Jumat, 04 Juli 2025

Jilbab Kakak Zaskia

Karya :Gutamining Saida 
Di teras depan, suara riuh rendah tawa cucu-cucuku mengisi udara. Zaskia, Hamzah, dan El sedang asyik bermain dengan amahnya, sementara akungnya sibuk membersihkan kendaraan di halaman. Saya duduk tak jauh dari mereka, menikmati momen ini dengan  tumpukan kain sisa di pangkuan.

Saya sengaja tidak menyibukkan diri terlalu banyak. Niat saya hanya satu menyempatkan diri untuk berkarya. Di sela-sela waktu saat cucu-cucu tak begitu membutuhkan kehadiran saya, saya ingin berbuat sesuatu yang berguna. Melihat kain-kain yang menumpuk di sudut lemari beberapa hari terakhir, saya tergerak untuk membuat sesuatu yang bisa bermanfaat. Sesuatu yang bukan hanya indah, tapi juga membawa senyum.

Tangan saya mulai bekerja. Saya potong kain dengan rapi, menjahit perlahan dengan tangan, menyusun warna, dan menyelaraskan motif. Kain polos berwarna oren, putih tulang, hitam. Satu demi satu kain mulai saya potong, hingga terbentuklah sebuah jilbab mungil pas untuk Zaskia, cucu perempuan yang paling besar.

Selesai membuatnya, saya memanggilnya.
"Kakak Zaskiaaa... coba sini sebentar, Timmi buatkan sesuatu."

Ia mendekat, matanya berbinar melihat jilbab yang saya buat.
"Untuk kakak, Timmi?" tanyanya setengah tak percaya.

"Iya, coba pakai. Cantik nggak?"
Zaskia pun segera memakainya, lalu bercermin. Senyumnya mengembang lebar. Wajah kecilnya berseri-seri.
"Waah... Zaskia jadi kayak princess!" katanya sambil berputar-putar.

Saya ikut tersenyum. Tak ada yang lebih membahagiakan dari melihat anak kecil bahagia karena sesuatu yang kita buatkan dengan tangan sendiri.

Belum sempat saya duduk kembali, El biasa dipanggil, cucu perempuan yang paling kecil menghampiri. Matanya tertuju pada jilbab Zaskia yang baru.
"Timmi... aku juga mau!" serunya riang. "Tolong El dibikinin jilbab juga, yang warna biru, pink, sama kuning ya!"
Ia menyebutkan warna favoritnya dengan antusias.

Saya mengangkat alis, pura-pura terkejut.
"Lho kok banyak, El?" tanya saya .
"Iya! Kakak juga banyak!" jawabnya cepat, tak mau kalah. Ia menunjuk ke arah kakak  Zaskia yang sedang berlenggak-lenggok memakai jilbabnya.

"Tapi... dipakai nggak nanti sama El?" saya bertanya dengan nada menggoda.
"Pakailah, Timmi. El pakai... celana aja ya? Iya iya..." katanya dengan ekspresi lucu, sedikit ragu tapi tetap ngotot. Mungkin maksudnya ia ingin jilbab, tapi tetap bisa pakai celana warna-warni seperti biasanya.

Saya tertawa kecil. Sungguh, dunia anak-anak memang penuh warna dan logika polos yang tak bisa ditebak.

Akhirnya saya mencari kain-kain lain yang tersisa. Tak banyak memang, tapi cukup kalau dipadupadankan. Saya  manfaatkan apa yang ada. Potongan kain bekas mukena, ujung gamis lama, sisa kerudung yang sudah tersimpan bertahun-tahun. Semua saya jadikan bahan dasar.

Di sinilah saya merasa bersyukur menjadi seorang wanita. Menjadi ibu, nenek, sekaligus pengrajin kecil-kecilan di rumah sendiri. Kemauan dan kreativitas bisa membuat barang tak terpakai menjadi sesuatu yang bernilai. Tak perlu peralatan mahal, cukup dengan cinta dan kesungguhan, maka hasilnya akan terasa istimewa.

Malam harinya, setelah semua cucu tidur, saya lanjut menjahit. Satu persatu jilbab selesai, celana El, baju El selesai juga.  

Keesokan harinya, El bangun lebih awal dari biasanya. Begitu melihat jilbab yang telah jadi tergeletak di meja, ia langsung berseru.
"Waaaah! Udah jadi ya Timmi!"
Ia langsung mengambilnya dan mencoba sendiri, meskipun masih kebesaran sedikit di kepalanya.
"Timmi... cantik enggak?"
"Cantik banget... El jadi kayak kakak !" jawab saya.

El tersipu-sipu, lalu memanggil kakaknya, Zaskia. Mereka berdua pun mulai berlenggak-lenggok seperti model, berjalan berputar di ruang tamu. Hamzah yang melihat mereka, hanya geleng-geleng sambil berkata,
"Aduh... Kakak dan adik ini..". 
Rumah kami penuh dengan tawa, warna-warni, dan cinta. Saya bersyukur bisa membuat mereka bahagia dengan sesuatu yang sederhana. Saya yakin, kebahagiaan mereka juga membuat semangat saya  tumbuh. Bahwa di usia ini pun, saya masih bisa berkarya, mencipta, dan menularkan semangat kreatif kepada generasi kecil di keluarga. 

Kelak, ketika mereka tumbuh besar, saya harap mereka akan mengenang hari-hari ini. Hari ketika sebuah potongan kain sederhana berubah menjadi jilbab yang membawa senyum dan cinta dari tangan seorang nenek Timmi. Semoga menginspirasi. 
Cepu, 5 Juli 2025 

Coretan Wajah

Karya: Gutamining Saida 
Sore itu, menjelang waktu mandi, cucu-cucu saya yaitu Zaskia, Hamzah, dan Emira berlari kecil ke arah saya dengan wajah penuh semangat.
“Timmi, main yuk! Jangan mandi dulu,” pinta Zaskia sambil menarik tangan saya.

Saya tersenyum. Rasa lelah saya langsung menguap melihat semangat mereka. “Main apa ya sore ini?” tanya saya sambil menatap wajah mereka satu per satu.

Tak ingin menyia-nyiakan momen itu, saya segera mendapatkan ide permainan sederhana tapi seru yaitu tebak huruf nama hewan, lengkap dengan hukuman yang mengundang tawa yaitu coretan bedak bayi di wajah!

“Panggil Amah, umi kalian dan kita main ramai-ramai. Harus banyak peserta biar tambah seru,” ajak saya.

Tak lama, anak saya ikut bergabung. Kami semua duduk membentuk lingkaran di atas lantai di ruang tengah. Saya lalu menjelaskan aturannya.

“Sekarang semua ulurkan jari tangan kalian ke tengah. Bebas, mau satu sampai sepuluh jari juga boleh. Nanti kita hitung jari satu per satu sambil menyebut abjad: A, B, C, dan seterusnya. Huruf terakhir yang jatuh di jari terakhir, itulah huruf yang harus kita pakai untuk menebak nama hewan.  Ingat, dalam satu putaran, semua peserta harus menyebut satu nama hewan dengan huruf tersebut. Siapa yang tidak bisa menjawab, wajahnya kita coret pakai bedak bayi!”

Tawa pun langsung pecah. Anak, cucu - cucu sudah tak sabar ingin memulai.
Putaran pertama dimulai. Zaskia mengulurkan lima jari, Hamzah dua, Emira tiga, amah Faiz empat, dan saya tiga. Total ada tujuh belas jari. Saya mulai menyebut, “A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, Q...”
Huruf terakhir adalah Q.
Semua serentak berseru, “Waduhhh! Susah banget, huruf Q!”

Zaskia berpikir keras, “Hmm… Q… Q… Quokka!” katanya ragu-ragu. Saya tertawa, ternyata dia tahu hewan kecil dari Australia itu. “Benar! Zaskia lolos!”

Hamzah mulai gelisah. “Q... Qura... Qucing?” katanya, membuat semua tertawa. “Salah, Hamzah, yang benar tetap ‘kucing’, bukan ‘qucing’! Coret!” Kami pun serempak mencoret pipinya dengan bedak bayi. 

Saya dan anak saya sama-sama tidak sempat berpikir cepat. Kami kehabisan ide dan waktu pun habis.
“Coret! Coret!” seru Zaskia.
Dalam waktu singkat, wajah saya dan anak saya penuh garis putih dari pipi hingga dagu. Tawa makin meledak.

Putaran kedua dimulai. Kali ini jari-jari kami menghasilkan huruf S.
“Ah, gak ikut!” kata Emira.
Zaskia langsung menyahut, “Sapi!
Hamzah dengan cepat menambahkan, “Semut!”
Saya berkata, “Siput!”
Anak saya kebingungan. “Aduh… apa lagi ya… S… S… Sowa?” Kami semua memandang heran.

“Sowa? Yang benar burung hantu itu Owl, bukan ‘Sowa’!” protes Zaskia sambil tertawa.

“Wah, siap-siap dicoret,” kata saya sambil menuang bedak di jari.

