Selasa, 23 Desember 2025

Rumah Impian Hamzah

Karya : Gutamining Saida 

Si cowok ganteng bernama Hamzah duduk bersila di lantai ruang tamu. Di hadapannya berserakan stik es krim. Sejak pagi, Hamzah sudah tampak sibuk dengan dunianya sendiri. Tangannya cekatan menyusun satu per satu stik es krim, sementara matanya berbinar penuh imajinasi. Rumah yang ia buat bukan rumah biasa.

Menurut Hamzah, ini adalah rumah impiannya, rumah lantai dua, lengkap dengan pemiliknya.
Sebelum memulai, Hamzah sempat berhenti sejenak. Ia menengadah, lalu mengucapkan basmalah dengan suara lirih. Kebiasaan kecil yang selalu ia lakukan setiap kali hendak memulai sesuatu. Ia pernah diajari bahwa setiap pekerjaan yang diawali dengan menyebut nama Allah akan membawa keberkahan. Meski masih kecil, Hamzah berusaha mengamalkan apa yang ia dengar dari orang-orang dewasa di sekitarnya.

Stik demi stik disusun membentuk rumah. Sesekali Hamzah mengernyitkan dahi ketika satu bagian tidak sesuai dengan bayangannya. Namun ia tidak menyerah. “Pelan-pelan, yang penting sabar,” gumamnya, seolah sedang menasihati diri sendiri. Dalam hatinya, ia teringat bahwa Allah Subhanahu Wata'alla menyukai hamba-Nya yang bersabar dan bersungguh-sungguh dalam berusaha.

Menurut Hamzah, rumah itu harus bertingkat dua. Lantai bawah digunakan untuk berkumpul bersama keluarga, tempat makan, tempat salat berjamaah, dan tempat bercengkerama. Sementara lantai dua adalah tempat istirahat dan ruang khusus untuk berdoa. Ia pernah mendengar bahwa sebaik-baik rumah adalah rumah yang di dalamnya sering disebut nama Allah. Maka dalam imajinasinya, rumah kecil dari stik es krim itu harus menjadi rumah yang penuh doa.

Setelah dinding lantai pertama selesai, Hamzah mulai membuat tangga kecil dari potongan stik yang lebih pendek. Tangga itu menurutnya penting. “Kalau mau naik ke atas, harus lewat tangga, nggak bisa loncat,” katanya polos. Ucapannya sederhana, tetapi sarat makna. Dalam kehidupan pun demikian. Untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi, manusia harus melalui proses, tahap demi tahap, tidak bisa instan.

Hamzah kemudian membuat lantai dua dengan penuh kehati-hatian. Tangannya sedikit gemetar, tetapi ia terus mencoba. Namun setiap kali merasa kesal, ia menarik napas dan kembali mengingat pesan yang sering ia dengar, bahwa Allah Maha Melihat usaha hamba-Nya, sekecil apa pun itu. Maka Hamzah kembali tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.

Rumah itu tidak hanya berdiri kosong. Hamzah merasa perlu melengkapinya dengan pemilik rumah. Ia mengambil potongan kertas kecil dan menggambar sosok manusia sederhana. Menurut Hamzah, pemilik rumah itu adalah keluarga yang rukun, saling menyayangi, dan taat kepada Allah. Ada ayah, ibu, dan anak-anak yang hidup bersama dalam damai. Mereka saling mengingatkan untuk salat, saling berbagi, dan saling mendoakan.

“Kalau rumahnya bagus tapi orangnya nggak baik, rumahnya jadi sedih,” ujar Hamzah dengan nada yakin. Kalimat itu membuat siapa pun yang mendengarnya tersenyum sekaligus merenung. Betapa sering manusia sibuk membangun rumah yang megah, tetapi lupa membangun akhlak penghuninya. Padahal rumah sejati bukan hanya soal bangunan, melainkan suasana iman di dalamnya.

Setelah rumah dua lantai itu berdiri, Hamzah menambahkan atap sederhana. Menurutnya, atap adalah pelindung. Ia pernah mendengar bahwa Allah adalah sebaik-baik Pelindung. Maka atap rumah itu ia anggap sebagai simbol perlindungan Allah atas keluarga yang tinggal di dalamnya. Selama mereka berbuat baik dan mengingat-Nya, Allah akan menaungi mereka dengan rahmat-Nya.

Ketika karya itu hampir selesai, Hamzah memandangnya dengan rasa bangga. Namun ia tidak langsung bersorak. Ia diam sejenak, lalu mengucapkan hamdalah. Ia tahu, apa pun yang berhasil ia lakukan hari itu bukan semata karena kepintarannya, tetapi karena izin Allah. Stik es krim yang sederhana bisa berubah menjadi rumah indah karena Allah memberi akal, kesabaran, dan kesempatan.

Dalam diamnya, Hamzah seolah belajar tentang kehidupan. Bahwa membangun rumah dari stik es krim saja membutuhkan ketelatenan, apalagi membangun kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan membutuhkan niat yang baik, usaha yang sungguh-sungguh, kesabaran saat gagal, dan doa yang tidak pernah putus.

Rumah dua lantai buatan Hamzah mungkin kecil dan rapuh. Namun nilai yang tersimpan di dalamnya sangat besar. Ia mengajarkan bahwa mimpi boleh tinggi, seperti rumah bertingkat dua, tetapi harus dibangun dengan dasar iman. Ia juga mengajarkan bahwa setiap karya, sekecil apa pun, bisa menjadi ladang pahala jika diniatkan karena Allah.

Rumah kecilnya telah selesai. Bukan sekadar mainan, melainkan simbol harapan. Harapan agar kelak ia bisa membangun rumah yang sesungguhnya, rumah yang penuh cinta, penuh doa, dan penuh keberkahan. Rumah yang penghuninya selalu ingat kepada Allah, dalam suka maupun duka. Dan semoga, rumah kecil dari stik es krim itu menjadi saksi bahwa sejak dini, Hamzah telah belajar menautkan karya, mimpi, dan iman dalam satu bangunan yang indah.
Cepu, 23 Desember 2025 

Senin, 22 Desember 2025

Semangat Berkarya

 

Karya: Gutamining Saida

Siang itu rumah terasa tenang. Matahari berada tepat di atas kepala, cahayanya jatuh lembut di ruang tengah. Udara memang terasa hangat, tetapi suasana hati terasa sejuk karena tawa kecil Kakak Zaskia yang sibuk menyiapkan diri untuk membuat sebuah karya. Saya sengaja memilih waktu siang, saat aktivitas rumah mulai melambat, agar anak bisa belajar fokus dan menikmati proses tanpa tergesa-gesa.

Kakak Zaskia siang ini sedang membuat karya. Sebuah karya sederhana, namun sarat makna yaitu  gambar ikan yang akan diberi taburan tepung roti. Sebelum memulai, saya sudah memilihkan gambar ikan hias. Ada ikan yang berwarna kuning cerah, mengingatkan pada keindahan ciptaan Allah Subhanahu Wata'alla yang hidup di dalam air. Saya ingin Zaskia mengenal bahwa makhluk Allah tidak hanya hidup di darat, tetapi juga di lautan luas yang menyimpan banyak keajaiban.

Saya sengaja menyediakan gambar ikan dan bahan taburnya adalah tepung roti. Pertimbangannya sederhana yaitu memanfaatkan bahan yang murah, mudah didapat, dan selama ini mungkin hanya dikenal sebagai pelengkap makanan. Saya menduga cucu saya belum pernah menggunakan tepung roti sebagai media berkarya. Saya ingin memberikan pengalaman baru, karena belajar tidak harus selalu dengan alat mahal. Dari hal sederhana pun, kita bisa mengajarkan banyak hal.

Sebelum memulai, saya mengajak Kakak Zaskia membaca basmalah. Saya ingin menanamkan kebiasaan bahwa setiap aktivitas yang baik seharusnya dimulai dengan mengingat Allah Subhanahu Wata'alla. Berkarya pun bisa menjadi bagian dari ibadah jika diniatkan untuk belajar, bersyukur, dan mengasah kesabaran. Saya menjelaskan bahwa ikan adalah makhluk Allah Subhanahu Wata'alla yang hidupnya teratur, berenang tanpa pernah bertabrakan, seolah selalu patuh pada aturan Sang Pencipta.

Proses pembuatan karya itu sangat sederhana. Kakak Zaskia hanya perlu mengoleskan perekat di bagian gambar ikan, lalu menaburkan tepung roti di atasnya. Dalam kesederhanaan itu, tersimpan pelajaran besar. Tepung roti harus ditaburkan perlahan agar menempel dengan baik. Jika terlalu cepat, hasilnya akan berantakan. Saya melihat Zaskia mencoba menahan tangannya, meski sesekali terlihat ingin cepat selesai.

