kau ikuti langkahnya, kau akan selamat.”

Benar saja, Ayam Alas berjalan perlahan menuju jalan setapak yang menuntun pangeran kembali ke istana.

Ayam Penyelamat Negeri

Beberapa tahun kemudian, kerajaan dilanda bencana. Pasukan musuh datang menyerang secara tiba-tiba pada malam hari. Para prajurit tertidur lelap, tak ada yang tahu bahaya mendekat. Tapi Ayam Alas merasakan firasat buruk. Ia berkokok keras-keras, bukan hanya sekali, tapi berkali-kali hingga seluruh penjaga terbangun.

Serangan pun berhasil dipatahkan. Raja yang berhutang nyawa pada ayam itu memerintahkan,

> “Mulai hari ini, Ayam Alas menjadi simbol keberanian dan kewaspadaan kerajaan kita. Bulunya yang indah adalah tanda kejayaan, suaranya yang lantang adalah tanda peringatan."

Pesan Moral
Sejak saat itu, Ayam Alas dihormati sebagai hewan yang melambangkan:

1. Kewaspadaan – selalu peka terhadap keadaan.

2. Keberanian – berani memberi peringatan meski sendirian.

3. Kesetiaan – setia menjaga wilayahnya.

Dan sampai sekarang, di beberapa daerah, gambar Ayam Alas masih digunakan sebagai lambang daerah atau kelompok, mengingatkan bahwa keberanian tidak selalu datang dari tubuh yang besar, tetapi dari hati yang teguh.
Cepu, 18 Agustus 2025 

Makna Lagu Hari Merdeka


1. Makna dari lagu “Hari Merdeka”
Lagu Hari Merdeka (17 Agustus Tahun ’45) karya H. Mutahar menggambarkan kegembiraan dan kebanggaan bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang diraih pada 17 Agustus 1945. Maknanya adalah pengingat bahwa kemerdekaan merupakan anugerah yang diperoleh dengan pengorbanan jiwa dan raga para pahlawan. Lagu ini menanamkan rasa cinta tanah air, semangat perjuangan, dan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut selamanya.

2. Nilai yang tersirat dalam lagu “Hari Merdeka”
Beberapa nilai penting yang tersirat, antara lain:

Patriotisme → Rasa cinta tanah air dan kebanggaan menjadi bangsa Indonesia.

Persatuan → Ajakan agar seluruh rakyat Indonesia bersatu menjaga kemerdekaan.

Penghargaan terhadap jasa pahlawan → Mengingatkan bahwa kemerdekaan adalah hasil perjuangan, bukan hadiah.

Semangat juang → Mengajak untuk terus berjuang mengisi kemerdekaan di segala bidang.

Optimisme → Keyakinan bahwa Indonesia akan maju jika rakyatnya bekerja sama.

3. Cara mempertahankan kemerdekaan

Menjaga persatuan dan kesatuan agar tidak terpecah belah oleh perbedaan suku, agama, atau pandangan politik.

Mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku demi terciptanya ketertiban.

Menghargai dan melestarikan budaya bangsa sebagai identitas nasional.

Mengembangkan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Mengisi kemerdekaan dengan prestasi di bidang masing-masing.

Waspada terhadap ancaman baik dari luar maupun dalam negeri yang bisa mengganggu kedaulatan.



---

4. Apa yang bisa dilakukan untuk membela negara
Contoh peran yang dapat dilakukan:

Bagi pelajar → Rajin belajar, berprestasi, menaati tata tertib sekolah, dan menjaga nama baik bangsa.

Bagi masyarakat → Bekerja dengan jujur, menjaga keamanan lingkungan, dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial.

Minggu, 17 Agustus 2025

Pilihan Yang Sulit

Karya : Gutamining Saida 
Siang itu, tepat setelah jam istirahat kedua, matahari terasa terik menembus kaca jendela kelas 7F. Saya melangkah ke dalam kelas dengan membawa setumpuk semangat meski saya tahu, kelas ini berbeda dengan kelas lain. Tidak selalu mudah, tapi selalu ada kejutan yang membuat situasi berwarna.

Kali ini saya akan membahas materi IPS tentang permukaan bumi. Sebelum masuk ke inti pelajaran, saya sengaja memberi pertanyaan pemantik.

"Anak-anak, bagaimana bentuk bumi?" tanya saya sambil menatap ke seluruh penjuru kelas.

Tanpa ragu, mereka menjawab serempak, "Bulaaaat  bu!"
Saya tersenyum, “Betul sekali!”

Kemudian saya lanjutkan, "Kalau permukaan bumi, bagaimana?"
Belum sempat ada yang menjawab, saya menambahkan instruksi, "Sebelum menjawab, coba kalian raba wajah masing-masing."

Beberapa siswa langsung memegang pipinya, ada yang memegang hidung, dahi dan ada pula yang menatap temannya sambil tertawa.

"Nah, seperti itu permukaan bumi. Ada yang menonjol, ada yang cekung, ada yang berlobang, dan lain sebagainya," ucap saya. "Di permukaan bumi ada gunung, pegunungan, bukit, lembah, dan sebagainya."

Untuk memastikan mereka benar-benar memperhatikan, saya menunjuk satu per satu. “Fahri, bagaimana wajah kamu kalau diraba?”

Fahri, dengan ekspresi santai, mengelus janggut tipisnya sambil berkata, “B aja, Bu,” jari-jarinya dilengkungkan seolah sedang memegang sesuatu yang sangat penting.

Saya sempat terdiam. “B aja” ini maksudnya apa? Tidak ingin mengira-ngira sendiri, saya melangkah ke salah satu siswa perempuan untuk meminta penjelasan.

“B aja itu maksudnya biasa aja, Bu,” jawabnya sambil terkikik.

“Oooo…” saya mengangguk-angguk, mencoba terlihat paham, meski dalam hati saya berpikir, “Generasi sekarang ini memang aneh-aneh. Kadang saya tidak bisa langsung mengerti bahasa mereka.”

Lalu saya menoleh ke arah Syafa. “Kalau kamu, Syafa, bagaimana?” tanya saya dengan nada santai.

Syafa tersenyum tipis, lalu dengan percaya diri menjawab, “Kalau wajah saya..... Ini pilihan yang sulit bu!"

Kelas langsung pecah dengan tawa. Saya sempat terkejut, bahkan agak bingung harus merespons bagaimana. Dalam hati saya bergumam,  antara mau menanggapi serius sebagai jawaban ilmiah, atau ikut tertawa bersama yang lain.

Akhirnya saya hanya bisa tersenyum sambil berkata, “Ya, betul juga. Permukaan bumi memang ada yang halus dan kasar… Syafa.”

Jawaban Syafa itu membuat saya sadar, bahwa kadang pertanyaan sederhana bisa melahirkan jawaban tak terduga. Mereka menjawab dengan polos, tapi justru dari situlah suasana kelas jadi hidup.

