Jumat, 31 Oktober 2025

Berondong Tua

Karya : Gutamining Saida 
Suasana sekolah begitu meriah dan penuh warna. Out door   SMP Negeri 3 Cepu disulap menjadi arena unjuk bakat perayaan ulang tahun sekolah yang ke-46. Sejak pagi, siswa-siswi sudah datang dengan wajah ceria, mengenakan seragam rapi. Spanduk besar bertuliskan “Ajang Bakat Dalam Rangka HUT SMPN 3 CEPU ke-46 ” terbentang gagah di atas panggung utama.

Udara terasa hangat dan bersahabat. Siswa, guru duduk di atas karpet yang disediakan panitia. Sebagai penonton di sisi lapangan menikmati suasana penuh semangat itu.

Ketika MC menyebut nama berikutnya, sorak sorai langsung menggema.
“Selanjutnya... kita sambut penampilan dari Rafif Naufal Fadhilah, siswa kelas 7A dengan lagu Berondong Tua!”

Begitu nama Rafif terdengar, suasana langsung pecah. “Rafiiif! Rafiiif!” teriak para penonton, terutama dari barisan kelas tujuh yang tampak paling heboh. Saya tersenyum melihat semangat itu. Rafif berjalan menaiki panggung dengan langkah tenang dan penuh percaya diri. Meski baru kelas tujuh, auranya seolah seperti penyanyi profesional.

Rafif memang dikenal sebagai anak yang sopan dan sabar. Di keseharian, ia tidak banyak bicara, lebih suka diam dan memperhatikan. Sering kali saya melihatnya duduk di pinggir jalan raya menunggu jemputan kakaknya. Dia tinggal seorang tiada yang tersisa. Setiap kali saya tawari untuk saya antar, ia selalu menolak halus.
“Terima kasih, Bu Saida, nanti juga dijemput Kakak,” katanya lembut. Sifat sabar dan tidak ingin merepotkan orang lain itu membuat saya menaruh hormat padanya.

Kini di atas panggung, Rafif berdiri tegap, menggenggam mikrofon dengan mantap. Dia  memiliki wajah yang tenang. Musik mulai terdengar irama. Begitu intro Berondong Tua mengalun, para penonton langsung bertepuk tangan mengikuti irama.

Di awal lagu, suaranya sedikit tersendat. Tampak rasa gugupnya. Tapi bukannya redup, sorakan penonton justru makin keras.
“Ayo, Rafif! Kamu bisa!” teriak beberapa siswi dari barisan depan.

Rafif menarik napas panjang, tersenyum kecil, lalu melanjutkan nyanyiannya dengan nada yang lebih mantap. Suaranya mulai mengalun merdu, sedikit serak tapi berkarakter, membuat penonton terpukau. Irama lagu yang riang membuat penonton ikut bergoyang di tempat.

Ketika reff lagu mulai, “Berondong tuaaa... yang punya gaya...” lapangan langsung bergemuruh. Penonton ikut bernyanyi sambil bertepuk tangan serempak.

Beberapa siswi yang duduk di depan sudah tidak tahan untuk tetap duduk. Mereka berlari ke depan panggung sambil bersorak dan melambaikan tangan ke arah Rafif. Ia tetap tenang, sesekali tersenyum tanpa kehilangan kendali atas lagu yang dinyanyikan.

Suasana makin heboh ketika salah satu siswi dengan bercanda mengulurkan selembar uang lima ribuan ke arah panggung. “Saweran, saweran buat Rafif!” katanya disambut tawa teman-temannya. Tak lama kemudian, beberapa siswa lain ikut-ikutan, mengacungkan uang kecil dan melemparkannya ke depan panggung.

Uang lima ribuan dalam genggaman Rafif. Tapi yang luar biasa, Rafif tidak terpengaruh sama sekali. Ia tetap bernyanyi dengan senyum tipis, menyelesaikan setiap bait dengan percaya diri.

Saya dan para guru lain tertawa kecil melihatnya. Semua berlangsung dalam suasana ceria dan penuh kegembiraan khas perayaan ulang tahun sekolah. Tak ada yang berlebihan, semua dalam batas wajar namun menghangatkan hati.

Menjelang akhir lagu, Rafif semakin percaya diri. Ia menutup penampilannya dengan gaya khas penyanyi profesional yaitu sedikit melengkungkan tangan ke depan, menunduk, lalu berkata, “Terima kasih semuanya!”

Sorak sorai dan tepuk tangan membahana. Beberapa siswa bahkan berteriak, “Lagi! Lagi!” tapi waktu tampil memang sudah habis. MC naik ke panggung sambil berkata, “Wah, penampilan yang luar biasa dari Rafif! Siap-siap ya, nanti bisa jadi bintang SMPN 3 Cepu berikutnya!”

Rafif turun dari panggung dengan wajah berseri. Beberapa temannya langsung menyalaminya.
“Gila, kamu keren banget, Fif!”
“Suaramu mantap, bro!”

Dia hanya tertawa kecil, menunduk malu, lalu berjalan menuju teman-teman di deretan belakang panggung sambil mengusap keringat.Temannya  menghampirinya sebentar dan berkata,
“Penampilanmu bagus sekali, Rafif. Kamu berhasil menguasai panggung.”
Rafif tersenyum malu, “Tadi sempat grogi. Tapi lihat teman-teman semangat, saya jadi ikut semangat juga.”

Rafif bukan sekadar tampil menyanyi. Ia memberi contoh tentang ketenangan, keberanian, dan kepercayaan diri. Dari seorang anak yang biasanya diam dan sabar, ia menjelma menjadi bintang panggung yang menghibur ratusan orang.

Perayaan ulang tahun SMPN 3 Cepu ke-46 menjadi saksi bagaimana talenta dan keberanian muncul dari siswa-siswa sederhana yang berani mencoba. Semua yang hadir sepakat penampilan Rafif adalah salah satu momen paling berkesan sepanjang acara.

Di tengah meriahnya ulang tahun SMPN 3 Cepu ke-46, ada satu pelajaran indah yang saya dapat bahwa setiap anak punya waktu untuk bersinar, asalkan diberi kesempatan. Rafif telah membuktikannya dengan gemilang.
Cepu, 1 November 2025

Richi Sang Idola

Karya: Gutamining Saida

Di sekolah semua orang memanggilnya Richi. Nama lengkapnya Richard Hafiedz Athelico, Dia adalah siswa kelas 7A di  SMP Negeri 3 Cepu (Esmega).  Penampilannya menarik perhatian,  kulit kuning bersih, dan sorot mata yang tajam namun lembut, ganteng pula. Dari luar, Richi tampak pendiam, tapi siapa pun yang mengenalnya lebih dekat tahu bahwa ia adalah anak yang penuh rasa ingin tahu dan tidak pernah berhenti belajar hal baru.

Bakat menyanyi Richi, sebagaimana matahari pagi, pada akhirnya akan memancarkan cahayanya sendiri. Momen itu datang ketika Esmega mengadakan Ajang Pencarian Bakat Siswa Dalam Rangka HUT Esmega ke 46. Semua tampak bersemangat menyambut penampilan teman-teman mereka. Sorak sorai, tawa, dan tepuk tangan bergantian memenuhi outdoor.

Ketika giliran Richi dari kelas 7A diumumkan, suasana tiba-tiba agak tenang. Banyak yang tampak penasaran, karena sebelumnya tak ada yang tahu bahwa ia akan tampil menyanyi. Di atas panggung, Richi muncul dengan seragam pramuka lengkap yang dibalut rompi hitam. Gayanya sederhana tapi berwibawa. Ia membawa mikrofon dengan mantap, meski dari gerak matanya bisa terlihat sedikit gugup.

Musik pun mulai mengalun. Lagu yang dipilihnya adalah lagu berjudul Aku Milikimu. Ketika suaranya keluar, semua orang terdiam. Tak ada yang menyangka suara Richi begitu merdu, bulat, dan menenangkan. Nada-nadanya stabil, pengucapannya jelas, dan penghayatannya begitu tulus. Setiap bait lagu terasa menyentuh hati.

Mata-mata penonton memandangnya tanpa berkedip. Beberapa siswa yang tadinya asyik ngobrol langsung diam, fokus ke panggung. Saat lagu mencapai puncaknya, Richi menutup matanya, menahan emosi, lalu menuntaskan nada tinggi dengan sempurna. Tepuk tangan membahana. Outdoor  bergemuruh.

Penampilan Richi bukan sekadar hiburan di ajang pencarian bakat. Dia adalah pelajaran tentang keberanian, kejujuran, dan ketulusan dalam berkarya. Dari seorang anak cowok keren yang namanya panjang dan sukar diingat, sosok inspiratif yang menunjukkan bahwa bakat sejati akan selalu menemukan jalannya untuk bersinar.

Saya melihat sebuah jiwa yang berani mengekspresikan keindahan dengan cara yang murni. Lagu “Aku Milikmu” bukan hanya melodi, tapi doa lembut yang keluar dari hati Richi. Panggung Esmega menjadi saksi ketika Richi mengekspresikan dirinya. Setiap anak adalah bintang, hanya perlu waktu dan kesempatan untuk bersinar. Selamat berjuang Richi.

Cepu, 31 Oktober 2025

Lala

 

Karya: Gutamining Saida

Namanya Chrestella Giovanna Yunianto, tapi hampir semua teman dan guru memanggilnya Lala. Gadis mungil berambut hitam sebahu ini duduk di bangku kelas 7A SMP Negeri 3 Cepu, atau yang lebih akrab disebut Esmega. Sejak awal masuk sekolah, Lala dikenal sebagai anak yang ceria, ramah, dan punya satu kelebihan yang jarang dimiliki teman-temannya yaitu suara emas.

