Kamis, 27 November 2025

Sebuah Puisi Penutupan

Karya: Gutamining Saida

Dalam hening sebuah seminar internasional pendidikan, terselip pesan yang begitu dalam bahwa hidup ini sejatinya adalah rangkaian pelajaran yang Allah hamparkan bagi hamba-Nya. Setiap detik adalah kelas, setiap kejadian adalah guru, dan setiap ujian adalah pintu menuju kedewasaan. Closing dari pakar Pendidikan bapak Rahmadi adalah sebuah puisi 

Hidup adalah belajar.

Belajar memahami bahwa apa pun yang Allah takdirkan selalu mengandung hikmah. Belajar menerima bahwa kesempurnaan bukan milik manusia, tetapi kesungguhan adalah ibadah.

Hidup adalah syukur dan merasa cukup.

Di tengah derasnya tuntutan dan harapan, jiwa justru menjadi lapang ketika kita mengakui bahwa nikmat Allah selalu jauh lebih besar daripada kekurangan kita. Syukur membuat langkah ringan, hati lunak, dan pandangan jernih.

Hidup adalah sabar agar tidak terbebani.

Karena siapa pun yang menggantungkan dirinya kepada Allah tidak akan merasa sendirian ketika menghadapi kesulitan. Sabar bukan pasrah tanpa usaha, tetapi kekuatan untuk tetap berjalan dengan tenang meski badai datang silih berganti.

Hidup adalah setia dan tidak mudah tergoda.

Setia pada nilai, pada kebaikan, pada amanah yang dititipkan. Hati yang setia akan dijaga oleh Allah dari godaan yang melemahkan niat dan mengaburkan tujuan.

Hidup adalah tenang, tidak gelisah.

Ketika hati bertaut pada Sang Pencipta, ketenangan menjadi pakaian yang melekat. Kegelisahan akan luruh, diganti yakin bahwa Allah sudah menulis yang terbaik.

Hidup adalah senyum yang tidak egois.

Senyum yang tidak hanya merekah di bibir, tetapi juga menyejukkan jiwa. Senyum yang menjadi sedekah, menjadi cahaya bagi orang lain, dan menjadi bukti bahwa hati kita masih hidup dalam kebaikan.

Begitulah hidup menurut pesan yang disampaikan Bapak Rahmadi sebuah perjalanan spiritual yang mengajak kita menjadi pendidik yang lembut hatinya, bersih niatnya, dan kuat tekadnya. Karena pendidikan bermutu tidak hanya lahir dari ruang kelas yang disiplin, tetapi dari hati para pendidik yang selalu dekat dengan Allah, bersyukur, bersabar, dan terus belajar.

Cepu, 28 November 2025

Foto Bersama

Karya :, Gutamining Saida 
Di Esmega, ada satu aturan yang tak pernah berubah sejak beberapa tahun terakhir yaitu semua siswa tidak diperbolehkan membawa handphone ke sekolah. Aturan ini dibuat bukan tanpa alasan. Pihak sekolah ingin memastikan bahwa siswa benar-benar fokus belajar, tidak terganggu oleh game online, notifikasi yang berdering, atau keinginan berfoto setiap saat yang sering kali membuat perhatian buyar.

Justru karena aturan itu, ada satu kebiasaan unik yang tumbuh di kalangan siswa Esmega, kebiasaan yang diam-diam menjadi warna tersendiri dalam kehidupan sekolah adalah  momen berburu foto. Aturan tanpa handphone membuat siswa “haus dokumentasi”. Di era serba digital ini, ketika setiap peristiwa ingin diabadikan, ketika setiap wajah ingin ditampilkan di media sosial, larangan membawa handphone membuat momen mereka terbatas. Bahkan, kesempatan berfoto saat mengenakan seragam sekolah menjadi sesuatu yang sangat langka, bernilai, dan membahagiakan.

Semuanya bermula dari keseharian sekolah.  Ketika siswa baru saja hendak menuju kelas masing-masing, sering kali ada beberapa dari mereka yang tiba-tiba memanggil seorang guru yang lewat. “Bu… Bu… fotoin kami ya, Bu… sekali saja!” Nada mereka memelas, tapi mata mereka berbinar penuh antusias. Guru yang lewat mungkin hanya ingin menuju ruang guru atau kelas, tetapi keinginan siswa yang datang secara tiba-tiba biasanya membuat guru tidak tega menolak. Apalagi ketika melihat mereka begitu ceria dan bersemangat.

Maka, jadilah guru tersebut mengeluarkan handphone miliknya. Para siswa segera berlari kecil menempati tempat terbaik ada yang berjongkok di depan, ada yang berdiri di belakang, ada yang merapikan kerudung cepat-cepat, ada pula yang memperbaiki dasi atau merapikan rambut sambil tertawa malu-malu.

“Bu, bentar Bu, aku belum siap…!”
“Bu, yang banyak ya, Bu…!”

Para guru biasanya hanya tersenyum melihat kelakuan siswanya. Dalam hitungan detik, mereka berubah dari siswa yang polos menjadi model amatir penuh gaya. Setelah foto diambil, mereka langsung menunjuk-nunjuk sambil bertanya:

“Bagus nggak, Bu? Kirim lewat washatshap nanti pulang ya Bu, tolong kirim ke grup kelas!”

Entah mereka berada di depan taman kelas, di dekat lapangan besar,  Yang menarik adalah alasan di balik antusiasme mereka. Ternyata banyak siswa yang jarang foto memakai seragam sekolah. Karena tanpa handphone, mereka tidak punya dokumentasi harian. Maka ketika ada guru lewat sambil membawa handphone seolah-olah kesempatan itu adalah pintu surga kecil yang tidak boleh dilewatkan

“Bu, kami difoto dulu!”
“Bu, aku di tengah ya Bu, biar kelihatan!”

Kadang guru hanya tersenyum sambil berkata, “Sabar… sabar… satu-satu…” karena ternyata satu kelompok sudah antre di belakang kelompok sebelumnya.

Apa yang membuat momen ini berharga bagi siswa? Ternyata jawabannya sederhana yaitu seragam sekolah adalah identitas yang ingin mereka kenang.

Bagi sebagian siswa, memakai seragam adalah kebanggaan bukti bahwa mereka masih menjalani masa remaja yang penuh warna. Kelak ketika mereka lulus, foto-foto berseragam itulah yang akan membuka kembali kenangan tentang masa belajar, masa bermain, masa bertumbuh, dan masa penuh persahabatan.

Tanpa disadari, larangan membawa handphone justru membuat momen itu jauh lebih bermakna. Karena ketika sesuatu menjadi langka, ia menjadi lebih berharga. Siswa Esmega merasakan hal itu. Foto bersama yang sederhana terasa lebih istimewa. Mereka tidak bisa melakukannya setiap hari, jadi setiap kesempatan menjadi cerita. Di tengah dunia digital yang penuh kecanggihan, siswa-siswa Esmega justru belajar tentang makna kesederhanaan. Mereka bukan generasi yang memotret setiap detik tanpa makna mereka menjadi generasi yang menghargai momen.

Justru dalam keterbatasan, tumbuh kreativitas dan rasa syukur. Mereka belajar menunggu, belajar meminta izin, belajar mengatur pose bersama teman, dan belajar menghargai hasil foto yang tidak bisa diulang-ulang.

Bahkan sering saya melihat siswa yang setelah difoto langsung berkata pelan.“Alhamdulillah… akhirnya punya foto pakai seragam lagi.” Kalimat sederhana itu menunjukkan betapa berharganya sebuah jepretan kamera bagi mereka.

Satu hal yang saya pelajari dari kebiasaan ini adalah kebahagiaan tidak selalu rumit. Kadang hanya berupa foto sederhana di halaman sekolah, diambil oleh guru yang lewat, lalu dikirim ke grup kelas. Bagi siswa, itu adalah kenangan masa remaja yang tidak akan terulang.

Di esmega, potret-potret kecil itu menjadi bukti bahwa keteraturan dan kedisiplinan tidak mematikan kreativitas, justru membuat siswa menemukan cara baru untuk menikmati kehidupan sekolah yang indah dan penuh warna.
Cepu, 27 November 2025


Satu Jam Di Depan Alfamart



Karya : Gutamining Saida 
Siapa yang tak kenal Alfamart? Nama yang begitu akrab di telinga masyarakat Indonesia, dari kota besar penuh gedung tinggi, hingga pelosok desa yang jalannya masih berbatu. Di mana ada peradaban kecil berkembang, di situ biasanya berdiri sebuah Alfamart. Bahkan terkadang ia berdampingan erat dengan saingannya, Indomaret dua raksasa toko modern yang seolah tak pernah tidur, berlomba menarik hati masyarakat dengan berbagai promo, lampu terang, dan tata ruang yang rapi.