Wajah dik Faiz kini sudah bercorak seperti badut. Tapi dia hanya tertawa bersama.

Permainan berlanjut dengan huruf “M”, “T”, “B”, dan sebagainya. Semakin lama, semakin banyak wajah yang penuh coretan. Hamzah pernah kena tiga kali berturut-turut dan wajahnya nyaris tak dikenali lagi. Tapi ia justru pali semangat.

“Lagi, lagi! Aku mau kena lagi!” teriaknya dengan polos.

Terkadang, saya harus memberi waktu tambahan bagi yang lebih kecil. Tapi mereka tetap berusaha keras menebak nama hewan yang benar. Permainan ini bukan sekadar seru, tapi juga penuh manfaat—mengasah ingatan, menambah kosa kata, dan tentu saja mempererat kebersamaan.

Ketika hari mulai gelap dan aroma sabun dari kamar mandi mulai tercium, saya mengajak semuanya berhenti.

“Ayo, cukup dulu. Sudah waktunya mandi.”

“Belum, Timmi! Satu putaran lagi!” protes Zaskia.

“Biar setelah mandi tetap bisa ketawa lihat wajah sendiri di cermin, ya?” goda saya.

Akhirnya kami sepakat menyudahi permainan setelah putaran terakhir. Kami semua menuju kamar mandi dengan wajah penuh bedak, hati penuh tawa, dan kenangan penuh warna.

Sore itu, permainan sederhana telah menciptakan kebahagiaan yang tak sederhana. Tak perlu ponsel, tak perlu mainan mahal. Hanya dengan huruf, tawa, dan bedak bayi, hari itu menjadi istimewa dan akan dikenang selamanya.
Cepu, 4 Juni 2025 


-

Kamis, 03 Juli 2025

Bersama Ular Tangga

Karya : Gutamining Saida 
Matahari bersinar cerah, ruang tamu terbuka. Di dalam rumah, ada tiga cucu saya yaitu Zaskia, Hamzah, dan Emira mulai tampak bosan. Sejak pagi mereka menonton televisi, menonton kartun, menonton film anak-anak, dan kini mulai mengeluh.

"Timmi, bosan nonton TV terus," kata Zaskia sambil mematikan televisi dengan remote.
"Iya, main yuk Timmi," tambah Hamzah, matanya bersinar, berharap ada ide permainan seru.

Emira pun ikut duduk mendekat, mengangguk-angguk, meski belum terlalu fasih bicara. Saya tersenyum melihat ketiganya. Saya tahu, saat-saat seperti inilah yang paling mereka rindukan saat berkumpul di rumah. Maka saya putuskan untuk mengajak mereka bermain permainan papan yang sudah lama tersimpan yaitu ular tangga.

Saya ambil papan ular tangga dari lemari, lalu mencari dadu dan penanda pemain. Karena tidak ada pion khusus, saya ambil tiga tutup botol dari dapur. Satu tutup botol berwarna putih untuk Zaskia, yang oren untuk Hamzah, dan yang merah untuk Emira. Mereka langsung semangat saat melihat saya menata papan permainan di lantai ruang tengah. Kami duduk lesehan di atas lantai. 

"Timmi, Emira belum bisa main, kan?" tanya Zaskia.
"Tenang, nanti Timmi bantu Emira," jawab saya sambil tersenyum. "Tapi sebelum melempar dadu, kalian harus menjawab pertanyaan dulu, ya. Kalau bisa jawab, baru boleh lempar dadu!"

Zaskia dan Hamzah langsung tertawa senang. Mereka tahu saya suka memberi tantangan kecil seperti itu. Saya pun mulai permainan dengan memberi pertanyaan ringan.

"Zaskia dulu, ya. Sebutkan nama-nama hari dalam seminggu!"
"Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu!" jawabnya cepat.
"Bagus! Lempar dadunya!"
Zaskia pun melempar dadu dan tutup botol putihnya melaju ke kotak nomor empat aman. Kemudian giliran Hamzah. "Hamzah, berapa hasil dari dua tambah tiga?"
"Enam!" jawabnya yakin.
Saya pura-pura mengerutkan dahi. "Yakin?"
Hamzah pun tersenyum malu, lalu cepat membetulkan, "Lima!"
Saya tertawa. "Bagus! Lempar dadu, Nak!"

Hamzah melempar dan tutup botol oren-nya mendarat di kotak nomor enam masih aman. Saya membantu Emira menjawab pertanyaan mudah, seperti menyebutkan warna-warna. Ia menjawab dengan lucu, "Merah, kuning, ungu, pink," dan langsung bersorak-sorai sendiri.

Permainan pun berlanjut. Setiap giliran menjadi momen seru karena harus menjawab soal-soal sederhana terlebih dahulu. Tak hanya membuat permainan lebih menarik, tapi juga mengasah kemampuan berpikir mereka sambil bersenang-senang.

Semakin lama permainan berjalan, suasana semakin hidup. Mereka saling mengejar poin. Ada momen-momen lucu ketika dadu menunjukkan angka kecil, atau saat harus kembali ke bawah karena tertelan ular.

Suasana mendadak berubah ketika Zaskia melempar dadu dan tutup botol putihnya berhenti tepat di kepala ular besar di kotak 47. Saya melihat wajahnya langsung berubah. "Yaah… harus turun ke ekor ular…" gumamnya pelan. Matanya menatap ke arah kotak bawah tempat ekor ular berakhir. Ia menghitung kotak dengan jari-jarinya. "Empat puluh tujuh… turun ke tiga belas!" Seketika ekspresinya berubah muram. Ia duduk bersila dan memeluk lututnya. Saya bisa merasakan kekecewaannya.

"Zaskia, nggak apa-apa. Namanya juga permainan. Nanti juga bisa naik lagi," saya coba hibur. Namun sebelum Zaskia sempat membalas, tiba-tiba sorakan keras terdengar dari Hamzah.
"Horeee! Aku naik tangga!!" teriaknya kegirangan. Tutup botol oren miliknya berhenti di kotak 28, tepat di bawah tangga yang mengarah ke kotak 84. Ia menghitung dengan penuh semangat dan wajah penuh kemenangan.

"Sekarang aku paling depan! Hamzah menang! Hamzah menang!" katanya bersorak sambil berdiri dan menari kecil. Saya ikut tepuk tangan melihat semangatnya. Emira pun ikut menirukan gaya kakaknya, walau belum mengerti menang atau kalah.

Sementara Zaskia mulai bisa tersenyum kembali. Saya ajak dia mengulang giliran setelah menjawab satu teka-teki lucu, dan dadu akhirnya membawanya kembali ke jalur atas. Permainan terus berjalan sampai tutup botol Hamzah akhirnya mencapai kotak 100. Dengan semangat, ia berdiri dan berteriak, “Aku sampai puncak! Aku menang!”

Saya dan kedua cucunya yang lain ikut memberi tepuk tangan. Meski Hamzah menang, kami semua merasa menjadi pemenang hari itu. Tidak ada hadiah berupa piala atau medali. Tapi yang kami dapatkan jauh lebih berharga yaitu kebersamaan, tawa, dan kenangan indah.

Saya memandang satu per satu wajah mereka. Wajah-wajah kecil yang penuh semangat dan keceriaan. Tidak ada gadget, tidak ada TV, tapi justru momen itu yang paling berkesan. Saya bahagia bisa menciptakan suasana yang menyenangkan untuk mereka di masa liburan ini. Saya tahu, suatu hari nanti, mereka akan mengenang permainan ular tangga di ruang tamu bersama Timmi, sebagai bagian manis dari masa kecil mereka.
Cepu, 4 Juni 2025 

Murid Akung

Karya : Gutamining Saida 
Liburan kali ini, rumah kami kembali ramai oleh tawa dan celoteh cucu-cucu. Zaskia, Hamzah, dan Emira datang berlibur di rumah kami di Cepu. Suasana yang biasanya tenang berubah menjadi penuh semangat sejak pagi. Ketiganya saling bermain, dan tak jarang berebut tempat duduk di pangkuan Timmi atau Akung.

Hamzah, cucu lelaki kami yang kini duduk di TK A, memang punya rasa ingin tahu yang besar. Apa saja yang dilakukan oleh orang dewasa, selalu ingin ia ikuti. Tak terkecuali urusan keluar rumah. Setiap kali Akung atau saya, Timmi-nya, bersiap-siap pergi, dia akan bertanya, “Mau ke mana? Hamzah ikut ya!”

Kami tentu senang dengan semangatnya, meski kadang ada rasa khawatir kalau tiba-tiba ia bosan lalu merengek minta pulang. Senin pagi itu, ketika Akung bersiap berangkat mengajar ngaji di Sambong, Hamzah mendekat dan bertanya dengan suara antusias, “Akung, hari ini ngaji ya? Hamzah boleh ikut?”

Akung memandangnya dan berkata tenang, “Boleh ikut, tapi jangan merengek minta pulang, ya. Duduk tenang, dengarkan, dan lihat-lihat saja dulu.”