Dari SD, Lala sudah suka menyanyi. Ia sering menirukan lagu-lagu dari penyanyi idolanya dengan penuh perasaan. Saat pertama kali di Esmega, tak banyak yang tahu bakat besarnya itu. Ia termasuk anak yang sederhana, tidak suka menonjolkan diri. Tapi di balik kesederhanaannya, ada getar nada yang siap menyentuh hati siapa pun yang mendengarnya.

Esmega sedang mengadakan acara unjuk bakat. Outdoor sekolah berubah menjadi lautan semangat. Siswa-siswa dari beberapa kelas sibuk mempersiapkan penampilan terbaik mereka ada yang menari,  bermain musik, drama, dan tentu saja, bernyanyi. Guru-guru pun tampak bersemangat menyaksikan kreativitas para siswanya.

Ketika giliran Lala kelas 7A dipanggil, suasana menjadi riuh. Lala yang awalnya tampak sedikit gugup. Namun begitu musik pengiring mulai terdengar, ekspresinya berubah. Matanya memancarkan keyakinan, seolah mengatakan, “Ini waktuku untuk menunjukkan sesuatu yang kubisa.”

Lagu yang ia pilih berjudul “Rindu Aku Rindu Kamu.” Lagu itu sederhana, tapi memiliki lirik yang dalam, menggambarkan kerinduan dan kehangatan hati. Begitu Lala mulai menyanyi, aula yang semula riuh tiba-tiba hening. Semua mata tertuju padanya. Suaranya mengalun lembut, jernih, dan penuh penghayatan. Nada demi nada keluar tanpa paksaan, seolah mengalir dari hatinya yang paling dalam.

Sementara itu, para siswa sebagai penonton tampak terpaku. Bahkan yang semula sibuk merekam dengan ponsel mulai menurunkan kameranya ingin menikmati suara merdu itu secara langsung. Saat momen paling mengejutkan datang ketika lagu memasuki bagian reffrain. Suara Lala makin tinggi, namun tetap lembut dan stabil. Aura panggung benar-benar dikuasainya. Penonton bersorak, dan beberapa siswi yang duduk di barisan tengah tiba-tiba maju ke depan panggung. Mereka ikut berjoget pelan mengikuti irama lagu. Beberapa bertepuk tangan, beberapa melambai-lambaikan tangan sambil berteriak kecil penuh semangat.

Sorakan semakin ramai ketika salah satu penonton perempuan spontan mengeluarkan uang dua ribuan dan mengulurkannya ke Lala. Disusul penonton lain yang melakukan hal sama. Suasana menjadi meriah bukan karena sawerannya, tapi karena kebahagiaan yang tulus dari teman-temannya yang bangga melihat keberanian Lala tampil di panggung.

Setelah lagu usai, tepuk tangan menggema keras di seluruh aula. Lala menunduk, tersenyum malu. Pipinya tampak sedikit merah. Seorang teman dari kelasnya menghampiri dan menepuk bahunya, “Hebat banget, Lala! Suaramu kayak penyanyi beneran!”

Penampilan Lala yang memukau, keberanian dan ketulusan yang terpancar darinya. Di usia SMP, ia sudah berani menunjukkan bakatnya di depan banyak orang. Lebih dari itu, ia tampil bukan untuk mencari pujian, melainkan karena cinta pada musik dan keberanian mengekspresikan diri.

“Lala, hebat sekali tadi,” kata teman-temannya 
Dia tersipu, menunduk pelan. “Terima kasih, 
Saya melihat makna kebahagiaan sederhana yang lahir dari penghargaan tulus terhadap usaha Lala. Ada semangat yang tumbuh karena dukungan teman-teman. Dan yang paling penting, ada keberanian yang semakin kuat untuk terus mengasah bakat.

Ketika acara usai dan semua kembali ke kelas, saya melihat Lala duduk  sambil memandangi dua lembar uang dua ribuan di tangan. Ia tampak memikirkan sesuatu. Mungkin tentang perjuangannya tampil, mungkin tentang kebahagiaan kecil yang baru saja ia rasakan.

Lala berbisik pelan kepada temannya, “Aku senang banget. Aku nggak nyangka bisa bikin orang lain ikut bahagia karena aku nyanyi.”

Dan di situlah letak keindahan sebenarnya dari bakat  bukan sekadar kemampuan bernyanyi indah, tapi bagaimana suara itu bisa menyentuh hati orang lain, menghidupkan semangat, dan menghadirkan kebahagiaan bersama.

Pagi ini di Esmega bukan sekadar hari unjuk bakat. Esmega menjadi panggung lahirnya bintang kecil bernama Lala, yang bersinar dengan suara jujur dari hatinya. Sebuah pelajaran bahwa kadang, kebahagiaan terbesar justru hadir dari keberanian sederhana untuk menjadi diri sendiri.
Cepu, 31 Oktober 2025

Nongkrong

Karya : Gutamining Saida 
Rabu pagi anak perempuan saya  sambil tersenyum dan berkata,
“Umi, nanti kita mampir nongkrong, ya?”
Saya menatapnya sebentar, lalu mengerutkan dahi. “Nongkrong? Maksudmu bagaimana? Apa sudah buka? Umi belum paham benar itu nongkrong yang seperti apa.”
Ia tertawa kecil, lalu menjawab ringan, “Ya duduk santai aja, Mi. Ngobrol, makan, minum di tempat yang asik.”

Saya hanya mengangguk pelan, tapi di dalam hati masih ada tanda tanya besar. Apa sebenarnya makna nongkrong itu? Dalam benak saya, nongkrong terdengar seperti kegiatan yang tidak penting, hanya duduk-duduk tanpa tujuan. Tapi mungkin saya keliru, pikir saya. Mungkin bagi generasi muda, nongkrong punya arti lain  yaitu tempat bertukar cerita, melepas penat, atau sekadar menghabiskan waktu bersama teman-temannya.

Saya jadi teringat masa kecil  dulu, sekitar tahun 1980-an, saat saya masih remaja. Tidak ada istilah “nongkrong” seperti sekarang. Kalau kami ingin bertemu teman lama, caranya sederhana yaitu langsung saja berkunjung ke rumahnya. Kami menyebutnya silaturahmi. Tidak perlu janjian di kafe atau rumah makan. Cukup datang dengan senyum dan salam.

Biasanya, begitu sampai di rumah teman, ibu mereka akan keluar menyambut.
“Monggo, nduk, masuk… duduk di kursi. Nanti saya bikinkan teh hangat.”
Lalu kami pun duduk di ruang tamu yang sederhana, diiringi aroma teh tubruk dan suara ayam berkokok di halaman. Obrolan pun mengalir, dari cerita sekolah, kabar keluarga, hingga rencana kecil untuk ke sungai, sawah. Kami berbicara tanpa tergesa, tanpa gangguan suara musik keras atau notifikasi ponsel.

Beda sekali dengan sekarang. Generasi muda lebih suka bertemu di tempat yang mereka sebut tempat nongkrong.  Tempat seperti itu menjamur di setiap sudut ada kafe kecil dengan lampu temaram, kursi kayu panjang, aroma kopi, dan suara musik lembut. Di sana mereka duduk berjam-jam sambil memegang ponsel, sesekali tertawa, lalu memotret makanan untuk diunggah ke media sosial.

Pagi itu akhirnya saya menerima ajakan anak saya untuk “nongkrong.” Kami menuju sebuah kafe kecil di pinggir jalan raya. Tempatnya tampak modern tapi juga hangat, dengan lampu gantung dari bambu dan hiasan dinding berupa cendela kayu bekas rumah kuno  mirip seperti yang dulu ada di rumah orang tua saya.

Kami duduk di pojok ruangan. Anak perempuan saya memesan minuman berwarna oren dingin, mie, kentang goreng, sementara saya memilih nasi. Di kursi samping  saya, ada dua cewek. Saya memperhatikan mereka dengan rasa ingin tahu. Rupanya nongkrong itu bukan sekadar duduk tanpa arti. Mereka menikmati kebersamaan dengan caranya sendiri  sederhana, tapi penuh tawa dan cerita .

Anak saya mulai bercerita tentang temannya.  Di sela percakapan, ia sesekali mengambil foto minuman, makanannya, lalu berkata, “Buat story, Mi.” Saya tersenyum. Zaman sekarang memang penuh cerita yang dibagikan lewat layar, bukan hanya lewat kata.

Semakin lama duduk di sana, saya mulai memahami sesuatu. Nongkrong ternyata punya nilai yang mirip dengan silaturahmi zaman dulu hanya bungkusnya berbeda. Dulu, kami bertemu di rumah, sekarang mereka bertemu di kafe. Dulu minum teh tubruk dan makan singkong goreng, sekarang minum kopi susu dan kentang goreng. Tapi tujuan utamanya sama: menyambung kebersamaan, menguatkan hubungan, dan saling berbagi cerita.

Saya jadi teringat masa ketika saya muda dan sering berkunjung ke rumah sahabat saya. Kami duduk berdua di beranda rumahnya, memandangi sawah dan membicarakan cita-cita. Tidak ada musik, tidak ada kamera, hanya suara jangkrik dan angin malam. Mungkin jika sekarang saya hidup di usia mereka, saya pun akan duduk di kafe seperti ini karena zaman memang berubah, dan manusia harus belajar memahami perubahannya.