Saya teringat bahwa anak kecil memang mudah bosan. Mereka ingin cepat selesai agar bisa segera beralih ke kegiatan lain. Dugaan saya pun demikian. Namun kali ini, dugaan itu tidak sepenuhnya benar. Kakak Zaskia justru menunjukkan semangat yang berbeda. Ia menikmati setiap taburan tepung roti, memperhatikan bagian-bagian kecil gambar ikan, dan sesekali bertanya apakah sudah rapi.

Saya tidak banyak mencampuri. Saya hanya menemani dari dekat, memberi arahan seperlunya. Saya ingin Zaskia belajar bertanggung jawab atas karyanya sendiri. Saya bersyukur melihat kesungguhan itu. Allah Maha Membolak-balikkan hati. Di usia yang masih sangat belia, Allah  Subhanahu Wata'alla sudah menitipkan potensi sabar dan tekun dalam diri cucu saya.

Saat karya hampir selesai, ikan hias berwarna kuning itu tampak semakin hidup. Tekstur tepung roti memberi kesan unik, berbeda dari gambar biasa. Wajah Kakak Zaskia tampak puas. Ia tersenyum, matanya berbinar melihat hasil tangannya sendiri. Saya memuji usahanya, bukan hanya karena hasilnya terlihat bagus, tetapi karena ia mampu menyelesaikan proses sampai akhir.

Saya lalu menyampaikan pelajaran kecil kepadanya. Bahwa hidup juga seperti membuat karya ini. Jika kita tergesa-gesa, hasilnya kurang maksimal. Tetapi jika dikerjakan dengan sabar dan sungguh-sungguh, Allah Subhanahu Wata'allaakan memberikan hasil yang indah. Saya ingin Zaskia memahami bahwa kesabaran adalah kunci dalam belajar. 

Saya bersyukur kepada Allah bukan karena karya itu semata, tetapi karena siang ini memberi pelajaran berharga melalui tepung roti yang sederhana. Dari bahan murah, lahir pengalaman baru. Dari aktivitas kecil, tumbuh nilai besar.

Saya berharap, kelak Kakak Zaskia akan mengingat momen ini. Bahwa belajar tidak selalu harus cepat, tidak selalu harus berganti-ganti. Ada kalanya kita perlu bertahan, menyelesaikan satu hal dengan penuh tanggung jawab. Semoga dari karya ikan bertabur roti ini, Allah tanamkan syukur, dan cinta pada  hati cucu saya, hingga kelak tumbuh menjadi pribadi yang kuat iman dan akhlaknya.

Cepu, 22 Desember 2025

Kreasi Dengan Tepung Roti



 Karya: Gutamining Saida

Sinar matahari menembus sela-sela jendela, seolah ikut menyapa cucu-cucu saya yang berlarian kecil di ruang tamu. Libur sekolah memberi mereka waktu lebih lama di Cepu. Saya ingin menghadirkan sesuatu yang berbeda. Bukan sekadar bermain, tetapi juga belajar, berkarya, dan mengenal makna syukur kepada Allah Subhanahu Wata'alla melalui hal-hal sederhana.

Saya mengajak mereka duduk  di ruang keluarga. Di depan kami sudah tersusun rapi bahan-bahan yang mungkin bagi mereka tidak terlihat asing diantaranya  kertas bergambar hewan, buah-buahan, dobel tipe, dan tepung roti. Mata mereka berbinar, penuh rasa ingin tahu. “Timmi, kita akan membuat karya apa?” tanya Kakak Zaskia sambil tersenyum. "Kita mau membuat karya tanpa pensil warna."jawab saya. Mereka pun mengangguk antusias. "Caranya bagaimana Timmi?" tanya Hamzah. "Gampang," jawab saya. 

Saya mengajak membaca Basmalah sebelum mualai aktivitas. Sebab sekecil apa pun, patut diawali dengan menyebut nama Allah. Karya tangan juga bagian dari ibadah jika diniatkan dengan baik. Saya menjelaskan bahwa Allah Subhanahu Wata'alla menciptakan hewan dan buah-buahan dengan sangat sempurna, beragam bentuk, warna, dan manfaatnya. Tugas kita adalah menghargai ciptaan-Nya dengan merawat dan menjaga keindahannya melalui karya sederhana.

Caranya sangat mudah. Kita tinggal menempelkan dobel tipe pada gambar, lalu menaburkan tepung roti di atasnya dengan rapi. Saya menekankan satu hal penting yaitu kesabaran. Tepung tidak boleh ditabur sembarangan. Jika ingin hasilnya bagus, tangan harus pelan, hati harus tenang. Saya melihat mereka mencoba menahan diri, belajar fokus, meski sesekali tepung tumpah ke mana-mana. Saya tersenyum. Dari kekacauan kecil itu, mereka belajar.

Sambil menemani, saya bercerita bahwa hidup juga seperti menabur tepung. Jika dilakukan dengan tergesa-gesa, hasilnya berantakan. Jika dilakukan dengan hati-hati dan niat baik, Allah Subhanahu Wata'alla akan memberi keindahan pada akhirnya. Mereka mendengarkan sambil terus berkarya. Sesekali saya membantu merapikan, bukan untuk mengambil alih, tetapi memberi contoh.

Satu per satu karya mulai terlihat hasilnya. Ada gambar ikan yang tampak unik, buah jeruk yang terlihat bertekstur, dan labu kuning yang meski tidak sempurna tetap membanggakan. Saya memuji usaha mereka, bukan hasil akhirnya. Saya ingin mereka memahami bahwa Allah Subhanahu Wata'alla menilai proses dan kesungguhan hamba-Nya, bukan hanya hasil yang tampak indah di mata manusia.

Saat mereka selesai, saya mengajak mereka melihat karya masing-masing. Saya bertanya, “Bagaimana rasanya membuat mainan hari ini?” Salah satu cucu saya menjawab, “Senang, tapi capek Timmi.” Saya tertawa kecil dan menjelaskan bahwa setiap kebaikan memang butuh usaha. Belajar, beribadah, bahkan berbuat baik pun kadang melelahkan, tetapi Allah Subhanahu Wata'alla selalu memberi balasan yang manis.

Selesai kegiatan saya mengajak membaca hamdalah. Saya bersyukur, tidak hanya karya itu terlihat bagus, tetapi karena pagi itu Allah Subhanahu Wata'alla memberi saya kesempatan menanamkan nilai sabar, syukur, dan cinta pada ciptaan-Nya melalui kegiatan sederhana. Saya berharap kenangan kecil ini kelak tumbuh menjadi pelajaran besar di hati mereka bahwa berkarya adalah bagian dari mensyukuri nikmat Allah Subhanahu Wata'alla, dan setiap tangan kecil pun mampu menghasilkan kebaikan jika diarahkan dengan cinta dan iman.

Cepu, 22 Desember 2025

Menikmati Hujan

Karya: Gutamining Saida 

Sore itu cuaca tampak redup. Langit menggantungkan awan kelabu seolah sedang menyiapkan sesuatu yang istimewa. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah yang mulai basah. Tak lama kemudian terdengar suara tetesan air, mula-mula pelan, nyaris tak terdengar, lalu semakin jelas dan teratur. Gerimis pun turun, perlahan namun pasti, hingga akhirnya berubah menjadi hujan yang lebih deras. Butiran air jatuh dari langit tanpa suara keluhan, justru membawa ketenangan bagi siapa pun yang mau berhenti sejenak dan merenung.

Hujan adalah salah satu nikmat Allah yang sering kali datang tanpa diminta, tetapi kerap pula kita terima tanpa disadari. Padahal di setiap tetesnya tersimpan rahmat, rezeki, dan pengingat bahwa kehidupan ini sepenuhnya berada dalam kuasa-Nya. Allah Subhanahu Wata'alla menurunkan hujan bukan hanya untuk membasahi bumi, tetapi juga untuk menyuburkan tanah, menumbuhkan tanaman, menghidupkan makhluk, dan mengetuk hati manusia agar kembali bersyukur.

Dalam hati saya berucap Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Sebab langkah awal mensyukuri nikmat adalah dengan mengakui bahwa semua berasal dari Allah Subhanahu Wata'alla. Lalu saya melafalkan doa turun hujan, doa sederhana yang diajarkan Rasulullah, sebagai bentuk kepasrahan dan harapan agar hujan yang turun menjadi hujan yang membawa manfaat, bukan bencana. Di momen seperti ini, iman terasa begitu dekat. Tidak perlu ceramah panjang, cukup dengan kesadaran bahwa hujan adalah tanda kasih sayang Allah Subhanahu Wata'alla yang tak pernah terputus.

Di rumah Cepu, sore itu terasa lebih hidup karena kehadiran cucu-cucu saya dari Tegal. Mereka bertiga berada di rumah yaitu Zaskia, Hamzah dan Elmira menikmati suasana yang jarang mereka rasakan. Begitu melihat hujan mulai turun dengan deras, mata mereka berbinar. Ada kebahagiaan polos yang sulit disembunyikan. Mereka saling menatap, lalu berlari kecil menghampiri saya.
“Timmi, kita boleh hujan-hujanan di depan rumah?” tanya mereka hampir bersamaan, dengan wajah penuh harap.