Entah mengapa, saya selalu bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat masyarakat sangat menyukai berbelanja di toko modern seperti ini? Mengapa pasar tradisional perlahan mulai sepi, sementara toko-toko ritel terus ramai dari hari ke hari? Mungkin karena kemajuan zaman, mungkin karena kepraktisan, atau mungkin karena gaya hidup yang berubah secara perlahan tanpa kita sadari. Semua pertanyaan itu membawa saya pada sebuah pengalaman sederhana namun penuh makna kebetulan saya ada janji menunggu teman di Alfamart. Duduk selama satu jam di depan Alfamart. Saya manfaatkan waktu untuk mengamati kehidupan kecil yang terus bergerak.

Mulai pukul 06.15 - 07.15 WIB saya sengaja duduk di depan Alfamart dekat jembatan perbatasan Jatim -, Jateng, duduk di sebuah bangku kecil dekat tempat parkir. Dari tempat saya duduk, saya bisa melihat pintu otomatis yang terus terbuka dan tertutup, seolah menjadi mulut raksasa yang tak henti menerima dan mengeluarkan orang. Waktu satu jam itu, saya melihat berbagai wajah, berbagai usia, berbagai cerita yang datang dan pergi, menjadikan Alfamart semacam panggung kecil dinamika kehidupan masyarakat.

Yang pertama saya lihat adalah sekelompok anak berseragam sekolah dasar yang dijemput angkot, sebagian memakai peci yang laki-laki dan yang perempuan berjilbab menunjukkan bila sekolah mereka islami. Mereka berjalan berkelompok, riang sekali, seolah tidak memikirkan nilai ulangan atau PR semalam. Mereka masuk sambil bercanda, dan tak sampai lima menit kemudian keluar sambil membawa aneka snack. Ada yang membawa chiki, cokelat, roti, bahkan minuman berwarna-warni. Uang jajan seribu dua ribu pun sudah cukup membuat mereka bahagia. Mereka kemudian masuk ke angkot duduk sambil makan, tertawa, dan bercerita. Angkot meluncur ke jurusan arah timur berarti sekolah mereka di Jawa Timur. Saya tersenyum masa kecil yang sederhana memang selalu membawa kebahagiaan.

Beberapa menit kemudian datang seorang remaja laki-laki naik motor NMAX yang suaranya cukup nyaring. Ia tampak tergesa-gesa. Dengan langkah cepat, masuk ke dalam dan keluar hanya membawa satu botol kopi literan. Dari gerak-geriknya, saya menduga ia sedang kelelahan atau mengantuk, mungkin butuh suntikan kafein untuk melanjutkan aktivitas. Remaja zaman sekarang, pikir saya, hidupnya cepat, dinamis, selalu berpacu dengan waktu.

Setelah itu datang seorang bapak tua, memakai kaos lusuh dan sandal tipis. Ia memarkir motornya yang sudah tua, bahkan lampunya pun sedikit retak. Dengan langkah pelan, ia masuk ke dalam. Tak lama kemudian ia keluar membawa sikat gigi dan sabun mandi. Benda yang tampak sepele, tapi jika dipikir-pikir, itulah kebutuhan dasar setiap manusia. Wajahnya terlihat tenang. Mungkin ia baru menerima uang pensiun, atau baru gajian dari kerja serabutan. Saya bisa merasakan bahwa barang-barang sederhana itu membawa kepuasan tersendiri baginya.

Tidak ketinggalan para ibu-ibu, tokoh penting dalam setiap rumah tangga. Ada yang datang sambil membawa anak kecil, ada yang naik motor bebek, ada pula yang datang dengan mobil. Mereka biasanya berbelanja lebih lama dari pembeli lain. Ada ibu yang keluar membawa deterjen, ada yang membeli minyak goreng sambil menghela napas ketika melihat harga, ada pula yang membeli sabun mandi, pewangi pakaian, dan tisu gulung. Dari wajah-wajah mereka terlihat kesibukan, tanggung jawab, dan kadang kelelahan. Menjadi ibu memang bukan pekerjaan enteng, pikir saya. Bahkan ke Alfamart pun bisa dikategorikan “tugas penting”.

Kendaraan yang datang pun bermacam-macam, menjadi simbol keberagaman kehidupan di desa kecil ini. Ada pejalan kaki dari kampung sebelah, ada motor butut peninggalan tahun 90-an, ada juga motor matic terbaru, hingga mobil keluarga. Semuanya berhenti, parkir, masuk, keluar, dan pergi. Polanya seperti gelombang ombak yang tak pernah berhenti.

Setiap kali satu pelanggan keluar, pelanggan lain pasti langsung masuk. Seolah ada irama tak terlihat yang menjaga toko itu tetap hidup. Lampu-lampu di dalam toko membuat suasana terlihat hangat, sementara kipas angin yang berputar membuat siapa pun betah berlama-lama. Musik kecil yang diputar menambahkan nuansa modern. Saya membatin: “Tidak heran orang suka belanja di sini.”

Satu jam itu terasa lama, namun juga terasa singkat. Karena dari tempat saya duduk, saya seperti membaca buku tanpa halaman, buku kehidupan masyarakat kecil yang terus berkembang. Saya melihat bagaimana modernisasi mengubah cara belanja, mengubah ritme hidup, dan mengubah interaksi sosial masyarakat. Pasar tradisional mungkin tetap ada, tapi toko modern menghadirkan kenyamanan yang sulit ditolak.

Dari semua yang saya lihat, saya menyadari satu hal bahwa  Alfamart bukan sekadar tempat berbelanja. Ia adalah tempat bertemunya berbagai cerita. Cerita anak sekolah, remaja, orang tua, hingga ibu-ibu rumah tangga. Di balik keranjang belanja itu, setiap orang membawa tujuan, harapan, dan rutinitas hidup yang berbeda.

Dari satu jam yang sederhana itu, saya belajar satu hal yaitu  kehidupan, walaupun sederhana, selalu bergerak.  Di depan toko bernama Alfamart, saya menjadi saksi betapa warna-warni kehidupan masyarakat terus berputar tanpa henti.
Cepu, 27 November 2025 

Rabu, 26 November 2025

Dua Kopiko

 

Karya : Gutamining Saida

Suasananya kelas ada kehangatan yang saya rasakan meski sebagian siswa terlihat mulai letih setelah belajar beberaja jam berlalu. Saya memulai pelajaran pada jam terakhir, dengan ringan, sedikit cerita, dan sedikit candaan agar anak-anak tetap fokus. Alhamdulillah, mereka menikmati pembelajaran  IPS dengan baik.

Ketika bel tanda jam pelajaran berakhir berbunyi, saya pun mulai berkemas. Mengambil buku catatan, spidol, dan menutup absensi. Anak-anak mulai merapikan meja, memasukkan buku ke tas, dan saling berpamitan. Suasana kelas yang tadi riuh perlahan berubah menjadi tenang.

Saat saya beberes dua siswi tiba-tiba maju ke depan. Langkah mereka ragu-ragu, wajahnya tersenyum malu, namun mata mereka berbinar. Mereka adalah Nesa dan Frisca. Seperti ada sesuatu yang ingin mereka katakan tetapi mereka belum yakin apakah sebaiknya disampaikan atau tidak.

“Bu Saida…” salah satu dari mereka memanggil pelan.
Saya menoleh. “Ya? Ada apa?” Mereka saling pandang sebentar, mungkin memastikan siapa yang akan bicara lebih dulu. Lalu dengan gerakan pelan, mereka mengulurkan tangan, masing-masing memegang satu buah permen. Permen itu kecil, sederhana permen Kopiko. 

Awalnya saya bingung. Saya bahkan sempat : Ada apa ini? Kenapa mereka memberikan permen?

“Ini, Bu… khusus buat Ibu Saida,” kata mereka hampir bersamaan sambil sedikit menunduk. Ada raut malu-malu yang justru membuat suasana terasa manis.

Saya mengernyit, memastikan saya tidak salah dengar. “Buat bu Saida? Kenapa?”