Hamzah langsung mengangguk mantap. “Setuju, Hamzah nggak akan rewel. Janji!”

Akhirnya, berangkatlah mereka berdua ke Sambong, sebuah desa yang tak terlalu jauh dari Cepu. Jalanan masih sepi dan sejuk pagi itu. Hamzah duduk dengan penuh semangat, sesekali bertanya ini-itu tentang ngaji. 

Sampai di Sambong tempat yang biasa digunakan untuk mengaji para lansia, Hamzah tampak terdiam sejenak. Ia melihat beberapa orang yang sudah duduk. Semuanya berusia lanjut. Ada yang memakai yang memakai kacamata tebal. Sebagian menyapa hangat kepada Akung, lalu tersenyum ramah kepada Hamzah.

“Lho Akung,” bisiknya pelan. “Itu murid-muridnya Akung? Kok... kakek-kakek dan nenek-nenek semua?”

Akung hanya tersenyum sambil mempersiapkan Al-Qur’an. “Iya, Hamzah. Mereka murid Akung. Mereka sedang belajar ngaji, belajar ilmu agama.”

Hamzah tidak berkata-kata lagi. Ia duduk di samping dan memperhatikan dengan seksama. Ia mengamati bagaimana para lansia itu mendengarkan penjelasan, mengeja huruf-huruf hijaiyah, dan sesekali bertanya dengan suara pelan. 

Setelah dua jam berlalu, ngaji pun selesai. Para lansia bersalaman dengan Akung, lalu berpamitan pulang dengan wajah cerah dan semangat. Hamzah pun diajak pulang.

Sepanjang perjalanan, Hamzah terdiam. Tak seperti biasanya yang banyak bertanya. Begitu sampai di rumah, ia langsung lari menemui uminya dan berkata dengan suara takjub, “Umi... tahu nggak? Muridnya Akung tadi bukan anak-anak, tapi kakek-kakek dan nenek-nenek!”

Uminya tertawa mendengar cerita Hamzah yang penuh ekspresi. “Iya dong. Dalam Islam, belajar itu wajib, dari lahir sampai ke liang lahat. Jadi meskipun sudah tua, mereka tetap wajib menuntut ilmu, terutama ilmu agama.”

Hamzah tampak berpikir sejenak, lalu bertanya, “Berarti nanti kalau Hamzah sudah tua, harus tetap belajar juga ya, Umi?”

“Tentu saja. Kita semua harus terus belajar. Ilmu agama itu bekal untuk kehidupan setelah kita meninggal. Ilmu itu nggak ada batas waktunya. Bahkan Rasulullah SAW bersabda: ‘Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat.’”

Hamzah mengangguk. Matanya bersinar. “Berarti nenek-nenek dan kakek-kakek tadi itu hebat ya, Umi. Sudah tua tapi masih mau belajar ngaji. Hamzah juga mau kayak gitu nanti.

Ada rasa haru yang menyelinap di dada. Si kecil ini memang selalu punya cara sendiri dalam memahami dunia. Apa yang ia lihat hari itu menjadi pelajaran berharga yang mungkin tidak ia dapat dari buku atau sekolah.

Hamzah belajar makna menuntut ilmu dari murid-murid Akung. Bukan dari anak-anak seperti dirinya, tapi dari orang-orang tua yang tetap berjuang mengaji meski usia tak lagi muda. Saya yakin, pelajaran itu akan tinggal lama di dalam hatinya.

Semoga Hamzah tumbuh menjadi anak yang selalu mencintai ilmu, menghargai waktu, dan menjadikan agama sebagai cahaya hidupnya. 
Cepu, 3 Juli 2025 

Rabu, 02 Juli 2025

Berburu Nikmat dari-Mu

Karya : Gutamining Saida 
Rabu siang tanggal 2 Juli 2025 mentari bersinar hangat. Tidak terlalu terik, tapi cukup membuat keringat muncul jika duduk terlalu lama di dalam rumah tanpa kipas. Saat jam dinding menunjukkan pukul dua lewat sedikit, saya mengajak anak-anak dan cucu-cucu untuk keluar sejenak.

“Bagaimana kalau sore ini kita berburu kuliner?” tanya saya sambil tersenyum.

Anak-anak saya yang sedang berbincang di ruang tengah langsung menyambut dengan semangat. Cucu-cucu yang masih asyik bermain pun langsung berhenti dan berseru, “Mauuu! Ayo naik motor, Umi!”

Kami tak berniat pergi jauh, cukup di sekitar Cepu saja. Kota kecil ini memang menyimpan banyak lokasi kuliner yang meski sederhana, penuh cita rasa. Salah satunya adalah tempat yang berada di bawah naungan hutan jati, tepi jalan raya sekitar 15 menit dari rumah jika naik motor pelan-pelan.

Perjalanan kami mulai dengan santai. Motor melaju perlahan menyusuri jalan utama. Pemandangan di kanan kiri menyuguhkan deretan pohon, rumah-rumah penduduk, dan sesekali ladang yang menghijau. Udara terasa bersih, dan angin sore yang menyapa wajah membuat perjalanan singkat ini terasa menyenangkan.

Setibanya di tempat tujuan, suasana ramai langsung terasa. Rupanya kami tidak sendirian. Banyak keluarga lain juga datang untuk menikmati sajian yang tersedia. Aroma kuah bakso mengepul di udara, bercampur dengan wangi cuka empek-empek dan semilir aroma manis dari es buah yang dingin menyegarkan.

Yang membuat tempat ini istimewa adalah lokasinya. Deretan warung berada tepat di tepi jalan raya bawah naungan hutan jati. Pohon-pohon besar menjulang dengan batang kokoh dan daun-daun yang menaungi, membuat tempat itu terasa sejuk meski di siang hari. Sinar matahari yang menembus celah dedaunan menciptakan corak bercahaya di tanah, seolah menyapa kami dengan ramah.

Kami memilih duduk di salah satu spot lesehan yang tersedia. Tikar berwarna biru dibentangkan di atas tanah yang rata, cukup bersih, dan teduh. Duduk di atas tikar, angin hutan jati berhembus pelan, memberi kesejukan alami yang tidak bisa didapat dari pendingin ruangan manapun.

Kami memesan beberapa porsi makanan yaitu dua porsi bakso, satu porsi mie ayam, dan tentu saja es buah yang warnanya menggoda enam porsi. Dalam waktu singkat, pesanan kami datang. Mangkuk es buah diletakkan di atas baki plastik, penuh warna dari potongan nanas, semangka, melon, buah naga, mutiara, agar-agar, dan es batu dengan kuah manis susu yang sejuk.

"Alhamdulillah," saya berucap pelan sambil menyendok suapan pertama. Dingin dan manisnya menyusup ke tenggorokan, segarnya buah membuat hati terasa damai. Saya melihat anak-anak dan cucu-cucu juga tersenyum puas, menikmati setiap suapan mereka sambil duduk santai di atas tikar.

Bakso yang kami pesan juga tidak kalah nikmat. Kuahnya hangat dan gurih, berpadu dengan pentol besar isi telor ayam utuh dan kecil, serta taburan bawang goreng yang harum, terasa kenyal dan nikmat.

Sambil makan, kami berbincang ringan. Tertawa bersama. Cucu-cucu saling mencolek buah dari mangkuk satu sama lain. Ada yang ingin menukar agar-agar dengan mutiara, ada yang justru sibuk mengaduk agar semua rasa tercampur.

Di bawah rindangnya pohon jati, saya memandangi wajah mereka satu per satu. Anak-anak saya sudah tumbuh dewasa, kini punya tiga anak. Cucu-cucu saya tumbuh ceria dan penuh semangat. Dalam suasana sesederhana ini, saya merasa begitu bersyukur kepada Allah atas rezeki ini. 

Duduk di tikar biru, di bawah hutan jati, menikmati kuliner pinggir jalan. Rasanya seperti duduk di istana. Bukan karena kemewahan tempat atau mahalnya makanan, tapi karena hadirnya cinta dan kebersamaan. Inilah rezeki dari Allah yang sejati.

Saya teringat betapa sering manusia mencari kebahagiaan di tempat jauh, menghabiskan biaya besar untuk sesuatu yang terasa istimewa. Padahal, sering kali kebahagiaan itu hadir begitu dekat di sela-sela momen bersama keluarga, di bawah pohon jati yang sejuk, dalam semangkuk es buah yang penuh warna.

Sebelum pulang, saya meminta satu bungkus es buah lagi. “Bungkuskanan buat dibawa pulang rumah." ucap saya pada penjualnya. Dia mengangguk sambil tersenyum dan membungkus dua porsi tambahan untuk di rumah.

