Kamis, 01 Mei 2025

Kremes Bu Wiwik



Karya: Gutamining Saida 
Suasana di ruang guru SMPN 3 Cepu sudah terasa berbeda sejak para guru berdatangan. Udara masih segar dengan sisa embun yang belum menguap sempurna, namun kehangatan di dalam ruang guru sudah menyeruak lebih dulu bukan karena matahari, tapi karena aroma kremes yang dibawa Bu Wiwik.

"Ini lho, aku bawa kremes," ujar Bu Wiwik sambil membuka wadah plastik bening yang langsung menguar harum gurih ke seluruh ruangan. Suara ‘kriuk’ kecil terdengar saat ia memecahkan sedikit bagian dari kremesnya. Belum juga ditaruh di meja, beberapa guru yang baru saja masuk sudah disambut oleh aroma yang menggoda.

“Wah, ini wangi banget, Bu Wiwik. Saya boleh coba?” tanya Bu Indri sambil menaruh tas di kursi.

“Coba aja, Bu. Masih anget, lho,” sahut Bu Wiwik sambil menyodorkan wadahnya.

Tanpa pikir panjang, Bu Indri mengambil sejumput kremes dan memasukkannya ke mulut. Suara renyah langsung terdengar. “Kresss…”

“Mmm... ini enak banget, Bu Wiwik! Cocok di lidah. Nggak terlalu asin, tapi gurih dan renyah. Saya pesen dong buat dibawa pulang. Membuat yang banyak ya!”

“Iya Bu, nanti di kemas, ya,” jawab Bu Rohana sambil tersenyum senang.

Belum sempat duduk, Bu Rohana yang dari tadi memperhatikan ikut menyahut, “Aku juga mau, Bu Wiwik. Besok bisa ya?”

“Aku juga mauuuu!” sambung Bu Peni dengan suara semangat sambil menadahkan telapak tangan seperti minta dibagi.

Ruang guru yang biasanya sibuk dengan suara print, klak-klik mouse, dan diskusi soal kelas, hari itu berubah jadi ajang rasa dan pujian untuk satu hal sederhana yaitu kremes.

Saya yang duduk di pojokan sambil memeriksa buku tugas siswa ikut tersenyum melihat antusiasme teman-teman. “Bu Wiwik, ini peluang usaha, lho,” kataku. “Kremesmu bisa jadi produk andalan. Semua orang suka. Apalagi anak-anak, mereka tuh demen banget makanan kriuk-kriuk gitu.”

“Bisa, bisa...,” jawab Bu Wiwik, matanya berbinar seperti mendapatkan ide segar.

Kremes buatan Bu Wiwik memang bukan sembarang kremes. Teksturnya renyah, tidak berminyak, dan rasa gurihnya pas di lidah. Apalagi, ia menggunakan resep dari media sosial dari orang yang berjualan lauk pauk di medsos . Resep sederhana bisa jadi berkah di masa kini.
Cepu, 2 Mei 2025 


Tanggal Merah


Karya :Gutamining Saida 

Tanggal merah yang saya tunggu-tunggu akhirnya tiba. Di tengah rutinitas yang padat, libur sehari saja bisa menjadi oase yang menyegarkan jiwa. Saya dan teman sepakat untuk menghabiskan hari itu dengan berlibur ke tempat yang berbeda dari biasanya. Bukan ke mal atau pusat kota, tapi ke alam terbuka yang bisa membuat kami lebih dekat dengan Sang Pencipta. Pilihan kami jatuh pada Goa Terawang.

Goa Terawang terletak di daerah yang masih asri. Perjalanan menuju ke sana cukup menyenangkan, meski ada sedikit tantangan karena butuh waktu dua jam. Namun, semua itu sebanding dengan pemandangan yang kami temui begitu sampai di lokasi. Hamparan pepohonan hijau, suasana asri dan udara segar tanpa polusi menyambut kami dengan ramah. Rasanya seperti masuk ke dunia yang lain yaitu dunia yang tenang dan damai, jauh dari hiruk pikuk kota.

Setelah memarkir kendaraan, kami berjalan kaki menuju mulut goa. Di sepanjang jalan, tampak beberapa papan informasi tentang sejarah Goa Terawang dan peringatan untuk menjaga kebersihan serta keselamatan. Di sisi jalan, tampak beberapa kera bergelantungan di dahan pohon. Awalnya kami agak ragu, karena sering mendengar cerita tentang kera yang suka merebut makanan atau mengganggu wisatawan. Kera-kera di sini tampaknya berbeda.

Seekor kera mendekati pengunjung, tapi tidak menunjukkan tanda-tanda agresif. Ia hanya duduk sambil memandangi kami, seolah mengamati siapa yang datang hari ini. Beberapa pengunjung lain juga tampak berinteraksi dengan kera-kera itu. Ada yang memberi makanan, ada yang hanya mengambil foto, vidio dari kejauhan. Menariknya, kera-kera itu tidak saling berebut saat diberi makanan. Mereka menunggu dengan sabar, dan jika ada yang mendapat roti, yang lain akan menoleh ke arah pemberi makanan tanpa menunjukkan rasa iri.

Pengunjung yang awalnya takut, mulai menunjukkan rasa penasaran. "Boleh nggak aku kasih roti?" tanya kepada teman sambil mengeluarkan sebungkus roti dari tas. "Lempar aja ya. Pelan-pelan aja, biar mereka nggak kaget," jawab dia.

Pengunjung itu berjalan perlahan dan meletakkan sepotong roti di atas batu. Seekor kera kecil mendekat, mengambil roti, lalu duduk di pinggir jalan dan mulai memakannya perlahan. Pengunjung tertawa senang, "Lucu banget. Kayak ngerti kalau ada yang mau berbagi."

Kami melanjutkan perjalanan menuju goa. Di sepanjang jalan, tampak beberapa kelompok kera lain yang tampak santai di sekitar pohon dan batu-batu besar. Suasananya begitu damai, hingga saya tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah Subhanahu Wata'alla dalam hati. Sungguh, betapa sempurnanya ciptaan Allah. Hewan yang selama ini sering dianggap mengganggu, di tempat ini justru hidup harmonis dengan manusia. "MasyaAllah, ternyata hewan pun bisa bersikap sopan kalau diperlakukan dengan baik." 

Sesampainya di mulut goa, kami disambut udara sejuk dari dalam goa yang alami. Suara tetesan air dari langit-langit goa menciptakan musik alam yang menenangkan. Kami duduk di salah satu sisi, mengamati bebatuan stalaktit dan stalagmit yang terbentuk dari proses ribuan tahun. Sinar matahari yang masuk melalui celah goa menambah keindahan panorama alam ini.

Tidak jauh dari tempat kami duduk, terlihat sekelompok wisatawan lain yang juga beristirahat.  Seorang ibu dengan anak kecil tampak mengambil foto bersama. Kadang menyuruh anaknya kadang berdua. Semua pengunjung asyik mengabadikan dirinya di goa Terawang.

Saya pun jadi merenung. Mungkin selama ini kita terlalu cepat menilai binatang sebagai pengganggu, padahal sebenarnya mereka hanya mengikuti naluri. Jika mereka merasa aman dan tidak diusik, mereka bisa menjadi sahabat yang menenangkan, bahkan mengajarkan kita tentang kesabaran, ketenangan, dan hidup berdampingan.

Dalam perjalanan pulang, kami kembali melewati beberapa ekor kera yang kini tampak sedang bermain. Ada yang bergelantungan, ada yang saling mengelus bulu satu sama lain, ada juga yang hanya duduk memandangi lalu lalang manusia. Saya melihat kembali pengunjung memberi kacang  kepada seekor kera yang mendekat, dan lagi-lagi kera itu menerimanya dengan sikap tenang.

Hari itu menjadi salah satu hari libur yang paling berkesan bagi kami. Bukan karena wahana mewah atau permainan seru, tapi karena pelajaran sederhana yang kami dapat dari alam dan makhluk kecil bernama kera. Kami pulang dengan hati ringan, membawa serta rasa syukur yang lebih besar kepada Sang Pencipta. Bahwa setiap makhluk, sekecil apapun, memiliki peran dan keindahan tersendiri dalam semesta ciptaan Allah Subhanahu Wata'alla.