Mereka tersenyum lebih lebar. “Iya Bu… pokoknya buat Ibu. Tolong diterima ya.”

Salah satu tangan kecil itu kemudian meletakkan permen Kopiko di telapak tangan saya, disusul oleh yang satunya lagi. Saya terdiam sejenak, bukan karena permen itu, tetapi karena ketulusan mereka. Hadiah sederhana, tetapi dengan hati yang tidak sederhana.

Saya tersenyum senyum yang datang dari rasa haru yang tidak bisa saya jelaskan.
“Terima kasih ya,” kata saya tulus.

Mereka terlihat lega, lalu kembali ke tempat duduknya sambil saling menahan tawa malu. Saya pun melangkah keluar kelas dengan permen kecil yang terasa seperti hadiah besar. 

Perjalanan menuju ruang guru, saya kembali teringat detik-detik tadi. Betapa seringnya kita sebagai orang dewasa mengira bahwa kebaikan harus besar dan tampak. Padahal, Allah sering menitipkan kebahagiaan dalam hal-hal kecil, melalui tangan-tangan kecil yang niatnya murni. Permen itu mungkin harganya tidak seberapa. Tapi perhatian mereka, keberanian mereka maju mendekati gurunya, dan niat baik yang mereka sisipkan itulah hadiah sesungguhnya.

Dalam hati saya berkata:
Ya Allah, terima kasih Engkau masih menitipkan kasih sayang melalui murid-muridku. Terima kasih Engkau mengizinkan  merasakan manisnya dihargai, walau dalam bentuk sekecil sebiji permen.

Saya teringat sebuah nasihat lama bahwa,
“Ikhlaslah mengajar, nanti Allah yang akan menggerakkan hati manusia untuk membalas dengan cara-Nya.”

Sesampainya di ruang guru, saya duduk sebentar. Perhatian saya teralihkan ke dua butir permen di atas meja. Betapa hal kecil bisa menjadi penghibur setelah hari yang panjang. Betapa sering seorang guru merasa lelah bukan hanya fisik, tetapi juga batin. Tugas yang menumpuk, administrasi yang tidak ada habisnya, dinamika kelas yang kadang sulit, dan berbagai tuntutan lainnya. Allah selalu tahu kapan hamba-Nya butuh disapa, kapan seorang guru butuh diingatkan bahwa pekerjaannya tidak sia-sia.

Saya merasakan kembali alasan saya mencintai dunia pendidikan yaitu karena setiap harinya, selalu ada kejutan-kejutan kecil yang membuat hati bertaut dengan siswa-siswi yang Allah titipkan kepada saya. Apapun alasannya, bagi saya itu adalah tanda bahwa hati mereka bersentuhan dengan hati saya, walau hanya sebentar. Kebaikan hadir tanpa aba-aba, tanpa perayaan, tanpa drama. Datang sederhana, tetapi meninggalkan jejak yang lama.
Cepu, 27 November 2025



Senin, 24 November 2025

Air Mata Pagi di Hari Guru

Karya :Gutamining Saida 
Tepat Hari Guru, sekitar pukul 06.00 WIB, ketika cahaya fajar baru menyapu langit dengan lembut. Di luar, embun masih setia bergantung di ujung-ujung daun, seakan menunggu matahari untuk datang menjemput. Dalam hati saya sendiri pun ada yang mengembun sesuatu yang halus, lembut, dan menunggu untuk disingkap.

Seperti biasa, saya meraih handphone untuk mengecek apakah ada pesan penting dari grup sekolah. Tanggung jawab sebagai guru membuat saya terbiasa memulai hari dengan kesiapan. Pagi ini Allah rupanya hendak menghadiahkan sesuatu yang berbeda yaitu sesuatu yang tak saya duga, tapi sangat saya butuhkan.

Setelah grup sekolah saya lihat, perhatian saya justru tertarik pada satu notifikasi kecil, dari seorang anak didik yang sekaligus teman, inspirator, motivator, dan sosok muda yang Allah titipkan sebagai pengingat kebaikan bagi saya. Dia bukan sekadar murid; dia adalah salah satu jawaban doa saya tentang ketenangan dan keikhlasan dalam mendidik.

Jari saya menekan pesan itu. Saya membaca perlahan. Satu kalimat. Dua kalimat. Kemudian kalimat berikutnya.Entah mengapa, tanpa peringatan apa pun, air mata jatuh. Tidak menetes perlahan melainkan langsung mengalir, seakan ada bendungan di dalam dada yang tiba-tiba dibukakan oleh Allah.

Saya terdiam.Tidak ada kata keluar dari mulut, hanya isakan pelan yang bahkan saya sendiri tak mampu menghentikan. Saya tidak tahu apa yang sebenarnya menggugah perasaan saya. Apakah kata-kata lembut itu? Apakah perhatian yang begitu tulus? Apakah doa yang terselip di dalamnya? Ataukah Allah sedang menunjukkan sesuatu kepada hati saya tentang makna menjadi guru, menjadi manusia, menjadi hamba?

Saya merasa disentuh oleh sesuatu yang tidak kasat mata. Seperti ada tangan halus yang menepuk lembut bahu saya dan berbisik:
"Lihatlah, engkau tak sendiri. Ada hati yang mendoakanmu." Di antara isak, saya menarik napas panjang. Bukan sedih yang saya rasakan tetapi haru yang rasanya menyapu seluruh hati. Haru karena Allah masih memberi saya kelembutan hati. Haru karena saya masih diberi nikmat untuk mudah tersentuh oleh kebaikan. Haru karena Allah menghadirkan insan-insan yang menjadi pelembut langkah saya dalam mendidik.

Menjadi guru sering kali membuat saya merasa harus kuat setiap saat. Kuat menghadapi murid yang malas. Kuat menghadapi tugas yang menumpuk. Kuat menghadapi tantangan, komentar, tekanan, juga ketidakpastian.  Pesan pagi itu membuat saya sadar bahwa Allah juga mengizinkan saya untuk rapuh. Rapuh yang justru menandakan bahwa hati ini masih hidup.

Dalam pesan itu, anak didik saya menuliskan ucapan syukur, doa, dan penghargaan yang begitu tulus. Kata-katanya bukan hanya rangkaian huruf. ia terasa seperti doa yang meluncur dari hati yang bersih. Ia seakan berkata bahwa kehadiran saya berarti baginyabahwa ada yang ia pelajari, ada yang menguatkan, ada yang menginspirasi.

Saya hanyalah seorang hamba Allah yang berusaha menjalankan amanah-Nya lewat profesi sederhana yaitu mendidik. Saya menyadari satu hal yaitu  Allah tidak menilai hasil, tetapi menilai usaha. Tidak menuntut saya menjadi sempurna, tetapi menjadi tulus. Ketulusan, rupanya, selalu menemukan jalannya untuk kembali meskipun sering lewat cara yang tak pernah kita duga.

“Ya Allah, terima kasih Engkau kirimkan penguat ini. Terima kasih Engkau jaga hati saya agar tidak keras. Terima kasih Engkau izinkan saya merasakan indahnya menjadi guru lewat cara yang begitu lembut.”

Saya mengusap air mata, lalu membaca kembali pesan itu. Setiap kalimatnya seperti mengalirkan energi baru ke dalam diri saya. Semangat yang tadinya biasa saja berubah menjadi berkali lipat. Rasanya seperti Allah berkata bahwa tugas saya bukan hanya mengajar, tetapi menginspirasi. Bukan sekadar memberi materi, tetapi menghadirkan kasih sayang. Bukan hanya menuntun siswa, tetapi juga belajar dari mereka.

Penuh kesadaran bahwa nikmat terbesar dalam profesi ini bukanlah penghargaan, bukan sertifikat, bukan pujian. Nikmat terbesar adalah ketika Allah menggerakkan hati seseorang untuk mendoakan kita. Ketika kebaikan kita kembali dalam bentuk yang tidak pernah kita perkirakan. Ketika kita merasa lelah, tetapi Allah mengirimkan pengingat bahwa tugas ini tidak sia-sia.