Kami pulang dengan perut kenyang dan hati lapang. Motor kembali melaju pelan, angin sore membelai wajah kami dengan lembut. Sinar matahari mulai meredup, berganti jingga yang menggantung manis di cakrawala.
Nikmat Tuhan yang mana lagi yang bisa saya dustakan?
Cepu, 2 Juli 2025 


Selasa, 01 Juli 2025

Kuasa Tuhan


Karya :Gutamining Saida 

Udara terasa lebih segar dari biasanya. Cahaya matahari menembus celah-celah ventilasi dapur, menyinari rak piring yang basah karena cipratan air cucian. Anak perempuan saya, seperti biasa, membantu mencuci peralatan dapur bekas sarapan. Faiz biasa saya sapa anak yang telaten. Tangannya cekatan menggosok piring dan sendok satu per satu, lalu meletakkannya di rak.

Tiba-tiba ia berseru pelan, “Umi… ini apa?” sambil memperlihatkan sesuatu yang dipegangnya. Matanya memandang heran, alisnya sedikit terangkat, dan keningnya berkerut. Saya mendekat. Tangannya menggenggam sesuatu yang tampak aneh tumbuh di bawah rak piring. Sejenis tunas kecil dengan akar yang sudah menyebar ke segala arah. Saya menatapnya sejenak, lalu memegangnya dengan hati-hati. Kulitnya gelap kecoklatan, bentuknya tak asing.

“Ohhh… ini kentang hitam,” jawab saya pelan, “Salah satu jenis krowotan.”

“Kenapa bisa tumbuh di sini, Umi?” tanyanya polos.

Saya tersenyum. Sambil berdiri dekat meja di dapur, saya mulai menjelaskan kepadanya, dan juga pada diri saya sendiri. 

Krowotan adalah istilah dalam budaya Jawa yang merujuk pada jenis-jenis umbi-umbian seperti gembili, gadung, suweg, ketela dan tentu saja kentang hitam. Bagi orang Jawa, krowotan bukan sekadar makanan. Ia adalah simbol kesederhanaan, simbol kebersahajaan yang sangat dihargai, terutama oleh generasi dahulu.

Zaman dulu, saat masa sulit, sebelum beras menjadi makanan utama yang mudah didapat, masyarakat menggantungkan hidup pada krowotan. Mereka menanam dan menyimpan umbi-umbian itu sebagai cadangan makanan. Bahkan sampai sekarang, masih banyak yang sengaja menanamnya di pekarangan sebagai sumber pangan alternatif. Selain bergizi, krowotan memberi rasa kenyang yang menenangkan.

Saya memandang anak saya dan berkata, “Mungkin ini kentang tercecer, yang dulu ikut dibawa dari pasar bersama teman-temannya. Waktu itu kita masak kentang rebus tiga minggu lalu, ingat?”

Dia mengangguk, mencoba mengingat.

“Sepertinya kentang ini lolos dari takdir untuk ikut direbus dan dimakan. Ia jatuh, tersembunyi, dan diam-diam tumbuh di tempat yang tak terduga, di bawah rak piring yang gelap dan lembap.”

Saya terdiam sejenak. Dalam hati, saya tersentuh. Sebuah kentang kecil yang terlupakan, yang mestinya ikut berakhir di dalam perut kami, justru tumbuh dengan kehidupan baru. Betapa luar biasanya kuasa Tuhan. Di tempat yang tidak kita sangka, di ruang yang nyaris tak layak, Ia memberi kehidupan.

Tuhan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ia yang meniupkan nyawa, Ia pula yang menumbuhkan dan mengatur rezeki tiap makhluk-Nya. Sebiji kentang yang tercecer pun bisa tumbuh dengan izin-Nya. Apalagi manusia, yang lebih sempurna dari kentang, yang punya akal dan hati, tentu punya jalannya masing-masing yang telah ditentukan.

Saya menatap anak saya. “Dik Faiz, kadang manusia juga seperti kentang ini. Kita punya jalan hidup yang berbeda-beda. Ada yang tumbuh di tempat yang terang dan baik, ada yang tumbuh dalam kesempitan. Tapi semua bisa tumbuh jika Tuhan menghendaki.”

Anak saya mendengarkan dengan saksama. Saya melanjutkan. “Kalau kentang itu tidak tercecer, mungkin nasibnya akan habis direbus dan dimakan bersama yang lain. Tapi karena ia tersembunyi, ia justru tumbuh. Begitu pula kita. Kadang hidup memberi jalan yang tidak kita duga. Kita tertinggal, tercecer, merasa tidak berarti. Tapi bisa jadi, di situlah takdir terbaik sedang menanti.”

Saya menghela napas dalam. Kentang hitam kecil itu membuat saya merenung lebih dalam dari biasanya. Hidup memang tidak selalu lurus dan terang. Ada gelap, ada sempit, ada masa tercecer dan tak terlihat. Tapi jika kita bersyukur dan tetap percaya pada kehendak-Nya, kita tetap bisa tumbuh, bahkan di tempat yang paling tidak memungkinkan.

Anak saya masih menggenggam kentang itu. “Umi, kita tanam aja ya?” katanya dengan semangat. “Siapa tahu nanti jadi banyak kentangnya.” Saya mengangguk dan tersenyum. “Ya, kita tanam. Kita rawat. Siapa tahu nanti kita bisa panen sendiri.”

Kami pun mengambil pot bekas cat yang sudah lama kosong, mengisinya dengan tanah dari belakang rumah, dan menanam kentang hitam itu dengan hati yang penuh harapan. Sambil menanam, saya membisikkan doa, agar anak saya pun tumbuh seperti kentang itu kuat, tabah, dan tidak mudah menyerah walau keadaan tak selalu sempurna.

Tuhan tak pernah sia-sia dalam menciptakan. Bahkan yang tercecer sekalipun, ada maksud dan rencana-Nya. Begitulah kuasa Tuhan, selalu bekerja dalam diam dan kejutan yang tak terduga.
Cepu, 2 Juli 2025 

Senin, 30 Juni 2025

Hamzah Aja Ketagihan




Karya : Gutamining Saida 
Bekam, atau dalam istilah Arab disebut hijamah, adalah salah satu terapi pengobatan yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Terapi ini dilakukan dengan cara mengeluarkan darah kotor dari tubuh melalui permukaan kulit menggunakan alat khusus yang menciptakan tekanan negatif, semacam vakum. Secara umum, bekam terbagi menjadi dua jenis yaitu bekam kering (tanpa sayatan) dan bekam basah (dengan sayatan tipis pada kulit untuk mengeluarkan darah).

Manfaat bekam sangat banyak, antara lain melancarkan peredaran darah, membantu mengatasi pegal-pegal, meringankan migrain, membersihkan racun dalam darah, hingga membantu meningkatkan imunitas tubuh. Tidak heran jika terapi ini kembali populer di kalangan masyarakat modern yang mulai tertarik dengan metode pengobatan alami dan sunnah Nabi.

Tidak semua orang berani mencoba. Banyak yang mundur teratur begitu mendengar kata “sayatan” atau “darah”. Ada yang membayangkan rasa sakit, ada pula yang takut karena trauma dengan jarum suntik. Bagi mereka, terapi bekam terdengar menyeramkan. Saya punya cerita berbeda, soal bekam ini dari cucu saya yang masih  sekolah TK. Saat liburan tiba, anak pertama saya yang tinggal di Tegal pulang ke rumah. Dia membawa serta tiga anaknya yaitu Zaskia, Hamzah, dan Emira.  Anak kedua saya, yang kini tinggal di Salatiga saya  anjurkan pulang ke Cepu. Momen kumpul begini cukup jarang terjadi dan sangat kami syukuri. Seperti biasa, rumah kami menjadi ramai dan penuh tawa anak-anak. Mereka berlarian ke sana kemari, tertawa, bermain, dan membuat rumah kami kembali hidup.

Suatu sore, anak saya, sang umi dari ketiga cucu itu, meminta untuk dibekam karena tubuhnya terasa pegal. Seorang terapis wanita adalah anak saya nomor tiga bernama Faiz. Dia membuka praktik dirumah sehingga memiliki perlengkapan bekamnya. Ia mengeluarkan alat vakum, jarum steril, kapas, alkohol, dan minyak gosok.

Saya ingat betul, saat itu Hamzah, cucu saya yang tengah duduk di TK A, awalnya hanya duduk memperhatikan uminya. Ia tampak penasaran dan matanya membelalak melihat alat-alat bekam. Saya sempat khawatir dia akan takut atau menangis melihat proses bekam yang mengeluarkan darah. Tapi ternyata saya salah besar.

Alih-alih takut, Hamzah malah mendekat dengan semangat. Dia bertanya, “Timmi, itu kenapa umi disedot kayak gitu? Kok ada darahnya? Kayak seru ya, boleh Hamzah coba?” Kami semua tertawa. Saya menatap Hamzah sambil berkata lembut, “Ini namanya bekam, sayang. Ini pengobatan yang dianjurkan Nabi. Tapi biasanya untuk orang dewasa. Hamzah kan masih kecil.”

Anak sekecil Hamzah bisa jadi sangat gigih bila sudah menginginkan sesuatu. Ia mulai merengek, lalu memohon dengan suara manja. “Timmi, Hamzah pengen banget. Masa Umi boleh, Hamzah nggak boleh. Hamzah nggak takut darah, kok!”