Setelah hampir setengah jam, anak saya berkata, “Mi, ternyata asik juga ya nongkrong bareng.”
Saya tersenyum, “Iya. Umi baru tahu ternyata nongkrong itu tidak sekadar duduk-duduk. Ada kehangatan juga di dalamnya.”

Saatnya kami pulang, sinar matahari mulai panas. Saya duduk di boncengan motor sambil memandangi jalanan. Hati terasa ringan. Ternyata, meskipun istilah dan caranya berubah, makna kebersamaan tetap sama dari dulu sampai sekarang. Hanya saja, kalau dulu kami menyebutnya silaturahmi, kini mereka menyebutnya nongkrong.

Saya menatap wajah anak saya yang tersenyum lewat kaca spion.
Mungkin, beginilah cara generasi sekarang mencintai waktu  bukan dengan kunjungan ke rumah, tapi dengan duduk di meja kecil sambil berbagi cerita dan tawa. Saya belajar satu hal penting hari ini yaitu selama niatnya baik dan hatinya hangat, setiap zaman punya caranya sendiri untuk menjaga tali persaudaraan.
Cepu, 31 Oktober 2025

Kamis, 30 Oktober 2025

Wisata rohani



Karya : Gutamining Saida 
Kamis pagi tanggal 30 Oktober 2025, udara terasa sejuk ketika saya bersiap mengikuti kegiatan SOL  (Study Obyek Lapangan) bersama guru-guru IPS se-Kabupaten Blora. Rencana perjalanan sudah disusun dengan rapi. Kami akan belajar bareng sambil rekreasi ke kota Ngawi, mengunjungi Benteng Pendem dan Trinil, dua tempat bersejarah yang menyimpan jejak masa lalu. Dalam hati merasa senang inilah saat yang tepat untuk menambah wawasan, menyegarkan pikiran, sekaligus bersilaturahmi dengan rekan sejawat dari berbagai sekolah.

Sesuai pembagian denah tempat duduk yang sudah diatur, saya seharusnya duduk di bangku belakang. Namun ketika tiba disaat masuk kendaraan ternyata saya peserta SOL masuk bus yang terakhir. Tanpa disangka, tempat duduk saya berubah. Ada satu kursi kosong di baris ketiga dari depan. Saya berpikir, “Ah, mungkin ini kebetulan saja.” Tapi dalam hati kecil saya terlintas firman Allah bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi tanpa kehendak-Nya.

Saya duduk di kursi itu dan mendapati seorang teman yang belum begitu saya akrap duduk di sebelah saya. Wajahnya lembut, matanya teduh, dan senyumannya tenang. Kami saling menyapa, lalu perlahan mulai berbincang. Awalnya kami berbicara ringan tentang kegiatan sekolah, tentang siswa, tentang semangat belajar. Tapi lambat laun arah pembicaraan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih dalam.

Teman di sebelah saya mulai bercerita tentang perjalanan hidupnya tentang ujian-ujian besar yang Allah Subhanahu Wata'alla berikan. Tentang ujian kesabaran, dan keteguhan hatinya dalam menghadapi takdir yang kadang di luar dugaan. Ia bercerita tanpa keluh, justru dengan nada penuh ketenangan. Setiap kalimatnya mengandung hikmah.

Saya mendengarkan dengan saksama,  tanpa sadar air mata mulai mengalir di pipi. Tidak bisa dicegah. Hati saya seperti disentuh lembut. Kata-katanya menembus dinding hati terdalam. Saya merasa kecil di hadapan Allah Subhanahu Wata'alla merasa belum sekuat itu menghadapi cobaan.

Perjalanan menuju Ngawi, suasana di luar bus tampak cerah. Jalanan panjang, sawah hijau, pepohonan rindang, dan sesekali hembusan angin dari jendela membuat perjalanan terasa nyaman. Dalam hati saya sedang terjadi perjalanan lain perjalanan batin yang jauh lebih bermakna daripada wisata apa pun. Pagi ini tanpa saya rencanakan, saya sedang menjalani wisata rohani.

Saya teringat sabda Rasulullah Shalalahu Alaiwasallam bahwa setiap ujian yang Allah Subhanahu Wata'alla berikan bukan untuk melemahkan, melainkan untuk meningkatkan derajat keimanan hamba-Nya. Teman di sebelah saya menjadi cermin nyata dari hal itu. Ia tidak menyalahkan keadaan, tidak menyalahkan takdir, tetapi justru bersyukur bisa melalui ujian dengan sabar. Saya kagum, sekaligus malu pada diri sendiri yang kadang masih mudah mengeluh untuk hal-hal kecil.

Ketika bus berhenti di Benteng Pendem, sebagian peserta turun dengan semangat memotret, berdiskusi tentang sejarah kolonial, dan mengagumi arsitektur peninggalan Belanda. Saya ikut berjalan, tapi di hati masih terngiang cerita yang baru saja saya dengar. Benteng yang dulu menjadi tempat pertahanan itu seolah melambangkan kekuatan batin seseorang  kokoh di luar, tapi memiliki ruang-ruang sunyi di dalam. Seperti halnya manusia, yang terlihat tegar di permukaan, tapi menyimpan pergulatan batin di dalam dirinya.

Kami melanjutkan perjalanan ke Trinil, tempat ditemukannya fosil manusia purba oleh Eugene Dubois. Di sana kami belajar tentang sejarah manusia dan kehidupan ribuan tahun silam. Guru-guru berfoto bersama, tertawa, dan menikmati suasana belajar di alam terbuka. Tapi bagi saya, pelajaran hari itu bukan hanya tentang masa lalu manusia purba, melainkan tentang hakikat kehidupan manusia masa kini bahwa setiap perjalanan bukan sekadar tentang tempat yang dituju, melainkan tentang hati yang dibawa.

Saya hanya menatap keluar jendela, melihat langit yang mulai menguning. Dalam hati saya berbisik pelan, “Ya Allah, terima kasih telah menuntunku duduk di tempat ini. Mungkin kalau saya duduk di bangku belakang sesuai rencana awal, saya tidak akan mendapatkan pelajaran seindah ini.”

Saya menyadari bahwa Allah Subhanahu Wata'alla selalu punya cara halus untuk menuntun hamba-Nya. Kadang lewat peristiwa kecil yang tampak biasa seperti perubahan tempat duduk tapi di balik itu tersimpan maksud besar yang membawa kita pada perenungan dan kesadaran baru.

Saya pulang bukan hanya dengan kenangan tentang benteng tua dan situs purbakala, tapi juga dengan hati yang lebih lembut. Saya merasa disadarkan kembali bahwa setiap manusia memiliki ujian masing-masing. Tidak ada yang mudah, tetapi di balik setiap kesulitan, selalu ada kasih sayang Allah yang tersembunyi.

Saya bersyukur karena Allah Subhanahu Wata'alla masih memberi saya hati yang mudah tersentuh, hati yang masih bisa menangis karena kisah perjuangan sesama. Air mata itu bukan tanda lemah, tetapi tanda hidupnya rasa,  rasa iman, empati, dan kasih yang Allah tanamkan di dada manusia.

Saya tidak hanya melakukan study obyek lapangan, tapi juga study kehidupan. Hikmah terbesar saya temukan bukan di tempat wisata, melainkan di ujung perjalanan, di kursi bus yang Allah Subhanahu Wata'alla pilihkan untuk saya. Itulah wisata rohani saya  perjalanan kecil yang menuntun hati untuk semakin mengenal kebesaran-Nya.
Cepu, 30 Oktober 2025 

Rabu, 29 Oktober 2025

Kenangan di Balik Cendela Kayu

Karya : Gutamining Saida 
Mata saya menatap beberapa cendela tua yang kini tersusun rapi di sudut sebuah rumah makan bergaya klasik di pinggir kota. Cendela-cendela itu tampak gagah meski usianya sudah puluhan tahun. Catnya telah pudar, beberapa bagian kayunya mulai menghitam dimakan waktu, namun bentuknya masih tampak indah. Ada rasa hangat dan rindu yang tiba-tiba muncul seperti membuka kembali lembaran masa kecil yang tersimpan lama di sudut ingatan.

Saya teringat rumah masa kecil di kampung. Rumah orang tua  terbuat dari kayu jati campur nangka, berdiri kokoh di tengah halaman yang dikelilingi pohon mangga, jambu air, dan kelapa. Dindingnya papan, lantainya tanah kasar, dan di bagian depan terdapat deretan cendela kayu dengan bentuk khas di bagian atasnya ada angin-angin, yaitu lubang kecil miring yang berfungsi untuk tempat keluar-masuk udara. Dalam bahasa Jawa, orang menyebutnya angin-angin karena memang di situlah angin bertukar napas.

Cendela kayu itu tidak sekadar hiasan rumah. Ia seperti penjaga suasana. Pagi-pagi buta, ibu akan membuka satu per satu daun cendela, agar udara segar masuk membawa aroma embun dan suara ayam berkokok. Angin dari luar masuk pelan, menyapu tirai tipis, dan menebarkan kesejukan ke seluruh ruang tamu. Kadang saya suka berdiri di dekatnya sambil melihat sinar matahari menyelinap lewat celah angin-angin dan jatuh di lantai, membentuk garis cahaya yang indah.

Fungsi angin-angin sebenarnya sederhana yaitu untuk pergantian udara. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, keberadaannya terasa penting. Rumah-rumah kayu di desa tidak memiliki pendingin ruangan. Sirkulasi udara alami dari angin-angin membuat rumah terasa adem, tidak pengap, dan sehat. Ketika siang terik, angin masuk membawa kesejukan, dan ketika malam, udara lembut mengalir dari celah miring itu, menenangkan tidur kami yang sederhana.