Saya tersenyum. Dalam benak saya terlintas banyak hal. Tentang masa kecil, tentang kebebasan sederhana, dan tentang bagaimana anak-anak seharusnya dikenalkan pada alam sebagai bagian dari ciptaan Allah Subhanahu Wata'alla. Setelah memastikan hujan tidak disertai petir dan kondisi aman, saya mengangguk dan mengizinkan mereka. Bukan semata memberi kebebasan, tetapi juga sebagai bentuk pembelajaran bahwa menikmati nikmat Allah Subhanahu Wata'alla boleh dilakukan dengan tetap menjaga keselamatan dan adab.

Mereka pun berlari ke depan rumah. Tanpa alas kaki, tanpa rasa takut. Air hujan menyapa tubuh kecil mereka, membasahi rambut, wajah, dan pakaian. Tawa mereka pecah, riang dan jujur, seolah dunia hanya berisi kegembiraan. Mereka menengadahkan wajah ke langit, membiarkan tetesan hujan menyentuh pipi, seakan sedang bercengkerama langsung dengan rahmat yang Allah turunkan.

Saya berdiri tak jauh dari mereka, mengawasi dari dekat. Hati saya hangat melihat pemandangan itu. Tiga anak kecil yang sedang belajar mencintai nikmat Tuhannya tanpa mereka sadari. Dalam tawa mereka ada kebebasan, dalam kegembiraan mereka ada keikhlasan. Tidak ada keluhan tentang basah, tidak ada rasa keberatan. Yang ada hanyalah rasa senang menerima apa yang datang dari langit.

Di situlah saya belajar kembali. Bahwa sering kali orang dewasa terlalu sibuk menghitung kekurangan, sementara anak-anak justru menikmati apa yang ada. Kita sering mengeluh tentang hujan karena dianggap mengganggu aktivitas, padahal hujan adalah anugerah. Anak-anak mengajarkan bahwa syukur tidak selalu diucapkan dengan kata-kata panjang, tetapi bisa hadir dalam senyum, tawa, dan penerimaan yang tulus.

Saya membiarkan mereka bermain beberapa saat. Sesekali saya mengingatkan agar tidak terlalu jauh dan tetap berhati-hati. Mereka mengangguk, lalu kembali tertawa. Air hujan mengalir di halaman rumah, membawa debu dan kotoran, seolah membersihkan bukan hanya tanah, tetapi juga suasana hati. Dalam momen itu, saya merasa Allah Subhanahu Wata'alla sedang mengajarkan tentang kesederhanaan iman yaitu  menerima, menikmati, dan bersyukur.

Hujan sore itu menjadi pengingat bahwa hidup ini pun seperti hujan. Datang sesuai kehendak Allah, dengan kadar dan waktu yang sudah ditentukan. Ada hujan yang pelan, ada yang deras. Ada yang membawa kesejukan, ada pula yang menguji kesabaran. Semuanya pasti mengandung hikmah bagi hamba yang mau berpikir dan bersyukur.

Ketika hujan mulai mereda, saya memanggil cucu-cucu untuk masuk. Tubuh mereka basah, rambut menempel di dahi, tetapi wajah mereka berseri. Saya menyuruh mandi dan keramas satu per satu, sambil mengucap syukur dalam hati. Sore itu bukan hanya tentang hujan, tetapi tentang pelajaran iman yang sederhana namun dalam. Semoga hati ini selalu seperti anak-anak mudah gembira atas nikmat kecil, lapang menerima ketentuan Allah, dan ringan mengucap Alhamdulillah dalam setiap keadaan.
Cepu, 22 Desember 2025 

Minggu, 21 Desember 2025

Zaskia dan Pepaya

Karya : Gutamining Saida 
Liburan hari pertama semaster gasal telah tiba. Cucu-cucu saya selalu berlibur di Cepu. Tidak ada jam dinding yang dikejar-kejar. Pagi ini rumah terasa lebih ramai, bertambah empat pendatang baru justru di situlah kesempatan belajar akan hadir dengan cara yang sederhana dan penuh makna.

Saya berdiri sambil membawa sebuah pepaya matang berwarna jingga kekuningan. Saya sedang menyiapkan tugas kecil untuk Zaskia. Zaskia cucu pertama saya, sekarang sudah kelas dua sekolah dasar. 
“Kak Zaskia, hari ini tugasmu mengupas pepaya ya,” ujar saya pelan namun tegas, seolah saya bertugas seorang guru yang sedang memberi arahan.
Zaskia menoleh, sedikit terkejut. Biasanya tugas dapur adalah hal yang dilakukan orang dewasa. Namun kali ini berbeda. Zaskia tidak menolak. Dengan senyum tipis, ia mengangguk dan menerima pepaya itu. Di tangannya, pepaya tampak besar dan licin. Zaskia sempat ragu, takut salah, takut pepaya itu jatuh atau terkelupas tidak rapi. 

Saya lalu memberi petunjuk. “Pelan-pelan ya kak Zaskia. Kupas dari atas, jangan sampai dagingnya ikut terbuang banyak.” Zaskia mendengarkan dengan saksama. Pisau kecil dipegang dengan hati-hati. Kulit pepaya mulai terkelupas, sedikit demi sedikit. Namun karena belum terbiasa, ada satu bagian yang terlewati. Kulit itu masih menempel, membuat pepaya terlihat tidak sempurna.

Zaskia berhenti sejenak. Dia  menatap pepaya itu dengan wajah sedikit kecewa. Dalam hatinya muncul rasa bersalah. Dia merasa tugasnya belum diselesaikan dengan baik, belum sesuai harapan.
“Ada yang terlewat,” gumam Zaskia lirih.
Saya mendekat, memperhatikan hasil kupasan Zaskia. 
“Kalau belum rapi, boleh diulang. Belajar itu memang begitu.”
Kalimat sederhana itu seperti menyejukkan hati Zaskia. Ada rasa lega yang tiba-tiba hadir. Dia tersenyum kecil, lalu berkata dengan penuh kesadaran,

“Boleh minta pepaya lagi? Kakak ingin mencoba lagi.”
Permintaan itu bukan karena disuruh, melainkan lahir dari keinginan untuk belajar. Zaskia ingin memperbaiki, bukan menyerah. Pepaya kedua pun diambil. Kali ini Zaskia lebih berhati-hati. Setiap gerakan terasa lebih terkontrol. Dia  mengingat petunjuk saya  mengingat kesalahan sebelumnya, dan berusaha tidak mengulanginya.

Pepaya kedua selesai dikupas. Hasilnya lebih baik, meski masih belum sempurna. Ada bagian yang terlalu tipis, ada pula yang terlalu tebal. Namun ada satu hal yang berubah yaitu  Zaskia tidak lagi merasa kecewa. Dia justru merasa senang karena sudah berani mencoba dan menyelesaikan tugasnya.
“Kakak masih ingin belajar,” ucap Zaskia dengan mata berbinar. 

Maka pepaya ketiga pun menyusul. Tiga pepaya, tiga kesempatan belajar. Pada pepaya ketiga, tangan Zaskia semakin mantap. Kupasannya lebih rapi, gerakannya lebih tenang, dan wajahnya terlihat cerah. Ada rasa bangga yang tumbuh perlahan, bukan karena dipuji, melainkan karena berhasil mengalahkan rasa ragu dan malas. Setelah selesai, Zaskia tersenyum lebar. Senyum yang tulus. Senyum seorang anak yang baru saja menemukan makna belajar dari pengalaman nyata.

Dalam keheningan dapur itu, hati terasa tergetar. Betapa Allah menghadirkan pelajaran besar melalui hal yang sangat sederhana. Mengupas pepaya bukan sekadar aktivitas fisik, melainkan proses menumbuhkan karakter yaitu  kesabaran, tanggung jawab, ketekunan, dan keberanian mencoba.
Islam mengajarkan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Orang tualah, lingkunganlah, yang membentuknya. Maka melibatkan anak dalam aktivitas sehari-hari adalah salah satu cara menanamkan nilai kehidupan. Bukan dengan ceramah panjang, bukan dengan paksaan, melainkan dengan kepercayaan dan pendampingan.

Rasulullah mencontohkan pendidikan dengan keteladanan dan kelembutan. Belajar tidak harus selalu duduk di kelas. Belajar bisa hadir di dapur, di halaman rumah, di ruang keluarga, bahkan saat mengupas pepaya. Selama ada niat baik dan kasih sayang, setiap aktivitas bisa menjadi ladang pahala. Anak perlu dilibatkan agar dia mencoba. Mencoba agar dia  berani. Berani agar dia belajar. Belajar agar dia tumbuh menjadi pribadi yang kuat. 