Saya memulai Hari Guru itu… dengan hati yang baru. Tapi dengan jiwa yang jauh lebih lapang. Terima kasih, anakku. Lewat pesanmu, Allah telah menguatkan gurumu lebih dari yang biasa. 
Cepu, 25 November 2025


Ebiet G. Ade bersama Bapak Menteri

Karya : Gutamining Saida 
Sesi hiburan pada Seminar Pendidikan Internasional siang itu menjadi momen yang tak terlupakan bagi seluruh peserta. Setelah rangkaian materi yang padat, talkshow dan paparan praktik baik dari berbagai daerah, suasana De Tjolomadoe perlahan berubah. Lampu aula meredup, layar besar di panggung mulai menampilkan visual lembut dan para peserta seribu dua ratus guru dari seluruh penjuru Jawa Tengah membawa rasa penasaran.

Bisikan kecil terdengar di antara mereka.
"Benarkah Ebiet G. Ade yang akan tampil?"
"Masih seperti mimpi. Bisa melihat langsung penyanyi legendaris itu…"

Benar saja, ketika suara MC mengumandangkan nama Ebiet G. Ade, seluruh ruangan sontak bergemuruh oleh tepuk tangan yang panjang, penuh kerinduan, penuh kekaguman. Tidak sedikit guru yang langsung memegang ponsel, bersiap mengabadikan momen yang mungkin hanya terjadi sekali seumur hidup.

Ebiet naik ke panggung perlahan, dengan senyum teduh yang khas. Penampilannya sederhana, namun auranya mengisi ruangan seperti angin sejuk yang membawa nostalgia. Sorot lampu warna-warni memantul di kacamata beliau, menciptakan kesan hangat yang menyentuh.

Ketika jemari beliau menyentuh senar gitar suara gemuruh berubah hening. Hening yang indah. Hening yang hanya bisa tercipta ketika seseorang membawa seni dan jiwa ke tengah-tengah kerumunan. Lagu pertama yang dibawakan adalah “Berita kepada Kawan.” Begitu suara merdu Ebiet mulai melantun, banyak guru spontan ikut bernyanyi dalam nada rendah. Ada yang memejamkan mata, ada yang menatap panggung tanpa berkedip, dan ada pula yang merekam sambil mengecupkan senyum haru.

Lirik demi lirik seakan membawa ingatan para guru pada masa-masa sulit, perjuangan, kehilangan, sekaligus keteguhan menjalani hidup. Ruangan yang megah itu berubah menjadi tempat pertemuan batin yaitu antara musik, kenangan, dan semangat seorang pendidik.

Selanjutnya, Ebiet membawakan lagu “Camelia”. Nada lembut disertai permainan gitar yang khas membuat suasana semakin syahdu. Lampu-lampu bergerak perlahan dengan warna biru dan ungu, seolah menari mengikuti alunan musik.

Para guru yang mengenakan kostum kaos putih dengan bawahan celana atau rok tampak seragam, rapi, dan bersinar dalam sorotan panggung. Dari jauh, mereka terlihat seperti lautan putih yang bergerak pelan saat lagu dibawakan. Ada yang menggoyangkan kepala, ada yang menggenggam tangan teman di sebelahnya, ada pula yang tersenyum sambil mengusap air mata kecil yang jatuh tanpa disadari.

Sesi hiburan itu tidak berhenti di sana. Ebiet kemudian menyanyikan lagu yang membuat banyak hati bergetar: “Titip Rindu Buat Ayah.” Begitu bait awal dilantunkan, banyak peserta tidak mampu menahan rasa haru. Lagu itu menyentuh ruang terdalam dalam diri tentang rindu yang tidak pernah selesai, tentang orang tua yang menjadi alasan perjuangan seseorang berdiri menjadi guru hari ini, tentang cinta yang tak bisa dibalas dengan apa pun.

Ada beberapa guru yang memeluk sahabatnya di sebelah. Ada yang menunduk sambil menutup mulut agar tangisnya tidak terdengar. Suasana De Tjolomadoe malam itu seperti sebuah perjalanan hati yang pelan, lembut, dan menghangatkan.

Kejutan belum berakhir. Ketika lagu terakhir selesai, MC kembali naik ke panggung dan mengumumkan sesuatu yang membuat seluruh ruangan bersorak, “Untuk lagu penutup, Ebiet G. Ade akan berduet bersama Bapak Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah.”

Sorakan dan tepuk tangan pecah memenuhi gedung. Banyak guru spontan berdiri, mengangkat ponsel, atau bahkan bergerak mendekati panggung. Lampu panggung seketika berubah menjadi warna-warni cerah merah, emas, biru berkelip seperti bintang-bintang yang menari.

Bapak Menteri naik ke panggung dengan senyum lebar, menyapa para guru sambil sesekali melemparkan salam hormat. Ketika duet dimulai, suasana berubah menjadi perpaduan antara kebanggaan, kebersamaan, dan euforia yang tidak terlukiskan. Para guru menyanyikan bait-bait lagu bersama, menciptakan paduan suara besar yang memenuhi ruangan dengan energi positif.

Di bawah gemerlap lampu dan lantunan suara dua tokoh yang dihormati, para guru merasa disatukan oleh hal yang sama yaitu cinta terhadap pendidikan, cinta terhadap anak-anak bangsa, dan cinta terhadap perjalanan yang mereka pilih sebagai pendidik.

Sesi hiburan itu bukan hanya pertunjukan musik. Ia menjadi hadiah, penguat, dan pengingat bahwa para guru tidak berjalan sendiri. Ada apresiasi, ada perhatian, ada penghargaan yang besar. Minggu siang di De Tjolomadoe, ribuan hati pulang dengan rasa bahagia yang sulit digambarkan. Kenangan ini akan terus hidup seperti lagu-lagu Ebiet G. Ade yang tak pernah lekang oleh waktu.
Cepu, 24 November 2025 

Talkshow di De Tjolomadoe

Karya : Gutamining Saida 
Talkshow “Berbagi Praktik Baik Pembelajaran Mendalam” dilaksanakan di De Tjolomadoe, Karanganyar, pada pukul 10.00 - 11.30 WIB sebagai salah satu sesi utama dalam rangkaian Seminar Internasional Pendidikan. Kegiatan ini menghadirkan suasana akademik yang hangat, interaktif, dan penuh inspirasi, karena para peserta disuguhkan pengalaman riil mengenai penerapan pembelajaran mendalam di berbagai jenjang pendidikan.

Pada sesi ini, lima peserta terbaik dari berbagai daerah dihadirkan secara khusus untuk menyampaikan paparan praktik baik yang telah mereka kembangkan dan implementasikan di kelas masing-masing. Lima peserta tersebut adalah:
1. Ardita Widiastuti dari TK PKK Pati,
2. Febrian Ardiansa dari SDN 1 Tanjungrejo Grobogan,
3. Upik Aimanah dari SDN 2 Karangnongko Purbalingga,
4. Wulan Dwi Aryani dari SMPN 1 Kandeman Batang,
5. Ani Muslihatun dari SMAN 1 Jatisrono Wonogiri.

Mereka terpilih melalui proses seleksi yang ketat berdasarkan inovasi pembelajaran, keaslian ide, relevansi strategi, serta dampak nyata yang dirasakan siswa dalam proses pembelajaran mendalam yang mereka terapkan. Setiap peserta memaparkan pengalaman, tantangan, langkah-langkah strategi, hingga refleksi diri dalam mengembangkan pembelajaran bermakna di kelas.

Talkshow ini menjadi semakin istimewa dengan kehadiran narasumber utama, yaitu Prof. Ali Saukah, M.A., Ph.D., seorang tokoh akademik terkemuka dalam dunia pendidikan Indonesia. Beliau memberikan penguatan, tanggapan kritis, serta apresiasi terhadap praktik baik yang disampaikan oleh seluruh peserta, sehingga diskusi terasa hidup dan memperkaya perspektif para pendengar.

Paparan dari lima peserta terbaik tersebut membuka wawasan baru mengenai bagaimana pembelajaran mendalam dapat diimplementasikan di berbagai jenjang pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, hingga SMA dengan pendekatan kreatif, kontekstual, dan menyentuh kebutuhan belajar siswa secara holistik. Jumlah peserta seminar mencapai 1200 peserta dari berbagai Kabupaten di Jawa Tengah. 

Sesi yang berlangsung selama 90 menit ini berjalan hangat dan interaktif. Diskusi antara peserta dan narasumber memberi ruang dialog yang luas, sementara sesi tanya jawab membuka peluang bagi seluruh peserta seminar untuk memperluas pemahaman dan mengadopsi praktik baik yang relevan dengan konteks pembelajaran di sekolah masing-masing.