Cepu, 1 Mei 2025 

Rabu, 30 April 2025

Semangat Yang Mengendap



Karya :Gutamining Saida 
Siang saya mengajar di kelas 7G dengan membawa media pembelajaran sederhana yaitu beberapa kopi saset. Materi yang akan saya sampaikan adalah tentang keberagamaan sosial ekonomi budaya di Indonesia. Saya sengaja menyiapkan kopi saset dengan tampilan menarik, dan di balik setiap bungkusnya, saya tempelkan soal-soal IPS. Setiap siswa akan mendapatkan satu saset dan diminta menyelesaikan soal yang tertempel di belakangnya.

Begitu saya masuk kelas, beberapa siswa langsung penasaran. Karena saya menenteng Kresek putih yang berisi bungkus kopi saset. 

“Bu Saida bawa kopi?” tanya salah satu siswa.
“Tenang, ini bukan untuk diminum sekarang,” jawab saya sambil tersenyum. “Kopi ini membawa misi penting!”

Saya lalu menjelaskan bahwa mereka akan belajar sambil bermain. Di balik setiap bungkus kopi, ada soal yang harus dikerjakan. Jika sudah selesai, boleh tukar kopi dengan teman untuk mengerjakan soal lain. Targetnya adalah menyelesaikan sebanyak mungkin soal dari kopi yang beredar di kelas. Sebuah sistem estafet yang sederhana tapi menyenangkan.

Di barisan depan, duduk dua siswa dengan karakter berbeda yaitu Sambo dan Revan. Sambo dikenal rajin dan cepat menyerap pelajaran. Revan sebaliknya nyantai, mudah teralihkan, tapi tetap sopan dan menyenangkan.

Setelah siswa mengambil kopi saset yang saya sebar di lantai. Kondisi meja guru di kelas 7G kecil. Mereka setelah mengambil satu saset mulai sibuk membaca dan menulis jawaban di buku masing-masing. Ada yang langsung sigap, ada juga yang butuh waktu untuk membaca soal dengan seksama.

Sambo bergerak cepat. Tak hanya menyelesaikan soal di kopi pertamanya, ia sudah bertukar lima kali dengan teman-temannya. “Bu, saya sudah dapat 5 soal,” lapornya sambil tersenyum lebar. Saya cek, jawabannya rapi dan sebagian besar benar.

Revan yang masih memegang kopi keduanya hanya bisa geleng-geleng. “Kok cepet banget, Bu. Saya baru dapat 2  soal,” komentarnya.

Saya menghampiri dan menepuk bahunya pelan. “Tidak apa-apa, Revan. Ayo tetap semangat. Lihat jam, waktumu masih ada. Nggak perlu terburu-buru, yang penting paham,” ucap saya memberi semangat.

Revan mengangguk. Ia kembali menunduk, membuka bungkus kopi yang baru, membaca soalnya perlahan.

Sementara itu, di sudut lain kelas, anak-anak tampak saling bertukar kopi saset. Ada yang tertawa kecil ketika menemukan soal yang menantang, ada yang berdebat tentang jawaban yang benar. Suasana hidup, dinamis, dan penuh kerja sama. Kopi menjadi jembatan belajar yang menyenangkan.

Beberapa menit menjelang akhir pelajaran, Revan menghampiri saya dengan lembar jawabannya. “Bu, saya sudah selesai 15 soal,” ucapnya, kali ini dengan nada bangga.

Saya tersenyum lebar. “Bagus, Revan! Kamu sudah berusaha. Ibu bangga karena kamu tidak menyerah.”

Saya kemudian memanggil Sambo dan Revan ke depan kelas. Saya berikan  motivasi dan jempol  kepada Sambo sebagai penghargaan atas ketekunannya. Kepada Revan, saya juga berikan semangat. Ia merasa malu.

“Saya nggak bisa menyelesaikan paling banyak, Bu,” ujarnya.

Saya menjawab, “Tapi kamu tetap mencoba sampai akhir, Revan. Semangatmu itu yang Ibu apresiasi.”

Sambo menimpali dengan senyum, “Gantian kamu yang menang minggu depan ya, Van.”

Revan tertawa. “Siap, Bro!”

Bel berbunyi. Anak-anak keluar kelas dengan membawa sisa semangat dan aroma kopi yang masih menguar samar di udara.

Malam harinya, seorang siswa dari kelas lain mengirim pesan pribadi. “Bu Saida, cerita kelas 7G mana?”

Saya terdiam sejenak. Sebenarnya tak ada kejadian dramatis di kelas itu. Tapi saya sadar, ada semangat kecil yang tumbuh dari soal di balik kopi saset. Semangat kerja keras, pantang menyerah, dan menghargai proses. Maka saya menulis kisah ini, bukan untuk pamer, tapi untuk melatih keberanian saya berbagi. Syukur-syukur bisa memotivasi siswa, termasuk yang tadinya hanya nyimak diam-diam.

Karena inspirasi kadang tersembunyi di balik hal sederhana yaitu seperti di balik bungkus kopi yang dibuka dengan semangat dan rasa ingin tahu.
Cepu, 1 Mei 2025 



Kopi dan Ips

Karya :Gutamining Saida 
Zaman sudah berubah. Dulu, kopi adalah minuman khas orang tua, terutama para bapak yang menikmati waktu senggang mereka di sore atau malam hari sambil menyeruput secangkir kopi hitam. Aroma kopi selalu identik dengan percakapan serius, obrolan santai di teras rumah, atau pertemuan-pertemuan orang dewasa. Tapi sekarang, pemandangan itu telah bergeser. Di minimarket, warung, hingga kafe, terlihat anak-anak muda bahkan anak-anak sekolah dasar sudah terbiasa membeli kopi dalam bentuk sachet maupun minuman kemasan kekinian. Tak hanya laki-laki, banyak perempuan remaja yang juga menikmati kopi dengan berbagai rasa yaitu kopi susu, kopi gula aren, sampai kopi krim manis yang menjadi tren di media sosial.

Fenomena ini menjadi perhatian saya sebagai guru IPS. Sebuah ide terlintas ketika saya melihat beberapa siswa suka minum kopi. Ada rasa penasaran di dalam hati saya yaitu mengapa tidak memanfaatkan kebiasaan ini sebagai alat untuk mendekatkan siswa dengan pelajaran yang selama ini mereka anggap tidak menarik?

IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) sering kali dianggap sebagai mata pelajaran yang membosankan. Banyak siswa yang merasa bahwa pelajaran ini hanya berisi hafalan dan teori. Padahal, IPS sangat dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari. Dari interaksi sosial, aktivitas ekonomi, hingga nilai-nilai budaya, semua tercermin dalam kehidupan mereka. Sayangnya, persepsi itu belum tertanam dengan baik di benak mereka.

Saya pun mulai merancang sebuah metode pembelajaran yang berbeda. Saya kumpulkan beberapa sachet kopi mulai dari kopi gula aren, kopi hitam, kopi susu, hingga minuman sereal seperti Energen. Tidak perlu banyak, cukup untuk satu kelas yang berisi sekitar 32 siswa dan saya lebihkan 5 sehingga berjumlah 37 buah.

Saat pelajaran IPS di kelas 7C saya menyampaikan materi seperti biasa. Hari itu topiknya adalah Keberagaman sosial budaya.  Saya sengaja menyampaikan materi dalam waktu yang singkat agar masih ada waktu untuk kegiatan utama. Setelah selesai, saya berkata pada siswa dengan kalimat santai, “Anak-anak, hari ini kita ngopi bareng, ya!”

Seisi kelas langsung terdiam. Mereka menatap saya, lalu saling berpandangan satu sama lain. Beberapa tampak bingung, bahkan ada yang melongo. Mungkin mereka mengira saya sedang bercanda. Tapi saya melanjutkan dengan mengambil kantong plastik berisi sachet-sachet kopi yang sudah saya siapkan dari rumah. Saya letakkan semua sachet itu di atas meja guru. 

“Kalian boleh ambil satu sachet. Tapi di balik sachet itu ada soal IPS. Tugas kalian adalah menjawab soal tersebut di buku masing-masing. Kalau sudah selesai, boleh ambil lagi satu sachet yang lain. Kita belajar sambil menikmati minuman favorit kalian.”

Wajah mereka perlahan berubah. Ekspresi heran berganti dengan antusiasme. Satu per satu siswa maju mengambil sachet. Ada yang memilih GoodDay karena rasanya manis, ada yang penasaran dengan kopi hitam, ada juga yang memilih Energen karena belum terbiasa dengan kopi. Setelah kembali ke tempat duduk, mereka membalik sachet dan menemukan soal di bagian belakang yang sudah saya tempelkan sebelumnya.