Kesalahan bukan untuk dimarahi, melainkan untuk dipahami. Kekurangan bukan untuk ditertawakan, melainkan untuk diperbaiki bersama. Hari ini, liburan tidak diisi dengan gawai atau televisi. Liburan diisi dengan pengalaman. Pengalaman kecil yang kelak akan menjadi kenangan besar. Zaskia belajar bahwa kegagalan bukan akhir, melainkan pintu menuju keberhasilan berikutnya. Di sudut dapur, tiga pepaya tersaji rapi. Namun yang lebih berharga bukanlah pepayanya, melainkan proses di baliknya.

Proses belajar yang ditumbuhkan sejak usia dini, dengan cinta, kesabaran, dan keikhlasan. Alhamdulillah, betapa Allah Maha Baik. Dia mengajarkan bahwa pendidikan terbaik sering kali hadir dalam bentuk yang paling sederhana. Semoga dari tugas kecil ini tumbuh jiwa yang besar, hati yang kuat, dan akhlak yang mulia pada diri Zaskia. Aamiin.
Cepu, 21 Desember 2025 

Jumat, 19 Desember 2025

Rezeki Datang Tepat Waktu



Karya: Gutamining Saida

Seminggu yang lalu, entah mengapa hati ini tiba-tiba ingin sekali makan martabak. Keinginan sederhana, bahkan terkesan sepele. Bukan karena lapar berlebihan, bukan pula karena momen istimewa. Hanya rasa “kepingin” yang muncul begitu saja, lalu menetap di hati. Keinginan yang kalau tidak dituruti rasanya ada yang kurang, meski sebenarnya bisa saja diabaikan.

Saat itu anak saya hendak keluar rumah. Dengan nada biasa, saya titip pesan, “Tolong belikan martabak ya, dua.” Tidak ada harapan lebih, tidak ada doa yang terucap secara lisan. Hanya permintaan ibu kepada anaknya. Alhamdulillah, ia pulang membawa martabak yang  saya minta. Saya menikmatinya dengan rasa syukur yang sederhana pula. Nikmat karena pas dengan keinginan. Nikmat karena Allah Subhanahu Wata'alla mengizinkan rasa itu terpenuhi. Syukur kecil yang mungkin sering luput dari perhatian.

Hari itu berlalu seperti hari-hari biasa. Saya tidak menyangka bahwa martabak yang saya makan seminggu lalu ternyata bukan hanya tentang rasa, melainkan tentang pelajaran besar yang Allah Subhanahu Wata'alla siapkan pelan-pelan.

Hari ini, ada seseorang datang menemui saya. Ia datang membawa sebuah tas berwarna hijau. Saat tas itu dibuka, isinya sungguh membuat saya terdiam. Banyak sekali jenis makanan di dalamnya. Aneka jajanan, rezeki yang datang tanpa saya minta, tanpa saya sangka. Di antara semua isi tas itu, membuat mata langsung tertuju pada satu hal yaitu martabak. Hati saya bergetar. Bukan karena ingin lagi, tapi karena sadar. Martabak lagi. Rezeki lagi. Datang lagi. Dengan cara yang sama sekali berbeda.

Saya terdiam sejenak. Dalam hati  berkata, “Inilah rezeki yang tidak akan tertukar.” Allah Subhanahu Wata'alla sudah menakar dengan sangat teliti. Allah tahu kapan saya ingin, kapan saya  butuh, dan kapan saya hanya perlu diingatkan. Rezeki bukan sekadar soal kenyang atau tidak. Rezeki adalah cara Allah Subhanahu Wata'alla menyapa hamba-Nya, memberi tanda bahwa Dia Maha Melihat, Maha Mendengar, dan Maha Mengatur.

Saya yakin, orang yang datang hari ini hanyalah perantara. Allah-lah yang menggerakkan langkahnya. Allah-lah yang menggerakkan hatinya untuk berbagi. Allah-lah yang menyusun semuanya tanpa perlu rapat, tanpa perlu janji, tanpa perlu kesepakatan. Semua berjalan sesuai skenario-Nya yang rapi dan penuh cinta.

“Tidak ada yang kebetulan,” begitu kata hati ini. Segala sesuatu yang sampai ke tangan kita sudah melewati perjalanan panjang dari langit. Sudah ditakar, ditimbang, dan dipilihkan. Rezeki kita tidak akan tertukar dengan rezeki orang lain. Apa yang menjadi jatah kita, akan menemukan jalannya sendiri.

Saya mengucap syukur berulang-ulang. Alhamdulillah. Syukur yang bukan hanya keluar dari lisan, tetapi mengalir dari hati yang merasa dikuatkan. Di tengah dunia yang sering membuat cemas, Allah  Subhanahu Wata'alla justru menenangkan lewat hal-hal sederhana.

Belum selesai rasa haru itu, saya membuka tas lebih dalam. Mata ini kembali terhenti. Ada gapit koin, gapit kluntung dan roti coklat. Jajanan sederhana yang sangat disukai cucu. Seketika senyum ini mengembang. Lebih mengejutkan lagi, nanti malam cucu saya akan datang. Seolah Allah berkata, “Aku tahu bukan hanya kebutuhanmu, tapi juga kebahagiaan orang-orang yang kau cintai.”

Air mata hampir jatuh. Bukan karena berlebihan, tapi karena hati ini merasa disentuh dengan sangat lembut. Allah Subhanahu Wata'alla mencukupkan, bahkan sebelum diminta. Allah Subhanahu Wata'alla memberi, bahkan sebelum kita menyadari kebutuhan itu ada.

Saya merenung. Betapa seringnya kita merasa khawatir tentang hari esok. Tentang cukup atau tidak, ada atau tidak. Padahal Allah Subhanahu Wata'alla sudah menyiapkan semuanya. Kita hanya diminta percaya, bersabar, dan bersyukur. Rezeki tidak selalu berupa uang. Kadang ia hadir dalam bentuk makanan kesukaan, senyum cucu, hati yang tenang, atau keyakinan yang diteguhkan.

Hari ini aku belajar lagi, bahwa iman bukan hanya tentang ibadah yang besar-besar, tetapi tentang kepekaan membaca tanda-tanda kecil. Tentang melihat kasih Allah Subhanahu Wata'alla dalam martabak, dalam gapit, dalam tas sederhana yang dibawa seseorang.

Saya semakin yakin, hidup ini bukan kebetulan yang beruntun. Hidup adalah rangkaian skenario Allah yang indah. Tugas kita hanya satu yaitu percaya bahwa Allah Subhanahu Wata'alla tidak pernah salah mengatur. Tidak pernah terlambat memberi. Tidak pernah keliru menakar. Alhamdulillah. Untuk rezeki hari ini. Untuk keyakinan yang diperbarui. Untuk hati yang kembali diingatkan bahwa Allah Subhanahu Wata'alla selalu cukupkan, tepat pada waktunya.

Cepu, 20 Desember 2025 

Kamis, 18 Desember 2025

Gemar

Karya: Gutamining Saida 
Sejak pagi di hari Kamis tanggal 18 Desember 2025 linimasa media sosial terasa berbeda. Di antara unggahan story whathsap, satu kata terus berseliweran yaitu GEMAR. Hampir setiap guru yang saya kenal mengunggahnya dalam berbagai versi ada yang berupa poster sederhana, ada yang berupa video singkat, ada pula yang hanya berupa tulisan dengan latar polos. GEMAR menjadi topik hangat yang dibicarakan sejak pagi, seolah menjadi pengingat bersama akan sebuah gerakan yang sederhana, tetapi sarat makna.

GEMAR adalah singkatan dari Gerakan Ayah Mengambil Rapor. Sekilas terdengar biasa, bahkan mungkin dianggap sepele. Namun di balik kesederhanaan itu, tersimpan harapan besar tentang keterlibatan ayah dalam pendidikan anak. Selama ini, realitas di sekolah-sekolah menunjukkan bahwa sekitar 90 persen orang tua yang datang mengambil rapor adalah ibu. Ibu-ibu dengan setia meluangkan waktu, duduk rapi di bangku kelas, mendengarkan penjelasan wali kelas. Ayah sering kali absen, entah karena bekerja, entah karena merasa urusan rapor adalah wilayah ibu.

Padahal, pendidikan anak bukan hanya tanggung jawab satu pihak. Anak tumbuh dalam ruang keluarga yang utuh, tempat ayah dan ibu memiliki peran yang sama pentingnya. Itulah sebabnya GEMAR menjadi sangat relevan. Gerakan ini bukan sekadar soal siapa yang datang ke sekolah, melainkan tentang pesan yang ingin disampaikan kepada anak: bahwa ayah hadir, peduli, dan terlibat dalam masa depan mereka.

Pemerintah pun melihat pentingnya keterlibatan ayah dalam pendidikan. Melalui Surat Edaran Menteri Kependudukan, ada imbauan agar ayah lebih aktif hadir dalam momen-momen penting pendidikan anak, salah satunya saat pengambilan rapor. Rapor bukan hanya selembar kertas berisi angka dan deskripsi capaian belajar, tetapi juga cermin perjalanan anak selama satu semester. Ketika ayah yang datang mengambil rapor, anak akan merasakan bahwa usahanya diperhatikan oleh kedua orang tuanya.