Setelah tawa mereda, saya beralih ke Arya, siswa yang rumahnya di Megal. Arya ini punya pembawaan yang khas. Selalu tersenyum, jarang terlihat marah, dan kalau diberi tugas menggambar atau membuat peta, ia selalu punya cara unik menyelesaikannya.

“Kalau kamu, Arya, bagaimana?” tanya saya singkat.

Arya hanya tersenyum lebar, lalu dengan sigap mengambil  gambar yang barusan digambar. Tidak banyak bicara, ia mulai menggoreskan pensil. Saat saya menghampiri, ia sudah menggambar gunung kembar dengan garis-garis tegas. Lalu ia menambahkan awan di atasnya. Saya pikir, ini pemandangan alam biasa. Tapi saya terkejut ketika ia mulai menambahkan gambar orang tawuran di kaki gunung, lengkap dengan dua kelompok yang saling berhadapan.

Tidak berhenti di situ, Arya menambahkan sungai yang mengalir dari sela gunung, lalu hutan di sisi kanan. Semua tergambar jelas, dengan warna-warna yang ia ambil dari kotak pensilnya.

“Bagus… bagus sekali, Arya,” kata saya sambil menahan tawa. Gaya berpikirnya memang di luar dugaan. Dalam imajinasinya, gunung tidak hanya tentang alam, tapi juga bisa menjadi latar kejadian manusia.

Kelas pun menjadi lebih hidup. Siswa-siswa lain mulai penasaran dengan gambar Arya, sebagian meniru, sebagian malah menambahkan hal-hal kocak seperti bendera one pisces di atas awan atau perahu di puncak gunung.

Di tengah-tengah pembelajaran, saya menyadari bahwa anak-anak seperti Syafa, Fahri, dan Arya mengajarkan saya satu hal penting yaitu metode belajar tidak selalu harus kaku. Kadang kita perlu masuk ke dunia mereka, memahami bahasa, canda, dan imajinasi mereka. Bahkan ketika mereka menjawab “B aja,” mengibaratkan wajah seperti bantal, atau menggambar gunung kembar dengan adegan tawuran itu semua adalah bentuk ekspresi yang jujur dari pikiran mereka.

Waktu belajar hampir habis. Saya menutup pelajaran dengan mengingatkan, “Permukaan bumi itu beragam, sama seperti wajah kalian yang unik. Ada yang halus, ada yang berbintik, ada yang penuh senyum seperti Arya, ada yang penuh gaya seperti Fahri, dan ada yang selembut bantal.”

Saat bel pulang berbunyi, Arya menghampiri saya sambil berkata, “Bu, gunungnya nanti saya warnai di rumah, biar lebih hidup.” Saya mengangguk sambil tersenyum. Dalam hati saya merasa lega meski kelas 7F punya tantangan tersendiri, selalu ada momen yang membuat saya bersyukur berada di depan mereka.

Materi tentang permukaan bumi telah tersampaikan, tapi yang lebih penting, saya membawa pulang cerita unik tentang gunung kembar, generasi B aja, pilihan sulit dari Syafa, dan imajinasi tak terbatas di kelas 7F. Semoga menginspirasi. 
Cepu, 17 Agustus 2025 



Kamis, 14 Agustus 2025

Belajar Seru Di Kelas 7A



Karya: Gutamining Saida

Suasana kelas 7A terasa berbeda. Mata pelajaran Pendidikan Pancasila yang dijadwalkan pada jam ke-3 dan ke-4 menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh para siswa. Saya masuk kelas dengan membawa semangat baru. Materi yang akan saya sampaikan adalah "Lahirnya Pancasila", sebuah topik penting yang menjadi fondasi bangsa Indonesia. Sejak awal, saya sudah bertekad membuat pembelajaran hari ini tidak hanya bermakna, tapi juga berkesan.

Saya memulai pembelajaran dengan membahas sejarah penting tentang proses lahirnya Pancasila, mulai dari sidang BPUPKI, peran tokoh-tokoh bangsa, hingga bagaimana akhirnya lima sila itu dirumuskan dan diterima sebagai dasar negara. Saya sampaikan dengan pendekatan yang ringan, melibatkan pertanyaan, gambar tokoh, dan sesekali candaan yang membuat siswa tertawa. Mereka tampak antusias, mata mereka fokus ke depan, beberapa bahkan aktif mencatat.

Setelah materi selesai, saya menyiapkan evaluasi yang berbeda dari biasanya. Tidak ada ujian duduk diam di bangku masing-masing. Sebaliknya, saya sudah menempelkan 32 soal pilihan ganda dan isian singkat di berbagai sudut kelas dan lorong. Tujuan saya sederhana yaitu menghindari kerumunan, sekaligus memberi nuansa petualangan belajar.

“Silakan ambil soal satu per satu. Target kalian minimal mengerjakan 20 soal, boleh lebih kalau mampu,” ucap saya sambil memberi aba-aba mulai.

Seketika kelas berubah menjadi arena pemburu soal. Anak-anak berhamburan mencari kertas soal yang saya tempel. Beberapa siswa bahkan saling berbagi info, “Nomor 12-20 ada di papan tulis!” atau “Nomor 1-6 di dekat pintu, Nomor 7-11 di dinding belakang, nomor 21-32 di dinding depan!” Suasana menjadi hidup, aktif, dan penuh semangat. Saya tidak perlu menyuruh mereka cepat-cepat, karena mereka sendirilah yang begitu terdorong untuk menyelesaikan tantangan.

Saya melihat Mikye, salah satu siswi yang memang dikenal rajin dan tekun, tampak sangat fokus. Ia bergerak cepat dari satu titik ke titik lain. Saat saya cek, ternyata Mikye berhasil mengerjakan hingga 29 soal. Luar biasa! Ketika saya tanya, dia hanya tersenyum malu dan berkata, “Soalnya bikin penasaran, Bu. Saya jadi pengen selesaikan semuanya.” Jawaban yang sederhana namun sangat menyenangkan hati saya sebagai guru.

Saya juga tidak menutup mata bahwa ada satu siswa yang hanya menyelesaikan 7 soal. Saya tidak langsung menegur atau menyalahkan. Saya mendekatinya dengan pelan dan bertanya dengan nada lembut. Ternyata, ia merasa kurang enak badan sejak pagi. Saya mengapresiasi usahanya, sekecil apa pun itu. Setiap anak punya proses dan tantangannya masing-masing.

Waktu hampir habis, dan saya melihat sebagian besar siswa sudah menyelesaikan target mereka. Masih tersisa lima menit sebelum bel tanda istirahat berbunyi. Saya manfaatkan waktu ini untuk meminta mereka menuliskan kesan tentang pembelajaran hari ini di secarik kertas kecil yang sudah saya siapkan.

Saya tidak menyangka bahwa banyak jawaban yang menyentuh hati. Beberapa siswa menulis:

“Hari ini seru banget, beda dari biasanya, Bu.” “Aku jadi tahu siapa tokoh perumus Pancasila. Ternyata menarik ya sejarah itu.” “Senang bisa belajar sambil bergerak, rasanya tidak membosankan.” “Ternyata belajar itu menyenangkan kalau cara belajarnya juga asyik.”