Melihat kesungguhan cucu saya, akhirnya sang terapis (Faiz) menjelaskan dengan hati-hati bahwa bekam untuk anak kecil sebenarnya bisa dilakukan, tapi tentu dengan penanganan khusus dan hanya di titik-titik tertentu yang ringan. Dengan persetujuan uminya dan kami semua, serta memakai alat khusus untuk anak-anak, Hamzah pun dibekam yang jenis kering.

Hamzah tidak menangis sama sekali. Ia malah tersenyum puas. Setelah proses selesai, ia bangkit sambil berkata penuh kemenangan, “Wah, enak ya, kayak digigit semut tapi bikin badan adem!” Kami semua terpingkal-pingkal. Anak sekecil itu bisa merasa "ketagihan" bekam. Dan benar saja, keesokan harinya, ia kembali bertanya, “Timmi, kapan Hamzah dibekam lagi?”

Sejak saat itu, setiap kali melihat ada anggota keluarga yang dibekam, Hamzah langsung muncul dan ikut antre. Ia menganggap bekam itu seperti permainan. Bahkan ia pernah bercerita di sekolah bahwa bekam itu seperti “sedotan super yang bisa bikin tubuh jadi superhero.”

Bagi saya pribadi, pengalaman ini memberi pelajaran penting. Kadang kita sebagai orang dewasa terlalu cepat menanamkan rasa takut kepada anak-anak yaitu takut jarum, takut darah, takut sakit. Hamzah, dengan rasa penasaran dan keberaniannya yang polos, malah menunjukkan bahwa keberanian bisa muncul bila rasa ingin tahu didampingi dengan pengertian.

Setiap liburan, jika kami berkumpul dan ada sesi bekam, Hamzah akan jadi yang paling dulu bersorak. “Ayo dibekam, biar sehat seperti Nabi!” Ah, cucuku yang satu ini memang unik. Di usianya yang masih dini, dia sudah mengenal salah satu terapi sunnah. Siapa sangka, di balik tubuh kecilnya, tersimpan semangat besar untuk menjaga kesehatan ala Rasulullah.

Semoga keberaniannya terus tumbuh dan menjadi anak yang sehat jasmani rohani, penuh cinta kepada sunah Nabi meski dimulai dari sesuatu yang sederhana yaitu bekam.
Cepu, 1 Juli 2025 

Rumah Impian Hamzah.

 


Karya: Gutamining Saida

Mentari mulai merunduk di ufuk barat. Cahaya jingga yang lembut masuk ke dalam rumah lewat celah jendela ruang keluarga. Lantai masih dipenuhi jejak-jejak kertas, sisa permainan belajar berhitung yang seru di pagi hari bersama Timmi. Di pojok ruangan, tertata rapi beberapa stik es krim dan  tutup botol plastik. Semua itu adalah karya Zaskia siangnya tadi.

Zaskia memang senang membuat kerajinan. Siang tadi, dia berhasil membuat bentuk rumah mungil dari stik es krim dan menambahkan tutup botol sebagai pintunya. Beberapa tutup botol lainnya ia tempel sebagai hiasan jendela. Setelah jadi, ia memamerkan kepada saya dengan bangga. Saya tentu memujinya sambil mencium pipi dan mengabadikan karyanya.

Setelah puas bermain dan berkarya, Zaskia beristirahat di kamar. Sementara itu, Hamzah yang sedari tadi mengamati karya kakaknya dalam diam, tiba-tiba bergerak perlahan mendekati bahan-bahan yang masih berserakan di lantai.

Hamzah jongkok pelan-pelan, mengambil satu, lalu dua, tiga stik e krim dan mulai menatanya. Tangannya kecil tapi cukup lincah untuk menyusun potongan-potongan sederhana. Sorot matanya penuh rasa ingin tahu, seolah mencoba memahami bagaimana kakaknya tadi membentuk rumah kecil itu.

Lalu ia memanggil saya dengan suara khasnya yang lembut namun mantap, “Tiimmmi… Hamzah mau buat seperti kakak, boleh?”

Saya tersenyum lebar dan langsung menjawab, “Boleh banget, sayang. Silakan.”

Hamzah tampak senang sekali. Ia duduk bersila di lantai, memandangi bahan-bahan di hadapannya. Beberapa stik ia susun menjadi bentuk persegi, lalu menambahkan bagian atas seperti segitiga, tanda atap rumah. Tutup botol ia ambil dan ditaruh di bawah, lalu ia mengambil dua tutup botol dirangkai dengan stik ditaruh di bawah rumah. Dibentuklah seperti orang pemilik rumah.

“Ini orangnya, Timm, di depan rumah,” katanya sambil tersenyum.

Sesekali matanya melirik ke arah saya, seolah meminta dukungan diam-diam. Saya hanya membalasnya dengan senyuman lembut dan anggukan, membiarkannya bereksplorasi dengan imajinasinya sendiri.

Hamzah melanjutkan dengan serius. Ia menempelkan tutup botol di sisi kiri dan kanan rumah sebagai jendela. Lalu ia meletakkan stik dan tutup botol di depan rumah. Ia menyebut orang itu sebagai abah dan umi, meskipun hanya berupa bulatan dan garis-garis untuk tangan dan kaki.

Sekitar dua puluh menit kemudian, ia berdiri dan menghampiri saya dengan karyanya yang sudah selesai ia menunjuk karya yang ada di lantai.

“Nih, Timm, sudah! Ini rumah... dan ini orangnya,” ujarnya sambil menunjuk setiap bagian dengan bangga.

Saya tersenyum haru. Meski sederhana, karya itu adalah hasil dari hati dan imajinasi seorang anak kecil yang tulus. Karya itu bukan hanya tentang stik dan tutup botol, tapi tentang niat belajar dan meniru sesuatu yang ia kagumi.

“Sungguh bagus, Hamzah hebat,” puji saya sambil mengelus rambutnya.

Wajah Hamzah bersinar bahagia. Ia duduk di samping saya dan memandangi hasil karyanya lagi. Sesekali ia menunjuk-nunjuk bagian yang ia buat, menjelaskan apa maksudnya dengan bahasa polos dan penuh semangat. Saya biarkan ia bercerita, sambil mendengarkan dengan hati yang penuh syukur.

Dalam hati saya merasa sangat terharu. Anak kecil itu yang pagi tadi masih bingung menghitung angka- angka kini dengan percaya diri menunjukkan rumah kecil kreasinya. Rasa takutnya berganti dengan rasa percaya diri. Keraguan berubah menjadi kreativitas.

Saya pun diam-diam mengangkat kedua tangan ke atas. Saya menutup mata dan berdoa dalam hati, “Ya Allah, terima kasih atas nikmat yang Engkau titipkan lewat cucu-cucuku. Ya Rabb, mudahkanlah jalan mereka. Bimbing mereka untuk tumbuh menjadi anak yang kreatif, cerdas, dan tetap rendah hati. Lapangkan hati mereka untuk menuntut ilmu dan tuntunlah langkah mereka dalam mencapai ridho-Mu…”

Sore itu menjadi salah satu sore yang indah. Bukan karena langit cerah, atau udara sejuk, tetapi karena ada kebahagiaan sederhana yang datang dari kebersamaan dan proses tumbuhnya seorang anak. Saya tahu, kelak rumah dari stik itu akan rusak, atau mungkin hilang terbuang. Tapi momen ini, semangat Hamzah, dan doa saya akan abadi di dalam hati.

Saya ambil handphone dan mengabadikan karya Hamzah. Saya ingin mereka tahu, betapa berharga setiap usaha mereka, sekecil apa pun. Saya ingin mereka selalu percaya bahwa belajar itu menyenangkan, dan rumah ini akan selalu menjadi tempat yang menyemangati mereka untuk mencoba lagi dan lagi. Semoga bermanfaat dan menjadi inspirasi pembaca saya. Aamiin

Cepu, 29 Juni 2025


Jejak Anak-anak Saya

Karya : Gutamining Saida 
Saya adalah seorang ibu dari tiga anak yaitu Bilta, Abid, dan Faiz. Satu lelaki di tengah-tengah dua putri. Dalam benak, setiap nama mereka adalah doa yang saya tanam sejak mereka lahir ke dunia. Mereka tumbuh dengan karakter dan jalan hidup masing-masing. Dalam satu keluarga, satu cinta yang tak pernah berubah yaitu cinta seorang ibu.

Anak pertama saya , Bilta, adalah perempuan yang kini telah menjadi ibu dari tiga anak yaitu Zaskia, Hamzah, dan Emira. Mereka tinggal di kota Tegal, menjalani hari-hari dalam perannya sebagai ibu rumah tangga. Setiap kali saya mengingat Bilta, kenangan masa kecilnya seperti film yang diputar ulang di benak saya. Ketekunannya, kepandaiannya membantu di rumah, dan kelembutannya masih terasa hingga kini ia menjadi ibu bagi anak-anaknya.