Soalnya tidak sulit, tapi menantang. Semuanya berhubungan dengan materi yang baru saja saya sampaikan. Misalnya: “Berikan 3 contoh budaya material!"
 atau “Apa pengertian Keberagaman sosial budaya?”

Siswa yang biasanya pasif, kali ini tampak aktif. Mereka membaca dengan seksama, berpikir, lalu menulis jawabannya dengan serius. Setelah selesai, mereka kembali maju, mengambil sachet lain, dan mengulang proses yang sama. Kelas berubah menjadi ruang belajar yang hidup. Aroma kopi menyebar di ruangan, menciptakan suasana yang santai, hangat, dan menyenangkan.

Saya berjalan berkeliling, memantau pekerjaan mereka, dan tak lupa memberikan pujian bagi yang sudah selesai dengan jawaban yang tepat. “Bagus,  Jawabanmu lengkap,” kata saya pada salah satu siswa. Rendi tersenyum malu-malu, tetapi saya bisa lihat rasa bangga terpancar dari wajahnya.

Kegiatan itu berlangsung selama satu jam pelajaran. Tidak hanya belajar IPS, mereka juga belajar untuk tertib, disiplin, dan saling menghargai saat bergiliran mengambil sachet. Bahkan beberapa siswa yang biasanya sulit fokus di kelas, kali ini terlihat benar-benar menikmati proses belajar.

Saat bel berbunyi tanda pelajaran selesai, beberapa siswa berkata, “Bu, besok ngopi lagi, ya?”

Saya tersenyum sambil membereskan meja. “Bisa saja. Tapi jangan lupa, ngopi kita hari ini bukan sekadar minum kopi, tapi juga minum ilmu.”

Hari itu saya belajar satu hal penting yaitu bahwa setiap perubahan zaman membawa peluang baru bagi pendidik untuk menyesuaikan metode mengajar. Dengan memahami kebiasaan dan minat siswa, guru bisa menghadirkan pembelajaran yang relevan dan menyenangkan.

Usaha memang tidak pernah mengkhianati hasil. Dari sebuah ide sederhana, saya berhasil menarik minat siswa saya terhadap pelajaran IPS. Kini, mereka tidak lagi menganggap IPS sebagai pelajaran yang membosankan. Mereka menanti pelajaran ini dengan semangat, bahkan bertanya apakah minggu depan akan ada “ngopi bareng” lagi. Dan saya pun tahu, selama semangat belajar mereka terus tumbuh, saya akan selalu punya alasan untuk terus berinovasi.
Cepu, 30 April 2025 



Ngopi Bareng Di Kelas


Karya: Gutamining Saida 
Suasana kelas 7D terasa berbeda. Mata pelajaran IPS baru saja dimulai, saya berdiri di depan kelas. Saya baru saja menjelaskan materi tentang keberagamaan sosial budaya  dan seperti biasa, ada wajah-wajah yang tampak mengantuk, ada pula yang mencatat dengan semangat, dan sebagian lainnya asyik memperhatikan saya dengan ekspresi ingin tahu.

Setelah menyelesaikan penjelasan materi, saya berkata dengan santai namun serius, “Anak-anak, habis ini kita ngopi bareng, ya.'' Mendengar kalimat itu, suasana kelas mendadak hening. Beberapa siswa saling berpandangan. Ada yang mengangkat alis, ada yang menoleh ke temannya sambil berbisik pelan, bahkan ada yang hanya bisa melongo menatap saya dengan ekspresi kebingungan. Raut wajah mereka seakan berkata, “Bu Saida kita serius mau ngopi? Masa iya di sekolah boleh minum kopi?”

Saya menahan senyum, membiarkan mereka larut dalam keheranan sejenak. Lalu dengan perlahan saya membuka tas dan mengeluarkan satu kantong plastik besar. Dari dalamnya, saya keluarkan satu per satu sachet minuman yaitu Kopi gula aren, Top Coffee hitam, GoodDay berbagai rasa, dan tak ketinggalan Energen sereal & susu bagi yang tak suka kopi.

Begitu semua sachet saya tata di atas meja guru, seisi kelas menatap saya dengan mata penuh tanya. Ada yang langsung berseru kecil, “Lho... beneran, Bu?! Kita ngopi beneran?”

Saya mengangguk sambil tersenyum. “Iya dooong. Tapi bukan hanya ngopi biasa. Ini ngopi sambil mikir. Di balik setiap sachet ini ada soal IPS. Kalian ambil satu, balikkan sachetnya, dan jawab soal yang tertulis di sana. Tulis jawabannya di buku kalian, lalu kalau sudah selesai, boleh ambil lagi sachet berikutnya.”

Sekarang ekspresi siswa berubah total. Antusiasme mulai tampak di wajah mereka. Tanpa perlu disuruh dua kali, satu deret pertama segera maju ke meja guru. Mereka memilih sachet dengan gaya masing-masing yaitu ada yang cepat mengambil, ada yang membaca dulu satu per satu seolah ingin mencari tantangan tertentu.

Begitu mereka kembali ke tempat duduk masing-masing, suasana kelas berubah jadi seperti warung kopi mini. Aroma kopi perlahan mulai tercium di seluruh ruangan. Beberapa siswa tersenyum sendiri ketika membuka dan membaca soal yang tertulis di balik sachet. Ada yang langsung menulis jawabannya dengan yakin, ada pula yang mengernyit bingung.

“Saya pilih Energen, Bu,” kata Alina sambil tersenyum. “Soalnya bukan tentang kopi, kan?”

Saya tertawa kecil. “Tenang, soal tetap sesuai materi. Nggak ada hubungan sama kopi, kok.”

Sementara itu, Orva yang duduk di bangku belakang sudah selesai menjawab soal pertama dan maju lagi ke depan. “Saya mau tantangan, Bu. Mau yang pahit, Top Coffee hitam,” katanya sambil mengambil sachet dan tertawa sendiri.

Satu demi satu siswa mengikuti. Mereka terlihat aktif, semangat, dan yang paling penting yaitu mereka belajar dengan senang. Tak ada paksaan, tak ada beban. Bahkan siswa yang biasanya pasif dan sulit diajak aktif, kali ini menunjukkan antusiasme luar biasa.

Zaman sekarang memang sudah berubah. Jika dulu kopi identik dengan bapak-bapak atau orang tua yang duduk santai di beranda rumah, sekarang anak-anak muda pun mulai akrab dengan kopi. Di media sosial, minuman kopi kekinian jadi tren. Di minimarket atau kantin sekolah, sachet kopi berbagai rasa tersedia dan sering dibeli. Anak-anak tidak lagi asing dengan kopi, bahkan sudah tahu mana kopi yang manis, mana yang pahit, dan mana yang cocok diminum sambil belajar.

Ada yang berkata sambil tertawa, “Bu, ini kopi tapi kayak kuis, ya. Seru!”

Yang lain menimpali, “Kalau setiap pelajaran IPS kayak gini, aku nggak bakal ngantuk, Bu!”

Saya hanya bisa tersenyum bahagia. Di balik gurauan dan tawa mereka, saya tahu bahwa mereka sedang berpikir, sedang mengingat materi, dan sedang melatih diri untuk memahami konsep keragaman sosial budaya dengan cara yang menyenangkan.

Setelah semua sachet habis dibagikan, dan semua soal berhasil mereka selesaikan, saya memberi kesempatan untuk bertanya jika ada yang tidak paham. Ternyata, diskusi pun mengalir lancar. Karena sudah mengalami sendiri proses “belajar sambil ngopi”, mereka jadi lebih mudah menyerap konsep-konsep yang sebelumnya terasa rumit.

Saya tutup pelajaran hari itu dengan refleksi kecil. Saya ajak mereka merenung yaitu kadang belajar tidak harus duduk diam dan mencatat. Belajar bisa dilakukan dengan cara yang kreatif, yang menyentuh rasa ingin tahu dan membuat mereka merasa dihargai.

Hari itu saya bahagia dengan senang hati . Bukan karena berhasil membuat mereka ngopi, tapi karena berhasil membuat mereka mau belajar dengan senang hati. Dalam kelas yang sederhana, saya melihat semangat besar untuk menjadi lebih baik, satu teguk ilmu dalam sesaset kopi.
Cepu, 30 April 2025 


-

Minggu, 27 April 2025

Menapak Langkah Jejak Sunan Bonang




Karya: Gutamining Saida 
Mentari bersinar terik di atas langit perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Rombongan kecil dari berbagai wilayah, seperti Bojonegoro dan Blora, mulai bergerak mengikuti perjalanan religi bertajuk Tour Padang Mbulan. Para peserta, yang sebagian besar baru kali ini bertemu, membawa semangat yang sama yaitu menapaktilasi jejak para wali, mencari makna dalam perjalanan batin mereka masing-masing.