Saya membaca satu per satu, dan tak terasa senyum saya terus mengembang. Ini bukan hanya tentang nilai atau soal evaluasi. Ini tentang bagaimana anak-anak menikmati proses belajar, merasa dihargai, dan tumbuh semangat dalam dirinya. Hari itu saya belajar satu hal penting yaitu ketika siswa merasa diperhatikan dan dilibatkan, maka pembelajaran bisa jadi pengalaman yang menyenangkan dan tak terlupakan.

Sebelum bel berbunyi, saya ucapkan terima kasih kepada mereka atas kerja keras, semangat, dan kejujuran mereka selama evaluasi. Saya juga mengatakan betapa bangganya mengajar mereka hari itu.

Saya dengan perasaan ringan dan bahagia. merasa menjadi guru yang bukan hanya menyampaikan materi, tapi juga menyalakan semangat belajar dan memberi ruang bagi siswa untuk tumbuh. Saya percaya, kebaikan kecil dari cara mengajar kita bisa menjadi manfaat besar bagi orang lain .

Cepu, 15 Agustus 2025

 

Makna Lagu Hari Merdeka



1. Makna dari lagu “Hari Merdeka”
Lagu Hari Merdeka (17 Agustus Tahun ’45) karya H. Mutahar menggambarkan kegembiraan dan kebanggaan bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang diraih pada 17 Agustus 1945. Maknanya adalah pengingat bahwa kemerdekaan merupakan anugerah yang diperoleh dengan pengorbanan jiwa dan raga para pahlawan. Lagu ini menanamkan rasa cinta tanah air, semangat perjuangan, dan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut selamanya.

2. Nilai yang tersirat dalam lagu “Hari Merdeka”
Beberapa nilai penting yang tersirat, antara lain:

Patriotisme → Rasa cinta tanah air dan kebanggaan menjadi bangsa Indonesia.

Persatuan → Ajakan agar seluruh rakyat Indonesia bersatu menjaga kemerdekaan.

Penghargaan terhadap jasa pahlawan → Mengingatkan bahwa kemerdekaan adalah hasil perjuangan, bukan hadiah.

Semangat juang → Mengajak untuk terus berjuang mengisi kemerdekaan di segala bidang.

Optimisme → Keyakinan bahwa Indonesia akan maju jika rakyatnya bekerja sama.

3. Cara mempertahankan kemerdekaan

Menjaga persatuan dan kesatuan agar tidak terpecah belah oleh perbedaan suku, agama, atau pandangan politik.

Mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku demi terciptanya ketertiban.

Menghargai dan melestarikan budaya bangsa sebagai identitas nasional.

Mengembangkan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Mengisi kemerdekaan dengan prestasi di bidang masing-masing.

Waspada terhadap ancaman baik dari luar maupun dalam negeri yang bisa mengganggu kedaulatan.

4. Apa yang bisa dilakukan untuk membela negara
Contoh peran yang dapat dilakukan:

Bagi pelajar → Rajin belajar, berprestasi, menaati tata tertib sekolah, dan menjaga nama baik bangsa.

Bagi masyarakat → Bekerja dengan jujur, menjaga keamanan lingkungan, dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial.

Bagi semua warga negara → Menjaga lingkungan, tidak menyebarkan hoaks, mendukung program pembangunan, serta siap ikut bela negara jika diperlukan.
Cepu, 14 Agustus 2025 

Selasa, 12 Agustus 2025

Bentuk Muka Bumi




1. DATARAN TINGGI
Pengertian: Wilayah yang berada pada ketinggian lebih dari ±700 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Ciri: Udara sejuk, tanah subur, cocok untuk pertanian sayuran dan perkebunan.


2. DATARAN RENDAH

Pengertian: Wilayah yang berada pada ketinggian 0–200 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Ciri: Udara cenderung panas, banyak sungai, cocok untuk pertanian padi dan aktivitas perdagangan.


3. PESISIR ATAU PANTAI
Pengertian: Wilayah yang berbatasan langsung dengan laut.

Ciri: Udara lembap dan berangin, memiliki pasir atau batu karang, cocok untuk perikanan, wisata, dan perdagangan hasil laut.


DATARAN TINGGI
Mata Pencaharian adalah :
Bertani sayuran, berkebun teh/kopi, beternak sapi perah, pariwisata pegunungan

BENTUK RUMAH:
Rumah panggung dari kayu, atap miring untuk mengalirkan hujan

PAKAIAN
Pakaian tebal/wol, jaket, selendang untuk menghangatkan tubuh


DATARAN RENDAH
Mata pencaharian adalah:
Bertani padi/palawija, perdagangan, industri, jasa

Bentuk Rumah:
Rumah permanen dari batu bata atau kayu, atap genteng

Pakaian:
Pakaian tipis dan ringan, batik, sarung

PESISIR (PANTAI)
Mata pencaharian :
Nelayan, budidaya tambak, pengolahan hasil laut, pariwisata bahari

Bentuk Rumah:
Rumah panggung untuk menghindari pasang air laut, bahan kayu atau bambu

Pakaian :
Pakaian santai dan ringan, kain sarung, baju kaos tipis

Tugas :
BUATKAN TABEL TENTANG BENTUK MUKA BUMI, MATA PENCAHARIAN, BENTUK RUMAH, BENTUK PAKAIAN. 

Rezeki Mengalir Tanpa Diduga

Karya :Gutamining Saida 
Setelah mengajar dan membereskan segala urusan di sekolah, saya langsung bergegas pulang. Di tengah perjalanan, saya teringat sebuah janji kemarin sore  untuk bertemu dengan teman  lama yang sudah seperti saudara sendiri. Kami sudah lama tidak berjumpa sejak ia  pensiun beberapa tahun lalu. Kesibukan saya di sekolah dan kesibukan beliau di rumah membuat pertemuan tertunda. Hari ini entah kenapa, hati saya begitu mantap untuk menepati janji.

Perjalanan menuju rumahnya terasa begitu berbeda. Ada semacam rindu yang menggelitik hati, bercampur rasa penasaran akan kabarnya. Saat tiba di depan rumahnya, suasana begitu sepi. Pintu kayu sudah terbuka seolah menyimpan banyak cerita masa lalu. Setelah motor saya berhenti, ia melongok ddekat pintu, lalu langkah kaki mendekat.

Betapa terkejutnya saya. Beliau berdiri tubuhnya tampak jauh lebih kurus dari terakhir kali saya melihatnya. Wajahnya masih memancarkan senyum hangat, sorot matanya mengandung cerita yang dalam. Seketika, ia menatap saya lekat-lekat, lalu pecah tangisnya. Air mata mengalir deras, membasahi pipinya.

"Saya… seperti mimpi bisa bertemu umi lagi," ucapnya dengan suara bergetar.