Kehadiran ayah memiliki kekuatan yang luar biasa. Banyak penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pendidikan dapat meningkatkan motivasi belajar anak, membangun rasa percaya diri, serta mempererat komunikasi antara ayah dan anak. Anak akan merasa dihargai, didukung, dan tidak berjalan sendiri dalam proses belajarnya. Percakapan sederhana sepulang dari sekolah tentang nilai, sikap, atau catatan guru bisa menjadi jembatan kedekatan yang selama ini jarang terbangun.

Di sisi lain, GEMAR juga menjadi ruang refleksi bagi para guru. Selama ini, guru sering kali berkomunikasi intens dengan ibu, sementara ayah hanya mengetahui sekilas dari cerita di rumah. Dengan hadirnya ayah di sekolah, komunikasi tiga arah antara guru, ayah, dan anak dapat terjalin lebih kuat. Guru dapat menyampaikan perkembangan anak secara langsung, ayah dapat bertanya dan memahami kondisi anak di sekolah, dan anak melihat sinergi nyata antara rumah dan sekolah.

Menjelang hari pembagian rapor, harapan itu semakin terasa. Ada doa dalam diam agar keesokan hari bangku-bangku kelas tidak hanya diisi oleh ibu-ibu, tetapi juga oleh para ayah. Bayangan ayah yang datang dengan pakaian kerja, wajah lelah namun penuh perhatian, duduk mendengarkan penjelasan wali kelas, menjadi gambaran yang menghangatkan hati. Bukan soal jumlah, tetapi tentang makna kehadiran.

Tentu tidak semua ayah bisa hadir karena berbagai alasan. Ada ayah yang bekerja jauh, ada yang terikat jadwal ketat, ada pula kondisi khusus seperti ibu yang berstatus janda sehingga pengambilan rapor tetap dilakukan oleh ibu. Gerakan GEMAR tidak dimaksudkan untuk menghakimi atau memaksa, melainkan mengajak dan menyadarkan. Bahwa jika ada kesempatan, kehadiran ayah adalah hadiah besar bagi anak.

Bagi anak, melihat ayahnya datang ke sekolah adalah kebanggaan tersendiri. Ada rasa percaya diri yang tumbuh, ada cerita yang bisa dibagikan kepada teman, dan ada kenangan yang akan melekat hingga dewasa. Momen sederhana itu bisa menjadi titik balik hubungan ayah dan anak lebih terbuka, lebih hangat, dan lebih saling memahami.

Maka, GEMAR bukan sekadar tren di media sosial. Ia adalah gerakan hati, ajakan lembut untuk kembali menegaskan peran ayah dalam pendidikan. Rapor hanyalah sarana, sedangkan tujuan utamanya adalah membangun keterlibatan, komunikasi, dan kasih sayang yang lebih utuh dalam keluarga. Harapannya, suatu hari nanti, pemandangan ayah mengambil rapor tidak lagi menjadi hal yang istimewa, melainkan menjadi kebiasaan baik yang mengakar. Besok, saat rapor dibagikan, semoga GEMAR benar-benar hidup, tidak hanya dalam story media sosial, tetapi juga dalam langkah nyata para ayah yang hadir untuk masa depan anak-anak mereka.
Cepu, 18 Desember 2025 

Minggu, 14 Desember 2025

Angka Delapan


Karya : Gutamining Saida 

Kami berdua silaturahmi ke rumah Bu Nikmah. Niat yang sangat sederhana, namun kami yakin selalu mengandung keberkahan. Silaturahmi bukan sekadar kunjungan, melainkan jembatan kebaikan yang sering kali membuka pintu rezeki dan ketenangan. Rumah Bu Nikmah berada di wilayah Gagakan, Sambong, sebuah daerah yang masih terasa tenang dan bersahaja. Sepanjang perjalanan, hati kami terasa ringan, seolah sudah disiapkan untuk menerima pelajaran kehidupan yang baru.

Saya berangkat bersama Bu Isna. Bu Isna seorang guru senior mata pelajaran matematika. Beliau dikenal teliti, dan selalu mampu mengaitkan berbagai peristiwa dengan angka dan logika. Bahkan dalam percakapan santai sekalipun, matematika sering hadir sebagai bahasa kehidupan. Justru di situlah letak keindahannya. Angka-angka yang sering dianggap kaku, di tangan Bu Isna berubah menjadi jembatan makna.

Sesampainya di rumah Bu Nikmah, kami berbincang ringan, saling bertukar cerita dan menikmati waktu tanpa terburu-buru. Di halaman rumah, tumbuh beberapa tanaman yang terawat seperti cabe, pohon daun salam, pohon jeruk purut dan masih banyak daun-daun hijau segar.

Saat kami memetik daun jeruk. Aktivitas kecil yang menghadirkan ketenangan. Tangan menyentuh daun, aroma segar menguar, dan hati terasa damai. Tiba-tiba Bu Isna mengangkat setangkai daun jeruk dan berkomentar singkat, “Daun jeruk ini seperti angka delapan.”

Komentar itu membuat saya tersenyum. Sebuah kalimat sederhana, khas seorang guru matematika. Belum sempat saya menanggapi, Bu Nikmah menjawab dengan mantap, “Betul-betul.” Jawaban singkat itu seolah menjadi penegasan, bahwa apa yang terlihat oleh mata manusia bisa menjadi pintu perenungan yang lebih dalam.

Percakapan pun berlanjut. Bu Isna kembali berkata dengan nada tenang, “Angka delapan menurut kita tidak sama dengan matematika Allah.” Kalimat itu membuat suasana seketika hening. Bukan hening yang canggung, melainkan hening yang penuh makna. Saya merasa seperti diajak berhenti sejenak, menundukkan hati, dan merenung.

Bu Nikmah mengangguk pelan. “Pengetahuan manusia itu terbatas,” ujarnya lirih. “Apa yang kita pahami hanyalah sebagian kecil dari kebesaran ilmu Allah.” Kalimat itu terasa menyejukkan. Angka delapan, yang dalam pelajaran matematika hanyalah bilangan, kini berubah menjadi simbol kebesaran Tuhan. Dalam pandangan manusia, angka delapan bisa dihitung, dibandingkan, dan diolah. Namun dalam matematika Allah, segala sesuatu tidak sekadar berhenti pada angka. Ada hikmah, ada ketentuan, ada rahasia yang melampaui logika manusia.

Saya memandangi kembali daun jeruk itu. Bentuknya memang menyerupai angka delapan. Jika angka delapan dimiringkan, ia menjadi simbol tak hingga. Seolah Allah ingin mengingatkan, bahwa kasih sayang-Nya tidak berbatas. Rezeki-Nya tidak terputus. Ilmu Allah tidak pernah habis untuk dipelajari.

Di halaman sederhana itu, saya menyadari satu hal penting yaitu sering kali Allah mengajarkan kebesaran-Nya melalui hal-hal kecil. Melalui daun jeruk, melalui obrolan santai, melalui silaturahmi yang tulus. Tidak perlu peristiwa besar untuk menyadarkan manusia akan keterbatasannya.

Bu Isna dengan sudut pandang matematikanya mengajarkan bahwa hidup pun memiliki hitungan. Hitungan manusia sering kali terbatas pada apa yang terlihat. Kita menghitung usaha, hasil, dan keuntungan. Sementara Allah menghitung niat, keikhlasan, dan kesabaran. Kita sibuk menakar apa yang kita dapat hari ini, sementara Allah menyiapkan balasan yang mungkin baru terasa esok atau bahkan di akhirat kelak.

Waktu berlalu tanpa terasa. Kami bertiga menikmati kebersamaan itu hingga akhirnya bersiap pulang bersama. Langkah kami seiring, hati kami pun terasa selaras. Banyak oleh-oleh yang kami bawa dari rumah bu Nikmah.  Lebih-lebih bekal batin yang sangat berharga. Sebuah kesadaran bahwa manusia hanyalah makhluk dengan pengetahuan terbatas, sedangkan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Perjalanan pulang terasa berbeda. Angka delapan masih terbayang di benak saya. Ia bukan lagi sekadar bilangan, melainkan pengingat. Pengingat agar tidak sombong dengan ilmu yang dimiliki. Pengingat agar selalu membuka hati untuk belajar dari siapa pun dan dari apa pun. Pengingat bahwa dalam setiap peristiwa, selalu ada matematika Allah yang bekerja dengan cara-Nya sendiri.

Silaturahmi bukan hanya memperpanjang hubungan antar manusia, tetapi juga memperdalam hubungan dengan Sang Pencipta. Melalui daun jeruk dan angka delapan, Allah mengajarkan kami tentang keterbatasan manusia dan keluasan ilmu-Nya. Sebuah pelajaran iman yang sederhana, namun membekas lama di hati. Barokallah bu Nikmah dan bu Isna. Sampai jumpa di cerita selanjutnya.

