Kami berdua silaturahmi ke rumah Bu Nikmah. Niat yang sangat sederhana, namun kami yakin selalu mengandung keberkahan. Silaturahmi bukan sekadar kunjungan, melainkan jembatan kebaikan yang sering kali membuka pintu rezeki dan ketenangan. Rumah Bu Nikmah berada di wilayah Gagakan, Sambong, sebuah daerah yang masih terasa tenang dan bersahaja. Sepanjang perjalanan, hati kami terasa ringan, seolah sudah disiapkan untuk menerima pelajaran kehidupan yang baru.
Saya berangkat bersama Bu Isna. Bu Isna seorang guru senior mata pelajaran matematika. Beliau dikenal teliti, dan selalu mampu mengaitkan berbagai peristiwa dengan angka dan logika. Bahkan dalam percakapan santai sekalipun, matematika sering hadir sebagai bahasa kehidupan. Justru di situlah letak keindahannya. Angka-angka yang sering dianggap kaku, di tangan Bu Isna berubah menjadi jembatan makna.
Sesampainya di rumah Bu Nikmah, kami berbincang ringan, saling bertukar cerita dan menikmati waktu tanpa terburu-buru. Di halaman rumah, tumbuh beberapa tanaman yang terawat seperti cabe, pohon daun salam, pohon jeruk purut dan masih banyak daun-daun hijau segar.
Saat kami memetik daun jeruk. Aktivitas kecil yang menghadirkan ketenangan. Tangan menyentuh daun, aroma segar menguar, dan hati terasa damai. Tiba-tiba Bu Isna mengangkat setangkai daun jeruk dan berkomentar singkat, “Daun jeruk ini seperti angka delapan.”
Komentar itu membuat saya tersenyum. Sebuah kalimat sederhana, khas seorang guru matematika. Belum sempat saya menanggapi, Bu Nikmah menjawab dengan mantap, “Betul-betul.” Jawaban singkat itu seolah menjadi penegasan, bahwa apa yang terlihat oleh mata manusia bisa menjadi pintu perenungan yang lebih dalam.
Percakapan pun berlanjut. Bu Isna kembali berkata dengan nada tenang, “Angka delapan menurut kita tidak sama dengan matematika Allah.” Kalimat itu membuat suasana seketika hening. Bukan hening yang canggung, melainkan hening yang penuh makna. Saya merasa seperti diajak berhenti sejenak, menundukkan hati, dan merenung.
Bu Nikmah mengangguk pelan. “Pengetahuan manusia itu terbatas,” ujarnya lirih. “Apa yang kita pahami hanyalah sebagian kecil dari kebesaran ilmu Allah.” Kalimat itu terasa menyejukkan. Angka delapan, yang dalam pelajaran matematika hanyalah bilangan, kini berubah menjadi simbol kebesaran Tuhan. Dalam pandangan manusia, angka delapan bisa dihitung, dibandingkan, dan diolah. Namun dalam matematika Allah, segala sesuatu tidak sekadar berhenti pada angka. Ada hikmah, ada ketentuan, ada rahasia yang melampaui logika manusia.
Saya memandangi kembali daun jeruk itu. Bentuknya memang menyerupai angka delapan. Jika angka delapan dimiringkan, ia menjadi simbol tak hingga. Seolah Allah ingin mengingatkan, bahwa kasih sayang-Nya tidak berbatas. Rezeki-Nya tidak terputus. Ilmu Allah tidak pernah habis untuk dipelajari.
Di halaman sederhana itu, saya menyadari satu hal penting yaitu sering kali Allah mengajarkan kebesaran-Nya melalui hal-hal kecil. Melalui daun jeruk, melalui obrolan santai, melalui silaturahmi yang tulus. Tidak perlu peristiwa besar untuk menyadarkan manusia akan keterbatasannya.
Bu Isna dengan sudut pandang matematikanya mengajarkan bahwa hidup pun memiliki hitungan. Hitungan manusia sering kali terbatas pada apa yang terlihat. Kita menghitung usaha, hasil, dan keuntungan. Sementara Allah menghitung niat, keikhlasan, dan kesabaran. Kita sibuk menakar apa yang kita dapat hari ini, sementara Allah menyiapkan balasan yang mungkin baru terasa esok atau bahkan di akhirat kelak.
Waktu berlalu tanpa terasa. Kami bertiga menikmati kebersamaan itu hingga akhirnya bersiap pulang bersama. Langkah kami seiring, hati kami pun terasa selaras. Banyak oleh-oleh yang kami bawa dari rumah bu Nikmah. Lebih-lebih bekal batin yang sangat berharga. Sebuah kesadaran bahwa manusia hanyalah makhluk dengan pengetahuan terbatas, sedangkan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Perjalanan pulang terasa berbeda. Angka delapan masih terbayang di benak saya. Ia bukan lagi sekadar bilangan, melainkan pengingat. Pengingat agar tidak sombong dengan ilmu yang dimiliki. Pengingat agar selalu membuka hati untuk belajar dari siapa pun dan dari apa pun. Pengingat bahwa dalam setiap peristiwa, selalu ada matematika Allah yang bekerja dengan cara-Nya sendiri.
Silaturahmi bukan hanya memperpanjang hubungan antar manusia, tetapi juga memperdalam hubungan dengan Sang Pencipta. Melalui daun jeruk dan angka delapan, Allah mengajarkan kami tentang keterbatasan manusia dan keluasan ilmu-Nya. Sebuah pelajaran iman yang sederhana, namun membekas lama di hati. Barokallah bu Nikmah dan bu Isna. Sampai jumpa di cerita selanjutnya.
Cepu, 14 Desember 2025