Pelukan hangat menyatukan kami, seakan jarak waktu dan ruang selama bertahun-tahun sirna begitu saja. Saya pun ikut menahan haru, mengingat semua kenangan yang pernah kami lalui bersama yaitu tawa di sela-sela istirahat kerja, saling bercerita , bahkan saling menguatkan di masa-masa sulit.

Beliau mempersilakan saya masuk. Di ruang tamu yang sederhana itu, meja telah penuh dengan berbagai sajian. Ada beberapa kue tradisional, pohon, kerupuk dan yang menarik perhatian saya adalah sepiring blondo atau ampas kelapa yang gurih dan harum. Aroma khasnya langsung membangkitkan kenangan masa kecil saya. 

Di sela menikmati sajian, kami berbincang panjang lebar. Beliau menceritakan bahwa beberapa waktu terakhir kesehatannya menurun. Meskipun begitu, ia tetap berusaha kuat dan bersyukur atas segala yang Allah Subhanahu Wata'alla berikan. Saya mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk, sesekali tertawa saat kami mengenang masa lalu yang penuh warna.

Ada momen hening ketika beliau berkata, “Umi silaturahmi itu membawa rezeki. Hari ini, Allah Subhanahu Wata'alla buktikan itu. Rezeki bukan hanya uang atau barang, tapi juga hati yang kembali hangat, persaudaraan yang kembali erat.” Saya terdiam, lalu menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Betapa benar kata-kata itu.

Saya menyadari, pertemuan ini adalah rezeki yang luar biasa. Rezeki yang datang dari arah yang sama sekali tidak saya duga. Saya datang hanya untuk menepati janji, namun pulangnya saya membawa kenangan, rasa haru, dan kehangatan yang tak ternilai.
Angin sore masuk membawa kesejukan. Saya berpikir dalam hati, inilah yang dimaksud Allah Subhanahu Wata'alla dalam Al-Qur’an, bahwa jika kita bersyukur, Allah Subhanahu Wata'alla akan menambah nikmat dari arah yang tak terduga.

Sebelum pulang, beliau menggenggam tangan saya erat. “Jangan tunggu lama-lama. Umur kita ini seperti matahari sore, sebentar lagi tenggelam.” Kata-kata itu mengingatkan bahwa waktu tidak menunggu siapa pun.

Saya pun pamit dengan hati yang penuh syukur. Rasa syukur itu mengalir tanpa henti, seperti air yang tak pernah kering.  Saya belajar bahwa silaturahmi bukan hanya mempererat hubungan, tetapi juga menjadi pintu rezeki yang kadang hadir dalam bentuk yang tak kasat mata yaitu kedamaian hati, kehangatan persaudaraan, dan kebahagiaan yang sederhana. 
Cepu, 12 Agustus 2025 

Senin, 11 Agustus 2025

Rezeki Dari Berbagai Pintu

Karya : Gutamining Saida 
Matahari sudah meninggi ketika saya akhirnya melangkah ke ruang guru. Langkah saya agak tergesa, bukan karena terburu-buru ingin bekerja, tetapi karena saya sadar sudah sedikit terlambat. Bukan karena saya bangun kesiangan, melainkan karena ada kereta yang lewat di perlintasan. Perjalanan yang seharusnya mulus terhenti di depan palang pintu kereta yang tertutup rapat. Suara lokomotif membelah udara, saya hanya bisa tersenyum pasrah sambil melihat rangkaian gerbong melintas perlahan.

Begitu palang pintu terbuka, kendaraan-kendaraan di sekitar saya langsung bergerak seperti air yang mengalir bebas. Saya pun kembali mengayuh perjalanan, berharap tidak terlalu banyak yang saya lewatkan di sekolah.

Ketika sampai di ruang guru, suasana sudah ramai. Deru obrolan para rekan kerja bercampur dengan aroma makanan kecil di beberapa meja. Saya tersenyum kecil, berusaha menghapus rasa canggung karena datang agak belakangan dari biasanya.

“Assalamualaikum Bu!” sapaan hangat terdengar dari sudut ruangan. Suara Bu Wiwik, yang sudah duduk manis di kursinya. Senyumnya merekah, dan tangannya langsung bergerak menawarkan sesuatu.
“Silakan ambil kue cucur di meja saya. Masih hangat,” katanya sambil menyodorkan kotak bekal berisi kue berwarna cokelat keemasan.

Ah, kue cucur. Bagi orang Cepu, kue ini bukan sekadar camilan. Rasanya manis legit, teksturnya kenyal di tengah, renyah di pinggir. Satu gigitan saja bisa membawa saya kembali pada kenangan masa kecil, saat nenek sering memberi. Saya menerima tawaran itu tanpa banyak pikir.

“Terima kasih, Bu. Wah, rezeki pagi-pagi,” ucap saya sambil tersenyum.

Belum habis rasa manis kue cucur di lidah saya, aroma gurih tiba-tiba tercium dari meja sebelah. Rupanya Bu Warti membawa sekotak besar mie goreng yang baru saja dimasak dari rumah. Warnanya kecokelatan, berpadu dengan potongan kol, wortel, dan taburan bawang goreng yang harum.
“Bapak Ibu, silakan ambil sendiri ya… sesuai selera,” kata Bu Warti sambil menaruh piring dan sendok di sampingnya.

Tanpa banyak basa-basi, beberapa guru langsung mendekat, mengambil porsi masing-masing. Rasanya gurih dan pas di lidah, membuat pagi ini terasa semakin lengkap.

Di dalam hati, saya merenung. Memang benar, rezeki itu misteri. Kita tidak pernah tahu dari mana datangnya, lewat siapa, atau kapan waktu yang Allah Subhanahu Wata'alla pilihkan untuk memberikannya. Kadang kita berencana mencari, tapi Allah Subhanahu Wata'alla memberikannya dari arah yang sama sekali tidak kita sangka.

Belum lama saya duduk kembali, Bu Peni yang duduk di  belakang saya. 
“Bu, ini ada pepaya, coba ambil. Pepayanya manis banget, baru kemarin membeli. ” katanya.

Saya mendekat, melihat potongan pepaya berwarna jingga cerah di kotak . Aromanya harum, menggoda siapa saja yang lewat. Tanpa ragu, saya mengambil satu potong, lalu mengucapkan, “Alhamdulillah, terima kasih, Bu.”

Syukur otomatis terucap dari bibir saya. Tidak setiap hari kita mendapatkan suguhan kue cucur, mie goreng, pepaya manis, dan senyum hangat dari teman-teman di pagi yang sama.

Saya pun berjalan menuju kursi, menaruh tas, dan mulai membuka laptop untuk mempersiapkan materi pelajaran. Mata saya kemudian tertuju pada tas yang saya bawa. Entah kenapa, ada dorongan untuk memeriksa bagian dalamnya. Saya buka ritsleting salah satu kantong, dan di sana… ada sebuah amplop putih yang sudah agak terlipat.

“Hm? Amplop kapan ini?” pikir saya. Saya mencoba mengingat-ingat, kapan saya menaruhnya di sana. Tapi memori saya kosong. Tidak ada yang terasa familiar. Rasa penasaran mendorong saya untuk membukanya.