Kendaraan pribadi dan beberapa sepeda motor beriringan, membelah jalanan desa yang berdebu. Sesekali, pohon-pohon jati yang tinggi melambai seolah menyapa. Perjalanan terasa akrab meski banyak dari kami belum saling mengenal. Sepanjang perjalanan, ada yang saling bertukar cerita, ada pula yang memilih termenung menatap ke luar jendela, membiarkan pikiran larut dalam suasana.

Tujuan lokasi terakhir kami adalah Goa Sentono, petilasan Sunan Bonang yang penuh sejarah dan sakral. Menurut jadwal, kami seharusnya tiba di lokasi sebelum Maghrib, namun perjalanan ternyata lebih panjang dari perkiraan. Beberapa peserta meminta lanjut  untuk berwudhu dan istirahat, sementara yang lain menikmati pemandangan pedesaan sekitar goa sentono yang asri. Waktu terasa cepat berlalu.

Akhirnya, setelah perjalanan yang cukup melelahkan, kami sampai di lokasi saat adzan Maghrib berkumandang. Langit jingga mulai berganti menjadi ungu, dan angin sore membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Para panitia tampak sudah bersiap, menata segala keperluan. Walaupun sedikit mundur dari jadwal, semua tetap tersenyum, saling menyapa dan membantu menurunkan barang-barang.

Di pelataran dekat goa, ada sebuah  gasebo megah sudah disiapkan  beberapa meja, kursi tersusun rapi, penuh dengan hidangan makan malam yang menggoda antara lain nasi putih mengepul, oseng tahu gurih beraroma harum, ayam goreng yang renyah, serta mie goreng yang tampak menggoda dengan taburan irisan kol dan wortel. Di sudut, satu ceret besar berisi es teh disediakan, siap memadamkan dahaga setelah perjalanan panjang.

Sistem prasmanan yang diterapkan membuat suasana semakin santai. Satu per satu, peserta mengambil piring dan mulai mengambil makanan sesuai selera. Tawa kecil terdengar di sana-sini. Ada yang tertawa malu saat tanpa sengaja menjatuhkan sendok, ada pula yang dengan hangat menawarkan mie goreng lebih banyak kepada peserta lain yang baru dikenal. Momen ini sungguh menciptakan rasa kekeluargaan yang hangat.

Saya sendiri sempat berbincang dengan seorang panitia dari Bojonegoro yang bercerita tentang pengalamannya mengikuti jejak wali sejak dulu. Ia berbagi kisah tentang perjalanan sunyi di berbagai makam wali di pesisir utara Jawa, lengkap dengan pengalaman spiritual yang membuat bulu kuduk meremang. Di sebelah saya seorang ibu dari Blora yang mengajak putrinya masih duduk di bangku sekolah dasar  Aslinya dari Ngoken dengan ramah menyapa. Seorang wanita cantik dari Bojonegoro yang enerjik dan ramah. 

Sambil menyantap nasi hangat dengan ayam dan oseng tahu, kami berbagi cerita seputar kehidupan sehari-hari, pekerjaan, dan pengalaman rohani masing-masing. Tidak ada sekat, tidak ada perbedaan status, semua melebur menjadi satu keluarga besar dalam suasana malam itu.

Setelah makan malam, sebagian peserta menuju ke dalam Goa Sentono untuk berdoa. Goa kecil itu, yang dipercaya sebagai tempat Sunan Bonang bertafakur, terasa begitu hening dan khusyuk. Lampu-lampu temaram menambah suasana sakral. Doa-doa lirih terdengar di antara gumaman dzikir yang terpantul dari dinding goa yang dingin.

Saya duduk sejenak tidak ikut turun dekat pintu masuk goa, sebab kondisi sudah agak gelap, sang surya sudah menghilang. Saya membiarkan diri larut dalam keheningan. Ada sesuatu yang berbeda malam itu. Bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi seakan ada perjalanan batin yang sedang berlangsung dalam diri saya sendiri. Perjalanan untuk kembali mengingat bahwa hidup ini bukan hanya tentang mengejar dunia, tetapi juga tentang mencari makna dan kedekatan dengan Sang Pencipta.

Menjelang malam semakin larut, rombongan perlahan mulai bersiap kembali pulang. Beberapa masih sempat bercanda ringan, mengambil foto bersama di gasebo menikmati makan bersama. mengabadikan momen yang mungkin akan lama terkenang. 

Dalam perjalanan pulang, jalanan terasa lebih sunyi. Lampu-lampu kendaraan berkilau seperti kunang-kunang di tengah gelapnya malam desa. Suasana di dalam mobil lebih tenang, banyak yang terdiam, merenung. Saya sendiri menyandarkan kepala di jendela, membiarkan pikiran melayang ke berbagai percakapan yang tadi mengalir, kepada sambal kampung yang pedasnya masih terasa di lidah, dan tentu saja, kepada kesan mendalam saat berdoa di Goa Sentono.

Tour Padang Mbulan ini bukan hanya perjalanan ziarah biasa. Ini adalah perjalanan jiwa. Sebuah perjalanan di mana saya menemukan kembali arti kebersamaan, keikhlasan, dan kerinduan akan hal-hal sederhana yang membawa kita lebih dekat kepada-Nya.
Cepu, 28 April 2025 

Izin Minum Di Tengah Ketegangan


Karya: Gutamining Saida 
Sinar matahari terasa garang di langit. Panasnya seakan menembus genting sekolah dan menyebar ke seluruh ruang kelas. Saat itu jam pelajaran ke-6 dan ke-7, waktu yang kerap menjadi ujian kesabaran, baik bagi guru maupun siswa. Saya mengajar di kelas 7G, kelas yang terkenal dengan keberagamaannya yaitu ada yang pendiam, ada yang jahil, ada pula yang sangat aktif bertanya.

Saya manfaatkan untuk membahas pekerjaan rumah yang sudah mereka kerjakan minggu lalu. Sebuah pekerjaan rumah yang sebenarnya cukup sederhana, namun tetap menuntut ketelitian. Saya berjalan dari deretan bangku paling depan ke belakang, mengecek satu per satu buku mereka. Suasana sempat sedikit riuh, beberapa anak bergumam, ada juga yang mencoba bertanya tentang jawaban mereka, namun saya hanya tersenyum sambil memberi isyarat agar bersabar sampai pengecekan selesai.

Setelah semua buku diperiksa, saya berdiri di depan kelas dan mengatur posisi. Dengan spidol di tangan, saya mulai membahas soal pertama. Anak-anak tampak cukup serius memperhatikan. Beberapa dari mereka bahkan memiringkan kepala, seolah berusaha memahami penjelasan saya dengan lebih baik. Saya merasa lega, mengira ini akan menjadi jam pelajaran yang produktif.

Satu soal telah selesai dibahas. Saya hendak melanjutkan ke soal kedua ketika tiba-tiba dari deretan  belakang seorang anak laki-laki mengangkat tangan tinggi-tinggi. Dia adalah Farhan anak yang dikenal ceria, kadang suka usil, tapi juga punya rasa ingin tahu yang tinggi.

Suasana kelas langsung hening. Semua mata tertuju padanya, termasuk saya. Dalam hati, saya sedikit berbunga. Mungkin Farhan akan bertanya tentang materi, atau mungkin dia akan menjawab soal berikutnya, pikir saya.

"Iya, silakan Farhan," ucap saya sambil tersenyum menyemangatinya.

Farhan berdiri dengan sedikit tergesa, tangannya masih setengah terangkat. Dengan suara cukup lantang, ia berkata, "Bu… bu… saya ijin minum!" katanya singkat.

Sekejap, harapan yang menggantung di udara seolah jatuh pecah di lantai kelas. Saya refleks mengerjap, seolah memastikan apakah saya tidak salah dengar. Teman-temannya yang semula duduk tegang, menunggu jawaban soal kedua, terlihat menghela napas panjang. Beberapa ada yang memutar bola mata, ada pula yang terkikik kecil menahan kecewa.