Namun waktu berjalan. Era berganti. Satu per satu rumah kayu di kampung mulai dirubuhkan. Orang-orang membangun rumah baru dengan tembok bata dan atap genteng modern. Cendela kayu yang dulu menjadi kebanggaan mulai ditinggalkan. Mereka menggantinya dengan jendela aluminium atau kaca yang katanya lebih tahan lama dan praktis. Rumah-rumah pun tampak lebih modern, tapi bagi saya terasa kehilangan sesuatu. Tidak ada lagi suara derit kayu saat cendela dibuka, tidak ada aroma khas kayu tua yang lembap, dan tentu saja tidak ada angin-angin yang membuat udara bergerak bebas.

Saya masih ingat ketika rumah orang tua direnovasi. Bapak  dengan berat hati melepas cendela-cendela kayu yang sudah menemani kami puluhan tahun. “Sayang kalau dibuang,” katanya, “ini kayu jati lama, seratnya bagus.” Tapi karena dinding baru dari bata dan desainnya berbeda, cendela itu tak lagi bisa dipasang. Akhirnya bapak menyimpannya di gudang, menumpuk bersama pintu-pintu tua dan balok kayu bekas tiang rumah. Saya sempat memegangnya satu per satu. Ada bekas tangan ibu di sana  bekas cat hijau muda yang dulu ia oles sendiri di hari libur.

Waktu pun membawa perubahan besar. Banyak orang di kampung menjual rumah kayunya ke para kolektor barang antik. Potongan cendela, daun pintu, bahkan angin-angin kecil yang dulu dianggap sepele kini menjadi barang bernilai tinggi. Orang kota memburunya untuk dijadikan dekorasi rumah makan, kafe, atau tempat nongkrong bergaya vintage. Mereka menganggap barang-barang itu unik dan artistik. Padahal bagi kami, itu bukan sekadar kayu itu bagian dari kenangan hidup.

Saya singgah di Blora, melihat sebuah kafe yang menempelkan deretan cendela kayu di dindingnya. Bentuknya persis seperti yang dulu ada di rumah orang tua. Ada yang masih lengkap dengan angin-angin, ada pula yang hanya tersisa kusen dan engsel berkarat.  Di kepala terbayang kembali masa kecil yaitu suara ibu memanggil dari dapur, aroma sayur lodeh dari tungku. 

Kini, cendela-cendela itu menjadi saksi perubahan zaman. Dari fungsinya yang dulu sebagai ventilasi dan penerang rumah, kini berubah menjadi simbol nostalgia dan seni dekoratif. Orang-orang generasi muda datang ke tempat seperti itu, berfoto di depannya, lalu mengunggahnya di media sosial dengan caption, “vintage vibes.” Mungkin mereka tidak tahu, di balik setiap ukiran kayu dan derit engselnya, ada cerita kehidupan orang-orang masa lalu. Ada doa ibu, kerja keras ayah, tawa anak-anak, dan kenangan sederhana yang begitu hangat.

Melihat itu, saya tersenyum kecil. Mungkin inilah cara sejarah bekerja. Benda-benda lama tidak benar-benar hilang, hanya berganti peran. Dari saksi kehidupan menjadi pengingat, dari fungsi praktis menjadi nilai seni. Angin-angin yang dulu sekadar lubang kecil di atas jendela, kini menjadi simbol kebijaksanaan orang zaman dulu bahwa rumah bukan hanya tempat berteduh, tapi juga tempat bernapas bersama alam.

Saya melangkah keluar dari rumah makan itu. Angin siang  bertiup pelan, menembus sela dinding, seolah membisikkan pesan dari masa lalu:
“Jagalah kenanganmu, karena di sanalah akar kehidupanmu tertanam.”

Saya abadikan dengan foto di depan deretan cendela kayu itu, lalu berjalan pulang dengan hati hangat. Dalam benak, terbayang lagi rumah tua di kampung dengan angin-angin yang berdesir pelan, menebarkan kesejukan dan kenangan yang tak akan lekang oleh waktu.
Cepu, 30 Oktober 2025 

Selasa, 28 Oktober 2025

Perjalanan ke Blora

Karya : Gutamining Saida 
Sesuai rencana yang sudah saya susun sejak semalam, pagi itu saya meluncur menuju kota kabupaten Blora. Tujuan saya sederhana, yakni mengurus coratex pajak yang memang harus segera diselesaikan agar urusan administrasi berjalan lancar. Saya berangkat lebih pagi dari biasanya, sesuai saran teman yang sudah berpengalaman mengurus hal serupa. Katanya, “Kalau datang pagi, Bu, insyaallah cepat selesai dan tidak perlu antre panjang.” Maka saya pun menyiapkan segala berkas sejak malam, memastikan tidak ada yang tertinggal.

Anak perempuan saya dengan senang hati mengantar. Kami berdua berangkat dengan sepeda motor, menikmati kesejukan pagi yang masih menyisakan kabut tipis. Udara terasa begitu segar, hembusan angin membawa aroma khas dedaunan basah dan tanah yang baru tersentuh embun. Sepanjang perjalanan, hamparan hutan jati menyambut dengan rindangnya yang menenangkan hati. Barisan batang-batang tinggi menjulang seperti pasukan hijau yang menjaga rahasia alam. Sesekali cahaya matahari menembus sela-sela daun, membentuk garis cahaya indah di jalanan.

Saya tersenyum kecil, hati terasa damai. Dalam perjalanan saya berusaha menumbuhkan rasa syukur kepada Allah Subhanahu Wata'alla, karena diberi kesempatan menikmati pemandangan yang begitu menakjubkan. Alam ciptaan-Nya sungguh luar biasa, memberi ketenangan bagi jiwa yang penat. Saya pun teringat pesan seorang guru ngaji, bahwa tadabur alam adalah salah satu cara mengenal kebesaran Tuhan. Maka sambil membonceng motor, saya terus berzikir dalam hati, mengagumi keindahan hutan jati yang menjadi kebanggaan daerah kami.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dari Cepu ke Blora, akhirnya kami sampai di kantor pajak. Waktu masih menunjukkan pukul delapan pagi. Suasana di sekitar kantor masih sepi, belum banyak aktivitas. Hanya terlihat beberapa pegawai berseragam  dongker yang tampak baru berdatangan. Saya memarkirkan motor di tempat yang disediakan, kemudian melangkah masuk ke dalam ruangan utama.

Di meja resepsionis, saya disambut seorang pegawai perempuan dengan senyum ramah. Wajahnya berseri-seri, tutur katanya lembut dan sopan. “Selamat pagi, Ibu. Ada yang bisa dibantu?” sapanya. Saya menjelaskan maksud kedatangan saya, dan dia mengambilkan kartu antrian dan mempersilakan saya menunggu karena pelayanan belum dimulai. Sambil menunggu, saya duduk di deretan kursi panjang bersama beberapa bapak dan ibu lain yang tampaknya juga memiliki urusan serupa. Mereka semua mengenakan pakaian rapi, sebagian tampak membawa map berisi dokumen penting.

Saya memperhatikan suasana sekitar. Ruangan terasa bersih dan tertata rapi. Di dinding terpajang berbagai informasi tentang pajak dan tata cara pelaporannya. Ada juga poster berisi ajakan untuk menjadi warga negara yang taat pajak demi pembangunan bangsa. Rasanya bangga juga, bisa menjadi bagian kecil dari warga yang berkontribusi untuk negara.

Tak lama kemudian, terdengar suara panggilan dari pengeras suara, tanda loket pelayanan mulai dibuka. Satu per satu nomor dipanggil, termasuk saya. Dengan langkah mantap saya maju ke loket, duduk di depan petugas pajak. Pegawai yang melayani menyambut dengan ramah, menanyakan permasalahan saya dan meminta KTP dengan penuh kesabaran. Cara bicaranya sopan dan menenangkan, membuat saya merasa nyaman.

“Baik, Bu, ditunggu sebentar ya. Akan kami proses dulu,” katanya sambil tersenyum. Saya mengangguk dan menunggu. Dalam hati, saya mengucap alhamdulillah atas pelayanan yang baik dan suasana yang menenangkan. Meski menunggu, saya tidak merasa bosan. Saya melihat bagaimana para pegawai bekerja dengan tekun, membantu satu per satu warga yang datang dengan sabar.

Ketika akhirnya urusan saya selesai, saya merasa lega. Semua berjalan lancar tanpa kendala berarti. Sebelum pulang, saya sempat berterima kasih kepada pegawai yang membantu saya. “Terima kasih ya, Mbak, sudah melayani dengan sabar.” Ia hanya tersenyum dan menjawab, “Sama-sama, Bu. Semoga urusannya lancar selalu.”

Keluar dari kantor pajak, saya kembali menatap langit Blora yang cerah. Hati terasa ringan, bukan hanya karena urusan telah selesai, tapi juga karena sepanjang perjalanan hari itu saya merasa dekat dengan Allah Subhanahu Wata'alla. Saya belajar bahwa setiap langkah, bahkan urusan administrasi sekalipun, bisa menjadi sarana untuk bersyukur dan mengenal kebesaran-Nya.

Dalam perjalanan pulang, hutan jati kembali menjadi saksi bisu perjalanan saya. Kali ini, rasa syukur saya semakin dalam. Betapa indahnya hidup ketika dijalani dengan kesabaran dan keikhlasan.
Cepu, 29 Oktober 2025 

Senin, 27 Oktober 2025

Pengertian Kegiatan Ekonomi

 


Karya : Gutamining Saida

Kegiatan ekonomi adalah segala aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan sandang (pakaian), pangan (makanan), papan (tempat tinggal), maupun kebutuhan lainnya.