Secara keseluruhan, talkshow ini tidak hanya menjadi ajang berbagi praktik baik, tetapi juga menjadi wahana mempertemukan ide-ide inovatif, memperkuat jejaring profesional, dan meneguhkan komitmen bersama untuk menghadirkan pembelajaran mendalam yang lebih bermakna bagi peserta didik di seluruh pelosok Indonesia. Terkhusus wilayah Jawa Tengah.
Cepu, 24 November 2025 

Sabtu, 22 November 2025

Ketika Takdir Merangkulku

Karya : Gutamining Saida 
Ada detik-detik dalam hidup yang tak pernah saya lupakan. Detik ketika saya sadar sepenuhnya bahwa manusia boleh menilai, tetapi Allah-lah yang menentukan. Saya berdiri tepat di titik, titik ketika logika manusia seharusnya berkata tidak mungkin, tapi kuasa Allah justru berkata  maka jadilah. 

Hari-hari sebelum pengumuman seleksi naskah, saya tidak pernah merasa paling hebat, tidak merasa paling layak, bahkan… tidak merasa pantas untuk berharap terlalu banyak. Bagaimana mungkin saya bisa lolos, sedangkan saya bukan kepala sekolah, bukan pengawas, bukan guru penggerak, bukan pula seseorang yang sering tampil di depan?

Saya hanyalah seorang guru biasa, yang bekerja dengan hati, yang berusaha tulus setiap hari di kelas, yang sering merasa kecil di tengah begitu banyak guru kota dengan fasilitas lengkap serta kiprahnya jauh lebih mengkilap dari saya.

Adakalanya saya bertanya dalam hati: “Ya Allah… apakah mungkin nama saya Engkau letakkan di antara deretan peserta seminar internasional se Jawa Tengah ?” Saya tidak pernah berani meminta secara muluk. Yang saya minta hanya satu yaitu  “Ya Allah, jika ini baik menurut-Mu, maka dekatkanlah sertakan saya menjadi peserta seminar internasional. Jika tidak, jauhkan dengan cara yang paling lembut.” Doa itu saya ucapkan berulang-ulang. 

Hari pengumuman tiba. Saya menarik napas dalam-dalam bukan untuk menyiapkan kemenangan, tapi untuk menguatkan diri jika hasilnya tidak sesuai mimpi. Tangan saya gemetar ketika membuka dan membaca hasil seleksi. Saya bahkan harus berhenti sejenak karena jantung terasa berdetak terlalu cepat.
Ketika nama saya muncul ada di deretan peserta Kabupaten Blora. Nomor urut 61, saya tidak langsung percaya. Saya menatap layar handphone  lama sekali, tak bergerak, tak bersuara, seperti baru saja tertimpa hujan rahmat dari langit.

Air mata pertama jatuh perlahan. Saya menutup mulut dengan tangan, tak ingin suara tangis saya terdengar oleh siapa pun. Dada saya penuh sesak oleh rasa haru yang tidak bisa ditahan. Di antara isak yang pecah, hanya satu kalimat yang keluar dari bibir saya: “Ya Allah… Alhamdulillah  Engkau pilih saya?”

Saya menangis karena saya tahu benar . Lolosnya saya bukan karena kehebatan saya, bukan karena kekuatan, bukan karena kedudukan, bukan karena gelar atau jabatan. Saya lolos karena qodarullah. Karena kasih sayang Allah Subhanahu Wata'alla yang memilih untuk turun dan memeluk hamba-Nya yang penuh kekurangan ini.

Di detik itu, saya merasakan dengan sangat jelas bahwa  rezeki tak pernah salah alamat. Jika Allah sudah menuliskannya, maka semua pintu yang tampak tertutup akan dibuka-Nya. Semua tembok yang terlihat tinggi akan diruntuhkan-Nya. Semua ketidakmungkinan menjadi mungkin oleh satu kalimat: KUN FAYAKUN.

Sejak saat itu, setiap kali saya merasa kecil, setiap kali saya merasa tidak mampu, setiap kali suara ragu berbisik di dalam dada, saya selalu kembali mengingat momen itu momen ketika Allah Subhanahu Wata'alla menunjukkan bahwa tidak perlu menjadi siapa-siapa untuk dipilih-Nya.

Karena kuasa Allah Subhanahu Wata'alla, telah berpihak kepada saya. Saya bersujud dengan hati yang luluh oleh rasa syukur: “Ya Allah… Engkaulah sebaik-baik Penulis Takdir. Terima kasih telah memilih saya, di saat saya sendiri tidak yakin pada diri ini.” Ampuni kesalahan hambaMu ini. Aamiin
Cepu, 23 November 2025

Senin, 17 November 2025

Bukan Sekedar Tanggal

 


Karya: Gutamining Saida

Tanggal 18 November selalu memiliki tempat paling lembut di hati seorang ibu. Bukan sekadar angka di kalender, tetapi penanda hadirnya karunia terbesar dalam hidupnya. Putri pertama yang membuka perjalanan menjadi seorang ibu. Pagi ini sebelum fajar menyentuh bumi, sebelum adzan Subuh berkumandang dari musala, saya selalu menyempatkan diri memanjatkan deretan doa panjang, doa yang hanya seorang ibu mampu rangkai dari kedalaman cinta dan ketulusan. 

Udara masih dingin, langit masih pekat, dan kampung masih terlelap. Hati seorang ibu telah terbangun lebih dulu, bergetar lembut oleh ingatan akan kelahiran putrinya bertahun-tahun silam. Dalam keheningan sebelum melangkahkan kaki menuju musala, ia menundukkan kepala. Bibirnya bergerak lirih, memanggil nama putrinya dalam doa yang mengalir seperti sungai yang tak pernah kering.

"Ya Allah, terima kasih Engkau titipkan aku seorang anak perempuan yang telah tumbuh menjadi istri dan ibu yang baik. Panjangkan usianya dalam iman. Lapangkan rezekinya. Indahkan akhlaknya. Tuntun keluarganya menuju ridha-Mu. Jadikan setiap langkahnya sebagai ladang pahala."

Deretan kalimat itu tak pernah sama persis setiap tahun, tetapi rasanya selalu sama: penuh syukur, penuh harapan, dan penuh cinta yang tak terukur. Sejak lahirnya putri pertamanya, ia merasa seperti mendapat pintu baru untuk mengenal dirinya sendiri menjadi lebih kuat, lebih sabar, lebih banyak memohon kepada Allah Subhanahu Wata'alla. 

Setiap saat dalam hidupnya, doa itu terus hidup. Di sela kesibukan, di antara pekerjaan rumah, saat lelah, bahkan saat bahagia, selalu ada doa terbang untuk putrinya yang kini telah berkeluarga. Namun pada tanggal 18 November, doa itu terasa lebih istimewa. Doa itu menjadi ungkapan syukur atas perjalanan panjang yang telah dilalui putrinya dari seorang bayi mungil dalam gendongan hingga menjadi perempuan dewasa yang membangun rumah tangganya sendiri.

Di musala, saya tunaikan Subuh dengan hati yang lega. Seolah-olah setiap sujudnya membawa serta nama putrinya ke langit. Hari itu pun dimulai dengan rasa syukur yang tak terhingga. Sebab bagi seorang ibu, ulang tahun bukan hanya hari lahir anaknya, melainkan hari lahir cinta yang akan ia jaga seumur hidup.

Cepu, 18 November 2025 

Petik Dan Panen Buah

Karya : Gutamining Saida 
Jam pelajaran terakhir selalu memiliki cerita. Ada cerita lelah, cerita bosan, cerita kantuk, dan terkadang cerita hilangnya fokus. Bagi saya, kelas 8F adalah ruang tempat saya belajar bahwa semangat itu bisa tumbuh dari hal-hal kecil, jika kita mau berusaha menyalakannya. Saya kembali melangkah menuju kelas dengan hati yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Saya tahu, jam terakhir tidak pernah mudah, baik bagi siswa maupun bagi guru.

Saya membawa setumpuk gambar buah yang telah saya siapkan sejak pagi. Gambar-gambar itu di baliknya saya tuliskan pertanyaan. Setiap buah saya bayangkan sebagai jembatan kecil yang akan menghubungkan anak-anak dengan materi hari ini yaitu pengaruh agama Islam di Indonesia. Materi yang sarat makna, sarat nilai, tetapi bisa terasa berat bila tidak dipresentasikan dengan cara yang menyentuh.