Ketika kertas pembungkusnya terbuka, mata saya langsung menangkap isinya. Subhanallah… ada uang di dalamnya. Tidak banyak memang, cukup untuk membuat hati saya bergetar. Saya tidak ingat pernah memasukkannya, dan tidak tahu siapa yang memberikannya.

“Alhamdulillah…” ucap saya lirih.

Nikmat mana lagi yang akan saya dustakan? Pagi ini, saya datang agak terlambat, sempat terhenti karena kereta, tapi ternyata Allah Subhanahu Wata'alla mengganti waktu yang hilang itu dengan rangkaian kebaikan yang datang berturut-turut yaitu kue cucur dari Bu Wiwik, mie goreng dari Bu Warti, pepaya manis dari Bu Peni, dan amplop misterius yang entah sejak kapan ada di tas saya.

Saya duduk termenung sejenak, mencoba memahami pesan yang mungkin Allah titipkan. Rezeki tidak selalu berbentuk uang. Ia bisa berupa makanan yang mengenyangkan, senyum yang menenangkan, atau bahkan waktu yang lapang untuk kita berbagi cerita. Dan yang lebih penting lagi, rezeki itu bukan hanya apa yang kita terima, tapi juga kesempatan yang kita punya untuk memberi.

Betapa sering kita mengukur rezeki hanya dari besarnya angka, padahal sejatinya ia ada dalam setiap detik kehidupan yang diberi Allah Subhanahu Wata'alla. Bisa bernapas, bisa melangkah, bisa bertemu orang-orang baik itu pun rezeki.

Saya pun bertekad, mulai hari ini saya ingin lebih peka. Bukan hanya terhadap apa yang saya terima, tetapi juga terhadap peluang untuk memberi. Karena siapa tahu, di suatu pagi, saya bisa menjadi “pintu rezeki” bagi orang lain, sebagaimana pagi ini orang-orang di sekitar saya menjadi pintu rezeki untuk saya.

Saya yakin, pintu rezeki Allah Subhanahu Wata'alla tidak pernah tertutup. Dia hanya menunggu kita untuk mengetuknya dengan syukur, sabar, dan amal kebaikan.
Cepu, 12 Agustus 2025 

Minggu, 10 Agustus 2025

3 Perkara Penyelamat


Karya : Gutamining Saida 
Udara di sekitar Masjid Al Mujahidin terasa sejuk. Sinar matahari menembus celah-celah dedaunan. Jamaah mulai berdatangan satu per satu, ada yang membawa sajadah, membawa tas, ada pula yang membawa buku catatan kecil. Sambil menunggu ustadz disajikan tarian sufi dengan pakaian merah. 

Ustadz Abdul Jalil sudah siap memberi tauziah, beliau duduk di kursi, wajahnya tenang, suaranya lembut menyapa jamaah.

“Bismillahirrahmanirrahim…,” beliau membuka kajian dengan salam dan doa. Setelah itu, beliau menatap para jamaah dengan tatapan penuh kasih.

“Bapak-bapak, ibu-ibu, jamaah masjid Al Mujahidin kita semua tentu ingin selamat, baik di dunia maupun di akhirat. Tapi, tahukah kita bahwa keselamatan itu punya kunci? Ada tiga perkara yang harus kita jaga,” katanya sambil mengangkat tiga jari.

Yang pertama, menambah ilmu.
“Ilmu adalah cahaya,” ujar beliau. “Dengan ilmu, kita tahu mana yang benar dan mana yang salah. Ilmu membimbing kita supaya tidak tersesat.” Beliau memberi contoh sederhana yaitu seorang pengendara di malam hari tanpa lampu akan rawan celaka. Begitu pula hidup tanpa ilmu, kita seperti berjalan di kegelapan.

Yang kedua, menambah iman.
“Iman itu letaknya di hati,” jelas beliau, sambil menunjuk dada. “Iman bukan sekadar ucapan, tapi dibenarkan dengan amal. Iman membuat kita sabar menghadapi ujian dan menerima ketentuan Allah.” Beliau menekankan, iman harus terus dipupuk, seperti tanaman yang disiram setiap hari agar tidak layu.

Yang ketiga, membaguskan amal.
“Amal yang bagus bukan hanya dilihat dari jumlahnya, tapi juga dari niat dan keikhlasannya. Allah tidak melihat banyaknya amalan kita, tetapi bagaimana hati kita saat melakukannya,” tutur beliau.

Ustadz Abdul Jalil kemudian menghela napas, lalu melanjutkan dengan pembahasan yang lebih dalam.
“Manusia, mau kaya atau miskin, mau sehat atau sakit, pasti punya masalah. Masalah itu tidak akan pernah habis. Tapi ada satu hal yang sering kita lupa yaitu penyakit hati adalah sumber bencana.”

Beliau mencontohkan, penyakit hati bisa berupa resah, gelisah, iri, dengki, dan sombong. “Orang yang hatinya kotor akan sulit merasa tenang. Bahkan ketika dia punya segalanya, tetap saja hidupnya tidak bahagia.”

Kemudian beliau menjelaskan musuh manusia yang harus diwaspadai adalah
1. Harta – jika cinta harta melebihi cintanya pada Allah.
2. Nafsu – yang selalu mengajak pada keburukan.
3. Manusia – yang bisa menjerumuskan kita pada dosa.
4. Setan – musuh nyata yang tidak pernah lelah menggoda.

Lalu, ustadz mulai menyebut enam perusak amal:
1. Selalu melihat kejelekan orang lain.
“Kalau kita sibuk mencari aib orang, kapan kita memperbaiki diri?”
2. Hati yang keras.
“Hati yang keras sulit menerima nasihat dan kebenaran.”
3. Senang harta berlebihan.
“Harta itu perlu, tapi jangan sampai jadi tujuan hidup.”
4. Tidak punya malu.
“Tidak malu kepada Allah, kepada manusia, bahkan kepada diri sendiri.”
5. Panjang angan-angan.
“Berangan-angan tanpa usaha hanya membuat kita malas beramal.”
6. Hidup seenaknya sendiri.
“Lupa tujuan hidup, hanya mengikuti kesenangan sementara.”

Para jamaah tampak mengangguk-angguk. Sebagian menunduk, merenungi perkataan ustadz. Ada yang terlihat menulis cepat di buku catatannya, seakan takut ketinggalan satu kata pun.

Ustadz Abdul Jalil kemudian menutup kajian dengan mengingatkan amal utama di dunia yaitu 
1. Menuntut ilmu – karena dengan ilmu kita tahu cara beribadah dengan benar.
2. Membela agama – dengan lisan, perbuatan, dan harta.
3. Bekerja keras – mencari rezeki yang halal untuk keluarga.

Beliau memberi perumpamaan, “Ibarat kapal yang ingin sampai ke pelabuhan selamat, kita harus punya peta (ilmu), bahan bakar (iman), dan mesin yang baik (amal). Tanpa salah satunya, kapal bisa karam di tengah jalan.”