Saya tersenyum kecut. "Oh, iya Farhan. Silakan," jawab saya sambil menahan tawa kecil yang hampir meledak. Farhan dengan cepat  mengangkat botol minuman lantas membuka tutup sambil komat kamit dan minum, dengan santainya, seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

Sementara itu, anak-anak yang lain mulai ribut kecil, bergumam kecewa. "Kirain mau jawab, eh malah ijin minum," bisik salah satu siswa. Yang lain ikut tertawa pelan.

Saya kembali mengetuk papan tulis dengan spidol. "Anak-anak, fokus ya. Kita lanjut ke soal kedua," seru saya mencoba mengembalikan perhatian mereka.

Namun suasana sudah sedikit berubah. Saya bisa merasakan ada tawa-tawa kecil yang masih tertahan, ada gelombang kegemasan kecil yang mengambang di udara. Seolah, Farhan telah sukses mencuri fokus satu kelas hanya dengan tiga kata sederhana.

Saya lanjutkan pembahasan soal kedua dengan sedikit lebih cepat, berharap suasana kembali normal. Meski begitu, di sela-sela penjelasan, saya beberapa kali melirik ke arah Farhan yang kini sudah duduk kembali di bangkunya, menyeruput air minum dari botol dengan wajah puas.

Setelah pembahasan soal-soal selesai, saya menutup pertemuan hari itu dengan sedikit refleksi. Saya bertanya kepada anak-anak apa yang mereka rasakan saat mengerjakan PR minggu lalu, bagian mana yang sulit, dan bagian mana yang mereka suka. Farhan, yang tampaknya sudah merasa cukup minum, kali ini dengan semangat mengacungkan tangan.

Saya memberinya kesempatan berbicara lagi, meski kali ini saya sempat berkelakar, "Mau ijin apa lagi, Farhan?"

Kelas meledak dalam tawa. Farhan pun ikut tertawa, lalu dengan polos menjawab, "Enggak, Bu. Saya mau jawab beneran. Tadi tuh saya kehausan banget, takut nggak konsen."

Jawabannya membuat saya tersenyum lebih lebar. Ada kejujuran polos di balik sikapnya yang tadi mengagetkan semua orang. Farhan menjelaskan jawabannya untuk refleksi PR dengan cukup baik, menunjukkan bahwa sebenarnya dia memang memperhatikan pelajaran, hanya saja tubuhnya lebih dulu meminta perhatian lewat rasa hausnya.

Saya belajar sesuatu yaitu di dunia anak-anak, kadang kebutuhan sederhana seperti haus, lapar, atau rasa ingin buang air bisa mengalahkan semua ketegangan intelektual. Tugas saya sebagai guru bukan hanya mengajar materi, tetapi juga memahami dunia kecil mereka yang penuh kejutan.

Di ruang guru saya tersenyum sendiri mengingat kejadian itu. Rasanya, pengalaman hari ini akan menjadi salah satu kenangan lucu yang akan saya ingat bertahun-tahun kemudian tentang seorang Farhan, yang mengangkat tangan di tengah ketegangan kelas, bukan untuk bertanya atau menjawab, tapi hanya untuk... izin minum.
Cepu, 28 April 2025 



Minggu Terasa Nikmat



Karya : Gutamining Saida 
Minggu cuaca terasa begitu bersahabat. Udara sejuk yang berhembus perlahan seolah mengajak saya dan putri saya untuk beranjak keluar rumah. Tanpa rencana yang begitu matang, kami berdua memutuskan untuk melaju ke pasar, berburu belanja mingguan. Rasanya menyenangkan menghabiskan waktu berdua, apalagi dengan kesibukan harian yang sering menyita waktu kebersamaan kami.

Setelah selesai memilih aneka kebutuhan dapur, dari sayur-mayur segar hingga beberapa bumbu dapur yang mulai menipis stoknya di rumah, perut mulai memberikan tanda. Rasa lapar perlahan menyerang, mengingatkan bahwa kami belum sarapan. Sambil membawa beberapa kantong belanjaan, kami berdua  sepakat mencari sarapan nasi jagung yang tak hanya enak tapi juga sehat.

Dalam perjalanan saya membayangkan betapa nikmatnya. Saya menangkap sebuah keramaian kecil di sudut lapangan. Ternyata tempat itu yang anak saya ceritakan sebagai warung makan sederhana yang menjajakan menu sarapan tradisional yaitu nasi jagung. Dia sudah beberapa kali mencoba dan menikmatinya. Tanpa pikir panjang, saya berdua segera memutuskan untuk singgah sarapan.

Warung itu tampak ramai. Pembelinya didominasi oleh para remaja laki-laki dan perempuan yang sepertinya juga baru saja usai berolahraga atau mungkin sekadar berkumpul untuk sarapan, mengisi kegiatan pagi. Di antara kerumunan itu, terlihat pula beberapa ibu-ibu yang datang bersama anak atau cucu mereka. Suasana terasa akrab dan penuh semangat, persis seperti nuansa pagi yang kami butuhkan.

Begitu sampai, kami diarahkan untuk memesan dan menulis pesanan terlebih dahulu. Ada beberapa menu sederhana yang tersedia begitu menggoda aroma maupun tampilannya. Beberapa saat kami berembuk memilih menu. Menulislah pesanan kami. Nasi jagung ditambah lauk seperti betiti, oseng ikan asin, bothok, dan peyek ikan asin. Saya memilih nasi jagung dengan sayur asem lumbu, putri saya memilih nasi jagung sayur menir lengkap dengan betiti, oseng ikan asin, bothok dan peyek ikan asin. Tambah  satu piring tempe goreng untuk cemilan tambahan.

Untuk minuman, kami memilih dua botol air mineral, menghindari pilihan manis seperti es teh atau es jeruk. Setelah menulis pesanan, kami mencari tempat duduk lesehan di bawah pohon yang rindang. Pembeli cukup ramai, kami menunggu antrian panjang. Pesanan akan diantar ke lokasi. Pelayan sambil memanggil nama pemesan. 
 
Tak lama, pesanan kami pun datang. Dua porsi nasi jagung, dengan sayur asem lumbu, dan satunya sayur menir bayam yang tampak menggoda. Cara penyajiannya piring diberikan daun jati dahulu sebelum ditata nasi sayur dan lengkap lauknya. Nasi jagungnya berbutir agak kasar, berwarna kekuningan, berpadu dengan kuah sayur asem yang segar dan aroma khas lumbu yang menggoda.

Sambil memegang sendok, saya melirik putri saya dan tersenyum. "Siap menikmati sarapan nasi jagung?"  Putri saya tertawa kecil. "Siap, mi! penasaran sama rasa sayurnya."

Kami berdoa sejenak, lalu mulai menyantap. Gigitan pertama langsung membuat saya terdiam sejenak, menikmati rasa gurih dan sedikit manis alami dari nasi jagung, yang berpadu dengan segarnya kuah sayur.

Anak saya juga tampak semangat. Ia mengunyah perlahan, lalu berkata, "Mii nasi jagungnya beda ya rasanya? Nggak kayak nasi jagung di pasar Tiban. Ini lebih... kayak ada manis-manisnya gitu." Saya tersenyum, merasa senang melihat kepekaannya.
"Iya, . Nasi jagung itu memang lebih manis alami, lebih berserat juga. Sehat untuk badan."

Sambil menyeruput kuah menir bayam, anak saya menunjuk ke lauk kecil di piring. "Yang ini apa, mii? Kecil-kecil tapi enak banget!" tanyanya. "Itu ikan kecil yang digoreng. Coba makan sama nasi, biar tidak asin ?" jawab saya  sambil menambahkan sepotong ikan asin ke sendoknya.

Ia mencobanya, lalu mengangguk cepat. "Enak banget! Gurih kayak keripik, tapi ada rasa ikannya." Saya ikut mencicipi betiti, lalu mengambil bothok yang didekat oseng ikan asin. "Bothoknya juga enak, Cobain," Anak saya mencolek sedikit botok dan mencicipinya. Wajahnya sempat ragu, lalu ia mengangguk perlahan.

Sambil melanjutkan makan, kami menikmati gorengan tempe yang masih hangat. Putri saya berkata lagi, "Tempenya juga beda, mii. Ini keras, renyah banget." Saya mengangguk setuju. "Betul. Gorengan kalau baru diangkat, masih panas, rasanya memang paling enak."