Saat memasuki kelas 8F, saya mendapati sebagian anak terlihat letih. Ada yang menyandarkan kepala ke meja, ada yang memutar-mutar pulpen, dan ada pula yang menatap jam dinding seolah berharap jarumnya bisa bergerak lebih cepat. Mereka mungkin lelah, tetapi mereka tetap harus belajar bersama saya mata pelajaran IPS. 

Saya memutuskan untuk mengawali pembelajaran dengan lembut. Saya bercerita tentang bagaimana agama Islam hadir di Nusantara bukan dengan kekerasan, tetapi dengan keteladanan, perdagangan, akhlak, dan pernikahan. Saya berbicara pelan-pelan, seolah mengajak mereka berjalan pelan dalam sejarah, bukan sekadar mempelajarinya. Sedikit demi sedikit, saya melihat mata-mata itu mulai fokus ke pembelajaran. Suasana kelas menjadi tenang, namun tenang yang penuh perhatian.

Ketika materi utama selesai saya sampaikan, kini bukan waktunya memaksa mereka berpikir terlalu berat. Justru inilah saat untuk menghadirkan kehangatan, keceriaan, dan energi segar. Maka saya mengeluarkan gambar buah-buahan yang penuh warna. Mereka melihatnya dengan tatapan penasaran.

“Baik anak-anak,” kata saya, “sekarang kita akan petik buah. Tapi ini bukan sembarang buah. Ini buah ilmu.”

Sekejap saja, suasana kelas berubah. Mata-mata yang tadi sayu menjadi berbinar. Senyum yang tadi tipis menjadi melebar. Bahkan ada yang menggigit bibir menahan tawa karena terlalu bersemangat.

“Bu, saya mau yang jeruk MBG!”
“Bu, saya pilih semangka!”
“Bu, saya mau apel yang merah itu, ya!”

Anak-anak berdiri dari kursi mereka maju satu per satu, memilih buah seolah memilih hadiah yang sangat mereka tunggu. Setiap anak membawa buah ke mejanya, kemudian membaliknya dengan hati-hati, menemukan pertanyaan di belakangnya, lalu menulis jawaban di buku masing-masing.

Yang membuat hati saya hangat bukan hanya karena mereka mau mengerjakan, tetapi karena mereka mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Mereka tidak sekadar menulis jawaban. Mereka seperti ingin membuktikan bahwa mereka bisa, meski lelah, meski ini jam terakhir.

Ada momen-momen kecil yang membuat saya terkesan.Mario yang biasanya pendiam dia ikut  memilih buah dan mengerjakan. 

Jesika, siswa yang sering mengeluh malas, hari itu justru tersenyum lebar sambil berkata, “Bu, boleh tukar buah lagi? Saya mau coba soal yang lain.”
Saya mengangguk dengan bangga.

Abid yang suka bercanda, hari itu menjadi sangat serius. Ia menunduk, memegang pena dengan mantap, benar-benar ingin memberikan jawaban terbaik.

Kelas 8F berubah seperti kebun ilmu yang sedang berbuah. Setiap siswa adalah pohon yang sedang merunduk karena buahnya matang. Saya berdiri di tengah-tengah mereka, menyaksikan betapa indahnya saat anak-anak benar-benar terlibat dalam proses belajar. Tidak ada kantuk. Tidak ada keluhan. Tidak ada tatapan kosong. Yang ada hanya tangan-tangan kecil yang terus bergerak, kepala-kepala yang menunduk penuh kesungguhan, dan wajah-wajah yang menyimpan rasa ingin tahu.

Ketika waktu hampir habis, saya mengajak mereka kembali duduk untuk refleksi singkat. Saya bertanya kepada mereka. “Bagaimana pembelajaran kita hari ini?”
Banyak sekali jawabannya. "senang, seru," 

Ada rasa syukur yang sulit saya ungkapkan. Bagi guru, bukan hanya tentang apakah materi tersampaikan, tetapi juga tentang apakah siswa merasa dihargai, diperhatikan, dan dibuat nyaman dalam proses belajar.

Saat membereskan gambar-gambar buah itu satu per satu, saya sadar bahwa pembelajaran bukan hanya memindahkan pengetahuan dari buku ke kepala mereka. Pembelajaran adalah proses menyentuh hati, menyalakan semangat, dan membangun hubungan yang baik antara guru dan siswa.
Cepu, 17 November 2025


Minggu, 16 November 2025

Konsep Dasar Ilmu Sejarah

 


Karya: Gutamining Saida

Ilmu sejarah adalah ilmu yang mempelajari peristiwa masa lalu yang penting dan berpengaruh dalam kehidupan manusia. Sejarah tidak sekadar kisah lampau, tetapi rekonstruksi peristiwa berdasarkan berbagai sumber dan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.

Konsep dasar yang melandasi ilmu sejarah:

A. Sejarah sebagai Peristiwa (History as Event)

  • Merupakan kejadian nyata yang terjadi di masa lalu.

  • Bersifat objektif, terjadi sekali dan tidak dapat diulang.

  • Contoh: Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

B. Sejarah sebagai Kisah (History as Story)

  • Cerita atau narasi yang disusun sejarawan dari hasil penelitian.

  • Bersifat subjektif, dipengaruhi sudut pandang penulis.

C. Sejarah sebagai Ilmu (History as Science)

  • Menggunakan metode ilmiah, yaitu:

    1. Heuristik (mencari sumber)

    2. Verifikasi/kritik (menilai keaslian sumber)

    3. Interpretasi (menafsirkan)

    4. Historiografi (menuliskan sejarah).

  • Dapat diuji kebenarannya menggunakan bukti.

D. Sejarah sebagai Seni (History as Art)

  • Dalam penyajiannya memerlukan bahasa yang menarik, imajinasi terarah, dan keterampilan bercerita agar sejarah mudah dipahami

2. Ciri-ciri Sejarah

Sejarah memiliki karakteristik yang membedakannya dari ilmu lain.

A. Empiris

  • Berdasarkan bukti nyata dan dapat diverifikasi (dokumen, artefak, kesaksian).

B. Unik (Unik/Individual)

  • Setiap peristiwa sejarah terjadi sekali dan tidak dapat terulang.

C. Kronologis

  • Mengikuti urutan waktu dari awal sampai akhir peristiwa dengan jelas.

D. Kausalitas

  • Menganalisis hubungan sebab dan akibat suatu peristiwa.

E. Objektif

  • Disusun berdasarkan fakta, bukan berdasarkan perasaan penulis.

F. Dinamis

  • Penulisan sejarah dapat berubah ketika ditemukan sumber baru.

3. Unsur-unsur Sejarah

Setiap peristiwa sejarah selalu memiliki empat unsur utama, yaitu:

A. Manusia

  • Pelaku sejarah, baik individu maupun kelompok.
    Contoh: Soekarno–Hatta sebagai tokoh proklamasi.

B. Ruang (Tempat)

  • Lokasi terjadinya peristiwa.
    Contoh: Rengasdengklok sebagai tempat penculikan Soekarno–Hatta.

C. Waktu

  • Kapan peristiwa terjadi.
    Contoh: 17 Agustus 1945.

D. Peristiwa

  • Kejadian yang memiliki arti penting bagi kehidupan manusia.
    Contoh: Pembacaan naskah Proklamasi.

4. Sumber-sumber Sejarah

Sumber sejarah adalah segala hal yang dapat digunakan untuk mengetahui suatu peristiwa masa lalu. Dibedakan menjadi:

A. Berdasarkan Jenisnya

1. Sumber Primer

  • Sumber asli yang dibuat pada waktu peristiwa terjadi.
    Contoh:

    • Naskah Proklamasi

    • Peninggalan arkeologis (prasasti, candi)

    • Kesaksian pelaku sejarah

    • Foto asli peristiwa

2. Sumber Sekunder

  • Sumber tidak langsung yang ditulis setelah peristiwa terjadi.
    Contoh:

    • Buku sejarah

    • Artikel ilmiah

    • Analisis sejarawan

3. Sumber Tersier

  • Sumber pengantar atau rangkuman.
    Contoh:

    • Kamus

    • Ensiklopedia

    • Buku ringkasan sejarah

B. Berdasarkan Bentuknya

1. Sumber Tertulis

  • Surat, dokumen resmi, naskah kuno, arsip, prasasti.

2. Sumber Lisan

  • Wawancara, cerita dari pelaku sejarah, kesaksian saksi mata.