Melalui kegiatan ekonomi, manusia berusaha memperoleh barang dan jasa agar kehidupannya sejahtera.

👉 Jadi, kegiatan ekonomi mencakup tiga kegiatan utama, yaitu:

  1. Produksi – menghasilkan barang atau jasa.

  2. Distribusi – menyalurkan barang atau jasa.

  3. Konsumsi – menggunakan barang atau jasa.

Ketiganya saling berhubungan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.


🎯 Tujuan Kegiatan Ekonomi

  1. Memenuhi kebutuhan hidup manusia.
    Contoh: makan, berpakaian, berobat, belajar, dan lain-lain.

  2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
    Dengan bekerja dan berusaha, masyarakat memperoleh penghasilan.

  3. Menciptakan lapangan kerja.
    Kegiatan ekonomi melibatkan banyak orang sehingga membuka peluang pekerjaan.

  4. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
    Semakin banyak kegiatan ekonomi, semakin berkembang perekonomian suatu negara.


🧍‍♀️ Pelaku Kegiatan Ekonomi

Dalam kehidupan sehari-hari, kegiatan ekonomi dilakukan oleh berbagai pihak, yaitu:

  1. Rumah tangga konsumen → pihak yang menggunakan barang/jasa.

  2. Rumah tangga produsen → pihak yang menghasilkan barang/jasa.

  3. Pemerintah → mengatur dan mengawasi kegiatan ekonomi.

  4. Masyarakat luar negeri → berperan dalam perdagangan ekspor-impor.

  5. Lembaga keuangan dan koperasi → menyediakan modal dan pelayanan keuangan.


🏭 1. Kegiatan Produksi

Produksi adalah kegiatan menghasilkan barang atau jasa agar memiliki nilai guna dan manfaat lebih besar.

🔹 Tujuan Produksi:

  • Menambah nilai guna barang.

  • Memenuhi kebutuhan masyarakat.

  • Mendapatkan keuntungan.

  • Meningkatkan kesejahteraan produsen dan pekerja.

🔹 Contoh:

  • Petani menanam padi → menghasilkan beras.

  • Pabrik membuat sepeda → untuk dijual ke masyarakat.

  • Guru mengajar siswa → menghasilkan jasa pendidikan.

🔹 Faktor Pendorong:

  • Sumber daya alam dan tenaga kerja tersedia.

  • Modal dan teknologi memadai.

  • Permintaan pasar tinggi.

🔹 Faktor Penghambat:

  • Bahan baku langka.

  • Modal terbatas.

  • Cuaca tidak mendukung.

  • Tenaga kerja kurang terampil.


🚚 2. Kegiatan Distribusi

Distribusi adalah kegiatan menyalurkan barang atau jasa dari produsen ke konsumen, agar barang mudah didapat di berbagai tempat.

🔹 Tujuan Distribusi:

  • Menyampaikan hasil produksi ke konsumen.

  • Menjaga kestabilan harga barang.

  • Menjamin ketersediaan barang di pasaran.

🔹 Contoh:

  • Sopir truk mengangkut beras dari petani ke pasar.

  • Agen menyalurkan minuman dari pabrik ke toko.

  • Kurir mengantar pesanan dari toko online ke rumah pembeli.

🔹 Faktor Pendorong:

  • Transportasi lancar.

  • Permintaan pasar tinggi.

  • Kerja sama antar pelaku ekonomi.

🔹 Faktor Penghambat:

  • Jalan rusak atau jarak jauh.

  • Cuaca buruk.

  • Biaya pengiriman tinggi.

  • Barang rusak dalam perjalanan.


🍽️ 3. Kegiatan Konsumsi

Konsumsi adalah kegiatan menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memperoleh kepuasan.

🔹 Tujuan Konsumsi:

  • Memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

  • Menjaga kelangsungan hidup.

  • Menikmati hasil produksi.

🔹 Contoh:

  • Siswa makan di kantin.

  • Keluarga menonton film.

  • Seseorang memakai jasa potong rambut.

🔹 Faktor Pendorong:

  • Pendapatan cukup.

  • Kebutuhan meningkat.

  • Promosi menarik.

  • Ketersediaan barang mudah didapat.

🔹 Faktor Penghambat:

  • Pendapatan rendah.

  • Harga barang mahal.

  • Barang tidak tersedia.

  • Kesadaran untuk hidup hemat.


🔄 Hubungan Antara Produksi, Distribusi, dan Konsumsi

Ketiga kegiatan ekonomi saling berkaitan dan bergantung satu sama lain:


Urutan

Kegiatan

Peran dalam Ekonomi

1

Produksi

Menghasilkan barang/jasa yang dibutuhkan.

2

Distribusi

Menyalurkan barang dari produsen ke konsumen.

3

Konsumsi

Menggunakan barang/jasa hasil produks

Contoh Rantai Ekonomi:
Petani menanam padi (produksi) → pedagang membawa beras ke pasar (distribusi) → ibu rumah tangga membeli dan memasak beras (konsumsi).

Tanpa produsen, tidak ada barang.
Tanpa distributor, barang tidak sampai.
Tanpa konsumen, produksi berhenti.


🌟 Kesimpulan Umum

  • Kegiatan ekonomi adalah usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup.

  • Terdiri dari produksi, distribusi, dan konsumsi.

  • Faktor pendorong dan penghambat memengaruhi kelancaran kegiatan ekonomi.

Cepu, 28 Oktober 2025

Minggu, 26 Oktober 2025

Langkah Kecil Penuh Makna di Hari Santri

 


Karya: Gutamining Saida

Hari Santri selalu menjadi momen istimewa bagi umat Islam, terutama bagi para santri dan masyarakat yang mencintai nilai-nilai keagamaan. Tahun ini, kirab Hari Santri di Desa Balun direncanakan berlangsung meriah pada tanggal 22 Oktober 2025, tepat di hari Rabu. Sejak beberapa minggu sebelumnya, panitia telah menyiapkan segala sesuatunya dengan matang. Spanduk besar sudah terpasang di halaman masjid Al Mujahidin, pengeras suara sudah diuji, dan undangan untuk berbagai kelompok ngaji serta madrasah diniyah di lingkungan sekitar sudah disebarkan.

Allah Subhanahu Wata’alla berkehendak lain. Sejak siang hari tanggal 22 Oktober 2025, langit yang semula cerah mendadak gelap. Hujan turun deras disertai angin lembut. Hingga malam menjelang, hujan tak juga berhenti. Tanah menjadi becek, dan jalan kampung berubah licin. Panitia akhirnya berkumpul di serambi masjid untuk bermusyawarah. Dengan penuh pertimbangan dan kesepakatan bersama, akhirnya diputuskan bahwa kirab Hari Santri diundur menjadi hari Minggu, 26 Oktober 2025, pukul 08.00 WIB.

Keputusan itu diterima dengan lapang dada oleh semua pihak. Para santri, ustaz, dan wali murid menyadari bahwa hujan adalah rahmat, bukan halangan. Panitia pun memanfaatkan waktu penundaan untuk menyiapkan ulang segala kebutuhan agar acara bisa berjalan lebih lancar dan meriah.

Ketika hari Minggu tiba, udara terasa segar dan langit biru membentang luas. Sisa embun masih menempel di dedaunan, menambah kesejukan suasana pagi. Saya bersiap sejak pukul tujuh pagi, mengenakan busana muslimah yang rapi dengan kerudung hijau muda. Tepat pukul 07.30 WIB, saya berangkat menuju masjid Al Mujahidin, tempat titik kumpul kirab dimulai.

Begitu tiba di halaman masjid, suasananya sudah ramai. Anak-anak santri dari berbagai kelompok diniyah dan kelompok ngaji di lingkungan masjid Al Mujahidin tampak bersiap di barisan masing-masing. Ada yang membawa bendera kecil bertuliskan nama lembaganya, ada yang membawa bendera merah putih kecil, dan ada pula yang membawa poster bertuliskan pesan-pesan cinta.

Beberapa lembaga diniyah yang turut serta di antaranya Diniyah Al Mujahidin, Diniyah Al Hidayah, dan rumah Qur’an wilayah Balun. Anak-anak tampak antusias. Wajah mereka cerah. Suasana terasa khidmat sekaligus meriah.

Sekitar pukul delapan tepat, kirab pun dimulai. Suara salawat menggema mengiringi langkah para peserta. Rute kirab telah disepakati Bersama yaitu berjalan dimulai dari depan Masjid Al Mujahidin, menuju gang dua, lalu terus ke gang enam. Dari sana, peserta berbelok ke gang lima bagian timur, kemudian tembus ke gang dua timur, dan akhirnya kembali ke depan masjid Al Mujahidin.

Sepanjang perjalanan, masyarakat menyambut dengan senyum bahagia. Banyak warga keluar rumah sekadar melambaikan tangan atau menonton dari tepi jalan. Beberapa ibu rumah tangga bahkan merekam momen itu dengan ponsel mereka. Anak-anak kecil ikut bersorak, menyapa teman atau kakak mereka yang ikut berjalan di barisan.

Saya sempat melihat beberapa orang tua yang menatap penuh kebanggaan ketika anak-anak mereka lewat sambil membawa poster bertuliskan lafaz shalawat. Ada rasa haru yang sulit dijelaskan. Kirab ini bukan sekadar pawai biasa tetapi juga sarana memperlihatkan betapa hidupnya kegiatan keagamaan di desa Balun. Banyak yang baru menyadari, ternyata di lingkungan Balun terdapat beberapa tempat mengaji dan madrasah diniyah yang aktif membina anak-anak untuk mencintai agama sejak dini.