Menariknya, jarak antara anak pertama dan kedua saya sama seperti jarak antara Zaskia dan Hamzah, cucu-cucu saya. Seperti pengulangan waktu, Tuhan mengatur ritmenya dengan indah. Saya melihat cermin masa lalu dalam kehidupan mereka sekarang. Seolah saya diingatkan kembali akan masa-masa mendidik dan membersamai anak-anak saya, namun kali ini dalam wujud cucu-cucu yang menggemaskan.

Abid, anak kedua dan satu-satunya putra dalam keluarga, memiliki jalan hidup yang berbeda. Sejak lulus dari Madrasah Ibtidaiyah, dia sudah melanglang buana. Belajar dan mencari pengalaman dari kota ke kota. Dari Gresik ke Kudus, lalu ke Semarang, Bali, hingga ke Salatiga. Ia seperti burung petualang yang tidak bisa diam di satu dahan terlalu lama. Sering kali saya tak tahu pasti di mana ia sekarang.  Saya  percaya, anak saya sedang mengejar cita-cita, menimba ilmu, dan mengasah kemampuannya untuk masa depan.

Tak jarang saya mendengar kabar darinya melalui pesan singkat atau telepon cepat. Hanya sekadar menyampaikan bahwa dia baik-baik saja, sedang sibuk ini dan itu. Kadang saya tersenyum sendiri, membayangkan betapa sibuk dan dinamis hidupnya, lalu saya berdoa dalam hati, “Ya Allah, jagalah dik Abid di setiap perjalanannya. Jadikan langkah-langkahnya berkah, dan tunjukkan dia jalan yang terbaik.”

Faiz, si bungsu, adalah anak perempuan saya yang kini tinggal satu rumah di Cepu. Dia memilih untuk membuka usaha terapi di rumah. Sejak awal saya mengarahkan tetap berada di rumah. Ada keinginan dalam hati saya untuk memiliki seorang anak yang tetap dekat, yang bisa menemani saya di masa tua. Tidak banyak permintaan saya sebagai seorang ibu, hanya ingin ditemani, disapa setiap hari, dan bisa melihat wajah anak ketika pagi dan malam menjelang. Faiz memenuhi keinginan saya dengan tinggal bersama. 

Dia membuka usaha kecil-kecilan yang lambat laun mulai dikenal banyak orang. Sekarang sudah memiliki banyak pasien. Kadang saya membantunya sebisa mungkin, atau sekadar menemani saat dia lelah. Meski sibuk, Faiz tetap menyempatkan diri menyiapkan kebutuhan, bercerita tentang pelanggan, dan kadang terapi saya saat kelelahan. Ia adalah penyejuk di usia saya yang tak lagi muda.

Ketiga anak-anak saya Bilta, Abid, dan Faiz sekarang sudah menjalani hidup masing-masing. Mereka bukan lagi anak kecil yang merengek atau berlarian di halaman. Mereka sudah dewasa. Sudah menjalani kehidupan dengan cara mereka. Di dalam doa saya, mereka tetap anak-anak kecil yang saya jaga dan saya peluk dalam setiap sujud saya.

Waktu dan jarak membuat mereka jarang berkumpul. Rumah kami yang biasanya sunyi mendadak riuh oleh tawa anak-anak, cucu-cucu, percakapan antar saudara, dan hidangan yang disantap bersama. Kesibukan masing-masing membawa mereka kembali ke kota dan kehidupan mereka. Tapi saya selalu menanti, mungkin di lain waktu, kami akan kembali duduk bersama.

Dalam hati, saya berdoa, “Ya Allah, bahagiakanlah anak-anak saya. Jadikan mereka anak-anak yang sholeh dan sholehah, yang berbakti kepada orang tua, dan senantiasa menyembah kepadaMu. Jadikan mereka cahaya bagi sekelilingnya, manfaat bagi lingkungannya.”

Saya tahu, tugas saya sebagai ibu belum selesai, meski mereka sudah tumbuh dewasa. Doa saya tidak akan pernah berhenti. Setiap detik, setiap tarikan napas, adalah bentuk cinta dan pengharapan untuk mereka.

Jika suatu hari nanti saya tidak lagi bisa menemani, saya ingin mereka tetap mengingat bahwa saya mencintai mereka dalam diam, dalam doa, dan dalam setiap kenangan yang pernah kita bagi. Karena bagi seorang ibu, anak-anak adalah dunia yang tak tergantikan, bagian dari jiwa yang akan selalu melekat di hati, di doa, dan di akhir hayat.
Cepu, 30 Juni 2025 



Bermain Dakon Bersama Zaskia

Karya: Gutamining Saida 
Liburan sekolah Zaskia kali ini terasa lebih istimewa. Dia memilih menghabiskan waktu di Cepu, bersama saya, neneknya. Sejak tiba di rumah, saya sudah menyusun rencana kecil-kecilan untuk mengenalkan berbagai permainan tradisional yang dulu begitu akrab saat masa kecil saya. Salah satunya dakon adalah permainan sederhana yang penuh strategi dan hitung-hitungan.

Zaskia, cucu pertama saya, saat ini duduk di kelas satu SD. Usianya tujuh tahun, namun rasa ingin tahunya sangat besar. Saya yakin, permainan dakon bisa menjadi jembatan antara kebahagiaan masa kecil saya dan dunia masa kini yang serba digital. Saya ingin memperkenalkan bahwa bermain tak selalu harus dengan gawai atau menonton layar. Ada cara-cara sederhana yang bisa memunculkan tawa, tantangan, dan rasa senang yang tulus.

Saya mengeluarkan papan dakon yang sudah saya siapkan. Benda itu kini terbuat dari plastik, berwarna-warni menarik. Berbeda dengan masa kecil saya dulu. Waktu kecil, kami tidak punya papan dakon yang mewah. Kami menggali tanah membentuk dua baris lubang yang masing-masing berjumlah tujuh. Biji-biji asam, kerikil kecil, atau biji sawo kami kumpulkan sebagai pengganti biji dakon. Sederhana, tapi penuh kenangan.

Zaskia memandang papan dakon itu dengan mata berbinar.

“Ini apa, Timmi?” tanyanya sambil mengelus bagian atas papan.

“Namanya dakon, kakak. Ini permainan yang timmi dulu sering mainkan waktu kecil.”

Zaskia mendekat. “Caranya gimana?”

Saya mulai menjelaskan aturan dasar. Setiap lubang diisi tujuh biji, kecuali tempat penyimpanan di kedua ujung papan. Saya mengambil giliran pertama untuk menunjukkan cara memindahkan biji satu per satu, berputar ke arah kanan. Setiap biji yang dijatuhkan ke lubang harus dilakukan dengan hati-hati, hingga giliran berakhir ketika biji terakhir masuk ke lubang kosong di area sendiri. Jika berhasil, biji lawan di lubang seberangnya bisa “diserbu” dan dipindahkan ke tempat penyimpanan kita.

Saya ulangi gerakan itu dua kali. Zaskia mengangguk-angguk, mencoba memahami. Saya tahu, baginya ini tantangan baru, berbeda dari permainan-permainan yang biasa ia mainkan di rumah.

Kami mulai bermain. Awalnya saya membiarkannya mencoba dulu tanpa lawan. Saya dampingi dengan sabar, memperhatikan bagaimana ia menghitung biji dengan teliti. Kadang dia bingung, kadang menghitung terbalik. Tapi saya tidak menyela. Membiarkan dia belajar dari kesalahan kecilnya.

“Ini masukin satu-satu ya, Timmi?”

“Iya, kakak Zaskia. Satu biji untuk satu lubang. Kalau sudah habis, terusin dari lubang terakhir yang kamu isi.”

Beberapa kali Zaskia kebingungan, lalu tertawa sendiri. Tapi wajahnya tetap semangat. Saya tahu, dia tertantang. Matanya berkonsentrasi penuh, tangannya telaten memindah biji demi biji.

Setelah beberapa kali mencoba, saya ajak dia bermain sungguhan melawan saya. Kali ini, kami berhadapan. Dia duduk bersila di seberang saya, siap dengan tangan kecilnya.

“Siap kalah ya?” saya menggoda.

“Siap menang dong!” jawabnya mantap.

Permainan dimulai. Beberapa ronde pertama saya mainkan dengan santai, memberi ruang agar dia bisa mengamati pola permainan saya. Namun, semakin lama, Zaskia mulai menunjukkan strategi sendiri. Dia memilih lubang dengan biji paling banyak, menghitung langkah ke depan, dan mulai menantikan saat bijinya jatuh di lubang kosong di wilayahnya.

Sampai akhirnya, di ronde ketiga, dia berhasil menang. Jumlah bijinya lebih banyak daripada saya. Ketika saya mengumumkan kemenangannya, Zaskia langsung melompat kecil, berteriak senang.

“Yaaaay! Aku menang! Timmi kalah!” serunya sambil tertawa riang.