“Ustadz, menjelaskan jika ada seseorang yang sering mengalami resah. Rasanya hati tidak pernah tenang. Ada tiga perkara tadi. Belajar ilmu agama sedikit demi sedikit, jaga iman dengan menghindari maksiat, dan perbaiki amal walau kecil. Ingat, hati akan tenang kalau dekat dengan Allah. Kalau hati resah, itu tanda kita butuh lebih banyak mengingat-Nya. 

Saya merasa menemukan arah. Di luar masjid, matahari mulai meninggi, namun di dalam hati cahaya baru mulai tumbuh. Terimakasih atas nikmat-Mu. Semoga manfaat.
Cepu, 10 Agustus 2025 


Jumat, 08 Agustus 2025

Lembaga Sosial

 

Pengertian Lembaga Sosial

Lembaga sosial adalah suatu tatanan kehidupan dalam masyarakat yang bersifat terorganisir dan memiliki aturan serta norma tertentu untuk mengatur perilaku individu maupun kelompok agar tercapai keteraturan sosial.

Contoh: keluarga, sekolah, pemerintah, agama, dan ekonomi.


2. Jenis-Jenis Lembaga Sosial

Berikut adalah beberapa jenis lembaga sosial berdasarkan fungsinya:

Jenis Lembaga Sosial

Contoh

Fungsi Utama

Lembaga Keluarga

Keluarga inti, keluarga besar

Mengatur hubungan antaranggota keluarga, sosialisasi awal

Lembaga Pendidikan

Sekolah, pesantren

Mendidik, mencerdaskan, dan menanamkan nilai budaya

Lembaga Ekonomi

Pasar, koperasi, bank

Mengatur kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi

Lembaga Politik

Pemerintah, partai politik

Mengatur kekuasaan dan wewenang di masyarakat

Lembaga Agama

Masjid, gereja, pura

Mengatur kehidupan spiritual dan moral masyarakat

Lembaga Hukum

Pengadilan, kepolisian

Menegakkan hukum dan memberikan keadilan

Lembaga Budaya

Sanggar seni, adat istiadat

Menjaga dan melestarikan budaya dan tradisi


3. Manfaat Lembaga Sosial

Lembaga sosial memberikan banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat, di antaranya:

  1. Menciptakan keteraturan sosial
    → Dengan adanya norma dan aturan, masyarakat menjadi lebih tertib.
  2. Menjadi sarana sosialisasi
    → Mengajarkan nilai, norma, dan cara hidup kepada individu sejak dini.
  3. Memenuhi kebutuhan hidup
    → Lembaga sosial hadir untuk membantu manusia memenuhi kebutuhan jasmani maupun rohani.
  4. Menjaga integrasi sosial
    → Menyatukan berbagai kelompok masyarakat dengan latar belakang yang berbeda.
  5. Mengatur peran sosial
    → Setiap anggota masyarakat tahu apa yang menjadi hak dan kewajibannya


Latihan Soal Benar/Salah – Lembaga Sosial

  1. Lembaga sosial hanya ada di pedesaan dan tidak ditemukan di kota.
  2. Lembaga sosial terbentuk dari kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara terus-menerus.
  3. Lembaga keluarga termasuk jenis lembaga sosial yang pertama dikenal manusia.
  4. Lembaga pendidikan tidak termasuk lembaga sosial.
  5. Tujuan lembaga ekonomi adalah untuk mengatur kegiatan politik dan hukum.
  6. Pasar, koperasi, dan bank termasuk contoh lembaga ekonomi.
  7. Lembaga agama berperan penting dalam membentuk moral dan etika masyarakat.
  8. Lembaga sosial tidak memiliki aturan atau norma tertentu.
  9. Salah satu fungsi lembaga sosial adalah menciptakan keteraturan dalam masyarakat.
  10. Sekolah termasuk contoh dari lembaga pendidikan.
  11. Partai politik dan pemerintah termasuk contoh lembaga ekonomi.
  12. Lembaga hukum bertugas menegakkan keadilan dan menjaga ketertiban.
  13. Lembaga budaya berfungsi untuk melestarikan dan meneruskan tradisi masyarakat.
  14. Lembaga sosial hanya berfungsi untuk kepentingan pribadi.
  15. Lembaga sosial tidak dapat berubah seiring perkembangan zaman.
  16. Salah satu manfaat lembaga sosial adalah membantu memenuhi kebutuhan manusia.
  17. Masjid dan gereja merupakan contoh lembaga politik.
  18. Lembaga sosial mengatur peran sosial dalam masyarakat.
  19. Lembaga politik mengatur pembagian kekuasaan dalam masyarakat.
  20. Lembaga sosial dapat menciptakan integrasi sosial antaranggota masyarakat. 

Kamis, 07 Agustus 2025

Praktik Seni Budaya

Karya : Gutamining Saida 
Hari Kamis saya tidak ada jadwal mengajar. Jadwal saya tugas piket kelas karena ada guru yang izin. Guru Penjaskes yang seharusnya mengajar di kelas delapan hari itu tidak bisa hadir karena suatu keperluan. Saya pun menerima jadwal piket di jam ke empat dengan lapang dada, sambil berpikir bahwa ini mungkin bisa menjadi waktu yang tepat untuk mengenal lebih banyak siswa.  

Sambil mengecek kelas yang harus saya pantau, saya berjalan menyusuri koridor. Suasana sekolah siang itu terasa lebih tenang dari biasanya. Angin berembus pelan, membawa aroma khas bunga dari taman sekolah. Ketika saya sampai di area dekat parkiran, langkah saya terhenti sejenak.

Tampak sekelompok siswa duduk melingkar di bawah pohon, di dekat koperasi sekolah, sebagian lainnya memilih duduk di pinggir pot bunga besar yang tersebar di halaman. Mereka semua tampak sibuk dengan buku gambar dan pensil di tangan. Beberapa berjongkok, memperhatikan bunga yang tumbuh di taman sekolah, ada pula yang menggambar langsung dari imajinasi mereka.

Rasa penasaran pun muncul. Saya mendekati salah satu kelompok yang tampak serius menggambar. “Lho, kalian pelajaran apa ini?” tanya saya sambil tersenyum.

Mereka langsung menjawab dengan kompak, “Seni Budaya, Bu.”

“Oh ya? Praktik yaa?” tanya saya lagi.

"Tadi sudah dijelaskan tugasnya, kami disuruh praktik menggambar bunga yang ada di lingkungan sekolah,” jelas seorang siswa dari kelas 7G.

Saya mengangguk pelan. Ternyata mereka tidak main-main, tugas yang diberikan benar-benar dikerjakan dengan semangat. Saya pun duduk sebentar di salah satu sisi pot semen yang kosong, mencoba menikmati proses belajar yang berbeda dari biasanya.

“Coba mana hasilnya? Boleh Ibu lihat?” tanya saya dengan penuh rasa ingin tahu.