Cepu, 14 Desember 2025

Sabtu, 13 Desember 2025

Spot Foto



Karya: Gutamining Saida

Silaturahmi kami ke rumah Bu Nikmah ternyata menghadirkan banyak hal menarik di luar dugaan. Awalnya, niat kami sederhana yaitu menyambung tali persaudaraan, berbincang ringan, dan petik jamur . Namun Allah Subhanahu Wata'alla selalu punya cara indah untuk menghadirkan kebahagiaan melalui hal-hal kecil yang sering luput dari perencanaan.

Di rumah Bu Nikmah, selain suasana yang hangat dan penuh keakraban, kami menemukan sebuah ruangan yang sangat cocok untuk berfoto. Penataannya sederhana, namun terasa nyaman dan estetik. Desainnya bagus dan nuansanya menenangkan. Jika boleh disebut, ruangan itu adalah “spot foto” alami yang tidak dibuat-buat. Bukan seperti studio profesional, tetapi justru itulah daya tariknya.

Begitu masuk ruangan, mata saya dan Bu Isna langsung berbinar. Kami saling berpandangan dan tersenyum, seolah menemukan sesuatu yang selama ini tersembunyi. Suasana mengalir begitu saja. Saya dan Bu Isna memang sama-sama senang berfoto, berbeda dengan Bu Nikmah yang sejak awal sudah tersenyum sambil menggeleng pelan ketika kami ajak ikut berpose.

“Wah, saya tidak usah ikut difoto, Bu,” ujar Bu Nikmah sambil tertawa kecil, Bahkan akhirnya, beliau dengan ikhlas menjadi tukang foto kami berdua. Sebuah peran sederhana, tetapi justru menghadirkan keceriaan tersendiri. Kami pun mulai menikmati momen itu. Dengan berbagai gaya, kami berpose. Kadang tersenyum manis, kadang tertawa lepas, kadang hanya berdiri santai tanpa banyak gaya. Tidak ada tuntutan harus terlihat sempurna. Yang ada hanyalah kejujuran ekspresi. Tawa yang keluar bukan karena ingin terlihat bahagia, tetapi karena memang benar-benar bahagia.

Sesekali kami saling menggoda. “Coba senyumnya jangan terlalu serius, Bu,” kata salah satu dari kami. Atau, “Ini gaya guru yang sedang bebas dari tumpukan raport,” canda yang disambut tawa bersama. Ruangan itu seolah menjadi saksi bahwa kebahagiaan tidak harus direncanakan secara rumit.

Di sela-sela foto, saya teringat pada kesibukan yang sedang kami jalani. Hari-hari ini kami bergelut dengan angka-angka nilai raport. Meneliti, mengoreksi, memastikan setiap nilai adil dan sesuai usaha siswa. Pekerjaan yang membutuhkan ketelitian, kesabaran, dan sering kali menguras energi. Di tengah kesibukan itulah, kami berusaha menghadirkan jeda yang menyenangkan.

Saya merasa momen foto itu seperti terapi sederhana. Tanpa biaya mahal, tanpa perjalanan jauh. Hanya dengan tawa, kebersamaan, dan hati yang lapang. Saya sadar, menjaga kesehatan mental adalah bagian dari amanah. Guru yang bahagia akan lebih mudah menebarkan kebaikan. Guru yang hatinya ringan akan lebih ikhlas dalam menjalankan tugas.

Bu Nikmah, sebagai tuan rumah, tampak menikmati perannya. Beliau sesekali memberi arahan sederhana, “Nah, yang ini bagus,” atau “Coba agak ke kanan sedikit.” Wajahnya memancarkan ketulusan. Meski tidak ikut difoto, beliau menjadi bagian penting dari kebahagiaan kami berdua. Ada orang yang  menemukan kebahagiaan saat melihat orang lain tersenyum.

Ruangan sederhana milik bu Nikmah menjadi spot foto penuh cerita. Semua terasa seperti rangkaian kecil yang disusun rapi oleh-Nya. Mungkin inilah bentuk rahmat Allah yang sering terlewatkan. Bahwa hiburan tidak selalu datang dari tempat wisata atau acara besar. Kadang ia hadir di rumah seorang teman, dalam bentuk  foto-foto sederhana yang kelak akan menjadi kenangan manis.

Waktu berlalu tanpa terasa. Kami pun bersiap pulang dengan hati yang ringan. Tidak hanya membawa foto di ponsel, tetapi juga membawa semangat baru untuk kembali menyelesaikan tugas-tugas kami. Nilai raport yang menunggu tidak lagi terasa seberat sebelumnya. Hati kami sudah diisi ulang dengan kebahagiaan yang sederhana.

Saya belajar satu hal penting yaitu di sela-sela kesibukan, Allah selalu menyediakan ruang untuk beristirahat, asalkan kita mau berhenti sejenak dan menikmatinya. Silaturahmi, tawa, dan kebersamaan adalah nikmat yang tidak bisa diukur dengan angka, tetapi sangat berharga dalam perhitungan Allah Subhanahu Wata'alla.

Cepu, 14 Desember 2025


Car Free Day dan Grebek Gunungan

 


Karya: Gutamining Saida

Ahad pagi, 14 Desember 2025, udara Cepu terasa lebih bersahabat dari biasanya. Langit cerah seakan ikut memberi restu atas kegiatan Car Free Day dan Grebek Gunungan yang digelar di sepanjang Jalan Pemuda. Sebuah kesempatan langka yang sayang jika dilewatkan begitu saja. Dalam hati saya berucap syukur, Alhamdulillah, masih diberi kesehatan dan waktu untuk menikmati pagi dengan cara yang sederhana namun bermakna.

Pukul 06.00 WIB, saya berangkat dari rumah dengan bonceng sepeda motor. Jalanan terasa lebih lengang, tidak seperti hari biasa yang dipenuhi kendaraan lalu lalang. Ada rasa lega sekaligus bahagia, karena pagi itu jalan bukan lagi milik mesin, melainkan milik manusia untuk berjalan, bercengkerama, dan bersyukur bersama.

Motor kami parkirkan di dekat apotek. Dari sana, langkah kaki mulai menelusuri jalan ke arah timur, lalu berbalik ke barat menuju pusat gunungan. Di sepanjang jalan, mata saya dimanjakan oleh berbagai pemandangan yang akrab namun tetap mengundang rindu. Aneka jajanan dan minuman berjajar rapi, dari yang jadul hingga kekinian. Ada aroma gorengan yang menggoda, wedang hangat yang mengepul, hingga minuman modern dengan warna-warni menarik. Semuanya seakan menyapa, mengingatkan bahwa rezeki Allah Subhanahu Wata'alla tersebar dalam berbagai bentuk dan rasa.

Selain kuliner, ada pula lapak-lapak kecil yang menjual aksesori ponsel, gantungan kunci, gelang, jilbab, kaos kaki hingga daster. Tak ketinggalan mainan anak-anak, topi, sandal, dan pernak-pernik sederhana lainnya. Saya hanya melihat sambil berjalan pelan. Tidak ada keinginan untuk membeli. Dalam hati saya berusaha menahan diri, mengingatkan bahwa tidak semua yang terlihat menarik harus dimiliki. Bukankah salah satu bentuk syukur adalah mampu mengendalikan keinginan?

Grebek Gunungan sendiri menjadi pengingat kuat akan tradisi syukur masyarakat. Gunungan bukan sekadar hasil bumi yang disusun indah, tetapi simbol doa dan harapan. Bahwa manusia hanyalah perantara, sementara Allah-lah Sang Maha Pemberi Rezeki. Saya menyaksikan keramaian dengan perasaan hangat. Ada kebersamaan, ada senyum, ada doa yang mungkin terucap lirih di dada masing-masing.

Saat langkah mulai berbalik arah untuk pulang, sesuatu tiba-tiba menghentikan perhatian saya. Sebuah lapak kecil penjual ikan cupang. Gerak kaki saya melambat, lalu berhenti. Mata saya berselancar dari ujung ke ujung pajangan cupang yang ditata rapi dalam wadah-wadah kecil. Warna-warni ikan itu seakan menari, hidup, dan memancarkan keindahan ciptaan Allah yang sering kali luput dari perhatian kita.

Hati saya tergerak. Ada rasa ingin tahu, lalu saya pun bertanya harga. Penjualnya ramah dan cekatan. Dengan senyum yang tidak dibuat-buat, ia mulai menawarkan dagangannya.
“Ini cupang ukuran besar, Bu. Warnanya bagus-bagus,” katanya penuh keyakinan.
“Siripnya juga bagus, pegang nggak apa-apa,” tambahnya sambil menyodorkan salah satu cupang.

Saya tersenyum. Bukan hanya karena rayuannya, tetapi karena saya melihat semangat mencari rezeki yang halal. Ia berdagang dengan sopan, jujur, dan tetap ramah. Dalam hati saya berdoa, semoga Allah melapangkan rezekinya hari itu.