Saya tertawa ikut senang. Melihat cucu saya bisa menikmati permainan tradisional seperti dakon adalah kebahagiaan tersendiri. Dalam sorak kemenangannya, saya melihat semangat belajar, ketelitian berhitung, serta rasa percaya diri yang tumbuh. Tidak hanya bermain, Zaskia telah belajar banyak hal dari permainan ini menghitung dengan cermat, bersaing dengan sportif, dan tentu saja, sabar menunggu giliran.

Setelah menang, ia tidak langsung berhenti. “Main lagi, Timmi!” pintanya.

Kami pun bermain kembali, kali ini lebih seru karena Zaskia sudah memahami strategi. Ia mulai mengecoh, mencoba menebak langkah saya, bahkan tertawa senang saat berhasil mengambil banyak biji dari lubang saya. Sore itu kami habiskan dengan bermain dakon. 

Saya senang bukan main. Melihat cucu saya terhibur tanpa perlu ponsel, tanpa perlu internet, hanya dengan papan dakon dan segenggam biji plastik. Warisan permainan tradisional ini ternyata masih mampu memunculkan tawa dan keceriaan.

Saya berharap, kelak Zaskia akan mengingat momen ini. Ketika dia sudah dewasa, semoga dia juga akan mengajarkan dakon kepada anak-anaknya. Karena permainan sederhana seperti ini bukan hanya hiburan, tapi juga sarana belajar, mempererat hubungan keluarga, dan mengenalkan warisan budaya yang tak ternilai. Semoga menginspirasi. 
Cepu, 30 Juni 2025

Minggu, 29 Juni 2025

Refresing Tipis-Tipis


Karya :Gutamining Saida 
Minggu pagi matahari belum sepenuhnya naik ketika suara-suara riang mulai terdengar dari dapur dan ruang tengah rumah kami. Suara cucu-cucu saling  bercanda, aroma serabi cantol  mengepul, dan tawa kecil dari anak-anak saya yang sedang menyiapkan sarapan. Minggu ini kami sepakat untuk tidak bermalas-malasan, juga tidak merencanakan liburan jauh-jauh keluar kota. Kami hanya ingin menikmati waktu bersama, merayakan kebersamaan yang tak selalu bisa kami dapatkan di hari-hari kerja yang sibuk.

“Yuk, hari ini kita refreshing tipis-tipis,” ucap saya sambil menyadarkan punggung di dinding ruang makan. “Semua ikut, ya. Tidak boleh ada yang tinggal di rumah."

Ajakan itu disambut antusias. Tak butuh waktu lama, kami semua sudah bersiap. Cucu- cucu mengenakan baju favorit mereka, pasangan saya menenteng tas kresek berisi air minum, tisu, dan perlengkapan sederhana lain. Kami memang tidak hendak pergi jauh, cukup di dalam kota saja. Tidak ingin ambil risiko macet atau lelah di perjalanan. Tujuan kami hari ini sederhana adalah keliling kota Cepu dan menciptakan momen kebersamaan yang hangat.

Kami menyusuri jalan utama kota Cepu . Dari jendela mobil, cucu-cucu menunjuk gedung-gedung yang mereka kenali, bahkan ada yang memberi komentar lucu tentang baliho iklan yang baru. Kami melewati taman kota Cepu yang rindang, pasar plasa pagi yang masih ramai, dan deretan toko yang sebagian baru saja membuka pintu.

“Yuk, mampir sebentar ke taman seribu lampu. Jalan kaki sebentar,” kata anak laki-laki saya sambil menunjuk taman yang teduh.

Kami turun, berjalan santai menyusuri jalan setapak di taman. Ada yang berlari kecil, ada yang memungut bunga jatuh, dan ada yang sekadar duduk di bangku taman menikmati angin pagi. Tidak ada agenda khusus, tapi suasana ini terasa hangat. Saling berbicara tanpa tekanan, tertawa atas hal-hal remeh, dan menikmati detik demi detik bersama.

Setelah cukup puas berjalan-jalan, kami melanjutkan perjalanan menuju warung bakso favorit keluarga. Letaknya tidak terlalu jauh dari taman. Di sanalah kami biasa berkumpul saat ada perayaan kecil, atau hanya sekadar ingin menikmati semangkuk kehangatan dalam bentuk bakso.

Saat duduk bersama, semangkuk bakso panas mengepul di hadapan kami masing-masing dilengkapi minuman es jeruk, perasaan syukur menyelinap ke dalam hati. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat semua anggota keluarga duduk dalam satu meja, tertawa, saling menyuapi, dan bercakap dengan akrab. Setiap suapan terasa istimewa, bukan karena rasa baksonya saja, melainkan karena suasana yang mendampingi.

Setelah makan, kami memutuskan untuk singgah di sebuah tempat terbuka yang baru direnovasi menjadi area foto dan taman kota. Di sana, kami mengabadikan momen. Satu persatu berpose, mulai dari gaya formal, gaya lucu, hingga foto candid yang membuat kami tertawa terpingkal-pingkal saat melihat hasilnya.
Cucu - cucu berlari di antara tiang-tiang lampu taman yang artistik. Anak perempuan saya mengabadikan momen dengan ponselnya, sesekali mengarahkan sudut foto, memastikan semua wajah masuk dalam bingkai. Kami berfoto di depan loko kereta, di bawah patung kuda menjadi ikon kota Cepu , dan di depan air mancur kecil yang berkilauan terkena sinar matahari.

Waktu berlalu tanpa terasa. Tanpa rencana yang ribet, tanpa biaya besar, tanpa perjalanan panjang dan melelahkan, hari Minggu kami tetap terasa lengkap. Kebersamaan itu ternyata tidak membutuhkan kemewahan. Cukup ada waktu untuk berkumpul, kemauan untuk saling mendengarkan, dan hati yang saling menerima.

Saat matahari mulai condong ke barat, kami pun memutuskan pulang. Sepanjang perjalanan pulang, terdengar gumaman kecil dari anak-anak yang tertidur di kursi belakang, kelelahan karena bahagia. Di dalam hati, saya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa . Tidak perlu menunggu liburan panjang atau tiket wisata mahal untuk bisa bahagia. Cukup hari Minggu, cukup keliling kota, cukup satu meja makan sederhana, cukup tawa yang mengisi udara itu semua sudah lebih dari cukup.

Bahagia tidak harus mahal. Kepuasan batin yang kami rasakan hari itu adalah anugerah yang tak ternilai.  Saya yakin, cerita Minggu ini akan menjadi salah satu kenangan manis yang akan kami kenang bersama di masa depan.
Cepu, 30 Juni 2025 


Sore Penuh Tawa Dan Angka

Karya :Gutamining Saida 
Sore ini di ruang tamu saya ubah menjadi arena bermain. Angin bertiup lembut, membawa kesejukan setelah panas siang yang menyengat. Cahaya matahari yang mulai condong ke barat menciptakan bayangan panjang di tanah. Saya selesai menyusun satu media permainan berhitung untuk cucu-cucu saya. Dua cucu saya, Zaskia dan Hamzah, sudah sejak siang terlihat tak sabar ingin bermain.

Saya memang sudah menyiapkan media sederhana,  penuh manfaat. Di lantai ruang tamu, saya menempelkan kertas-kertas besar bertuliskan soal penjumlahan: 2+3, 4+2, 4+5, dan sebagainya. Di sisi lain, saya siapkan dua angka pilihan untuk setiap soal satu jawaban benar, satu lagi pengecoh. Misalnya, untuk soal 2+3, pilihan angkanya adalah 5 dan 6. Soal 4+2,pilihsn angkanya adalah 6 dan 7 dan seterusnya. 

Permainan dimulai dengan  berdiri di dekat soal. Mereka membaca soal, menghitung, lalu berjalan menuju angka hasil penjumlahan yang menurut mereka benar. Kalau jawabannya betul, mereka boleh lanjut ke soal berikutnya. Kalau salah, harus kembali ke awal.

Zaskia, cucu pertama saya yang kini sudah duduk di kelas satu SD, tentu lebih percaya diri. Ia sudah bisa menghitung tanpa bantuan jari. “Timmi, ini gampang! 2 tambah 3 itu lima, aku pasti bisa!” katanya penuh semangat.

Zaskia berjalan mantap ke angka lima, dan saya tersenyum senang. “Betul, Kak! Lanjut ya…”

Giliran berikutnya, Hamzah. Bocah lelaki yang kini masih duduk di TK A itu maju perlahan. Ia tampak semangat, namun juga sedikit tegang. Saya tahu, bagi anak seusia Hamzah, menghitung masih bergantung pada jari jemari mungilnya.

“Dua tambah tiga,” ucapnya pelan sambil menunduk. Tangannya mulai bergerak. Satu jari... dua... lalu tambah tiga lagi.

“Hayoo, jangan salah ya, Hamzah!” tiba-tiba terdengar suara menggoda dari belakang.

Itu suara Om Abid, adik dari orang tua Hamzah (uminya Hamzah) yang ikut menonton bersama Amah Faiz, Umi Bilta, Timmi, dan Ayut Tatik. Mereka semua duduk di kursi di sisi tempat permainan, mereka menjadi penonton dadakan permainan berhitung sore itu.