Langkah demi langkah, barisan kirab terus berjalan rapi. Suara shalawat menggema di mobil yang berada di depan barisan kirab, berpadu dengan senyum masyarakat yang menonton. Tidak ada wajah lelah yang terlihat semuanya dipenuhi semangat dan rasa syukur.

Setelah berkeliling sesuai rute, seluruh peserta kembali ke halaman Masjid Al Mujahidin. Panitia sudah menyiapkan sepaket snak dalam plastik berisi beberapa makanan ringan dan sebotol minuman untuk setiap peserta. Anak-anak tampak gembira sekali menerima bingkisan itu. Mereka duduk berkelompok di teras masjid sambil menikmati isi snack, ada yang berfoto bersama teman-temannya, ada yang bercanda sambil menceritakan pengalaman berkeliling kampung.

Saya menatap suasana itu dengan hati yang penuh rasa bahagia. Rasanya begitu menenangkan melihat anak-anak kecil tumbuh dalam suasana keagamaan yang penuh cinta damai. Dari kirab ini, saya belajar bahwa semangat santri bukan hanya soal berjalan bersama membawa bendera atau poster, melainkan tentang menyebarkan nilai kebaikan dan semangat belajar agama di tengah masyarakat.

Langit Balun tampak begitu biru, seolah ikut tersenyum menyaksikan kebersamaan yang terjalin. Kirab Hari Santri tahun ini memang sempat tertunda karena hujan, namun penundaan itu justru menjadi jalan agar acara bisa berlangsung dengan cuaca cerah dan hati yang lebih siap.

Kirab yang sederhana di desa kecil kami ternyata membawa makna besar. Agenda ini, mempererat silaturahmi antar-diniyah, memperkenalkan tempat-tempat ngaji kepada masyarakat, dan menumbuhkan rasa bangga menjadi bagian dari generasi santri. Di akhir hari, saya pulang dengan langkah ringan dan hati penuh Syukur karena Allah Subhanahu Wata’alla telah mengizinkan hari yang indah ini berlangsung dengan penuh berkah.

Cepu, 27 Oktober 2025






Nasi Pecel Bungkus Daun Pisang

Karya : Gutamining Saida 
Hari Minggu selalu punya pesona tersendiri. Bagi banyak orang, termasuk saya, hari ini adalah waktu untuk sejenak melepas penat setelah enam hari penuh rutinitas. Tak ada dering alarm yang memaksa untuk segera berangkat, tak ada suara anak-anak sekolah yang riuh di jalan depan rumah, tak ada jadwal mengajar yang menunggu di kelas. Hanya suasana pagi yang tenang, suara burung yang bersahutan di ranting pohon, dan aroma embun yang masih segar menempel di dedaunan.

Sinar matahari malu-malu dari ufuk timur. Saya menatap langit yang berwarna abu-abu sembari menarik napas panjang menikmati udara segar yang jarang bisa saya rasakan di hari-hari biasa. Di dapur, tak ada bunyi wajan ataupun aroma bawang goreng seperti biasanya. Saya sengaja tidak memasak. Hari Minggu adalah waktu memberi jeda bagi tubuh dan pikiran, termasuk dari urusan dapur. Keputusan pun bulat yaitu beli sarapan di luar rumah. 

Saya mengenakan jilbab polos, membawa tas kecil berisi dompet, lalu keluar rumah dengan langkah santai bersama sang anak. Beberapa tetangga tampak menyapu halaman, ada yang sedang menjemur pakaian, dan ada pula yang menuntun anaknya bersepeda kecil. Pagi yang hangat dan penuh keakraban.

Tak jauh dari pertigaan jalan, tercium aroma khas yang menggoda aroma sambal kacang dan daun pisang yang dipanaskan uap nasi. Ah, tentu saja itu aroma nasi pecel! Penjualnya duduk di bawah pohon, dengan meja kecil dan beberapa baskom berisi sayuran, mie, srondeng, dan lauk gorengan. Di sekelilingnya, sudah ada beberapa pembeli yang antri.

“Nasi pecel bungkus daun pisang, Bu?” tanya ibu penjual dengan senyum ramah begitu saya mendekat.
Saya tersenyum balik. “ Iya, hari ini bungkus daun pisang saja, jawab saya. Aromanya lebih sedap kalau dibuka nanti.”  Ibu penjual itu tersenyum lebar sambil mengambil selembar daun pisang hijau tua. Ia menepuk-nepuk daun itu perlahan agar lentur, lalu menaruh nasi putih di atasnya. Dengan cekatan, tangannya menambahkan sayuran rebus, kacang panjang, kecambah, daun bayam, dan kol semuanya masih hangat. Kemudian disiram dengan sambal kacang yang kental beraroma khas, sedikit pedas, sedikit manis, dan gurih yang pas di lidah.

“Tambahi mie ya, Bu. Sama srondeng dikit,” pinta saya.
“Siap,” jawabnya cepat, sambil menaburkan mie kuning lembut dan srondeng kelapa yang wangi. “Lauknya mau apa? Ada tempe goreng, tahu, sama ote-ote.”
“Tempe goreng dan ote-ote.”

Begitu selesai dibungkus, aroma daun pisang yang hangat bercampur sambal kacang membuat perut terasa makin lapar. Saya membayar dan mengucap terima kasih. Saya bersyukur tidak perlu repot memasak, tapi tetap bisa menikmati makanan yang nikmat dan penuh cita rasa tradisional.

Saya memutuskan untuk tidak langsung pulang. Di taman kecil dekat balai desa, ada beberapa bangku panjang dari kayu yang teduh di bawah pohon. Saya duduk di sana, membuka bungkus nasi pecel perlahan. Asap hangat mengepul, aroma daun pisang dan sambal kacang berpadu sempurna. Makan membeli di luar seperti ini terasa lebih istimewa. 

Satu suap pertama langsung membuat lidah menari. Pedas, gurih, manis, semua rasa berpadu harmonis. Tempe gorengnya renyah, ote-otenya empuk dengan potongan kol dan wortel di dalamnya. Mie dan sayuran memberi tekstur yang berbeda-beda. Setiap kunyahan terasa seperti persembahan kecil dari bumi yaitu hasil sawah, ladang, dan kebun yang diberkahi Allah Subhanahu Wata'alla.

Saya menikmati setiap suapan dengan perlahan, sambil memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang. Ada seorang bapak tua berjalan kaki sambil membawa koran pagi. Ada dua anak kecil yang berlarian tertawa-tawa mengejar kupu-kupu. Dari kejauhan, terdengar suara ayat suci dari masjid kecil mengingatkan untuk tidak lupa bersyukur atas nikmat sekecil apa pun.

Setelah habis, saya melipat daun pisang bekas bungkus dan membuangnya di tempat sampah. Rasanya kenyang, tetapi bukan sekadar kenyang di perut ada kenyang di hati. Kenyang karena bisa menikmati hari dengan sederhana. Kenyang karena merasa dekat dengan kehidupan sekitar. Kenyang karena sadar, bahwa kebahagiaan tidak selalu harus datang dari hal besar. Kadang, hanya dari sebungkus nasi pecel di Minggu pagi.

Sesampai di rumah saya melangkah dengan hati ringan. Udara masih segar. Burung-burung di atap genteng bersuara riang. Saya menyalakan teko untuk membuat teh hangat, lalu duduk di teras sambil menyeruput perlahan. Dalam hati saya berdoa, semoga setiap hari bisa saya jalani dengan rasa syukur seperti pagi ini syukur atas kesehatan, atas rezeki, atas waktu yang masih diberikan untuk menikmati kehidupan.

Hari Minggu memang sederhana, tapi di balik kesederhanaannya tersimpan makna besar. Bahwa hidup ini indah ketika kita belajar menikmati hal-hal kecil dengan hati penuh terima kasih. Bahwa setiap aroma, setiap rasa, setiap langkah kecil menuju warung pecel pun bisa menjadi ladang syukur yang menumbuhkan bahagia. Nasi pecel berbungkus daun pisang bukan sekadar sarapan tapi juga pengingat, bahwa nikmat Allah datang dari segala arah, dari hal-hal paling sederhana sekalipun. 
Cepu, 27 Oktober 2025 

Sabtu, 25 Oktober 2025

Bermain Peran Norma Kesopanan


Karya : Gutamining Saida 
Sabtu siang, jam terakhir waktu yang biasanya menjadi tantangan tersendiri bagi para guru. Udara panas, semangat siswa mulai turun, dan pikiran mereka sudah setengah melayang menunggu waktu pulang. Jam terakhir justru waktu yang paling menantang dan menarik. Saya sudah menyiapkan ide berbeda untuk pelajaran Pendidikan Pancasila kali ini bermain peran tentang penerapan norma kesopanan.

Begitu bel masuk berbunyi, saya melangkah ke kelas 7A dengan senyum lebar. Saya berdiri sambil tersenyum dan berkata,
“Anak-anak, hari ini kita akan main peran. Siap?”

Serentak terdengar sorak, “Siaaap, Bu!” disertai tepuk tangan dan teriakan kecil penuh semangat.
Saya sudah menyiapkan tema dan menuliskan di bungkus bekas snak. “Tantangan Bermain Peran Penerapan Norma Kesopanan.”