Seorang siswi menyodorkan bukunya. Gambar bunga Bogenviel tergores dengan halus di atas kertas. Meskipun masih dalam bentuk sketsa hitam-putih, saya bisa menangkap detail kelopaknya yang mengembang dan tangkai yang menjulur.

“Wah, bagus sekali ini,” puji saya.

“Sulit, Bu!” keluh siswa lain sambil menunjukkan gambarnya yang belum selesai. “Saya susah bikin kelopaknya melengkung bagus.”

Saya tersenyum dan berkata, “Memang menggambar bunga itu butuh ketelitian. Kamu sudah mencoba, itu sudah luar biasa.”

Saya pun mengamati satu per satu karya mereka. Ada yang menggambar bunga Kamboja  dari taman kecil dekat lapangan, ada juga yang membuat gambar bunga sepatu yang tumbuh dekat pagar sekolah. Saya terkagum-kagum melihat kreativitas mereka, apalagi mereka menggambar langsung dari pengamatan, bukan hanya meniru dari buku.

“Saya bingung warna daunnya, Bu. Di gambar saya kayaknya nggak pas,” ujar seorang siswa.

“Warna bisa menyusul nanti. Yang penting sekarang bentuknya dulu. Nanti setelah selesai garis dan bayangan, baru diwarnai,” jawab saya menyemangati.

Tiba-tiba seorang siswa iseng bertanya, “Bu, Ibu bisa gambar bunga nggak?”

Saya tergelak kecil, “Bisa sih, tapi nggak sebagus kalian."

Suasana jadi akrab dan hangat. Tak terasa waktu berlalu, dan halaman sekolah terasa hidup oleh kegiatan menggambar ini. Saya melihat betapa anak-anak menikmati belajar seni di luar ruang. Mereka belajar bukan hanya dari guru atau buku, tapi juga dari lingkungan sekitar yang bisa diamati langsung.

Ketika bel tanda pergantian jam berbunyi, sebagian mulai merapikan alat gambar. Beberapa masih asyik menyelesaikan goresan terakhir di halaman mereka.

“Terima kasih ya, Bu. Ibu sudah mau nemenin dan lihat gambar kami,” ucap seorang siswi sambil tersenyum.

“Sama-sama. Ibu senang sekali bisa lihat langsung semangat kalian. Terus berkarya ya,” jawab saya sambil berdiri dan melangkah ke ruang guru.

Hari Kamis itu bukan hanya menjadi hari piket biasa, tapi menjadi pengalaman menyenangkan yang menghangatkan hati. Saya menyadari bahwa di balik tugas menggambar bunga, tersimpan proses belajar yang penuh makna yaitu belajar memperhatikan, belajar bersabar, belajar mengekspresikan, dan belajar menghargai keindahan yang ada di sekitar.
Cepu, 7 Agustus 2025 

Rabu, 06 Agustus 2025

Bahan Bakar Kereta Api

Karya : Gutamining Saida 
Hari Minggu udara Cepu terasa hangat dan cerah. Saya mengikuti Walking Tour yang diselenggarakan komunitas sejarah lokal. Tujuan kali ini adalah menyusuri area sekitar Stasiun Cepu.  Setiap perjalanan menawarkan kejutan dan pengetahuan baru.

Setibanya di lokasi, kami langsung diajak mendekati Depo stasiun. Seorang pemandu menjelaskan bahwa area tersebut bukan hanya sekadar jalur parkir lokomotif atau kereta api, tapi juga merupakan tempat pengisian bahan bakar untuk kereta. Di sanalah saya mulai penasaran. Apa sebenarnya bahan bakar kereta api di masa kini? Bagaimana proses pengisiannya? Apakah semua stasiun memiliki fasilitas seperti ini?

Jenis Bahan Bakar Kereta Api
Kereta api di Indonesia, terutama yang digunakan oleh PT KAI, sebagian besar menggunakan bahan bakar solar (High Speed Diesel atau HSD). Khususnya untuk kereta lokomotif diesel yang mendominasi layanan perjalanan antarkota maupun barang. Meski ada kereta listrik seperti KRL di Jakarta dan sekitarnya, namun untuk wilayah-wilayah luar Pulau Jawa, kereta diesel masih sangat dominan.

Solar ini disimpan dalam tangki besar di lokomotif, dan akan diisi ulang pada stasiun-stasiun tertentu yang memiliki Depo Pengisian Bahan Bakar Minyak (DPBBM). Proses pengisiannya hampir seperti mengisi bahan bakar kendaraan besar, hanya saja dilakukan dengan protokol keselamatan tinggi, mengingat ukuran tangki kereta bisa sangat besar.

Berapa Konsumsi BBM Kereta per Kilometer?
Salah satu peserta walking tour yang tampak paham dunia perkeretaapian menyela dengan data menarik  konsumsi solar untuk satu lokomotif diesel sekitar 2 hingga 3 liter per kilometer tergantung beban muatan dan kondisi lintasan. Jika kereta membawa banyak gerbong, maka konsumsi bisa naik, bahkan mencapai lebih dari 4 liter per kilometer.

Sebagai ilustrasi, rute Cepu-Semarang yang berjarak sekitar 180 km bisa menghabiskan sekitar 500 liter lebih solar hanya dalam satu perjalanan. Bayangkan jika kereta bolak-balik dalam sehari, maka kebutuhan bahan bakarnya bisa mendekati 1000 liter.

Tak heran jika pengisian BBM dilakukan secara berkala dan terjadwal, demi efisiensi dan menghindari keterlambatan perjalanan.

Stasiun Mana yang Menyediakan Bahan Bakar?
Saya bertanya kepada pemandu, "Lalu, apakah semua stasiun seperti Cepu ini memiliki fasilitas pengisian bahan bakar?"

Pemandu menjelaskan bahwa tidak semua stasiun memiliki DPBBM. Hanya stasiun tertentu yang ditunjuk sebagai lokasi pengisian BBM. Biasanya, stasiun tersebut berada di titik strategis yang dekat dengan depo, jalur utama, atau memiliki kapasitas teknis untuk penanganan logistik bahan bakar.

Beberapa contoh stasiun yang memiliki fasilitas ini selain Stasiun Cepu antara lain yaitu 
  1. Stasiun Balapan Solo
  2. Stasiun Kertapati (Palembang)
  3. Stasiun Jatinegara (Jakarta)
  4. Stasiun Tanah Abang
  5. Stasiun Tanjungkarang (Lampung)
  6. Stasiun Sidotopo (Surabaya)

Stasiun Cepu sendiri menjadi penting karena lokasinya di jalur lintas utara Pulau Jawa dan dekat dengan kilang minyak tua yang menjadi sejarah panjang kota ini sebagai pusat perminyakan sejak masa kolonial. Dulu, minyak bumi yang ditambang dari sekitaran Blora dan Cepu juga dikirim melalui jalur kereta api.