Suasana warung semakin ramai, tapi kami tetap menikmati momen berdua ini. Obrolan ringan soal rasa makanan, diselingi tawa kecil, membuat sarapan sederhana ini terasa sangat istimewa. Setelah semua makanan habis dan hanya tersisa botol air mineral kosong, kami menuju kasir. Saat pelayan menyebutkan jumlah totalnya, saya agak terkejut. "Semua jadi dua puluh satu ribu, mbak," katanya ramah. Saya tersenyum puas. Untuk dua porsi nasi jagung, dua botol air mineral, dan satu piring gorengan tempe, harga itu benar-benar terasa "sehat" di kantong.

Sambil berjalan keluar dari warung, putri saya berkata, "Umi, lain kali kita ke sini lagi ya. Saya suka nasi jagungnya." "Pastilah. Sarapan sehat, hati pun ikut sehat." Hari Minggu kami terasa lengkap. Bukan hanya karena perut kenyang, tetapi juga hati yang dipenuhi kehangatan, tawa, dan rasa syukur atas kebersamaan kecil yang begitu berharga. Kebahagiaan memang sesederhana itu yaitu sepiring nasi jagung, seteguk air putih, dan obrolan ringan bersama orang tercinta.
Cepu, 27 April 2025




Jumat, 25 April 2025

Dua Sumber Inspirasi

Karya : Gutamining Saida

Saya percaya bahwa setiap pertemuan adalah takdir, dan setiap orang yang hadir dalam hidup kita membawa pesan tersendiri dari Sang Pencipta. Saya sangat merasakannya saat menjalani hari-hari sebagai guru. Tak hanya dari ruang kelas dan interaksi dengan siswa, tapi juga dari pertemanan, dari obrolan sederhana, dan dari perjumpaan yang kadang tak disangka-sangka. Dua sosok istimewa yang begitu memberi warna dalam perjalanan menulis saya adalah Bu Endang dan Bu Wiwik.

Bu Endang saya temui ketika saya masih mengajar di Kedungtuban. Ia adalah guru mata pelajaran Bahasa Inggris. Sosoknya tenang, ramah, dan selalu punya cara tersendiri dalam melihat segala hal dari sudut pandang yang tak biasa. Setiap kali kami duduk bersama, entah di ruang guru atau hanya saling berdiri di teras sekolah sembari menikmati semilir angin, pasti ada saja percakapan yang menggugah saya untuk menulis. Obrolan kami bukanlah diskusi serius atau kajian ilmiah, melainkan percakapan ringan yang ternyata kaya makna.

Kadang ia menceritakan pengalaman mengajarnya, bagaimana ia menghadapi siswa yang kesulitan memahami grammar, atau tentang bagaimana ia mencoba menjembatani mimpi-mimpi anak desa agar mampu bersaing di dunia global. Ucapannya sering sederhana, tetapi menyentuh hati. Saya merasa seperti sedang membaca halaman demi halaman buku yang belum pernah saya temui di rak mana pun. Dari obrolan itu, saya sering menemukan ide untuk menulis catatan harian, esai pendek, hingga puisi. Nama Bu Endang pun selalu terselip dalam hati saya sebagai sosok yang membawa inspirasi dalam diam.

Kemudian, waktu membawa saya ke tempat baru. Tugas dan panggilan profesi menggiring langkah saya ke Cepu. Sebuah lingkungan baru, tantangan baru, dan tentu saja pertemanan baru. Awalnya, saya merasa ragu apakah saya bisa menemukan kenyamanan seperti saat bersama Bu Endang dulu. Namun rupanya, Allah Subhanahu Wata'alla mempertemukan saya dengan Bu Wiwik, sosok yang tidak kalah istimewa. Uniknya, beliau pun guru Bahasa Inggris.

Bu Wiwik hadir dengan semangat yang ceria, penuh energi, dan kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sekitar. Ia seringkali menyapa dengan hangat, menyelipkan humor dalam kalimatnya, namun tak pernah kehilangan esensi. Setiap kali kami bercakap, ada semacam aliran semangat yang menular. Ia bisa bercerita tentang metode pengajaran terbaru, mengaitkannya dengan budaya lokal, bahkan kadang menyisipkan cerita kehidupan yang mengandung pesan-pesan spiritual. Obrolan dengannya tidak hanya membuat saya merasa diterima, tetapi juga memunculkan kembali semangat untuk menulis dengan lebih luas, lebih terbuka, dan lebih jujur.

Saya merasa sangat bersyukur. Dua sosok guru Bahasa Inggris ini datang di dua waktu dan tempat yang berbeda, tetapi memberikan dampak yang sama yaitu menyiram semangat menulis saya agar terus tumbuh dan berbunga. Mereka seperti dua mata air yang tak pernah kering, memberikan inspirasi tanpa mereka sadari. Dari mereka, saya belajar bahwa ide-ide itu bisa datang dari mana saja. Bahkan dari obrolan yang tampak remeh, bisa lahir tulisan yang menggugah dan bermanfaat bagi orang lain.

Menulis bagi saya bukan hanya tentang menuangkan kata, tetapi juga tentang menyampaikan makna. Dan untuk bisa menyampaikan makna, saya perlu hati yang peka, telinga yang mendengar, dan mata yang jeli. Kedua sahabat ini membantu saya untuk lebih membuka diri, melihat dunia dengan cara yang berbeda, dan meresapi setiap peristiwa sebagai pelajaran. Mereka tidak hanya teman kerja, tapi juga sahabat dalam perjalanan menulis saya.

Saya percaya bahwa tulisan yang lahir dari hati, dari pengalaman nyata, dan dari pertemuan dengan orang-orang baik, akan memiliki napas yang panjang. Ia akan sampai pada pembaca yang tepat, di waktu yang tepat. Mungkin tidak langsung hari ini, tetapi suatu saat nanti. Dan jika tulisan itu bisa menginspirasi, menyentuh hati, atau sekadar menemani pembaca dalam sunyi mereka, maka saya yakin bahwa saya tidak menulis sia-sia.

Rasa syukur saya tak terhingga kepada Allah Subhanahu Wata'alla karena mempertemukan saya dengan Bu Endang dan Bu Wiwik. Keduanya seperti jembatan yang menghubungkan saya dengan dunia kata-kata, dunia yang saya cintai. Dari mereka, saya belajar bahwa menjadi guru bukan hanya tentang menyampaikan pelajaran, tapi juga tentang saling menginspirasi, saling menguatkan, dan menebar semangat untuk terus belajar, tumbuh, dan berkarya.

Kini, setiap kali saya menulis, saya tahu bahwa saya tidak sendiri. Ada jejak cerita Bu Endang dan tawa ceria Bu Wiwik yang ikut mengalir dalam setiap kata. Saya berharap, tulisan-tulisan saya kelak bisa menjadi sahabat bagi yang membacanya, sebagaimana mereka berdua telah menjadi sahabat bagi saya. 
Cepu, 26 April 2025 

Kebersamaan Dalam Suapan Di Kelas 7B




Karya: Gutamining Saida
Langit siang terasa teduh meski matahari tetap hangat menyorot atap-atap sekolah. Udara siang yang biasa menyurutkan semangat justru terasa berbeda di kelas 7B SMPN 3 Cepu. Hari ini adalah jadwal makan bergizi gratis yang akrab kami sebut dengan singkatan MBG. Suatu program yang tidak hanya menyentuh perut, tetapi juga rasa dan hati.

Jam terakhir pelajaran diisi dengan aroma makanan dan senyum-senyum riang dari para siswa. Beberapa petugas sudah menuju ruang Sasana Bakti untuk mengambil jatah MBG untuk satu kelas. Satu anak menenteng satu paket yang terdiri dari tujuh box tempat makan. Setelah sampai di kelas tali rafia dibuka dan dibagikan ke belakang. Kemudian yang sudah menerima ada sibuk mencari posisi nyaman untuk menikmati makan siang mereka.

Anak-anak laki-laki, seperti biasa, memilih duduk di bawah dibelakang bangku. Mereka berkumpul dalam barisan yang akrab, tertawa, dan sesekali saling ejek sambil membuka box nasi. Di sisi lain, para siswi perempuan lebih suka tetap di bangkunya masing-masing. Duduk anggun, tertib, dan tampak saling berbagi tanpa banyak suara. Dua suasana yang berbeda, namun sama indahnya untuk dilihat.

Tiba-tiba ada satu siswa lelaki yang menghampiri saya dengan wajah sedikit bingung. Ia lupa membawa sendok. “Bu, saya nggak bawa sendok. Boleh beli di kantin dulu?” ucapnya singkat.

Saya tersenyum dan mengangguk. Tak lama kemudian, ia kembali dengan satu sendok plastik kecil di tangannya. Saya penasaran, jadi saya tanya, “Harganya berapa?”