Mereka langsung tertarik. Saya jelaskan bahwa tiap kelompok akan mendapat satu tema sederhana, seperti meminta izin kepada orang tua saat akan berangkat ke sekolah, tidak membantu orang tua, tidak meminta izin kepada guru saat mau masuk ke kelas, membantu teman yang jatuh saat naik sepeda dan sebagainya.
Saya membagi kelas menjadi delapan kelompok, masing-masing kelompok empat siswa. Setelah semua duduk rapi sesuai kelompok, saya mulai meminta pemimpin kelompok mengambil satu tema peran.

"Siapa yang sudah siap?" tanya saya. "Saya bu," jawab kelompok Gibran kompak
“Kelompok Gibran dengan temanya meminta izin kepada orang tua saat mau berangkat sekolah,” kata saya sambil tersenyum.
Mereka langsung bersorak, “Wah, gampang Bu, tapi lucu nih kayaknya!”

Kelompok ini diisi oleh Gibran, Kevin, Fabiel dan Indra. Empat siswa yang punya karakter kuat dan sering mencuri perhatian di kelas. Saya tahu, kelompok ini pasti akan membuat suasana kelas hidup.

Saya memberikan waktu sepuluh menit untuk setiap kelompok memahami tema dan menyiapkan dialog sederhana. Tak perlu properti rumit, cukup improvisasi. Dalam hati saya bertanya-tanya, apakah mereka bisa menjiwai peran dengan waktu sesingkat itu?

Dugaan saya meleset. Setelah waktu persiapan habis, mereka tampil dengan luar biasa.

🎬 Adegan Dimulai
Gibran maju ke depan sebagai anak laki-laki yang hendak berangkat sekolah.
Indra juga berperan sebagai anak, adik laki-laki yang manja.
Fabiel berperan sebagai bapak, lengkap dengan peci coklat di kepalanya.
Kevin, dengan ekspresi lembutnya, menjadi ibu yang penuh perhatian.

Begitu mereka mulai, kelas langsung hening, menunggu kejutan dari keempat pemeran itu.
Gibran melangkah ke depan dengan tas punggungnya, lalu menatap bapaknya  sambil berkata sopan,
“Pak...., Gibran berangkat sekolah dulu, ya.”

Fabiel menjawab dengan suara lembut namun agak berlebihan seperti sinetron. Sambil memakaikan hasduk yang dipegang oleh Gibran. 
“Iya, Nak. Hati-hati di jalan, jangan lupa belajar dengan baik.”

Indra si adik yang dari tadi berada di belakang Gibran langsung menyahut, saya juga mau berangkat bersama kak Gibran. 
“Pak, aku belum dikasih uang jajan!” lanjut Gibran 

Kelas mulai tergelak, tapi puncaknya adalah ketika Fabiel sang bapak, tiba-tiba menepuk-nepuk kepalanya dan berkata,
“Lho, uang sakumu tadi Bapak simpan di sini.”

Ia membuka pecinya, lalu mengeluarkan uang dua ribuan  yang sudah diremas-remas, seolah-olah benar-benar tabungan darurat.
Seluruh kelas langsung pecah dengan tawa.

Bahkan saya pun tidak bisa menahan senyum lebar.
“Wah, kreatif sekali! Dari mana idenya uang disimpan di peci?” tanya saya sambil tertawa.
“Bapak saya kadang nyimpen uang di situ, Bu,” jawab Fabiel polos.
Sontak semua penonton kembali tertawa keras.

Adegan berlanjut.
Gibran menerima uang itu dengan sopan sambil menunduk, “Terima kasih, Pak.”
Lalu ia menyalami tangan kedua “orang tuanya” sambil berkata, “Mohon doa restunya, biar nilainya bagus.”

Kevin menepuk bahu Gibran lembut,
“Iya, Nak. Jangan lupa belajar yang rajin. Kalau nilai bagus, Ibu belikan cilok sepuluh tusuk!”

Suasana kelas kembali riuh. Indra yang sedari tadi jadi adik pun menimpali dengan ekspresi manja,
“Lho, aku juga mau cilok, Bu!”

Fabiel langsung menatap tajam sambil berkata dengan gaya bapak-bapak,
“Kamu belajar dulu, baru cilok!”

Tawa kembali meledak.
Di balik kelucuan itu, terlihat jelas pesan moral yang mereka sampaikan bahwa 
bagaimana anak harus sopan kepada orang tua, meminta izin dengan santun, dan menghormati nasihat orang tua.

Setelah semua kelompok tampil, saya menutup kegiatan dengan refleksi sederhana.
“Saya bangga sekali,” kata saya. “Kalian tidak hanya bisa bermain peran, tapi juga menunjukkan bahwa norma kesopanan itu bisa diterapkan dengan cara yang menyenangkan.”

Saya menatap satu per satu wajah ceria mereka.
Mereka tidak tampak lelah meskipun jam pelajaran sudah berakhir. Justru suasana terasa hidup, penuh tawa, dan sarat makna.

Beberapa siswa bahkan masih membahas adegan “uang dari peci” sambil menirukan gaya Fabiel. 
Saya tersenyum dalam hati. Pelajaran hari itu benar-benar berhasil.

Momen seperti ini lebih dari sekadar pembelajaran.
Itu adalah cara sederhana menanamkan nilai-nilai Pancasila, khususnya norma kesopanan, dengan pendekatan yang menyenangkan dan mengesankan.

Ketika siswa bisa tertawa, memahami, dan menjiwai pesan moral dalam waktu singkat, berarti mereka tidak hanya belajar dengan kepala, tetapi juga dengan hati.

Jam pelajaran pun berakhir. Bel tanda pulang berbunyi, namun siswa masih tertawa kecil sambil membereskan kursi.
Sebelum mereka keluar kelas, saya berkata pelan,
“Terima kasih sudah belajar dengan semangat hari ini. Kalian hebat!”
Cepu, 25 Oktober 2025 



Jumat, 24 Oktober 2025

Ngemil Bareng Kelas 7G

Karya : Gutamining Saida 
Hari Jumat selalu menjadi hari yang penuh cerita di sekolah. Entah mengapa, suasana di hari itu selalu terasa lebih santai dan hangat, meskipun tetap dalam suasana belajar. Mungkin karena semua siswa sudah menanti datangnya akhir pekan, atau mungkin juga karena di hari itu ada banyak momen kebersamaan yang tercipta secara alami. Begitu pula hari Jumat kali ini, saat saya mendapat jadwal mengajar di kelas 7G pada jam terakhir.

Jam terakhir sering kali menjadi waktu yang cukup menantang bagi guru mana pun. Setelah seharian belajar, siswa biasanya sudah mulai lelah, pikiran mereka tak jarang sudah terbang ke rumah, membayangkan istirahat, bermain, atau sekadar rebahan sambil menonton YouTube. Saya tidak ingin suasana di kelas 7G menjadi lesu. Saya ingin membuat mereka tetap semangat, walau sudah di penghujung hari. Maka saya menyiapkan ide sederhana namun menyenangkan yaitu ngemil bareng sambil belajar.

Begitu saya masuk ke kelas, saya langsung disambut oleh riuhnya suara siswa. “Assalamualaikum, Bu!” kata mereka serempak. Saya tersenyum, lalu menjawab, “Waalaikumsalam anak-anak. Siapa di sini yang sudah makan ?” Hampir semua mengangkat tangan, tapi beberapa tampak malu-malu.

Ternyata saat istirahat tadi, banyak di antara mereka sudah membeli makanan di kantin sekolah. Ada yang beli nasi pecel, nasi goreng, nasi geprek, cireng, bahkan ada yang hanya membeli minuman segar. Saya ikut senang melihat mereka sudah makan, karena belajar dalam keadaan lapar tentu tidak nyaman.

Saya pun berkata, “Kalau begitu sekarang waktunya kita ngemil bareng!” Sontak kelas langsung bersorak gembira. “Asyiiik! Ngemil bareng, Bu!” teriak Vino  dengan wajah berseri-seri. Saya lalu mengeluarkan beberapa bekas bungkus Mak Cabe dan potato stick yang sudah saya siapkan sebelumnya, juga beberapa bungkus Energen rasa kacang hijau dan jahe.

“Wah, Bu, ini favorit saya!” ujar Farel yang duduk di barisan tengah.
“Bu, saya mau yang rasa jahe, biar anget,” timpal Kaila sambil tertawa kecil.

Sambil menempel bungkus cemilan di papan tulis, saya menjelaskan bahwa hari ini akan belajar dengan cara yang berbeda. Kita akan diskusi kelompok sambil menikmati camilan dibelakang bungkus ada pertanyaan yang harus diselesaikan bersama. Saya bentuk kelompok kecil beranggotakan empat orang agar mereka lebih mudah berinteraksi dan berbagi pendapat.

Mereka pun segera menggeser meja, membentuk kelompok  kecil. Suasana berubah menjadi akrab dan hangat. Di tiap kelompok tampak wajah-wajah ceria yang asyik membalik  bungkus snack, bungkus Energen, lalu menyiapkan buku catatan dan tugas diskusi. 

Saya berkata pelan, “Ingat, anak-anak. Hari ini kita belajar bukan hanya dengan otak, tapi juga dengan hati yang senang. Kalau suasana belajar menyenangkan, ilmu akan lebih mudah masuk.” Mereka mengangguk penuh semangat.

Topik pelajaran kali ini tidak terlalu berat, tapi cukup menantang yaitu perubahan sosial dan dinamika sosial. Setiap kelompok saya beri tugas untuk mendiskusikan beberapa tema. Saya hanya membimbing dari satu kelompok ke kelompok lain. 