Mengapa Tidak Semua Stasiun Menyediakan BBM?
Pertanyaan ini dijawab dengan cukup masuk akal. Tidak semua stasiun memiliki kapasitas dan kebutuhan yang sama. Penyediaan bahan bakar memerlukan:
1. Infrastruktur khusus seperti tangki penyimpanan, pompa, dan jalur pengisian aman.
2. Keamanan tinggi, karena BBM tergolong bahan mudah terbakar.
3. Efisiensi rute, karena kereta dirancang agar bisa menempuh ratusan kilometer tanpa harus sering mengisi ulang.

Pengisian bahan bakar dilakukan di titik-titik tertentu yang sudah dihitung secara teknis, bukan seperti kendaraan pribadi yang bisa berhenti di SPBU mana saja. Hal ini membuat perjalanan kereta lebih terstruktur dan aman.

Setelah penjelasan panjang itu, kami diajak mendekati rel dan melihat jejak jalur pengisian bahan bakar. Ada selang besar, tangki di bawah tanah, dan area yang dipagari untuk mencegah akses sembarangan. Meskipun tidak bisa masuk terlalu dekat, namun cukup membuatku kagum akan bagaimana sistem kereta bekerja dengan sangat terencana.

Stasiun Cepu yang selama ini tampak tenang ternyata menyimpan peran penting sebagai pusat energi untuk kereta-kereta yang melintas. 

Kereta yang bergerak di kejauhan, bertenaga dari solar yang tak terlihat, namun memutar roda sejarah dan kehidupan dari satu stasiun ke stasiun lain.
Cepu, 7 Agustus 2025 

Senin, 04 Agustus 2025

Gardu Listrik Aniem Di Lorong Depo - Cepu

Karya :Gutamining Saida 
Matahari baru saja bergeser ke barat ketika rombongan Walking Tour siang itu tiba di sebuah titik menarik yaitu  sebuah bangunan kecil, sederhana namun kokoh, berdiri tenang di sisi jalan masuk lorong Depo, Cepu. Bangunan itu adalah gardu listrik peninggalan masa kolonial, yang dahulu dikenal sebagai gardu listrik Aniem. Meski banyak yang lalu-lalang melewatinya setiap hari, tak banyak yang tahu bahwa bangunan ini menyimpan kisah panjang tentang sejarah listrik di Indonesia, khususnya di Cepu.

Pada masa Hindia Belanda, sekitar tahun 1902, keberadaan listrik di Indonesia masih tergolong sangat langka dan mewah. Belum semua daerah memiliki penerangan listrik, bahkan di kota besar sekalipun. Di saat itulah, Belanda melalui perusahaan listriknya yang bernama ANIEM singkatan dari Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij mulai membangun infrastruktur kelistrikan di berbagai wilayah penting, termasuk Cepu. Cepu dipilih karena wilayah ini memiliki peran penting sebagai pusat industri minyak dan perkeretaapian pada masa itu.

Fungsi gardu listrik kala itu sangat vital. Gardu listrik berperan sebagai pusat distribusi dan pengatur tegangan arus listrik yang dihasilkan oleh pembangkit. Listrik yang dihasilkan oleh turbin uap atau diesel generator dialirkan melalui jaringan kabel ke gardu-gardu seperti ini, sebelum disalurkan ke rumah-rumah, kantor pemerintahan, stasiun, rumah sakit, atau bangunan penting lainnya. Dalam konteks masa itu, gardu listrik tidak hanya menyediakan penerangan, tetapi juga menjadi simbol kemajuan dan modernitas.

Di masa awal abad ke-20, hanya tempat-tempat strategis yang memiliki gardu listrik. Gardu di lorong Depo ini merupakan salah satu dari sedikit gardu yang dibangun di Cepu kala itu. Posisinya di dekat jalan dan tak jauh dari stasiun, menjadikannya bagian penting dari sistem kelistrikan yang mendukung aktivitas perkeretaapian dan industri migas. Selain itu, gardu ini juga melayani penerangan bagi rumah-rumah dinas pegawai Belanda dan warga elit pada masa kolonial.

Mengapa dinamakan Aniem? Nama ini berasal dari perusahaan Belanda yang berperan besar dalam elektrifikasi wilayah Hindia Belanda. Didirikan pada tahun 1909 di Amsterdam, ANIEM menjadi salah satu perusahaan listrik terbesar yang mengoperasikan sistem kelistrikan di banyak kota kolonial, termasuk Batavia (Jakarta), Surabaya, Semarang, hingga kota-kota kecil seperti Cepu.

Selain memasok listrik, Aniem juga membangun pembangkit dan jaringan distribusi, lengkap dengan infrastruktur seperti gardu, tiang listrik, bahkan rumah-rumah pegawainya. Maka, tidak mengherankan jika masyarakat setempat lebih mengenal sistem kelistrikan pada masa itu dengan sebutan “listrik Aniem”.

Dalam catatan sejarah, Aniem beroperasi di Indonesia hingga masa kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka, seluruh aset perusahaan listrik milik Belanda, termasuk gardu-gardu dan pembangkitnya, diambil alih oleh pemerintah Indonesia dan menjadi bagian dari cikal bakal berdirinya Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada tahun 1945.

Gardu listrik peninggalan Aniem di lorong Depo tidak lagi digunakan untuk distribusi listrik. Meski telah berhenti beroperasi, bangunan ini tetap berdiri sebagai saksi bisu dari geliat modernisasi pada awal abad ke-20. Banyak warga yang tidak menyadari nilai historis dari bangunan kecil ini, padahal ia adalah warisan masa lalu yang patut dijaga dan dilestarikan.

Selama Walking Tour, pemandu menjelaskan bahwa gardu ini dulunya memiliki peralatan seperti trafo besar, panel saklar manual, dan meter analog yang menunjukkan arus listrik yang masuk dan keluar. Suasana menjadi hening sejenak ketika peserta membayangkan bagaimana gardu ini dulu bekerja keras menyalurkan listrik ke berbagai penjuru kota, membawa cahaya di tengah malam gelap yang tak tersentuh lampu.

Bagi warga Cepu, mengenal kembali sejarah gardu Aniem adalah upaya untuk memahami bahwa modernitas yang kita nikmati hari ini bukan datang dalam sekejap. Ada proses panjang yang dimulai dari percikan-percikan kecil, seperti nyala lampu pijar dari gardu tua di pojok lorong Depo ini.

Sebagai bagian dari rute Walking Tour Cepu, gardu listrik peninggalan Aniem menjadi ruang edukasi dan refleksi. Dindingnya yang tua mengajarkan kita tentang pentingnya energi, kemajuan, dan keberlanjutan. Sementara keberadaannya mengingatkan kita bahwa di balik tiap lampu yang menyala, tersimpan sejarah panjang perjuangan teknologi dan kolonialisme.

Semoga, dengan semakin banyaknya warga dan generasi muda yang mengenal kisah ini, gardu tua itu tak hanya berdiri dalam sunyi, tetapi juga dalam ingatan kolektif kita sebagai warisan budaya dan sejarah bangsa.
Cepu, 5 Agustus 2025