Akhirnya, berkat kata-kata yang santun dan mungkin juga takdir yang telah dituliskan, saya memilih satu cupang berwarna biru. Warnanya tenang, dalam, seperti mengajak hati untuk ikut meneduh. “Ya  saya ambil yang ini,” kata saya. Niat saya sederhana, hanya untuk menambah koleksi di rumah.

Dalam perjalanan pulang, saya kembali mengucap syukur. Allah sering menghadirkan kebahagiaan dari hal-hal kecil yang tak terduga. Seekor ikan cupang pun bisa menjadi perantara rasa bahagia, jika hati kita mau menerima dengan ikhlas.

Sesampainya di rumah, cupang biru itu saya letakkan di meja kamar. Saat waktu santai tiba, saya duduk memandangi gerakannya. Siripnya mengembang perlahan, berenang tenang dalam wadah kecilnya. Saya terdiam, hati terasa damai. Dari seekor cupang, saya belajar tentang kepasrahan. Ia hidup dalam keterbatasan ruang, namun tetap bergerak indah, tanpa keluh, tanpa protes.

Saya pun merenung. Bukankah manusia sering kali diberi ruang yang jauh lebih luas, tetapi masih saja merasa sempit oleh keluhan? Cupang itu seolah mengajarkan untuk tetap bersyukur di kondisi apa pun, karena Allah selalu punya cara menghadirkan keindahan dalam hidup hamba-Nya.

Car Free Day, Grebek Gunungan, dan seekor cupang biru menjadi rangkaian nikmat yang sederhana namun penuh makna. Sebuah pengingat bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal besar, tetapi dari hati yang mau bersyukur dan melihat tanda-tanda kebesaran Allah dalam setiap detik kehidupan'

Cepu, 14 Desember 2025

Jumat, 12 Desember 2025

Refresing Petik Jamur


Karya : Gutamining Saida 
Refresing sejenak di sela waktu. Kalimat itu terdengar sederhana, tetapi maknanya begitu dalam. Refresing bukan sekadar jalan-jalan atau melepas penat, melainkan upaya memberi ruang bagi jiwa untuk bernapas. Dalam kesibukan yang kadang terasa seperti lomba tanpa garis akhir, refresing menjadi jeda yang menenangkan. Ia adalah cara halus untuk berdamai dengan diri sendiri, merawat raga, menyejukkan mata, sekaligus menenteramkan hati.

Bagi seorang wanita, diajak refresing sering kali bukan perkara sulit. Bukan karena ingin berfoya-foya, tetapi karena naluri hati ingin merasakan bahagia dengan cara yang sederhana. Seperti saya. Jika ada waktu luang, rasanya sayang jika dilewatkan begitu saja. Tidak perlu jauh, tidak harus mahal. Yang terpenting adalah niat: membahagiakan diri sendiri agar kelak bisa membahagiakan orang lain dengan hati yang utuh.

Siang itu, matahari bersinar cukup terik, namun tidak mengurangi semangat kami bertiga. Dengan niat sederhana, kami melangkah menuju tempat Bu Nikmah. Sebuah tempat budidaya jamur tiram yang jauh dari hiruk pikuk kota. Jalan yang kami lalui biasa saja, bahkan mungkin tidak menarik bagi sebagian orang. Namun bagi kami, setiap langkah adalah bagian dari perjalanan hati.

Sesampainya di lokasi, suasana sejuk langsung menyambut. Bangunan kumbung jamur berdiri rapi. Udara terasa lebih bersih, lebih jujur. Di sanalah kami diperbolehkan memetik jamur tiram sendiri. Aktivitas yang mungkin terdengar remeh, tetapi bagi kami terasa begitu istimewa.

Saat tangan ini menyentuh jamur tiram yang tumbuh dari media tanamnya, ada rasa takjub yang sulit diungkapkan. Jamur-jamur itu tumbuh berkelompok, putih bersih, sebagian besar sudah siap panen, sebagian lain masih kecil, baru menyembulkan diri. Dari yang kecil itulah hati ini belajar. Bahwa segala sesuatu membutuhkan waktu. Tidak semua yang hari ini tampak sederhana, akan selamanya kecil. Allah menumbuhkan segalanya sesuai takaran dan waktunya.

Kami berdua memetik jamur sambil tersenyum. Sesekali tertawa ketika menemukan jamur yang bentuknya unik. Ada kebahagiaan yang muncul bukan karena hasil panennya semata, tetapi karena prosesnya. Kami merasa dilibatkan langsung dalam rezeki itu. Tidak sekadar membeli, tetapi menyentuh, melihat, dan merasakan sendiri bagaimana nikmat Allah Subhanahu Wata'alla hadir melalui tangan-tangan manusia yang tekun bekerja.

Tak lupa, kami mengabadikan momen. Berfoto sambil memegang jamur yang baru saja dipetik. Foto yang mungkin tidak estetik menurut standar media sosial, tetapi sangat bermakna bagi kami. Karena di balik senyum yang tertangkap kamera, ada rasa syukur yang tulus. Syukur masih diberi waktu luang. Syukur masih diberi kesehatan. Syukur masih diberi kesempatan tertawa bersama.

Saat jamur yang kami petik ditimbang, terjadi hal kecil yang justru membekas di hati. Ada kelebihan timbangan, namun tidak dihitung dalam harga oleh bu Nikmah. Bu Nikmah tersenyum, seolah berkata tanpa kata, “Saya hitung setengah kilo gram saja.” Seketika hati terasa hangat. Rezeki memang tidak selalu datang dalam bentuk besar dan mencolok. Kadang ia hadir sebagai kelebihan kecil, yang jika disyukuri, justru meninggalkan kesan mendalam.

Di sanalah kami belajar tentang makna rezeki. Bahwa rezeki bukan hanya soal uang atau barang, tetapi juga pengalaman, kebersamaan, dan rasa cukup. Allah menitipkan kebahagiaan melalui hal-hal sederhana, agar manusia tidak sombong dan tetap membumi.

Refresing siang itu pun usai tanpa rasa lelah. Justru hati terasa lebih ringan. Kami pulang membawa jamur tiram, foto kenangan, dan cerita yang akan terus diingat. Cerita tentang bagaimana Allah menghadirkan kebahagiaan tanpa perlu rencana rumit. Tentang bagaimana syukur membuat hal kecil terasa besar. Tentang bagaimana jeda sejenak bisa menjadi ibadah, jika diniatkan untuk merawat amanah tubuh dan jiwa.

Refresing bukan pelarian dari tanggung jawab, melainkan penguat untuk kembali menjalani peran dengan lebih ikhlas. Karena hati yang bahagia akan lebih mudah bersyukur, dan jiwa yang tenang akan lebih dekat dengan Sang Pencipta.

Di antara jamur tiram yang kami petik sendiri, saya kembali yakin bahwa kebahagiaan tidak selalu menunggu di tempat jauh. Ia sering kali tumbuh diam-diam, di tempat sederhana, menunggu untuk dipetik oleh hati yang mau bersyukur.
Cepu, 13 Desember 2025 

Minggu, 07 Desember 2025

Iwel-iwel



Karya: Gutamining Saida

Hari Minggu selalu saya tunggu. Ada jeda, ada ruang untuk memanjakan diri, ada kesempatan untuk kembali merasakan hal-hal sederhana yang kadang terlupakan di tengah rutinitas. Sejak bangun pagi, saya merasa ingin menikmati sesuatu yang istimewa. Bukan makanan mahal, bukan juga jajanan modern yang sedang viral di media sosial, tetapi sesuatu yang punya jejak kenangan, aroma masa kecil, dan cerita budaya yang melekat erat dalam ingatan yaitu iwel-iwel.

Entah mengapa, makanan ini tiba-tiba muncul di benak saya. Mungkin karena sudah sangat lama tidak bertemu dengannya. Iwel-iwel bukanlah makanan yang tersedia setiap hari di pasar. Ia muncul pada momen-momen tertentu saja, khususnya ketika seseorang mengadakan syukuran bayi baik sepasar atau selapan. Seolah-olah makanan ini punya jadwalnya sendiri untuk hadir, membawa berkah, doa, dan rasa syukur dalam setiap bungkusnya.

Saya masih ingat, ketika ada tetangga yang mengadakan sepasar,selapan bayi, anak-anak kecil di sekitar rumah pasti menunggu bungkusan iwel-iwel. Meskipun acara itu sakral dan penuh makna, selalu saja ada keceriaan tersendiri saat bungkusan daun pisang itu diberikan kepada warga saat syukuran atau bancaan. Iwel-iwel termasuk salah satu makanan yang paling disenangi. Aromanya saja sudah membuat hati bahagia.