“Lima ratus rupiah, Bu. Satu,” jawabnya sambil tersenyum malu-malu.

Tidak jauh dari situ, saya melihat beberapa siswa lain yang air minumnya sudah habis juga bergegas ke kantin membeli. Ada yang membawa botol kecil, ada juga yang memilih air gelasan. Tak ada keluhan, hanya wajah-wajah yang tampak siap kembali bergabung dalam suasana makan yang hangat.

Yang membuat saya terharu adalah pemandangan sederhana namun bermakna: kebersamaan dalam berbagi. Seorang siswa terlihat menyodorkan potongan tahu goreng ke temannya yang baru saja menggelengkan kepala saat melihat lauk. “Aku nggak suka tahu,” katanya. Tapi sebelum sempat merasa kecewa, temannya langsung menukarnya dengan lauk lain. “Ini, ambil punyaku. Aku malah nggak suka jeruknya.”

Saling berbagi tampak begitu alami. Sayur lodeh dengan wortel dan manisa dibagi-bagikan. Tidak ada yang merasa lebih, tidak pula ada yang merasa kurang. Semua terasa cukup. Penuh keikhlasan dan senyum saling mengerti.

Suara sendok menyentuh box  nasi, suara tawa kecil, dan percakapan ringan menghiasi ruang kelas yang biasanya penuh catatan pelajaran. Beberapa siswa berbincang sambil makan, menceritakan cerita lucu, hasil ulangan, atau rencana akhir pekan mereka. Suasana ini bukan hanya soal makan bersama, tapi tentang membangun kebersamaan. Tentang bagaimana mereka belajar saling menghargai dan saling berbagi dari hal sederhana.

Saya memandangi mereka satu per satu. Ada yang lahap menyendok nasi dan sayur ke mulutnya, ada yang tersenyum melihat temannya bercanda, ada pula yang sesekali menoleh ke saya, lalu kembali menunduk melanjutkan makan. Sebagai guru yang hanya menemani, saya merasa diberi hadiah istimewa siang ini yaitu  pemandangan yang menenangkan hati.

Di tengah kesibukan dunia yang makin individualistis, saya menyaksikan nilai gotong royong tumbuh di kelas ini. Mereka tidak diajarkan secara langsung untuk berbagi, tapi suasana itu hadir karena kebersamaan yang mereka rasakan dan bentuk bersama. Ada yang mungkin belum kenyang, tapi tetap berbagi. Ada yang sebenarnya tidak suka, tapi tidak membuang melainkan memberikan kepada yang suka.

Momen makan bergizi ini ternyata lebih dari sekadar program. Ia adalah ruang belajar tanpa papan tulis. Anak-anak belajar nilai kebersamaan, belajar melihat kebutuhan orang lain, dan yang paling penting, belajar bahwa kebahagiaan bisa tumbuh dari hal sederhana seperti suapan nasi hangat yang dimakan bersama.

Ketika jam pelajaran berakhir dan mereka mulai merapikan sisa makanan serta duduk kembali ke tempat semula, saya masih terduduk sejenak di kursi paling depan. Menyimpan perasaan bahagia yang sederhana tapi mendalam. Hari ini saya tidak hanya menjadi guru pelajaran, tapi juga saksi dari nilai-nilai kehidupan yang tumbuh alami dari kebersamaan siswa-siswi saya. Saya yakin, kenangan makan siang ini akan mereka simpan, jauh lebih lama dari apa yang pernah mereka hafal di buku pelajaran.
Cepu, 25 April 2025 




Kamis, 24 April 2025

Tiga Ciri Laki-laki Menurut Pak Dwiyono


Karya : Gutamining Saida 
Saya mengikuti Bimbingan Teknis sesi kedua di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Blora. Ruangan cukup nyaman, peserta yang duduk rapi dan antusias. Suasananya cair, apalagi ketika narasumber pertama, Bapak Dwiyono, membuka sesi dengan prolog ringan namun menggelitik.

“Ciri-ciri laki-laki itu ada tiga,” katanya dengan nada santai namun penuh percaya diri. “Rokok, ngopi, dan gondrong.”

Tawa kecil langsung terdengar dari berbagai sudut ruangan. Sebagian tersenyum, sebagian lain tertawa geli sambil saling menatap. Saya pun ikut tertawa kecil, tapi dalam hati saya, kalimat itu seperti mengetuk ruang kenangan yang tak pernah benar-benar tertutup.

Ingatan saya langsung melayang kepada anak laki-laki saya. Anak kedua dari tiga bersaudara. Satu-satunya anak lelaki di antara dua saudara perempuannya. Meskipun bukan yang pertama lahir, dia memiliki tempat khusus di hati saya. Tempat yang penuh harapan, tantangan, dan doa-doa diam-diam seorang ibu (umi).

Dua dari tiga ciri yang disebutkan oleh Pak Dwiyono—gondrong dan ngopi adalah sudah lama menjadi ciri khas anak saya. Sejak masa kuliah, dia mulai memanjangkan rambut. Saat pertama kali melihat rambutnya tumbuh menutupi telinga dan bagian leher, saya sempat terkejut.

“Kenapa nggak dipotong, dik? Rapi itu lebih enak dilihat,” saya menegur sambil berharap dia mengerti maksud saya.

Tapi dia hanya tersenyum tenang. “Umi ini gaya saya. Aku nyaman begini.”

Saya hanya bisa menghela napas. Kadang saya mengerti, kadang tidak. Tapi saya belajar menerima, karena saya tahu anak saya sedang mencari dan menemukan dirinya.

Soal ngopi, dia bahkan lebih rajin menyeduh kopi daripada saya. Setiap pagi ada aroma kopi dari dapur, kadang sore juga begitu saat berada di rumah. Biji kopi, gula aren, alat seduh semuanya dia pilih dan kelola sendiri. Ada kebanggaan dalam caranya menikmati kopi, seolah itu bagian dari jati dirinya.

Saya pikir cukup dua itu. Tapi ternyata ada satu hal lagi, yang selama ini ia simpan rapat tentang rokok.

Sekitar setahun yang lalu, di saat hari raya setelah salat Idul Fitri adalah acara Sungkeman dan ajang musyawarah keluarga, kami duduk berempat di ruang tamu. Ada kesempatan untuk bertanya dan menyampaikan pendapat. Akhirnya dia berkata, “Umi, abah... saya mau ngomong sesuatu.”

Semua bertiga menoleh serta memperhatikan , menatap matanya yang terlihat sedikit ragu.

“Selama ini ada sesuatu yang saya rahasiakan sama umi dan abah serta keluarga,” katanya pelan. “Sudah lama saya menjadi perokok. Tapi saya baru bisa memberitahu sekarang.”

Hati saya terasa berat. Ada kejutan yang tidak baik.
Saya diam, lalu menarik napas panjang. 

“Saya tahu rokok itu nggak baik, mi. Tapi saya nggak bisa terus bohong. Saya tidak mau jujur, itu aja dulu,” ucapnya lagi.

Saya menatap wajah anak kedua saya itu. Anak laki-laki satu-satunya. Lelaki muda yang saya besarkan dengan cinta dan harapan. Saya tahu, saya tidak bisa mengubah segalanya dalam semalam.

Ucapan Pak Dwiyono pagi ini seolah membuka kembali halaman-halaman dalam hati saya sebagai umi. Betapa perjalanan menjadi laki-laki dewasa itu penuh warna, dengan keputusan-keputusan yang tidak selalu sesuai harapan orang tua. Tapi saya percaya, anak saya tahu jalan pulang. Dia tahu mana yang baik, dan mana yang harus dia tinggalkan suatu hari nanti.

Rokok, ngopi, gondrong mungkin hanya simbol. Tapi lebih dari itu, saya belajar melihat bahwa anak saya sedang menata jati dirinya. Dan tugas saya sebagai ibu bukan untuk mengekang, tapi menjadi tempat ia kembali ketika lelah.

Saya percaya, meski jalannya berliku, anak kedua saya itu akan menemukan versi terbaik dari dirinya sendiri.  Saya akan tetap menjadi ibu, yang tak pernah lelah menunggu dengan cinta yang utuh.
Cepu, 25 April 2025 


Rabu, 23 April 2025

Rabu Yang Menginspirasi



Karya : Gutamining Saida 
Suasana Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Blora dipenuhi semangat dari para peserta yang datang mengikuti Bimbingan Teknis (Bintek) kepenulisan. Rabu yang cerah seolah menjadi saksi hadirnya para pecinta literasi dari berbagai latar belakang yaitu guru, penulis pemula, pegiat komunitas literasi, dan siswa-siswi yang antusias belajar.

Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Ibu Sekretaris Dinas DPK Blora. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan pentingnya peran literasi dalam membentuk karakter masyarakat yang berpikir kritis dan kreatif. Beliau berharap kegiatan seperti ini dapat menjadi ruang yang memberi manfaat luas dan menjadi inspirasi untuk berkarya.

Setelah pembukaan, sambutan dilanjutkan oleh Bapak Kepala Bidang (Kabid) DPK Blora. Dalam sambutannya, beliau menggarisbawahi pentingnya sinergi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat dalam mengembangkan budaya literasi di era digital. Beliau juga memberikan apresiasi kepada para narasumber yang bersedia berbagi ilmu serta para peserta yang bersemangat mengikuti kegiatan hingga tuntas.

Bapak Dwiyono sebagai narasumber pertama membahas Asyik Menulis Esay. Sesi pertama dibuka oleh Bapak Dwiyono, seorang penulis yang kerap mengirimkan karya ke media anak-anak seperti Majalah Bobo dan juga aktif di Komunitas Bisa Menulis (KBM). Dengan tutur kata yang tenang dan bersahaja, beliau membagikan pengalaman menulis cerita anak yang menyenangkan sekaligus mendidik.

“Menulis untuk anak-anak bukan hanya soal bahasa yang sederhana, tapi juga soal menyentuh perasaan dan membangkitkan rasa ingin tahu mereka,” ujar beliau. Ia pun memberikan latihan singkat membuat cerita yang ternyata memicu kreativitas luar biasa dari para peserta. Beliau juga menekankan pentingnya bergabung dalam komunitas menulis agar semangat berkarya tetap terjaga. “Komunitas adalah tempat kita belajar, berbagi, dan saling menyemangati,” pesannya.

Bapak Sugie sebagai nara sumber Kedua Menulis Lewat Media Digital. Bapak Sugie tampil dengan energi positif dan gaya penyampaian yang segar. Beliau dikenal sebagai kontributor aktif di media seperti mojok.co, semilir.id, timeindonesia.co.id, dan surau.id. Fokus beliau adalah mengajak peserta untuk mulai berani mengirimkan tulisan ke media online dan mengenali karakter masing-masing media.

“Menulis itu harus punya niat berbagi. Kalau kita punya ide, atau pengalaman menarik, jangan disimpan sendiri. Tulis dan sebarkan,” katanya penuh semangat. Beliau pun membagikan tips-tips penting agar tulisan tembus media yaitu kenali gaya media, jaga orisinalitas, dan perhatikan judul. Dengan contoh-contoh konkret dari tulisannya sendiri, peserta diajak memahami bahwa peluang menulis di media digital sangat terbuka lebar, asal mau mencoba dan konsisten belajar.

Ibu Triyuli yaitu Mengurai Proses Kreatif Menulis. Sesi terakhir dibawakan oleh Ibu Triyuli, seorang penulis dan editor yang sudah berpengalaman dalam dunia literasi. Gaya bicaranya tenang namun sarat makna. Beliau membahas tentang tahapan menulis mulai dari menemukan ide, riset, menulis draf, hingga melakukan editing naskah.

“Menulis itu proses. Tak bisa instan. Tapi bila dijalani dengan tekun, hasilnya akan terasa,” ucapnya. Bu Tri memperkenalkan tiga pilar penting dalam menulis yaitu:
1. Kemampuan kebahasaan, yaitu kemampuan menyusun kalimat dengan struktur yang baik dan efektif.
2. Daya kreatif, yaitu kemampuan menggali ide-ide menarik dari hal-hal sederhana.
3. Daya imajinasi, kekuatan membangun dunia atau suasana lewat tulisan.

Peserta diajak menemukan ide membuat kerangka tulisan, mencari referensi pendukung, hingga melakukan penyuntingan mandiri. Banyak peserta merasa terbantu dengan pendekatan sistematis yang beliau berikan, karena selama ini mereka kerap berhenti di tengah proses menulis akibat kehilangan arah.

Menjelang sore, bintek ditutup dengan sesi refleksi. Refleksi menjawab dengan bantuan handphone. Para peserta menyampaikan rasa syukur dan kebahagiaan mereka bisa belajar langsung dari tiga narasumber hebat dengan pendekatan yang berbeda-beda. Ada yang termotivasi untuk mengirimkan tulisan ke media anak, ada yang ingin menaklukkan media daring, dan ada pula yang merasa mantap memulai kembali menulis setelah lama vakum.

Hari itu bukan hanya tentang belajar menulis. Beliau menjadikan ruang tumbuh, ruang berbagi, dan ruang memulai kembali bagi siapa saja yang mencintai dunia kata. Di DPK Blora diciptakan suasana hangat serta inspirasi dari tiga sosok luar biasa yaitu Pak Dwiyono, Pak Sugie, dan Bu Triyuli. Terima kasih ilmu dan kesempatan yang diberikan oleh narasumber dan DPK Blora. Semoga DPK semakin jaya dan narasumber semakin sukses serta sehat selalu. 
Cepu, 24 April 2025 


-

Selasa, 22 April 2025

Catatan Perjalanan Bintek Kedua



Karya : Gutamining Saida
Udara Cepu pagi ini masih menyisakan embun. Langit belum sepenuhnya terang,  semangat saya dan Mbak Rini sudah membuncah sejak dini hari. Kami telah sepakat untuk berangkat bersama menuju lokasi bimbingan teknis (bintek) kedua. Bukan sekadar kegiatan formal biasa, tapi sebuah momen yang kami nantikan untuk menimba ilmu dan memperluas wawasan, terutama di dunia kepenulisan yang semakin berkembang.

Pukul 06.30 WIB tepat, kami berangkat dari depan terminal  Cepu menggunakan sepeda motor. Berdua di atas kendaraan roda dua. Kami merasa lebih leluasa menikmati suasana pagi. Tidak terburu-buru, tidak terjebak kemacetan, hanya angin pagi dan semangat yang menyatu dalam perjalanan. Perjalanan ini bukan hanya soal berpindah tempat.  Proses merenung dan mempersiapkan diri untuk menyerap ilmu yang akan dibagikan oleh para narasumber hebat nanti.

Perjalanan menuju lokasi bintek berlangsung lancar. Jalanan cukup lengang, hanya beberapa kendaraan yang kami temui di sepanjang jalan. Alhamdulillah, kami sampai di lokasi pada pukul 07.30. Ternyata acara belum juga dimulai. Kami pun bersyukur karena tidak terlambat, bahkan masih punya waktu luang untuk menyapa sekitar.

Waktu luang sebelum acara kami manfaatkan sebaik mungkin. Kami berkeliling sejenak, mengagumi suasana sekitar yang begitu asri dan mendukung. Pemandangan di lokasi benar-benar menyejukkan mata. Deretan pepohonan yang rindang, suara burung yang bersahutan, dan angin yang berhembus perlahan menciptakan suasana damai. Kami sempatkan untuk berfoto bersama, mengabadikan momen ini sebagai kenangan manis. Setiap perjalanan menuntut ilmu adalah bagian dari sejarah hidup yang patut dikenang.

Dalam hati saya bersyukur pada Allah Subhanahu Wata'alla atas kesempatan yang diberikan untuk hadir di acara ini. Tidak semua orang bisa berada di posisi ini berada dalam satu ruangan bersama para penulis, pendidik, dan pegiat literasi yang menginspirasi. Saya merasa beruntung bisa menjadi bagian dari lingkaran orang-orang yang terus mau belajar dan berbagi. Rasa syukur itu semakin dalam ketika membayangkan bahwa setiap ilmu yang saya dapat hari ini, nantinya bisa saya bawa pulang dan sebarkan kepada orang lain, terutama kepada siswa-siswi yang saya ajar.

Sebelum mulai, saya sempat berdiskusi ringan dengan peserta lain. Banyak dari mereka berasal dari berbagai daerah, membawa latar belakang dan cerita yang berbeda. Namun ada satu hal yang kami miliki bersama yaitu  semangat untuk belajar dan berkembang. Obrolan kecil itu terasa sangat bermakna. Dari situ saya belajar bahwa inspirasi bisa datang dari mana saja, bahkan dari percakapan singkat.
Blora, 23 April 2025