Saya memperhatikan mereka satu per satu. Tidak ada yang mengantuk. Tidak ada yang sibuk dengan hal lain. Semua terlibat aktif. Bungkus cemilan di tangan mereka justru membuat suasana makin hidup, bukan malah mengganggu. Ada tawa, ada canda, tapi tetap fokus.

Saat waktu diskusi hampir selesai, saya meminta tiap kelompok menuliskan hasilnya di buku tulis.
“Anak-anak, kalian hebat hari ini,” ujar saya sambil tersenyum. “Tadi kalian buktikan bahwa belajar tidak harus selalu tegang. Saat kita bahagia, kerja kelompok pun terasa ringan. Berat akan terasa mudah kalau dikerjakan bersama-sama.”

Beberapa siswa mengangguk, dan saya melihat raut bangga di wajah mereka. Mereka merasa dihargai. Saya tahu, momen kecil seperti ini bisa menumbuhkan rasa cinta terhadap pelajaran.

Ketika bel panggilan untuk mengambil MBG berbunyi, tidak ada wajah lelah yang saya lihat. Sebaliknya, mereka tersenyum puas. Beberapa petugas keluar kelas, untuk mengambil jatah makan. Sandi berkata, “Bu, kalau belajar sambil ngemil kayak gini, saya jadi semangat. Nggak kerasa jamnya cepat banget.”
Saya tertawa dan menjawab, “Nah, itu tandanya kamu menikmati belajar. Tapi ingat, yang penting semangatnya.”

Dalam hati saya berkata, Ternyata cara sederhana seperti ini bisa membuat belajar jadi berkesan.
Hari Jumat di jam terakhir, berubah menjadi pengalaman yang penuh tawa, kebersamaan, dan makna. Saya pulang dengan hati ringan dan bahagia. Di kepala saya berputar satu kalimat yang akan selalu saya ingat bahwa belajar dengan senyum lebih bermakna daripada belajar dengan paksaan.
Cepu, 24 Oktober 2025 

Rabu, 22 Oktober 2025

Sarapan Bareng Di Kelas 7F

 

                                   

Karya: Gutamining Saida

Rabu pagi itu, udara terasa begitu segar. Langit biru dengan awan putih berarak perlahan, dan sinar matahari menembus sela-sela dedaunan di halaman sekolah. Saya melangkah ke arah kelas 7F dengan perasaan bersemangat. Kelas ini memang selalu punya energi yang berbeda ceria, aktif, dan penuh semangat belajar. Tidak heran jika setiap kali jadwal mengajar IPS di kelas 7F tiba, saya ikut bersemangat untuk berkreasi agar pembelajaran terasa hidup dan menyenangkan.

Begitu saya tiba di depan pintu kelas, terdengar suara riuh anak-anak yang sedang bercanda. Namun, ketika saya masuk, suasana langsung berubah rapi. “Selamat pagi, Bu!” sapa mereka serempak. Saya tersenyum lebar. “Selamat pagi juga, anak-anak hebat kelas 7F. Bagaimana kabar kalian pagi ini?”

“Baik, Bu!” jawab mereka kompak.

Seperti biasa, sebelum memulai pelajaran, saya mengajak mereka berdoa bersama. Setelah doa selesai, saya berdiri di depan kelas dengan senyum misterius. “Anak-anak, hari ini kita akan belajar IPS dengan cara yang sedikit berbeda,” kata saya sambil menatap mereka satu per satu.

Mereka langsung bersorak kecil, sudah terbiasa bahwa jika saya membawa tas besar atau barang yang tampak ‘aneh’, pasti ada kegiatan seru yang menanti. Kali ini pun tak berbeda. Dari dalam tas saya, saya keluarkan beberapa bungkus snack dan minuman instan. Ada Mak Cabe, Potato, Taro, dan Energen berbagai rasa . Semua itu jenis jajanan yang sangat mereka kenal.

Beberapa siswa langsung berseru.
“Wah, itu Mak Cabe, Bu!”
“Saya suka Taro rasa keju, Bu!”
“Bu, itu buat kita?” tanya Raffa dengan mata berbinar.

Saya tertawa kecil melihat antusiasme mereka. “Sabar dulu, ini bukan sarapan beneran ya, tapi kita akan sarapan bareng versi IPS,” jawab saya sambil mengangkat satu bungkus Energen rasa jahe.

Saya kemudian bertanya, “Siapa yang belum sempat sarapan dari rumah?”
Fahri mengangkat tangan sambil berkata, “Saya sudah, Bu.”
Arya menyusul, “Saya belum, Bu.”
“Kalau saya sarapan di kantin, Bu,” kata Raffa sambil tertawa kecil.

“Baiklah,” jawab saya sambil tersenyum. “Hari ini kita sarapan bareng baik yang sudah maupun yang belum. Karena sarapan bukan hanya soal makan, tapi soal semangat. Jadi, kita akan sarapan semangat belajar IPS!”

Mereka bersorak gembira. Saya lalu meminta dua siswa untuk membantu saya menempelkan bungkus-bungkus snack dan Energen itu di papan tulis menggunakan selotip warna-warni. Tampilan papan tulis pun langsung berubah menjadi penuh warna, seperti pajangan snak di toko snak.

Sambil mereka menatap penuh rasa ingin tahu, saya menjelaskan aturan mainnya. “Di balik setiap bungkus snack ini ada pertanyaan tentang materi IPS yang sudah kita bahas minggu lalu. Tugas kalian adalah membentuk delapan kelompok, masing-masing beranggotakan empat orang. Tapi kalau ada yang tidak lengkap, bisa jadi tiga juga tidak apa-apa. Setiap kelompok akan bergiliran mengambil satu bungkus snack, membaca pertanyaannya, dan mendiskusikan jawabannya. Kalau berhasil menjawab dengan benar dan menulis di buku, kalian boleh ambil bungkus lainnya.”

“Wah, seru banget, Bu!” kata Kenzi dengan mata berbinar.

“Sudah siap semuanya?” tanya saya dengan suara lantang.
“Siapppp!” jawab mereka serempak, seperti pasukan yang siap beraksi.

Permainan pun dimulai. Satu per satu perwakilan kelompok maju ke depan untuk mengambil bungkus snack. Ada yang memilih Mak Cabe, ada yang langsung meraih Potato, ada juga yang penasaran dengan Energen rasa kacang hijau. Begitu bungkus dibuka, terdengar berbagai reaksi lucu.

“Wah, susah banget pertanyaannya, Bu!”
“Ah gampang ini, tentang perubahan sosial!”
“Cepat, cepat tulis jawabannya!”

Kelas berubah menjadi riuh penuh semangat. Setiap kelompok berdiskusi serius tapi tetap diselingi tawa. Saya berjalan mengelilingi kelas, memantau satu per satu kelompok, sesekali memberi petunjuk kecil atau memotivasi agar mereka terus aktif.

Kelompok yang dipimpin oleh Kenzi tampak sangat kompak. Mereka bekerja cepat, membagi tugas  satu membaca soal, satu menulis, dua lainnya membantu memberi ide jawaban. Wajah-wajah mereka menunjukkan semangat yang luar biasa.

“Bu, kelompok kami sudah selesai, boleh ambil yang Taro?” tanya Kenzi dengan senyum bangga.
“Boleh! Tapi pastikan jawabannya benar ya,” jawab saya sambil memeriksa pekerjaan mereka. Hasilnya benar semua. “Hebat! Lanjutkan, semangat terus!”

Sementara itu, kelompok lain tak mau kalah. Fahri dan teman-temannya berusaha mengejar. “Ayo cepet, cepet! Kalah sama kelompok Kenzi nanti!” teriak mereka sambil tertawa.

Suasana kelas benar-benar hidup. Tawa, semangat, dan kerja sama berpadu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Setiap kali satu kelompok menyelesaikan pertanyaan, mereka bersorak kecil, seolah baru memenangkan perlombaan besar.

Setelah sekitar empat puluh menit, akhirnya kelompok Kenzi menyelesaikan seluruh pertanyaan lebih dulu. Mereka langsung berdiri dan bersorak, “Menang! Menang!”

Kelas pun ramai oleh tepuk tangan dan teriakan semangat. Saya tersenyum lebar, merasa bahagia melihat wajah-wajah ceria itu. “Luar biasa! Kalian semua hebat hari ini. Bukan hanya kelompok Kenzi yang menang, tapi seluruh kelas karena sudah berani aktif dan kompak.”

Saya menutup kegiatan dengan memberi sedikit refleksi. “Anak-anak, belajar IPS tidak harus membosankan. Kita bisa belajar dari cara yang seru, asal tetap bermakna. Seperti hari ini, kalian bukan hanya belajar tentang materi, tapi juga kerja sama, kecepatan berpikir, dan tanggung jawab.”

Mereka mendengarkan dengan wajah berbinar. Beberapa masih memegang bungkus snack kosong yang kini menjadi simbol kemenangan kecil mereka hari itu. Sebelum saya meninggalkan kelas, Arya sempat berseru, “Bu, besok sarapan bareng lagi, ya!”

Saya tertawa. “Boleh, asal kalian tetap semangat seperti ini.”

Saya keluar kelas dengan hati hangat. Di balik keriuhan dan tawa, saya tahu, ada makna besar yang tumbuh dari semangat belajar yang tak ternilai. Saya merasa bersyukur bisa menjadi bagian dari perjalanan belajar mereka, yang penuh warna, tawa, dan energi positif. Kelas 7F bukan hanya belajar tentang IPS. Mereka belajar tentang kebersamaan, semangat, dan bahwa ilmu bisa datang dari cara paling sederhana bahkan dari bungkus Mak Cabe dan Energen di papan tulis.

Cepu, 22 Oktober 2025