Minggu pagi, saya memutuskan untuk berkeliling mencari apakah ada pedagang yang menjual makanan tradisional tersebut. Pasar Minggu banyak penjual dadakan yang membawa makanan khas desa yaitu  arem-arem, nagasari, bothok, ketan serundeng, dan kadang kalau beruntung ada yang menjajakan iwel-iwel. Saya berangkat dengan sedikit harapan dan rasa penasaran.

Begitu tiba di pasar, suasananya riuh namun menyenangkan. Aroma daun pisang yang dipanaskan, bau jajanan pasar, dan suara tawar-menawar menambah warna pagi itu. Saya berjalan berkeliling, mata saya fokus mencari bentuk contongan daun pisang yang khas. Tidak semua orang menjualnya, jadi saya harus sabar.

Hampir putus asa, tiba-tiba saya melihat seorang ibu tua duduk di pojok, dikelilingi beberapa tampah berisi jajanan tradisional. Ada gethuk, sawut, klepon, dan iwel-iwel! Di sudut tampah paling kanan terlihat bungkusan daun pisang yang rapi, hijau kecokelatan, disemat lidi. Saya langsung tersenyum. Itulah yang saya cari.

“Bu, ini iwel-iwel ya?” tanya saya sambil menunjuk.

Ibu itu mengangguk. “Iya, Nak. Baru matang tadi masih panas.”

Saya langsung membeli beberapa bungkus. Rasanya seperti menemukan harta karun kecil yang membawa kembali potongan sejarah masa kecil saya. Di perjalanan pulang, saya sampai tergoda membuka salah satu bungkusnya, tapi saya tahan. Saya ingin menikmatinya dengan tenang di rumah, sambil duduk santai dan mengenang cerita lama.

Sesampainya di rumah, saya menyiapkan minuman. Kombinasi air putih dan jajanan tradisional selalu menjadi pasangan ideal, terutama di hari Minggu yang malas dan sunyi. Saya duduk, membuka salah satu bungkusan iwel-iwel itu dengan hati-hati. Aroma harumnya langsung menyebar campuran wangi daun pisang, ketan, dan kelapa yang masih segar.

Teksturnya lembut namun padat. Iwel-iwel dibuat dari tepung ketan dan parutan kelapa, diberi sedikit garam agar rasanya seimbang. Di tengahnya diletakkan potongan gula merah yang akan meleleh saat dikukus. Gula ini yang sering membuat kejadian lucu: kalau menggigit terlalu semangat, gulanya bisa “mencotot” (keluar muncrat)  istilah orang Jawa. Saya pernah mengalaminya waktu kecil, dan ibu saya hanya tertawa melihat saya sibuk mengelap wajah dan baju.

Iwel-iwel sendiri memiliki dua jenis bungkus. Pertama, dibungkus daun pisang biasa yang dilipat memanjang lalu disemat dengan lidi. Kedua, bentuknya dicontong, seperti kerucut kecil. Keduanya sama-sama cantik dan punya daya tarik tersendiri. Iwel-iwel yang saya beli pagi itu campuran bentuk keduanya, dan melihatnya membuat saya semakin senang.

Saya mengambil satu potong. Saat digigit pelan, rasa gurih kelapa bercampur lembutnya ketan langsung menyebar di mulut. Manisnya gula merah perlahan meleleh, memberikan sensasi hangat dan legit. Rasanya sederhana, namun justru di situlah letak keistimewaannya. Makanan tradisional seperti ini tidak perlu hiasan berlebihan atau rasa yang rumit. Kesederhanaannya justru membangkitkan rasa hangat di dada, seolah membawa pulang masa-masa yang telah lewat.

Sambil menikmati setiap suap, saya teringat betapa makanan bisa menjadi bagian dari perjalanan hidup seseorang. Iwel-iwel tidak hanya soal rasa, tetapi tentang tradisi, kebersamaan, doa, dan rasa syukur. Ia muncul pada peristiwa bahagia lahirnya seorang bayi dan menjadi simbol harapan bagi kehidupan baru. Ketika memakannya, seolah ada kehangatan tersendiri yang ikut menyelinap ke dalam hati.

Hari Minggu itu berubah menjadi lebih bermakna hanya karena sebungkus makanan tradisional. Saya menyadari bahwa memanjakan diri tidak harus dengan sesuatu yang besar atau mahal. Kadang, cukup dengan mencari kembali jejak rasa yang pernah membuat kita bahagia. Seperti iwel-iwel pagi itu, yang pelan-pelan mengantarkan kenangan masa kecil, kebahagiaan desa, dan aroma syukuran yang sederhana namun penuh cinta.

Pada akhirnya saya tahu satu hal yaitu sebuah makanan bukan hanya tentang mengenyangkan perut, tetapi juga tentang menghidupkan kembali bagian-bagian kecil dalam diri kita yang mungkin sempat tertidur. Iwel-iwel berhasil melakukan itu hari ini. Sebuah kebahagiaan sederhana yang menghangatkan Minggu saya sepenuhnya.

Cepu, 8 Desember 2025

Jumat, 05 Desember 2025

Es Bumi Hangus


Karya : Gutamining Saida 
Siang itu cukup panas. Matahari terasa begitu dekat, seperti menempel di atas kepala. Udara kering, langit tanpa awan, dan jalanan berdebu. Saya baru saja pulang dari kegiatan yang cukup melelahkan, dan tubuh rasanya butuh disegarkan. Anak saya mengajak memberi es. Berjalan menyusuri Kota Cepu.  Sesekali mengibas wajahnya dengan tangan.

“Mi, es yang seger enaknya apa ya?” tanyanya. Siang panas begini memang cocok cari yang dingin-dingin. Kami memutuskan untuk berkeliling, mencari minuman segar yang sesuai dengan situasi. Bukan sekadar melepas dahaga, tapi ingin mencari sesuatu yang bisa meredakan penat yang menumpuk di dada.

Tidak jauh dari jalan besar, kami menemukan sebuah warung es kecil sederhana. Kami pun masuk. Di sana terpampang daftar menu dengan nama-nama unik yang membuat saya dan anak saya saling melirik.

Satu nama langsung mencuri perhatian anak saya yaitu Es Bumi Hangus. Saya membaca ulang pelan-pelan. Nama itu terdengar asing, ekstrem, bahkan sedikit lucu. Saya jarang membeli minuman dengan nama yang aneh-aneh takut tidak cocok di lidah, takut rasanya terlalu kuat atau terlalu manis.

Es itu berwarna coklat tua, pekat seperti sisa hangus setelah bara padam. Dari tampilannya, saya mengerti mengapa dinamakan “Bumi Hangus”. Warnanya gelap, sedikit garang. Saya  tidak terlalu menyukai coklat. Rasanya sering membuat saya menggeleng pelan.

“Dik, itu kok warnanya kayak gosong,” kata saya sambil tertawa kecil.
Saya tersenyum. “Ini kayaknya  seleramu.”

Potongan roti tawar putih, serutan jeli bening seperti kelapa muda, mutiara kecil berwarna pink, dan taburan biji selasih di atasnya. Tampak sederhana, tampak bersih, dan entah kenapa terasa dekat dengan hati anak-anak.  Sementara anak saya penasaran dan memilih Es Bumi Hangus.

Ketika pesanan es  datang, saya memandanginya sejenak. Rasanya seperti melihat secuil ketenangan setelah hari yang riuh. Dia menyendok pertama masuk ke mulut, dia terdiam. Ada kelembutan yang sulit dijelaskan. Roti yang basah oleh sirup, jeli yang kenyal, mutiara pink yang memberikan sensasi kecil yang lucu, dan aroma manis yang tidak berlebihan.

Setiap suapan seperti membelai batin yang lelah. Dia tidak bicara banyak, hanya menikmati rasa yang dingin menyentuh tenggorokan, seperti hujan yang turun perlahan ke tanah yang retak. Anak saya terlihat puas. “Enak, Mi! Coklatnya pekat tapi nggak kemanisan,” katanya. Saya tersenyum. Ternyata Tuhan memberi setiap orang cara berbeda untuk menemukan kesegarannya masing-masing.

Di tengah kesibukan hidup, kadang kita lupa mencari ruang kecil untuk menenangkan diri. Siang yang panas itu, sambil duduk di warung kecil, saya dan dia merasa sedang diberi jeda. Jeda yang sederhana tak lebih dari semangkuk es namun cukup untuk menenangkan hati.

Di tengah panas yang melelahkan, di tengah urusan yang tak ada habisnya, Allah masih memberi saya kesempatan untuk merasakan hal-hal kecil yang lembut. Perjalanan pulang terasa lebih ringan. Anak saya sambil bercerita tentang rasa es coklatnya. Saya menatap jalanan yang berkilat karena terik, tetapi hati saya sudah tidak sepanas tadi.

Saya tersadar, sering kali yang kita butuhkan bukan sesuatu yang besar. Kadang hanya semangkuk es yang sederhana. Kadang hanya duduk bersama anak. Kadang hanya berhenti sebentar dari hiruk-pikuk dunia.
Cepu, 5 Desember 2025