3. Sumber Benda (Artefak/Material)

  • Bangunan bersejarah, candi, senjata, pakaian tradisional, alat rumah tangga, patung.

C. Berdasarkan Sifatnya

1. Sumber Tradisi

  • Cerita rakyat, legenda, mitos yang turun-temurun.

2. Sumber Keterangan Ahli

  • Analisis para ahli sejarah, antropologi, arkeologi.


SOAL PILIHAN GANDA (20 Soal)

1. Ilmu sejarah pada dasarnya mempelajari tentang…

A. Masa depan manusia
B. Peristiwa penting masa lalu
C. Ramalan kejadian yang akan datang
D. Kehidupan makhluk gaib

2. Sejarah sebagai peristiwa berarti…

A. Cerita yang disusun sejarawan
B. Kejadian nyata yang terjadi sekali
C. Penggambaran ulang sejarah
D. Kisah imajinatif tentang masa lalu

3. Tahap pertama dalam metode penelitian sejarah adalah…

A. Historiografi
B. Interpretasi
C. Heuristik
D. Verifikasi

4. Ciri sejarah yang menunjukkan bahwa peristiwa disusun berdasarkan urutan waktu adalah…

A. Empiris
B. Kronologis
C. Kausalitas
D. Objektif

5. Sejarah disebut unik karena…

A. Diperlukan banyak sumber
B. Peristiwanya hanya terjadi sekali
C. Ditulis oleh banyak orang
D. Tidak dapat diceritakan kembali

6. Hubungan sebab dan akibat dalam sejarah disebut…

A. Kronologis
B. Kausalitas
C. Empiris
D. Ekologis

7. Sejarah sebagai ilmu harus berdasarkan bukti nyata. Ciri ini disebut…

A. Objektif
B. Empiris
C. Unik
D. Kronologis

8. Unsur sejarah yang menunjukkan lokasi terjadinya peristiwa adalah…

A. Manusia
B. Ruang
C. Waktu
D. Peristiwa

9. Dalam unsur sejarah, tokoh atau pelaku disebut…

A. Manusia
B. Tempat
C. Waktu
D. Artefak

10. Peristiwa sejarah harus terjadi di masa lampau. Hal ini menunjukkan unsur…

A. Waktu
B. Ruang
C. Manusia
D. Sumber

11. Sumber asli yang dibuat pada saat peristiwa berlangsung disebut…

A. Sumber primer
B. Sumber sekunder
C. Sumber tersier
D. Sumber tradisi

12. Buku sejarah yang ditulis oleh para ahli termasuk sumber…

A. Primer
B. Sekunder
C. Benda
D. Lisan

13. Contoh sumber tertulis adalah…

A. Candi
B. Wawancara
C. Prasasti
D. Benda arkeologi

14. Hasil wawancara pelaku sejarah termasuk sumber…

A. Benda
B. Sekunder
C. Lisan
D. Tradisi

15. Bangunan bersejarah berupa candi termasuk sumber…

A. Lisan
B. Tertulis
C. Benda/artefak
D. Tradisi

16. Cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun adalah contoh sumber…

A. Primer
B. Tradisi
C. Sekunder
D. Tertulis

17. Tahap menuliskan kembali hasil penelitian sejarah disebut…

A. Heuristik
B. Interpretasi
C. Historiografi
D. Verifikasi

18. Berikut yang termasuk ciri-ciri sejarah adalah, kecuali…

A. Kronologis
B. Unik
C. Empiris
D. Irasional

19. Penilaian terhadap keaslian sumber sejarah termasuk tahap…

A. Kritik/verifikasi
B. Interpretasi
C. Historiografi
D. Kronologis

20. Sejarah sebagai seni terlihat dari kemampuan sejarawan untuk…

A. Membuat teori-teori baru
B. Menyajikan cerita menarik dan mudah dipahami
C. Mengumpulkan bukti sejarah
D. Menganalisis data secara ilmiah

Cepu, 17 November 2025

SEBLAK YANG MEMBAWAKU KE KOTA SOLO

                                                 

Karya: Gutamining Saida

Tak pernah terlintas sedikit pun dalam benak saya bahwa sebuah makanan sederhana bernama seblak dapat membawa perjalanan batin sekaligus perjalanan nyata yang begitu indah dalam hidup saya. Segala sesuatu terjadi begitu saja, seperti mengalir, dan saya hanya mengikutinya sambil terus berharap bahwa langkah kecil ini memberi manfaat bagi siswa-siswi saya, bagi dunia pendidikan, dan bagi diri saya sebagai pendidik yang selalu ingin belajar.

Semua bermula pada suatu sore ketika saya mengamati anak-anak di warung kekinian. Di sudut bangku panjang yang dekat dengan taman Cepu, beberapa anak-anak, remaja duduk berkerumun sambil meniup-niup mangkuk. Aroma pedas gurih tercium menyengat, bercampur tawa dan canda mereka yang khas anak muda. Saya mendekat ke mereka.

“Bu, mau coba seblak? Enak lho, Bu!” seru salah satu anak sambil menunjukkan mangkuk plastik kecil berisi kerupuk basah, ceker ayam, dan sayuran yang berwarna cerah.

Saya tersenyum. “Pedasnya sampai berapa level ini?”

“Level lima, Bu!” jawab mereka bersamaan, membuat saya tertawa dan menggelengkan kepala.

Momen sepele itu justru menancap di ingatan saya. Cara mereka menikmati makanan sambil begitu antusias bercerita, berdiskusi, dan tertawa bersama membuat saya berpikir bahwa Anak-anak jaman sekarang sebenarnya punya semangat belajar. Saat pembelajaran ssaya harus menggunakan media yang  tepat. Mungkin saya perlu mendekati mereka dengan sesuatu yang dekat dengan dunia mereka.

Begitulah  ide itu muncul lantas saya rencanakan dengan matang yaitu dengan seblak. Saya mulai merancang pembelajaran yang menggabungkan konsep IPS dengan media visual seblak. Mengapa seblak? Karena makanan itu sedang digandrungi siswa, mudah dikenali, dan punya unsur warna yang menarik untuk dibuat ilustrasi. Saya ingin mengemas materi yang dianggap “berat” menjadi sesuatu yang segar, ringan, dan membuat mereka merasa dekat.

Saya membuat gambar seblak dengan warna-warna cerah jingga pada kerupuk, merah pada cabai, hijau pada sayuran, serta kuah beruap yang menggambarkan kehangatan. Gambar itu saya tempel di slide materi, menjadi pembuka pembelajaran hari itu. Ketika jam pelajaran tiba, siswa-siswi saya langsung menunjukkan reaksi tak biasa.

“Bu… kok gambarnya seblak?”

“Apa hubungannya  IPS sama seblak, Bu?”

“Boleh nanti beli seblak bareng-bareng nggak, Bu?”

Kelas mendadak hidup sebelum saya memulai penjelasan. Itu pertanda bagus. Saya pun tersenyum dan berkata,

“Justru hari ini kita belajar dengan menikmati seblak. Bukan tentang pedasnya, tapi tentang proses, bahan, perjalanan, dan bagaimana semuanya berhubungan dengan konsep IPS.” Selebihnya, proses belajar berjalan sangat menyenangkan. Mereka memperhatikan, berdiskusi, bertanya, bahkan membuat analogi sendiri tentang materi sesuai pemahaman mereka. Saya merasa bahagia melihat mata mereka berbinar. Ada kepuasan yang tidak bisa diukur dengan nilai ujian. Mereka belajar dengan hati.

Beberapa waktu kemudian, informasi tentang penulisan praktik baik diinfokan. Sejujurnya, saya tidak terlalu berharap banyak. Peserta dari berbagai daerah tentu luar biasa hebat dan berprestasi. Saya merasa bahwa kisah sederhana ini pantas dibagikan bukan karena saya istimewa, tapi karena pengalaman ini mungkin menginspirasi guru lain untuk menggunakan media yang dekat dengan keseharian siswa.

Saya menulis dengan sepenuh hati. Saya menceritakan bagaimana seblak menjadi jembatan pembelajaran, bagaimana siswa merespons, dan bagaimana hal kecil mampu mengubah suasana kelas. Saya menulis sambil tersenyum mengingat kembali ekspresi mereka saat melihat gambar seblak di layar proyektor dan media yang saya pakai ada dua jenis pilihan. Seblak cakar ayam dan seblak komplit.