“Kalau salah, nanti tak suruh pulang ke Tegal!” celetuk Om Abid lagi sambil tertawa.

Wajah Hamzah langsung berubah. Ia berhenti menghitung, matanya menatap sekitar, lalu menunduk lagi. Tangannya ragu-ragu mengangkat jari, lalu menurunkannya. “Aku… aku nggak mau pulang ke Tegal…” gumamnya sambil tetap memandangi soal.

“Liburanku masih panjang…” lanjutnya lirih, membuat semua yang menonton tertawa geli, bukan mengejek, tapi karena ekspresi polos dan jujur dari Hamzah.

Saya segera mendekat, menenangkan Hamzah. “Nggak apa-apa. Santai saja. Hitung pelan-pelan. Nggak ada yang marah kalau salah. Yang penting kamu mencoba.”

Zaskia pun ikut menyemangati, “Ayo, dik! Pakai jarimu aja. Tadi aku juga sempat ragu, tapi ternyata bisa.”

Hamzah menarik napas panjang, lalu mulai lagi menghitung. “Dua,” katanya sambil mengangkat dua jari, “tambah tiga…” ia menambah tiga jari lagi. “Satu, dua, tiga, empat, lima!” serunya sambil menunjuk angka lima di depan.

Ia melangkah ke angka lima. Saya tersenyum lega. “Betul, Hamzah! Pinter! Lanjut, ya.”

Semua penonton memberi tepuk tangan. Hamzah tertawa lepas, merasa percaya diri kembali. “Aku nggak jadi pulang ke Tegal!” katanya sambil berlari ke soal berikutnya.

Permainan berlangsung seru. Meski media yang saya buat sederhana, namun suasananya penuh semangat dan keceriaan. Zaskia dan Hamzah bergantian menyelesaikan soal. Kadang mereka saling bantu, kadang saling menggoda. Tapi yang paling penting, mereka belajar bukan hanya berhitung, tapi juga belajar percaya diri, sabar, dan menyelesaikan masalah dengan tenang.

Setiap kali satu soal diselesaikan, mereka akan menoleh ke arah saya atau orang-orang yang menonton, seolah ingin memastikan bahwa usahanya dihargai.

“Aku sekarang bisa semua soal, Timmi!” kata Zaskia bangga.

“Aku udah nggak takut salah,” sambung Hamzah.

Saya memeluk mereka berdua. “Timmi bangga. Kalian bukan cuma belajar angka, tapi juga belajar berani dan jujur. Hebat!”

Senja mulai merambat turun. Cahaya oranye lembut membalut wajah-wajah ceria itu. Permainan ditutup dengan foto bersama di dekat media berhitung. Semua tampak bahagia. Saya, sebagai nenek, merasa sangat bersyukur.

Betapa luar biasanya nikmat sore ini. Satu waktu sederhana, satu permainan kecil, tapi memberi arti besar. Bukan hanya membuat cucu-cucu senang, tapi juga menanamkan cinta belajar sejak dini.

“Lain kali,” bisik saya dalam hati, “saya akan siapkan permainan baru. Agar cucu-cucu saya selalu belajar sambil bahagia.” Semoga menginspirasi dan bermanfaat. 
Cepu, 29 Juni 2025 

Nikmat Sempat dan Nikmat Berkumpul




Karya : Gutamining Saida 
Di antara segala kesibukan dan jarak yang membentang, ada satu hal yang tak pernah berubah yaitu kerinduan untuk berkumpul. Saya sudah lama menyimpan harapan itu untuk duduk lesehan di lantai bersama anak-anak dan cucu, bukan hanya sekadar lepas rindu, tapi benar-benar menikmati kebersamaan yang utuh, tanpa tergesa, tanpa panggilan pekerjaan, tanpa keharusan kembali tergesa-gesa.

Kali ini harapan kecil saya menjadi nyata. Anak, menantu dan cucu dari Tegal sudah berusaha mengambil cuti, meski pekerjaan sedang padat. Anak laki-laki yang tinggal di Salatiga pun mengurus izin pulang lebih awal. Rumah yang biasanya sunyi di malam hari, kini berubah menjadi ruang hangat penuh tawa.

Sejak pagi saya sudah sibuk mempersiapkan. Dapur terasa hidup kembali. Bunyi irisan bawang, denting sendok di panci, dan aroma bumbu tumis memenuhi udara. Saya ingin malam ini istimewa. Bukan dari kemewahan hidangan, tapi dari kehangatan yang tersaji di atas daun pisang seujung yang sederhana.

Menu makan malam saya pilihkan dengan rasa hati yaitu telur bumbu bali yang gurih pedas, tempe yang dimasak sayur momoh hidangan favorit yang sering kami nikmati dulu saat anak-anak masih kecil, mie goreng sederhana yang dicampur potongan wortel  sayur, dan tentu saja ikan bakar . Semua saya tata dengan anak perempuan yang ketiga. Lelah memang, tapi rasa bahagia membuat tubuh ini kuat.

Menjelang malam, lantai di ruang tamu sudah diberi alas plastik di atasnya diberi daun pisang memanjang dari arah timur menuju barat. Wajah-wajah yang saya rindukan duduk bersisian. Anak saya membantu menyiapkan minuman di gelas menantu saya sibuk membantu juga. Cucu-cucu berlarian kecil sambil sesekali mengambil mie goreng.

“Mie goreng buatan Timmi ini memang nggak ada lawan!” seru cucu saya yang paling besar, sambil menyendok mie hangat.

“Telur balinya juga… kayak waktu kecil, Miii,” ucap anak saya sambil tersenyum. Matanya tampak berkaca-kaca. Mungkin karena rasa yang memanggil kenangan.

Saya hanya tersenyum. “Nggak ada yang berubah dari resepnya, cuma yang masak sudah lebih pelan sekarang,” seloroh saya, membuat mereka tertawa kecil.

Satu per satu daun pisang tiada sisa makanan, tapi cerita tak pernah habis. Kami bercerita tentang hari-hari yang lewat, pekerjaan, sekolah anak-anak, dan impian masa depan. Ada yang serius, ada yang lucu, dan kadang diselingi candaan khas keluarga.

Cucu saya yang paling besar, Zaskia tiba-tiba berkata dengan polos, “Kalau udah gede nanti, aku mau bikin rumah deket rumah Timmi biar bisa makan kayak gini tiap malam.”

Ucapan polos itu disambut gelak tawa dan tepuk tangan kecil. Tapi di dalam hati saya, kata-kata itu terasa seperti pelukan hangat.

Malam semakin larut. Setelah makan, kami duduk lesehan di ruang tengah. Ada yang duduk bersandar di dinding, ada yang merebahkan diri di karpet sambil memeluk anak-anak mereka. Saya memandangi mereka satu per satu. Di tengah rasa lelah setelah menyiapkan semuanya, hati saya terisi penuh oleh rasa syukur.

“Terima kasih, ya,” kata saya pelan, tapi cukup terdengar oleh semua.

Anak saya yang sulung menoleh, “Kenapa, Miii?”

“Terima kasih karena kalian semua meluangkan waktu untuk pulang ke Cepu . Saya  tahu nggak mudah ambil cuti, ijin pulang, ninggalin kerjaan. Tapi kalian tetap datang. Nikmat bisa berkumpul seperti ini… nggak bisa dibeli,” jawab saya.

Suasana seketika hening. Lalu terdengar suara pelan, “Kami yang terima kasih, Miii. Sudah masak, nyiapkan semuanya. Ini malam paling hangat selama tahun ini.”

Saya tersenyum sambil mengusap mata. Tak terasa, air mata menetes.

Malam itu adalah malam yang tak akan saya lupakan. Malam saat waktu berhenti sejenak, dan dunia terasa sangat kecil cukup diisi oleh keluarga, tawa, dan cerita. Sebuah malam yang tak mewah, tapi sangat mahal. Kebersamaan yang mengalahkan kepentingan pribadi. Perjumpaan yang lahir dari keinginan untuk saling menyapa bukan lewat layar, tapi lewat pelukan dan sentuhan tangan.

Di dalam hati, saya mulai menyusun rencana. “Lain kali, harus ada agenda khusus. Bukan tunggu libur panjang. Tapi dibuat waktu untuk berkumpul. Bukan karena momen, tapi karena memang ingin bersama.”

Nikmat sempat, nikmat berkumpul. Dua hal yang sering dilupakan, tapi malam itu, saya rasakan utuh keduanya.

Dan ketika malam benar-benar larut, dan anak-anak mulai masuk kamar, cucu-cucu tertidur di pelukan orang tuanya, saya duduk sendiri di teras. Menatap langit yang bersih. Hati saya penuh doa yaitu semoga ini bukan yang pertama, bukan yang terakhir. Semoga rumah ini, terus menjadi tempat mereka pulang.
Cepu, 29 Juni 2025