Setelah naskah selesai, saya kirimkan. Tidak ada harapan muluk. Saya hanya ingin berbagi. Malam itu, Sabtu yang sunyi, saya mencoba membuka pengumuman dari akun IG BBGTK. Saya terdiam. Setengah percaya, setengah tidak. Rasanya seperti ada sesuatu yang meletup di dada. Bukan sekadar bangga  tapi haru. Seblak ya hanya dengan seblak. Tapi Allah Subhanahu Wata'alla menjadikannya jalan yang begitu indah.

Saya tercatat sebagai peserta seminar. Saya akan berkesempatan bertemu orang-orang hebat dari berbagai daerah. Besok tanggal 20 November 2025 yang akan datang. Harapan saya sederhana yaitu semoga saya tertular virus kebaikan dari mereka.  Saya nantinya pulang membawa sesuatu yang bisa ditularkan, diwariskan untuk siswa-siswi esmega generasi yang mencintai ilmu.

Ketika teknologi semakin canggih dan dunia bergerak cepat, saya ingin anak-anak saya tetap tumbuh dengan karakter kuat. Saya ingin mereka menjadi pribadi yang tidak terkalah oleh teknologi, tetapi justru mampu memanfaatkannya secara bijak. Saya ingin mereka tetap memegang iman, akhlak, dan rasa ingin tahu yang tinggi.

Jika sebuah semangkuk seblak bisa menggugah minat belajar mata pelajaran IPS mereka, maka saya percaya masih banyak cara lain untuk menyalakan semangat itu. Pendidikan adalah perjalanan panjang, dan saya ingin terus menjadi bagian dari perjalanan itu bersama mereka.

Karena terkadang, hal kecil yang kita anggap biasa justru menjadi pintu menuju hal besar yang tak pernah kita bayangkan. Bagi saya, pintu itu bernama seblak. Semoga mimpi ini menjadi kenyataan dan terlaksana sampai pada waktunya yaitu tanggal 20 November 2025 yang akan datang. Semoga Allah meridhoi perjalanan saya dan memberikan kelancaran dan keberkahan. Aamiin

Cepu, 16 November 2025



Sabtu, 15 November 2025

Dua Cahaya Yang Menuntun Langkahku

Karya : Gutamining Saida 
Setiap perjalanan memiliki detik-detik yang tak bisa dilupakan. Ada langkah goyah, ada detak jantung yang dipenuhi cemas, ada lelah yang hampir membuat kita berhenti. Tetapi pada saat yang bersamaan, selalu ada cahaya-cahaya yang datang dalam wujud orang-orang baik yang dikirim Allah Subhanahu Wata'alla untuk menuntun langkah kita.

Perjalanan saya hingga akhirnya lolos seleksi naskah praktik baik menuju Solo bukanlah kisah tentang saya seorang diri. Bukan tentang kehebatan atau kemampuan saya menulis. Ini adalah kisah tentang dua sosok yang diam-diam menjadi kekuatan di balik setiap keputusan, setiap keberanian, setiap tetesan air mata, dan setiap helaan napas panjang saya. Mereka adalah Bu Rini dan anak saya dik Faiz.

Cahaya Pertama  adalah Bu Rini
Dia orang yang tidak akan saya lupakan dalam perjalanan ini,  Mbak Rini, begitu saya biasa memanggilnya. Dulu, dia siswa saya. Seorang remaja yang duduk di kelas, mendengarkan penjelasan saya tentang materi pelajaran. Tidak pernah terbayang oleh saya bahwa bertahun-tahun kemudian, dia justru akan menjadi guru yang bekerja satu sekolah dengan saya. Lebih dari itu, ia menjadi teman seperjalanan. Seseorang yang kehadirannya begitu berarti.

Informasi pertama kali tentang adanya seleksi naskah praktik baik, dialah yang memberitahu dan mengajak daftar. Saya tidak punya keberanian untuk ikut. Jangankan menyiapkan naskah, membayangkan syarat-syaratnya saja sudah membuat saya mundur. Namun Bu Rini berkata dengan suara lembut dan penuh keyakinan. 

“Bu, coba saja. Rezeki tidak ada yang tahu. Saya yakin bu  Saida bisa.”

Kalimat itu mungkin sederhana, tetapi justru di situlah kekuatannya. Dia menyalakan lilin kecil dalam hati saya. Lilin yang sebelumnya padam oleh rasa ragu dan takut. Sejak itu, saya mulai menulis. Dua hari saya habiskan menatap layar, menyusun kata demi kata, memperbaiki kalimat yang terasa janggal, dan memilih mana pengalaman yang paling tepat untuk dituliskan.

Ketika kesulitan datang mulai dari email yang tidak bisa mengirim, link yang tidak bisa dibuka, hingga file yang kembali gagal terunggah Bu Rini tetap menjadi tempat saya bertanya. Ia tidak bosan membantu, tidak lelah menjelaskan. Bahkan dalam kesibukannya sebagai guru, dia masih menyempatkan diri menenangkan saya. Tidak banyak orang yang seperti itu. Ketika seseorang menunjukkan bahwa dia peduli, sekecil apa pun kasihnya, itu terasa seperti tetesan hujan pertama setelah kemarau panjang.

Cahaya Kedua adalah dik Faiz Faiz, anak saya, adalah tangan yang menggenggam ketika saya hampir jatuh. Dia tidak banyak bicara, tetapi selalu ada. Kehadirannya adalah kekuatan yang tidak pernah saya minta, tetapi Allah Subhanahu Wata'alla titipkan kepada saya. Dia tulus, lembut, dan penuh bakti.

Selama proses penulisan dan pengiriman naskah, dik Faiz adalah satu-satunya yang selalu siap membantu urusan teknis. Saat email bermasalah, ia mencari cara. Ketika file tidak mau terkirim, dia mencoba ulang. Saat saya lelah dan hampir menyerah, ia berkata singkat,

“Sabar, umii. Kita coba pelan-pelan.” katanya singkat. 

Satu kalimat itu seperti pintu kecil yang membuka kembali harapan saya. Puncak perjuangan datang ketika masa pengumpulan naskah hampir ditutup. Saya masih mengajar hingga jam terakhir, sementara batas waktu semakin dekat. Saya hanya bisa mengandalkan dik Faiz. Dia tetap tenang ketika saya sudah panik. Dia satukan file, dia kirimkan ulang, dia atur semuanya dengan cekatan. Hingga akhirnya, dua menit sebelum deadline berakhir, naskah itu berhasil terkirim.

Saat saya berkata, “Alhamdulillah…” suara saya bergetar. Rasanya seluruh perjuangan dua hari itu meleleh menjadi kelegaan yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Dik Faiz tersenyum kecil, senyum yang mengandung banyak makna diantaranya kasih sayang, kepedulian, dan bakti.

Sabtu malam, saya tidak bisa membuka Instagram untuk melihat pengumuman. Aplikasi saya error, layar hanya berputar-putar. Saya hanya bisa menunggu Faiz pulang. Begitu dia datang, dia langsung membantu, tanpa bertanya panjang.

Dan di sanalah, nama saya muncul. Saya terpaku beberapa detik, lalu air mata saya turun tanpa diminta. Tidak hanya karena saya lolos, tetapi karena saya sadar bahwa saya tidak sampai di titik itu sendirian. Ada tangan-tangan Allah yang bekerja melalui dua orang yang sangat saya sayangi.

Saya lalu membayangkan kembali seluruh prosesnya malam-malam yang saya habiskan menulis, detik-detik panik saat pengiriman gagal, perasaan pasrah ketika saya hampir tidak bisa mengumpulkan naskah. Ternyata Allah Subhanahu Wata'alla menghadiahkan kejutan yang begitu manis.

Untuk Bu Rini dulu siswa yang kini menjadi saudara sejiwa dan ibu, saya tidak akan lupa jasa njenengan. Njenengan  menuntun saya ketulusan, dan kesabaran. Untuk dik Faiz anak saya, cinta saya dunia akhirat, terima kasih sudah menjadi penopang saat umi rapuh, menjadi kekuatan saat umi tidak berdaya.

Saya tidak bisa memberikan apa-apa kecuali doa, "Semoga Allah memudahkan jalan kalian, melapangkan rezeki kalian, menyejukkan hati kalian dengan iman, menguatkan langkah kalian dengan kebaikan, dan mengikat kalian dalam kebahagiaan dunia dan akhirat." Aamiin.
Cepu, 16 November 2025